Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PARADIGMA DASAR HUKUM DALAM PERSPEKTIF


SOSIOLOGIS

(HUKUM SEBAGAI SISTEM NILAI, IDEOLOGI,


INSTITUSI,DAN ALAT PERUBAHAN)

Disusun Oleh :
ASRUL
(005302532020)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah SWT yang telah meganugerahkan kepada


kita semua buah kecerdasan yaitu otak, dengan kapasitor memori yang
besar, sehingga kita sebagai khalifah di muka bumi ini, merupakan
makhluk yang paling mulia derajatnya dari sebaik-baik kejadian dari
semua makhluk yang diciptakan allah.
Shalawat dan salam senantiasa terpanjatkan kepada nabi kita
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju
alam terang benerang seperti apa yang kita rasakan sekarang sampai
dengan saat ini. Alhamdulillahhirobbil alamin, dalam kesempatan ini saya
telah menyelesaikan satu buah makalah "Paradigma Dasar Hukum dalam
Persfektif Sosiologis". Semoga dengan adanya makalah ini dapat
membantu kita memahami dan mempelajari tentang paradigm dasar
hukum dalam persfektif sosiologis lebih mudah dan terperinci serta kita
mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih jelas .
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan yang terkandung
dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang baik dari pembaca yang
bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi peminat dan pembaca serta
penulisnya.

Penulis

Asrul
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

PENDAHULUAN.........................................................................................1

PEMBAHASAN...........................................................................................2

A. Hukum Sebagai Nilai..................................................................2

B. Hukum Sebagai Ideologi............................................................3

C. Hukum Sebagai Intitusi..............................................................5

D. Hukum Sebagai alat Perubahan................................................9

PENUTUP.................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah
tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan
transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik)
selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner.
Sifatpergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan
prinsipil.
Ranah kajian ilmu hukum sesungguhnya selalu berkembang
seiring perkembangan umat manusia dalam pencarian keadilan
(searching for the justice) itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang
hukum tidak terlepas dari kajian yang telah ada sebelumnya.
Implikasi lebih lanjut, sebenarnya tidak boleh ada pemisahan
secara ketat dan dikotomik terhadap pemahaman study normatif
(doktrinal) dengan pemahaman study hukum non doktrinal. Suatu
paradigma hukum, tercermin pula pada spiritualisme cita hukum
yang berbasis pada perpaduan unsur nilai irrasional dan rasional
kearifan sosial. Jika peraturan perundang-undangan dibedah
sampai kepada akarnya yang terdalam, akan tampak wujud norma
hukum dalam rumusan pasalnya yang mengandung nilai hakiki
ataupun temporalistik sosiologis. Dari nilai yang dikandung norma
tersebut, para aktor dan ilmuwan hukum dapat menarik kesimpulan
timbal balik induktif maupun deduktif tentang konstelasi nilai
irasional dan rasional berupa etik, moral, asas, konsep, dan teori
empirik yang mendudukungnya. Lebih lanjut berkreasi menciptakan
paradigma hukum bersifat emancipatory intrumental dan
hermenuetic.
Paradigma hukum bersifat emancipatory, intrumental dan
hermeneutic dapat dibentuk melalui kombinasi timbal balik
pemikiran rasional deduktif dan induktif maupun semionik.
Pemikiran rasional deduktif merupakan penalaran berkoherensi dari
satu pernyataan yang mengandung kebenaran umum (universal)
kepada pernyataan yang mengandung kebenaran konkret.
Sebaliknya pemikiran induktif merupakan penalaran
berkorespondensi antara suatu pernyataan dengan materi
pengetahuan yang dikandungnya (obyek yang dituju) oleh
pernyataan tersebut. Untuk menciptakan peraturan hukum yang
memiliki dayaguna pragmatis.
Selanjutnya pola pemikiran semionik dapat diwujudkan
dengan memahami, mengartikulasi dan mengaktualisasikan tanda-
tanda, jejak, rambu, atau fenomena-fenomena kebenaran dan
keadilan dari yang bersifat makro sampai kepada yang
berkarakteristik mikro. Namun perlu dipahami bahwa meskipun
suatu paradigma dalam suatu ilmu hukum dianggap telah usang
dan tidak mampu untuk menjawab dan memberi solusi atas
problem penegakkan hukum dan teori hukum yang muncul
belakangan, yang kemudian memunculkan paradigma baru ilmu
hukum, namun paradigma lama tidak sendirinya tergusur,
paradigma lama dalam hal ini positivisme tersebut masih tetap
bertahan secara teguh dalam komunitas ilmuwan dan para
penegak hukum tanpa mau menoleh kepada paradigma yang
muncul belakangan paradigma hukum progresif.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana hukum sebagai sistem nilai ?
2. Bagaimana hukum sebagai ideologi?
3. Bagaimana hukum sebagai institusi?
4. Bagaimana hukum sebagai alat perubahan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui hukum sebagai sistem nilai.
2. Mengetahui hukum sebagai ideologi.
3. Mengetahui hukum sebagai institusi.
4. Mengetahui hukum sebagai alat perubahan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Sebagai Sistem Nilai


Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa
kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Eksistensi dan kemampuan hukum
lalu diukur seberapa jauh ia telah mewujudkan keadilan tersebut.
Dengan demikian, moral keadilan telah menjadi dasar untuk
mensahkan kehadiran dan bekerjanya hukum (Raharjo 2010; 66).
Dalam buku Sosiologi karangan Satjipto Raharjo (2010)
dikemukakan keberatan Donald Black, seorang Sosiolog Hukum
Amerika terkemuka yang sama sekali menolak untuk membicarakan
nilai-nilai, sebab Sosiologi Hukum seharusnya konsisten sebagai ilmu
tentang fakta, jadi sesautu itu harus berdasarkan pada apa yang
dapat diamati dan dikualifikasikan. Di Amerika Serikat, moral untuk
menjunjung tinggi kemerdekaan dan kebebasan individu melahirkan
peradilan pidana “adversary sistem” dan apa yang disebut
“exclusionary rules”. Demi menjunjung kemerdekaan individu, maka
dalam peradilan pidana fakta dan kebenaran dapat dipinggirkan oleh
pertimbangan melindungi hak-hak tersangka (Raharjo 2010; 71).
Salah satu paradigma hukum adalah nilai sehingga hukum dapat
dilihat sebagai sosok nilai pula. Hukum sebagai perwujudan niali-nilai
mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan
memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Menurut Fuller hukum tidak dapat diterima sebagai hukum, kecuali
apabila bertolak dari moralitas tertentu. Hukum harus mampu
memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak layak disebut hukum
apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan sebagai berikut:
1. Kegagalan untuk mengeluarkan aturan (to achief rules)

2. Kegagalan untuk mengumumkan aturan tersebut kepada public (to


publicize)

3. Kegagalan karena menyalahgunakan perundang-undangan yang


berlaku surut (retroactive legislation)

4. Kegagalan karena membuat aturan-aturan yang saling


bertentangan (contraditory rules)

5. Kegagalan karena menuntut dilakukannya perilaku di luar


kemampuan orang yang diatur (beyond the power of the affected)

6. Kegagalan karena sering melakukan perubahan

7. Kegagalan untuk menyerasikan aturan dengan praktik


penerapannya.

Donald Black, salah seorang sosiologi hukum Amerika


terkemuka, sama sekali menolak untuk membicarakan nilai-nilai,
sebab sosiologi hukum seharusnya konsisten sebagai ilmu menegnai
fakta, sehingga segal sesuatunya harus hanya didasarkan pada apa
yang dapat diamati dan dikualifikasikan. Berseberangan dengan
Donald Black, maka Philip Selznick dan kawan-kawannya dari
Berkeley berpendapat bahwa hakikat dari hukum justru terletak pada
karakteristik dari hukum sebagai institusi yang menunjang dan
melindungi nilai-nilai.Sejak hukum menjadi cagar niali (sanctuary),
yaitu tempat nilai dan moral disucikan, maka bangsa-bangsa pun
berbeda dalam praksis hukumnya. Sosiologi hukum harus
mengahadapi kenyataan tersebut apabial ia ingin menjelaskan
perebdaan-perebdaan tesrsebut. Bangsa Indonesia juga mengalami
konflik nilai-nilai dalam hukum. Di satu pihak ingin hidup dengan
mendasarkan pada kehidupan berorentiasi kepada niali-nilai komunal,
seperti musyawarah dan kebapakan, tetapi pada waktu yang sama,
disadari atau tidak, digunakan doktrin besar rule of law. Dalam
sosiologi hukum, konflik-konflik seperti itu dijelaskan dari interaksi
antara nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial di mana nilai-nilai itu
dijalankan.Struktur sosial ini adalah realitas sosiologis yang
merupakan modal suatu bahasa untuk memahami dan mempraktikan
perlindungan hak asasi manusia.

B. Hukum Sebagai Ideologi.


Karl Marx dapat disebut sebagai sosiologi hukum pada saat
mengemukakan pendapatnya mengenai pengadilan terhadap
pencurian kayu di tahun 1842-1843. Ia mengatakan bahwa hukum
adalah tatanan peraturan untuk kepentingan orang berpunya dalam
masyarakat. Melalui pendapat tersebut maka ideologi sebagai
paradigm hukum pertama-tama dirumuskan. Menurut Marx, maka
hukum merupakan bangunan atas yang ditopang oleh interaksi antara
kekuatan-kekuatan dalam sektor ekonomi. Paradigma ideologi dalam
hukum juga dijumpai dalam bidang hukum kontrak.Hukum kontrak
sebagaimana lazim dikenal sekarang adalah produk dari abad ke-
19.Pada abad ke-18, kontrak bukan merupakan hasil dari persetujuan
individual, melainkan implementasi praksis kebiasaan dan kaidah
tradisional.
Ideologi komunal tersebut tidak mengenal kontra sebagai hasil
suatu persetujuan. Ideologi sebagai paradigma tidak membiarakan
hukum sebagai suatu lembaga yang netral.Dunia menjadi sangat
tersentak, pada waktu menyaksikan praktik Negara Jerman-Nazi,
sebagai Negara hukum.Ternyata Negara hukum Jerman tidak
menghalangi praktik untuk melakukan genocide terhadap ras yahudi.
Kritik juga ditujukan kepada para praktisi yuris yang telah menjadi
budak teknis-yuridis dari dominasi suatu ideologi yang immoral.
Mereka menafsirkan kembali perundang-undangan sebelum tahun
1933 dengan mengesampingkan interprestasi yang di lakukan selama
itu da menggantikannya dengan penafsiran yang mengacu kepada
ideologi nasional-sosialistis.Ideologi yang berhubungan dengan ras di
Amerika Serikat, itu ideologi keunggulan kulit putih telah menimbulkan
penyebutan keadilan berdasar atas kelas (class justice, white justice).
Kendatipun hukumnya menyatakan asas persamaan dihadapan
hukum, tetapi Amerika terbeah dua menjadi Amerika putih dan hitam,
dimana penduduk hitam ditempatkan di bawah penduduk kulit putih.
Peter Gabel dan Jay M. Feinman mengamati perubahan-perubahan
dalam sosial ekonomi yang memunculkan ideologi berbeda dan yang
pada gilirannya membentuk konsep tentang kontrak.Ideologi tersebut
berfungsi untuk melegitimasi praksis kontrak dalam konteks tatanan
sosial ekonomi yang berbeda-beda. Legitimasi kontrak pada abad ke-
29 adalah ideology tentang persaingan bebas sebagai konsekuensi
dari interaksi antara individu secara sukarela, yang pada dasarnya
bebas dan sederajad satu sama lain. Ideologi tersebut mengabaikan
kenyataan tentang terbatasnya kebebasan pasar yang muncul dari
posisi kelas seseorang dan pendistribusian kekayaan yang tidak
sama. Konsekuensi hukum dari mistifikasi legitimasi tersebut adalah
pemisahan hukum kontrak dari hukum tentang pemilikan dan hukum
tentang hubungan yang bersifat non-konsensual. Pada abad ke-20
berlangsung suatu transformasi yang memberantakan aturan-aturan
lama, persis abad ke-19 memberantakan tatanan abad ke-18. Di sini
juga terjadi transformasi dari pikiran ideologis yang dibutuhkan untuk
membenarkan praksis abad ke-20.Karakteristik esensial kapitalisme
abad ke-20 adalah digantikannya kompetisi tanpa kendali dari pasar
bebas oleh integrasi dan koordinasi dalam ekonomi.Di sini Negara
secara besarbesaran masuk untuk mengatur dan menstabilkan
keadaan.
C. Hukum Sebagai Institusi
Dalam sosiologi hukum, konflik-konflik seperti itu dijelaskan dari
interaksi antara nilai-nilai tertentu dengan struktur sosial di mana nilai-
nilai itu dijalankan.Struktur sosial ini adalah realitas sosiologis yang
merupakan modal suatu bahasa untuk memahami dan mempraktikan
perlindungan hak asasi manusia hukum sebagai institusi Dalam
Sosiologi Hukum, institusi adalah suatu sistem hubungan sosial yang
menciptakan keteraturan dengan mendefenisikan dan membagikan
peran-peran yang saling berhubungan di dalam institusi.
Para pihak dalam institusi menempati dan menjalankan perannya
masing-masing, sehingga mengetahui apa yang diharapkan orang
darinya dan apa yang dapat diharapkannya dari orang lain. Institusi
menjadikan usaha untuk menghadapi tuntutan-tuntutan dasar dalam
kehidupan tersebut berlangsung tertib, berkesinambungan dan
bertahan lama (enduring). keadaan yang demikian itu dimungkinkan,
karena institusi memuat peraturan, prosedur dan praksis. Institusi
tersusun dari (1) nilai, (2) kaidah, (3) peran dan (4) organisasi.
Institusionalisasi adalah usaha untuk membuat institusi menjadi mapan.
Persoalan yang dihadapi negara berkembang pada umumnya adalah
bagaimana membuat hukum itu memiliki otoritas yang cukup agar
mampu menjalankan fungsinya dengan baik (Raharjo 2010; 83-84).
Dalam kaitannya sebagai lembaga (istitusi) sosial, hukum memiliki
fungsi:

1. memberikan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana


cara bertingkah laku, atau bersikap dalam menghadapi masalah-
masalah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok;
2. menjaga keutuhan kehidupan masyarakat yang bersangkutan;
3. memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan
suatu sistem pengendalian sosial.

Jika mengidentifikasi hukum sebagai institusi sosial, maka kita


akan mengamati hukum lebih dari suatu sistem peraturan belaka,
melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial
dalam dan untuk masyarakat. Sebelum masuk ke dalam
pembahasan utama, terlebih dahulu akan dipaparkan “apa itu
institusi sosial?”.

Menurut Koentjaraningrat, institusi sosial adalah suatu sistem


tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas—
aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus
dalam kehidupan masyarakat. Dari pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa masyarakat sangat membutuhkan kehadiran
institusi. Kebutuhan tersebut harus mendapatkan pengakuan oleh
masyarakat karena pentingnya ia bagi kehidupan manusia.
Sehingga masyarakat mengusahakan agar ia bisa dipelihara dan
diselenggarakan secara seksama.

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup


manusia yang umumnya diakui di semua tempat di dunia ini. Karena
itu, dibentuklah institusi sosial bernama hukum agar keadilan dapat
terselenggara secara seksama dalam masyarakat. Ada beberapa
ciri yang umumnya melekat pada institusi, yaitu:

1. Stabilitas. Hukum sebagai institusi sosial harus


menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam
usaha manusia untuk memperoleh keadilan.

2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-


kebutuhan dalam masyarakat.

3. Adanya norma-norma.

4. Ada jalinan antar institusi.


Karena institusi sengaja dibentuk, maka tidak serta merta ia
menjadi sempurna. Proses untuk membuat institusi menjadi makin
efektif disebut penginstitusionalan. Di setiap negara tentunya proses ini
akan berbeda-beda sesuai kebutuhan masing-masing. Hukum
merupakan institusi sosial yang tujuannya adalah untuk
menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat. Penyelenggaraan
tersebut berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri
untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, terdapat perbedaan cara
dalam penyelenggaraannya di berbagai tempat. Perbedaan ini
berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat
dalam masyarakat. Sehingga sebagai institusi sosial, kita dapat melihat
hukum dalam kerangka yang luas, melibatkan berbagai proses dan
kekuatan dalam masyarakat.

D. Hukum Sebagai Alat Perubahan


Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of
change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok
orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.Suatu
perubahan social yang dikehendaki atau direncanakan, selalu
berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor
perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat
dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu,
dinamakan social engineering atau social planning. Hukum mepunyai
pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak langsung di dalam
mendorong terjadinya perubahan social.Misalnya, suatu peraturan
yang menentukan system pendidikan tertentu bagi warga Negara
mepunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi
terjadinya perubahan-perubahan sosial.
Di dalam berbagai hal, hukum mempunyai pengaruh yang
langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya
adalah bahwa terdapat hubungan yang langsung antara hukum
dengan perubahan-perubahan sosial.Suatu kaidah hukum yang
menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan
jenisnya dapat menjadi ahliwaris mempunyai pengaruh langsung
terhadapat terjadinya perubahan-perubahan sosial, sebab tujuan
utamanya adalah untuk mengubah pola-pola perikelakuan dan
hubungan-hubungan antara warga masyarakat.Pengalaman-
pengalaman di Negaranegara lain dapat membuktikan bahwa
hukum, sebagiamana halnya dengan bidangbidang kehidupan
lainnya dipergunakan sebagai alat untuk mengadakan perubahan
sosial. Misalnya di Tunisia, maka sejak diperlakukannya Code of
Personal Status pada tahun 1957, seorang wanita yang telah
dewasa, mempunyai kemampuan hukum untuk menikah tanpa harus
di dampingi oleh seorang wali. Kiranya dapat dikatakan bahwa
kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat
mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan
yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang
direncanakan.Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan
direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang
dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang
berperan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat yang
sudah kompleks di mana birokrasi memegang peranan penting
tindakan-tindakan social, mau tak mau harus mempunyai dasar
hukum untuk sahnya.Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin
membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah
masyarakat (secara terencana), maka hukum diperlukan untuk
membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi
kekuasaannya.Dalam hal ini kaidah hukum mendorong terjadinya
perubahan-perubahan sosial dengan membentuk badan-badan yang
secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-
perkembangan di bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Pada prinsipnya kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam
perubahan yang dikehendaki atau direncanakan (intended change
atau planed change). Dengan perubahan yang direncanakan dan
dikehendaki tersebut dimaksudkan sebagai perubahan yang
dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang
berperan sebagai pelopor. Dalam masyarakat yang kompleks
dimana birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan sosial,
mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam
hal ini, maka hukum dapat menjadi alat ampuh untuk mengadakan
perubahan sosial, walaupun secara tidak Langsung.
Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupan sosialnya
tidak akan pernah terlepas dari adanya kebutuhan dalam menunjang
kelangsungan kehidupan mereka, oleh sebab itulah manusia yang
satu dengan manusia yang lainnya akan saling memiliki
kepentingannya masing-masing dalam memenuhi kebutuhan
mereka. Namun karena manusia identik dengan sifat egois
(mementingkan diri sendiri) dan angkuh yang menyebabkannya
seringkali merugikan orang lain ketika menjalankan dan mengejar
kepentingan mereka, jadi tidak mustahil akan sering terjadi konflik di
antara manusia dalam melaksanakan dan mengejar kepentingannya
tersebut, disinilah muncul yang biasa disebutkan dengan masalah.
Dari needs dan problem itu, kemudian hukum hadir untuk
meminimalisir konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia,
agar manusia merasa aman dalam menjalankan dan mengejar
kepentingannya masing-masing (Mertokusumo, 2005: 3).
Hukum juga sering diartikan sebagai teks yang tertera di
dalam Undang-Undang, sebagai aparat penegak hukum (Polisi,
Jaksa, dan Hakim), dalam kajian tentang budaya hukum (Legal
Culture), terlihat bahwa hukum itu disitu difungsikan sebagai motor
keadilan, kemudian dalam berbagai kajian lainnya terkadang hukum
disebut sebagai institusi sosial, dan juga sebagai alat rekayasa
sosial, bahkan sebagian orang menyatakan hukum itu sebagai mitos
dari kenyataan. Perbedaan yang demikian tidak menjadi suatu
permasalahan dalam mendefenisikan serta memfungsikan hukum
tersebut. Namun ada hal yang menarik dalam kajian sosiologi
hukum, yaitu ketika melihat prilaku manusia sebagai hukum.
Sebagaimana dipaparkan oleh Satjipto Rahardjo (2009: 20), maka
akan diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenai
hukum, dimana hukum itu tidak hanya diartikan sebagai peraturan
(rule), tetapi juga prilaku (behavior). Lawrence M. Friedman,
sebagaimana di kutip oleh Saifullah, (2007: 26) yang menyatakan
bahwa sistem hukum itu terdiri atas struktur hukum (berupa lembaga
hukum), substansi hukum (beruba perundang-undangan), dankultur
hukum atau budaya hukum. Dimana ketiga komponen itulah yang
mendukung berjalannya sistem hukum di suatu Negara. Tapi tidak
dapat dipungkiri bahwa secara realitas sosial, keberadaan sistem
hukum yang terdapat dalam masyarakat itu akan mengalami
perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh dari modernisasi
atau globalisasi, baik itu secara evolusi maupun revolusi. Dan bisa
juga karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya yang
mempengaruhi hukum. Demikian halnya dengan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat (sosial), tentunya bisa mengalami
perubahan-perubahan seperti yang terjadi pada hukum itu sendiri.
Lantas bagaimana jika hukum dan masyarakat itu mengalami
perubahan. apakah hukum itu yang menyebabkan perubahan
masyarakat, atau sebaliknya dan bagaimana peran social control
dan social enginerring dalam perkembangan masayarakat tersebut.
Hukum dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change atau
pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu
atau lebih lembagalembaga kemasyarakatan.
Suatu perubahan social yang dikehendaki atau direncanakan,
selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor
perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat
dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu,
dinamakan social engineering atau social planning. Kiranya dapat
dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam
perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan
yang direncanakan. Dengan perubahan-perubahan yang
dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu
perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga
masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam
masyarakat yang sudah kompleks di mana birokrasi memegang
peranan penting tindakan-tindakan social, mau tak mau harus
mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Oleh sebab itu, apabila
pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk
mengubah masyarakat (secara terencana), maka hukum diperlukan
untuk membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan
membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hukum mendorong
terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk badan-
badan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-
perkembangan di bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Paradigma bukan merupakan hasil akhir tetapi sebuah
tawaran akademik yang memberikan jalan berfikir pada pengamat
untuk mengevaluasi kembali pola pikir yang telah dianut orang
banyak. Sejalan dengan hal ini maka yang dihindari adalah
penganutan paradigma secara “kultus individu”, yang berpegang
pada satu paradigma dan membelanya mati-matian, tanpa berfikir
bahwa persoalan hukum adalah persoalan sosial, maka kerap kali
yang dihadapi adalah memberikan penjelasan yang mudah dan
dapat diterima semua pihak. Paradigma dalam proses berfikir
merupakan sebuah tawaran saja bagi proses pembelajaran suatu
kaidah keilmuan, bukan tawaran akhir. Sepanjang perjalanan umat
manusia untuk terus berfikir, maka terbuka banyak sekali
kemungkinan untuk timbul paradigma-paradigma baru dengan
setting sosial yang berbeda.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, tentunya masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun bagi para pembacanya
sebagai kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini bisa
menjadi acuan untuk meningkatkan makalah-makalah selanjutnya
dan bermanfaat bagi para pembaca dan terkhusus buat kami. Amin
DAFTAR PUSTAKA

Esmi warassih, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan


Hukum (Proses Penegakan Hukum Dan Persoalan Keadilan), Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2001.

Esmi Warassih, Pranata Hukum : Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru


Utama Semarang, Semarang, 2005.

Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,


Alumni, Cetakan 1, Edisi 1, Bandung, 2002.

Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti: Jakarta.

Soerjono Soekanto. 2004. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT


RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika


Masalahnya, Elsam, Jakarta, 2002.

Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosilogi Hukum, PT. Grasindo,


Jakarta, 2008.

Anda mungkin juga menyukai