Anda di halaman 1dari 11

ETIKA PROFESI HUKUM

Dosen pengampu: Indra Rahmatullah SH.I, M.H

Disusun Oleh :

Kelompok 12

Rahma Hudia 11170430000054

Jainut Toyibin 11170430000066

Agussyita Irjuningsih 11170430000062

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019
PENDAHULUAN

Dewasa ini, fenomena janggal banyak terjadi dimana para ahli hukum yang berada pada
profesinya masing-masing justru melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
Diantara yang masih amat jelas teringat ialah kasus Advokat OC Kaligis yang menginstruksikan
kliennya Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumatera Utara, untuk menyerahkan sejumlah dana
yang kemudian akan digunakan untuk menyuap hakim. Beberapa tahun lalu, Akil Mochtar,
Ketua Mahkamah Konstitusi, kedapatan di ruang kerjanya beberapa butir pil yang ditengarai
merupakan jenis narkotika yang akhirnya membuatnya dicopot dari jabatannya dan dimasukkan
ke dalam bui. Begitulah sejumlah ilustrasi yang menggambarkan buruknya beberapa oknum
yang notabene berprofesi di bidang hukum tetapi justru menjadi pihak pertama yang
melanggarnya.

Sejumlah pihak menyimpulkan bahwa hal itu terjadi dikarenakan telah merosotnya
moralitas dari diri para pelaku hukum di negeri ini. Makalah ini mencoba menjelaskan tentang
pengertian profesi beserta ciri-cirinya. Kemudian, makalah ini juga akan menjelaskan tentang
pengertian moralitas dan akhlak, serta perubahan dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Di
akhir, akan dijelaskan pula hubungan antara moralitas dengan profesi.
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Fungsi Etika


1. Pengertian etika

Secara estimologi, etika berasal dari bahasa yunani kuno “ethos”, yang berarti kebiasaan,
adat, akhlak, watak, perasaan, dan sikap. Bisa juga cara berfikir, tempat tinggal yang biasa dan
padang rumput. Dalam bentuk jamak etika disebut “ta etha” yang berarti adat kebiasaan. Inilah
yang disebut aristoteles digunakan untuk menunjukan filsafat moral (bartens, 2002). Sementara
itu, dalam tradisi latin dikenal konsep “MOS” (jamak dari “mores”) yang berarti adat,kebiasaan
dan cara hidup. Dalam bahasa indonesia konsep MOS (mores) dimaknai sebagai moral. Dengan
demikian, konsep moral memiliki makna yang kurang lebih sama dengan makna konsep etika.
Dalam praktiknya kedua konsep ini acap kali di pakai secara bergantian untuk menunjukan pada
pengertian yang sama. Sedangkan menurut Imam Ghazali akhlak (etika) adalah keadaan yang
bersifat batin, dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa difikir dan tanpa dihitu ng
resikonya.

2. Fungsi Etika

Menurut Darji Darmodihardjo, etika memberi petunjuk untuk tiga jenis pertanyaan, yang
senantiasa kita ajukan :

Pertama : apakah yang harus aku atau kita lakukan dalam situasi konkrit yang tengah
dihadapinya ?

Kedua : bagaimana kita akan mengatur pola konsistensi kita dengan orang lain ?

Ketiga : akan menjadi manusia macam apakah kita ini ?

Dalam konteks ini, etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku ,manusia agar
dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. Bahkan, tiga pertanyaan tersebut
diintisariakan oleh Magnis Suseno pada fungsi etika yang utama yaitu, untuk membantu kita
mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Disini
terlihat bahwa etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas dan yang di hasilkannya
secara langsung, bukan kebaikan melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.

Bertitik tolak dari fungsi etika yang di ungkapkan oleh Magnis Suseno di atas, maka jika
etika berorientasi pada pesan moral, lalu bagaimana pula dengan peran agama sebagai sebuah
institusi yang mengajarkan sebuah pesan moral?. Maka dalam hal ini, Franz Magnis Suseno
menyatakn bahwa ada empat hal yang melatarbelakanginya :

a. Etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas dari moral agama, seperti
mengapa tuhan merintahkan ini bukan itu
b. Etika membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama yang saling
bertentangan
c. Etika dapat membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap masalah –
masalah baru dalam kehidupan social, seperti soal bayi tabung dan euthanasia.
d. Etika dapat membantu mengadakan dialog antar agama, karna etika mendasar diri
pada argumentasi rasional belaka, bukan pada wahyu.

3. Sistematika Etika

Mempelajari etika didasarkan pada evaluasi dari kemungkinan penafsiran yang berbeda.
Penafsiran tersebut di dasarkan pada nilai – nilai yang terkandung dalam norma dan peraturan
yang berlaku dan di patuhi oleh suatu masyarakat. Karna manusia menggunakan peraturan dan
norma tersebut sebagai pedoman perilaku.

Kemungkinan dalam penafsiran yang berbeda – beda ini dapat di pahami dengan cara
sebagai berikut :

a. Etika di pelajari dengan di dasarkan kepada ketentuan – ketentuan yang di atur


dalam peraturan yang harus di ikuti, atau apakah nilai – nilai yang terkandung di
dalamnya dapat di terapkan atau tidak.
b. Etika dapat di pelajari dengan penggambaran – penggambaran, termasuk di
dalamnya adalah persoalan yang luas tentang manusia.
c. Etika dapat di pelajari sebagai suatu dasar pengandaian. Misalnya, seseorang
ingin mengangkat anak – anak yang terlantar, apa yang harus dilakukannya ?

B. Profesi Hukum dan Ruang Lingkupnya


1. Pengertian Profesi

Sebelum kita membahas tentang apa itu profesi hukum, kami sedikit ingin menerangkan
tentang apa yang di maksud dengan profesi itu sendiri. Menurut Komarudin dalam Ensiklopedi
manajemen menjelaskan bahwa profesi ialah suatu jenis pekerjaan yang sifatnya menuntut
pengetahuan yang tinggi, khusus, dan latihan yangb istimewa. Yang termasuk dalam profesi
misalnya, dokter, ahli hukum, akuntansi, guru, arsitek, ahli astronomi, dan pekerjaan yang
bersifat lainnya.

Menurut Franz Magnis Suseno profesi itu harus di bedakan menjadi dua jenis. Yaitu, profesi
pada umumnya dan profesi luhur. Profesi pada umumnya setidaknya ada dua prinsip yang harus
di tegakkan :

a. Prinsip agar menjalankan profesinya secara bertanggung jawab


b. Hormat terhadap hak – hak orang lain
Dalam profesi luhur (officium nobile), motivasi utamanya bukan untuk memperoleh
nafkah dari pekerjaan yang dilakukan. Di samping itu terdapat dua prinsip yang harus di
tegakkan, yaitu :

a. Mendahulukan kepentingan orang yang di bantu


b. Mengabdi pada tuntunan luhur profesi

Contoh : seorang advokat tidak boleh mengelabuhi hakim dengan menyatakan orang
yang di belanya tak bersalah demi untuk memenangkan perkara dan mendapat
bayaran yang tinggi dari kliennya.

Diantara pengertian yang di uraikan di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa


profesionlisme itu unsurnya :

a. Suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian


b. Untuk itu perlu mendapatkan pelatihan khusus
c. Memperoleh penghasilan daripadanya.
2. Pengertian Profesi Hukum

Profesi hukum adalah pekerjaan yang dilakukan oleh segolongan orang – orang yang
memiliki keahlian hukum untuk mencari makan atau menunjang hidupnya. Bidang – bidang
profesi hukum adalah hakim, jaksa, pengacara, notaris, dan pengajar tetap fakultas hukum.
Namun demikian, dalam artian paling luas yaitu, dimana fungsi legal professional tidak terbatas
lagi pada fungsi yang tradisional saja sebagai legal technician, fungsi legal professional meliputi
pula legal counseling, legal negotiating, document, dan legislature drafting, bahkan law making
dalam arti luas.

Kemandirian profesi hukum di antara profesi yang lainnya adalah, profesi hukum adalah
profesi yang mengatur disiplin profesi, baik yang bersifat internal maupun eksternal, keselarasan,
keserasian dan keseimbangan antara regulation dengan self regulation yang akan menciptakan
kehidupan profesi sehat yang menguntungkan berbagai pihak.

3. Pelaksanaan Profesi Hukum

Pelaksanaan profesi hukum sangat di pengaruhi oleh faktor – faktor di luar profesinya,
namun sangat memengaruhi kelancaran pelaksanaan tugasnya. Faktor – faktor social, budaya,
ekonomi, adat istiadat, maupun lingkungan dan teknologi sangat memengaruhi cara bekerjanya
para professional. Pemahaman terhadap sosial masyarakat sangat penting, karna banyak masalah
– masalah hukum yag ada dan berkembang di masyarakat, penanganannya sering kali tidak
sesuai dengan jalur hukum yang ada. Masyarakat memerlukan keahlian hukum para profesional,
dan para profesional memerlukan masyarakat untuk keahlianny. Yang pada akhirnya bermuara
pada keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Interaksi antara masyarakat dengan para professional mengandung unsur kepercayaan
yang sangat besar, sehingga faktor perilaku sering kali menjadi salah satu indicator baik atau
buruknya para professional dengan kata lain, bekerjanya hukum di masyarakat sangat di
pengaruhi oleh sikap professional para penyandang profesi hukum. Para professional harus bisa
menghindari perbuatan yang bertentangan dengan etika profesi, seperti memuji diri sendiri,
penerapan pengetahuan dan keterampilan tanpa ada landasan yang jelas, serta tiadanya
kebebasan profesi seperti pengaruh kekuasaan dari pihak penguasa, dan sebagainya.

C. Etika dan Profesi Hukum

Etika dimasukan kedalam disiplin pendidikan hukum, disebabkan belakangan ini terlihat
danya gejala penurunan etika dikalangan aparat penegak hukum. Di sisi lain, dapat juga di
kemukakan bahwa tujuan pendidikan tinggi dalam bidang hukum adalah untuk menyiapkan para
peserta didik atau mahasiswa menjadi sarana hukum yang :

a. Menguasai hukum Indonesia


b. Menguasai dasar – dasra ilmiah dan dasar- dasar kemahiran kerja untuk mengembangkan
ilmu hukum dan hukum itu sendriri
c. Mampu menganalisis masalah – masalah hukum yang ada di masyarakat
d. Mampu menggunakan hukum sebagai sarana untuk memecahkan masalah
kemasyarakatan dengan bijaksana dan tetap berdasar pada prinsip – prinsip hukum
e. Terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan
Pancasila dan UUD 1945
f. Menjadi aparatur – aparatur hukum professional dan beretika

Hal hal diataslah mungkin yang menyebabkan konsorsium ilmu hukum memandang perlu
memasukan etika profesi hukum kedalam mata kuliah filsafat hukum sebagai pembulat studi.
Hal ini telah pula di kukuhkan dengan keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan republic
Indonesia nomor : 7/0/1993 tentang kurikulum yang berlaku secara nasional pendidikan tinggi
program sarjana bidang ilmu hukum pada fakultas hukum.

1. Hubungan Etika dan Profesi Hukum

Hubungan etika dengan profesi hukum adalah bahwa etika profesi sebagai sikap hidup yang
berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan professional di bidang hukum terhadap
masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian yang mendalam. Dalam tugas pelaksanaan
profesi hukum, selain bersifat kepercayaan yang berupa habl minan-nas (hubungan horizontal)
juga harus di sandarkan kepada habl minal-allah (hubungan vertical). Perwujudan habl minal-
allah dan habl minan-nas itu terwujud dengan cinta kasih, perwujudan cinta kasih kepada_Nya
tentunya dengan cara mengabdi sepenuhnya kepada-Nya dan menjalin cinta kasih antar seama
manusia. Dengan menghayati cinta kasih sebagai dasar pelaksanaan profesi, maka akan
melahirkan motivasi untuk mewujudkan etika profesi hukumsebagai realisasi sikap hidup dalam
mengemban tugas sebagai profesi hukum.
Berkaitan dengan etika profesi hukum ini, diungkapkan bahwa etika profesi adalah sikap etis
sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi.
Hanya pengemban profesi sendiri yang dapat mengetahui tentang apakah perilakunya dalam
mengemban profesi memenuhi tuntunan etika profesinya atau tidak. Oleh karena itu lah di dalam
melaksanakan profesi terdapat kaidah – kaidah pokok berupa etika profesi yaitu :

a. Profesi harus di pandang dan di hayati sebagai suatu pelayanan, maka sifat tanpa pamrih
(disintrestednes) menjadi ciri khas dalam mengembankan profesi
b. Pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan
c. Pengembangan profesi harus bersenmangat solidaritas antar sesame rekan seprofesi agar
persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat

2. Aspek –aspek yang mempengaruhi hubungan antara etika dan profesi hukum
a. Aspek Normatif
Aspek Normatif adalah aspek yang mengacu pada norma – norma atau standar moral
yang di harapkan untuk memengaruhi perilaku, kebijakan, keputusan, karakter
individu, dan struktur social. Dengan aspek ini di harapkan perilaku dan segala
unsurnya tetap berpijak pada norma – norma, baik norma kehidupan bersama ataupun
norma moral yang di atur dalam standar profesi bagi kaum profesi hukum
b. Aspek Konseptual
Kajian aspek Konseptual di arahkan pada penjernihan konsep atau ide, prinsip,
problem, atau tipe argument yang di pergunakan dalam membahas isu – isu moral
dalam kode etik. Dengan aspek ini di harapkan pengembangan nilai – nilai etis tidak
hanya mematuhi, memahami, dan melaksanakan standar – standar etika profesi, tetapi
juga mencoba menemukan nilai – nilai moral yang ada dan berkembang di
masyarakat.
c. Aspek Deskriptif
Kajian aspek Deskriptif ini berkaitan dengan pengumpulan fakta – fakta yang relevan
dan spesifikasi yang di buat untuk memberikan gambaran tentang fakta – fakta yang
terkait dengan unsur Normatif dan Konseptual. Dengan aspek ini akan memberikan
tentang fakta – fakta yang berkembang, baik di masyarakat maupun di dalam
organisasi profesi itu sendiri, sehingga penanganan aspek Normatif dan Konseptual
dapat segera di realisasikan.

3. Kode Etik Profesi Hukum


Bertens ( 1995 ) menyatakan, kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan
diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya
bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi dimata masyarakat.
Kata kode dari bahasa latin “codex” yang berarti kumpulan. Kode berarti suatu kumpulan
peraturan dari, oleh, dan suatu kelompok orang yang bekerja (berprofesi) dalam bidang tertentu.
Istilah kode (code) juga dapat diartikan sebagai ‘a complete written of law, unified and
promulgated by legislative action in the jurisdiction (sphere of authority concered)’
Keterlibatan kode etik pada setiap profesi hukum, oleh Subiyakto (1988:124-125)
dijelaskan sebagai berikut. Pada hakikatnya etika setiap profesi tercermin dari kode etiknya. Ia
berupa suatu ikatan, suatu aturan (tata), atau norma yang harus diindahkan (kaidah), yang berisi
‘petunjuk-petunjuk’ kepada para anggota organisasinya tentang larangan-larangan, yaitu apa
yang tidak boleh diperbuat atau dilakukan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan
profesinya, tetapi kadang-kadang juga menyangkut perilaku mereka pada umumnya dalam
masyarakat.
Dengan demikian, kode etik adalah suatu tuntunan, bimbingan, pedoman moral atau
kesusilaan untuk suatu profesi tertentu, dapat juga merupakan daftar kewajiban dalam
menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para anggotra profesi itu sendiri dan mengikat
mereka dalam memprektikannya.

Contoh Kode Etik Profesi Hukum :


KEPUTUSAN BERSAMA
KETUA MAHKAMAH AGUNG RI DAN KETUA KOMISI YUDISIAL RI
NOMOR: 1. 047/KMA/SK/IV/2009
2. 02/SKBLP.KYLIVL2009
TENTANG
KODE ETIK HAKIM
1. Berperilaku Adil
2. Berperilaku Jujur
3. Berperilaku Arif dan Bijaksana
4. Bersikap Mandiri
5. Berintegritas Tinggi
6. Bertanggung Jawab
7. Menjunjung Tinggi Harga Diri
8. Berdisiplin Tinggi
9. Berperilaku Rendah Hati
10. Bersikap Profesional

CONTOH KASUS : KASUS AKIL MOCHTAR

Karier Ketua MK nonaktif, M. Akil Mochtar, berakhir di ujung palu Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi (MKK). Majelis yang diketuai Harjono menjatuhkan sanksi berat berupa
pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat. Akil dinilai melanggar beberapa Prinsip Etika
yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode
Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Menyatakan Hakim Terlapor Dr. H. M. Akil Mochtar terbukti melakukan pelanggaran
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan
hormat kepadanya, Dalam pertimbangannya, MKK menguraikan sejumlah fakta perbuatan Akil
yang mengarah pada pelanggaran sejumlah prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
MKK menyebut :

1. Akil Mochtar sering bepergian ke luar negeri bersama keluarganya. Termasuk pergi ke
Singapura pada 21 September tanpa memberitahukan Setjen MK. Tindakan Akil tersebut
dinilai perilaku yang melanggar etika.
2. Akil juga tak mendaftarkan mobil Toyota Crown Athlete miliknya ke Ditlantas Polda
Metro Jaya, mencerminkan perilaku yang tidak jujur. Hal ini melanggar prinsip integritas,
penerapan angka 1, Hakim Konstitusi tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang
layak dan Pasal 23 huruf b UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK. Perilaku Akil
menyamarkan kepemilikan Mercedez Benz S-350 yang diatasnamakan supirnya untuk
menghindari pajak progresif adalah perilaku tak pantas dan merendahkan martabat.

 Saat menjabat Ketua MK, Akil pernah memerintahkan Panitera MK untuk mengeluarkan
surat No. 1760/AP.00.03/07/2013 tertanggal 26 Juli 2013 yang isinya menunda pelaksanaan
putusan MK atas proses pelantikan Bupati Banyuasin terpilih tanpa musyawarah bersama
hakim MK lain. Perbuatan ini dinilai melampaui kewenangan dan melanggar angka 1 Prinsip
Integritas, dan angka 1 Prinsip Ketidakberpihakan, angka 1.
 Akil terbukti mengendalikan perkara ke arah putusan. Saat pendistribusian perkara
Pemilukada, Akil mendapatkan jumlah perkara lebih banyak dibanding hakim lain (tidak
proporsional). Praktiknya, ketua MK dalam menangani perkara jauh lebih sedikit karena
dibebani tugas-tugas struktural dan administratif. Hal ini melanggar angka 1 Prinsip
Integritas, dan angka 3 Prinsip Ketidakberpihakan.
 Hakim Terlapor terbukti memerintahkan Sekretaris YS dan supirnya DYN melakukan
transaksi keuangan ke rekening Akil baik setoran tunai maupun transfer bank dengan jumlah
yang tidak wajar. Ini melanggar angka 4 Prinsip Integritas.
 Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Narkotika Nasional (BNN) atas temuan barang bukti
berupa 3 linting ganja dan 1 ganja bekas pakai serta 2 pil inex di ruang kerja Akil Mochtar,
terbukti sesuai antara sampel darah DNA Akil Mochtar dengan DNA yang terdapat dalam 1
linting ganja bekas pakai. Sesuai penjelasan BNN keberadaan barang terlarang itu terkait
penguasaan Akil yang dinilai melanggar angka 1 Prinsip Integritas.
KESIMPULAN

Profesi dan moralitas memiliki keterkaitan yang amatlah kuat. Karena setiap profesi
memiliki nilai etik yang mengikat, lebih-lebih tertulis, yang terangkum dalam kode etik, maka
pelanggaran atasnya merupakan sebuah aib yang luar biasa. Seorang professional yang tidak
memiliki moralitas tidak akan bertahan lama dalam profesinya. Ia akan mendapat teguran keras
tidak hanya dari teman-teman sesama profesi tetapi juga dari masyarakat. Iapun akan tersingkir
dari pekerjaan yang telah ia usahakan dalam waktu yang lama.

Berkaca dari beberapa kasus hukum yang melibatkan hukum aparat penegak hukum,
yang selayaknya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi, adanya tuntutan
ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya pengawasan, sampai dengan ketidak patuhan
terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya.

Faktor lain yang menentukan efektivitas penegakan hukum dan kode etik adalah budaya
penegak hukum dalam memandang dan menyikapi kode etik yang diberlakukan terhadapnya.
Budaya solidaritas kelompok disinyalir merupakan salah satu penghambat utama dari tidak
berhasilnya kode etik ditegakkan secara efektif. Solidaritas itu sendiri bermakna luas sebagai
semangat untuk membela kelompok atau korpsnya. Selain semangat membela kelompok, ada
faktor perilaku penegak hukum yang dipandang lebih menonjol ketika ia menemukan
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh teman sejawatnya atau oleh aparat penegak hukum
lainnya, yakni budaya skeptic (acuh tak acuh).

Kecenderungan untuk berperilaku tidak acuh tampak jelas. Hal ini disebabkan karena
berkembangnya ketidak percayaan terhadap sistem peradilan yang sudah sangat korup dan rasa
segan untuk bertindak secara individual dalam tekanan suatu komunitas yang justru seringkali
bergantung pada rusaknya sistem peradilan itu sendiri. Akibatnya para penegak hukum
cenderung untuk berpraktek di luar pengadilan, luar subtansinya dan/atau membentuk
kelompoknya sendiri. Maka diperlukannya suatu aturan yang mengatur secara tegas dan suatu
tindakan secara nyata dan tidak tebang pilih. Begitu juga diperlukannya pembentukan generasi
penerus dengan pemahaman mengenai kode etik profesi hukum dan pentingnya kode etik profesi
hukum, dengan begitu baru bisa terciptanya penegak hukum

REFERENSI

1. Sutrisno, Yulianingsih Wiwin. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta : Andi Offset


2. Ali Ahmad, Heryani Wiwie. Menjelejahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Edisi
Pertama. Jakarta : Kencana. 2012
3. Suhrawardi K. Lubis, SH. Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika, Jakata .2008
4. http://computerssmaintenance.blogspot.com/2015/06/pelanggaran-kode-etik-hakim-mk-
akil.html
5. http://www.berpolitik.com/static/myposting/2008/07/myposting_14517.html

Anda mungkin juga menyukai