Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HUKUM ADAT

SUBJEK HUKUM DALAM HUKUM ADAT

Dosen Pembimbing :
Dr. Drs. H. Sirajuddin Sailellah, S.H., M.HI

Disusun oleh kelompok 10 :

Candra Irawan (0711518016)

Ika Wianti (0711518033)

M.Aldin Djuhardiansyah (0711518053)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul “Subjek Hukum dalam
Hukum Adat” dengan baik.

Adapun maksud dan tujuan kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Adat. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Drs. H. Sirajuddin
Sailellah, S.H., M.HI selaku pembimbing materi dalam pembuatan makalah ini, serta kepada
semua pihak yang telah mendukung dalam menyusun makalah ini.

Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran kepada berbagai pihak untuk kami jadikan
sebagai bahan evaluasi guna meningkatkan kinerja untuk kedepannya.

Jakarta, Mei 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di
Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya
adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis.

Keberadaan hukum adat tidak pernah akan mundur atau tergeser dari percaturan politik
dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam hukum nasional yaitu
dengan mengangkat hukum rakyat/hukum adat menjadi hukum nasional terlihat pada naskah
sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional
yang modern.

Pada era Orde Baru pencarian model hukum nasional memenuhi panggilan zaman untuk
menjadi dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional., dimana mengukuhkan hukum adat
akan berarti mengukuhi pluralisme hukum dan tidak berpihak kepada hukum nasional yang
diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi), terlihat bahwa hukum adat plastis dan dinamis serta
selalu berubah secara kekal. Ide kodifikasi dan unifikasi diprakasai kolonial yang berwawasan
universalistis, dimana hukum adat adalah hukum yang neniliki perasaan keadilan masyarakat
local yang pluralistis.

Dimana hukum kolonial yang bertentangan dengan hukum adat adalah merupakan tugas
dan komitmen Pemerintah Orde Baru untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam hukum
nasional, dimana badan kehakiman diidealkan menjadi hakim yang bebas serta pembagian
kekuasaan dalam pemerintahan adalah harapan sebagai badan yang mandiri dan kreatif untuk
merintis pembaharuan hukum lewat mengartikulasian hukum dan moral rakyat, telah melakukan
konsolidasi dengan dukungan politik militer dan topangan birokrasi yang distrukturkan secara
monolitik serta mudah dikontrol secara sentral, mengingat peran hukum adat dalam
pembangunan hukum nasional sangat mendesak yang secara riil tidak tercatat terlalu besar,
terkecuali klaim akan kebenaran moral, pada saat masalah operasionalisasi dan pengefektifan
terhadap faham hokum sebagai perekayasa ditangan Pemerintah yang lebih efektif. Resultante
pada era Orde Baru telah terlanjur terjadi karena kekuatan dan kekuasaan riil eksekutif
dihadapan badan-badan perwakilan telah menjadi tradisi di Indonesia sejak jaman kolonial dan
pada masa sebelumnya dan juga adanya alasan-alasan lainnya.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Apa yang dimaksud dengan hukum perorangan?
b. Bagaimana subyektum hukum dalam badan hukum?

1.3 TUJUAN PENULISAN


a. Mengetahui seberapa penting dalam hidup beradat
b. Mengetahui subjek hukum adat yang mana di pakai dalam kalangan masyarakat
Indonesia saat ini.
BAB II

PEMBAHASAN

1.4 HUKUM PERORANGAN

Hukum perseorangan pada dasarnya mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari


pada subyek hukum. Siapakah yang merupakan subyek hukum itu menurut hukum adat?. Inilah
ruang lingkup pertama yang akan dibicarakan dalam bab ini. Oleh karena setiap hukum subyek
itu mempunyai hak, maka subyek hukum itu mempunyai hak untuk bersikap tindak atau
berprilaku. Bersikap tindak atau berperilaku disini diartikan sebagai sikap-tindak atau perilaku
yang mempunyai akibat hukum. Dengan demikian, apakah setiap subyek hukum itu bersikap-
tindak atau berperilaku yang dapat mempunyai akibat hukum; dengan kata lain, apakah setiap
subyek hukum itu cakap untuk berperilaku hukum?. Hal ini juga merupakan ruang lingkup yang
akan dijadikan bahasan dalam bab ini.

1 . SUBYEKTUM YURIS

Dalam hukum adat disamping manusia juga dikenal badan hukum sebagai subyek
hukum. Badan-badan hukum yang ada ialan antara lain desa, suku, nigari, wakaf dan akhir-akhir
ini juga yayasan.
Hal ini ditetapkan dalam Lembaran Negara (“Staatsblad”) tahun 1927 nomor 91 pasal 1 (periksa
juga pasal 3). Jawa Tengah mengakui juga sebagai badan hukum, perkumpulan-perkumpulan
yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas dan rapi.

Di pulau Bali didapat pula badan-badan hukum adat seperti sekaha subak, sekaha banjar
berarti perserikatan subak, perserikatan banjar. Dalam masyarakat adat rupa-rupanya diakui juga
sebagai subyektum yuris pada budak dan hamba setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang
oleh pemerintah colonial, maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini dengan
sendirinya lenyap pula dalam masyarakat sehari-hari.
2 . MANUSIA SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS

Meskipun pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wenang-
hukum (Djojodiguno memakai istilah “kecakapan berhak”) yang sama, tetapi dalam kenyataan
nya di beberapa daerah terdapat perkecualian-perkecualian sabagai berikut:

a. Di Jawa Tengah dalam tahun 1934-1938 di dalam beberapa desa, hanyalah orang laki-
laki yang berhak menjadi kepala desa.
b. Di Minangkabau orang perempuan tidak berhak menjadi penghuluandiko atau mamak-
kepala-waris. Lain halnya dengan cakap-hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan
hukum (Djojodiguno menggunakan istilah “kecakapan bertindak”). Menurut hukum adat
cakap melakukan perbuatan hukum adalah seorang-orang (baik pria maupun wanita).
Kapan seorang-orang di anggap dewasa? Kriteria (ukuran) dewasa dalam hukum adat
adalah berlainan dengan kriteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat.
Dalam hukum adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri
tertentu (Prof Soepomo dalam “adatprivaatrecht van Wast-Java” hal 31).
Ciri-ciri yang bagaimanakah yang menentukan seseorang sudah dewasa atau belum?
Menurut Prof Soepomo dalam bukunya tersebut di atas, seseorang sudah dianggap
dewasa dalam hukum adat, apabila ia di antara lain
Sudahkuwatgawe(dapat/mampubekerjasendiri).
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggungjawabkan.
Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
Menurut hukum adat “dewasa” ini baru mulai setelah menjadi tanggungan orang tua dan
tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi bukan asal sudah kawin saja.

Perlu dijelaskan di sini, bahwa yang di masksud dengan berumah sendiri dan tidak lagi menjadi
satu dengan orang tua itu adalah cukup misalnya dengan mendirikan serta menempati rumah
sendiri dalam pekarangan rumah orangtua nya, menempati bagian Gedung rumah orang tuanya
yang berdiri sendiri ataupun yang di pisahkan dari bagian yang ditempati orang tuanya jadi tidak
harus menempati rumah yang letak nya di luar pekarangan rumah orang tuanya.
Menurut Profesor Djojodiguno dalam bukunya “asas-asas Hukum Adat”, hukum adat tidak
mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang sama sekali tidak cakap melakakukan
perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari tidak cakap
menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan. Pada
umumnya menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan perbuatan hukum,
apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri(sudah “mentas” atau “mencar” (Jawa):
Tetapi sebaliknya tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang belum sampai keadaan yang
demikian itu..
Misalnya dalam menghadap hakim di muka pengadilan untuk perkara perdata. Bila berhubung
dengan usianya harus dianggap tidak cakap sepenuhnya, makai a harus diwakili orang tuanya
atau walinya, tetapi apabila mengenai perkara yang sedang diadili itu ia dianggap telah cukup
cakap untuk memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri, boleh ia menghadap
sendiri.

Raad van Jusitie (Pengadilan Tinggi), Jakarta dalam keputusannya tertanggal 16 Oktober 1908
menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk dapat dianggap “cakap menyatakan
kehendaknyasendiri(“mondigheid
a. Umur15tahun, b. Masak untuk hidup sebagai isteri (“geslachts rijp – heid”), c. Cakap untuk
melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.

Keputusan Raad van Justitie tersebut diatas menunjukan adanya pemakaian dua macam kriteria
yang tergabung menjadi satu, yakni kriteria Barat yaitu umur dan kriteria Adat yaitu kenyataan
ciri-ciritertentu.
Umur 15 tahun di ambil dari pasal 29 Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta cakap untuk
melakukan perbuatan-perbuatan sendiri diambil dari kriteria Adat. Keputusan Raad van Justitie
ini sudah barang tentu mempunya pengaruh terhadap perkembangan hukum Adat, .
Hal ini jelas sekali terlihat dalam gejala yang Nampak pada penetapan kriteria untuk deasa atau
cakap hukum dalam perkembangan Hukum Adat menuju menjadi Hukum Nasional, yaitu bahwa
kriteria umur, disamping status sudah kawin, lambat laun menjadi biasa dipakai tertentu.
Sebagai bukti terhadap mulai ditinggalkannya kriteria ciri-ciri tertentu serta mulai dipakainya
kriteria umur kiranya dapat disebut keputusan Mahkamah Agung tanggal 3 september 1958 Reg.
No. 316/K/Sip/1958 dalam mengadili tingkat kasasi perkara gugatan seorang anak kepada
bapaknya yang sementara itu sudah cerai dari ibunya, minta pembayaran biaya penghidupan dan
Pendidikan. Dalam konsiderans keputusan tersebut tercantum pertimbangan, bahwa oleh karena
si anak tersebut telah berumur 20 tahun, ia dipandang sudah dewasa, sehingga tuntutannya akan
pembiayaan biaya penghidupan dan Pendidikan tidaklah beralasan dan dengan demikian tuntutan
itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.

c. BADAN HUKUM SEBAGAI SUBYEKTUM YURIS

Di muka telah dijelaskan, bahwa dalam bentuk hukum adat sebagai badan-badan
hukum yang dapat pula bertindak sebagai subyek hukum adalah persekutuan (desa, nagari,
family, marga, dan lain sebagainya), perkumpulan-perkumpulanyang memiliki organisasi
yang tegas dan rapi mapalus, (Minahasa), jula-jula (Minangkabau), mohakka (Salayar),
subak/ wakaf.
Perlu mendapat pembahasan khusus adalah kiranya yang tersebut dua terakhir itu (wakaf dan
yayasan), sebab yang lain-lain telah mendapat sorotan cukup pada pembahasan acara-acara
yang lain di muka.

d. Wakaf

Ada pendapat yang mengaitkan perbuatan hukum yang menimbulkan wakaf itu dengan
tujuan-tujuan atau pun maksud-maksud religieus. Tetapi sesungguhnya dalam realita kita
dapat me-“wakaf”-kan tanah atau barang untuk tiap maksud asalkan tidak bertentangan
ataupun tidak dilarang oleh agama. Dalam adat yang sering terlihat adalah dua macam wakaf,
yaitu:
1. Mencadangkan suatu pekarangan atau sebidang tanah untuk masjid atau langar; bahkan
jika perlu disertai dengan tanah pertanian yang berada disekelilingnya guna memberi
kesempatan kepada para pejabat masjid/langar untuk memungut hasilnya guna mengongkosi
penghidupannya beserta keluarganya, dan juga disertai dengan buku-buku qur’an untuk
dipakai di masjid.

b . Menentukan sebagian dari harta-benda yang dimiliki sebagai benda yang tidak dapat
dijual demi kepentingan keturunannya yang berhak memungut hasilnya.

Lembaga hukum “wakaf” ini asalnya dari hukum islam. Oleh karenanya, maka
pelaksanaannya juga terikat oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh huum islam seperti berikut:
1. Yang membuat wakaf harus mempunyai hak penuh (menurut hukum adat) atas apa yang ingin
diwakafkan.
2 . Benda yang di wakaf kan harus ditunjuk dengan terang dan maksud serta tujuannya yang
tidak bertentangan/dilarang
3.Mereka yang memberikan wakaf harus disebut dengan terang.
Maksudnya yang menerima wakaf harus menerimanya (Kabul)
Mereka yang me-waakaf-kan dapat menunjuk seorang-orang untuk mengurus harta-benda yang
diwakafkan itu. Apabila orang yang dikuasakan itu tidak ada, maka khususnya di Jawa, kepala
masjid/langar melakukan pekerjaan itu karena jabatannya. Semua tindakan-tindakan yang wajib
dilakukan untuk mencapai tujuan wakaf, termasuk pula pelaksanaannya, adalah tugas daripada
penguasa wakaf.

e. Yayasan
Masyarakat membutuhkan juga suatu badan hukum yang tidak terikat oleh syarat-syarat
hukum Islam. Badan hukum yang demikian ini adalah “yayasan” dan koperasi.
Yayasan merupakan badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang social.
Yayasan demikian ini dapat dibentuk dengan akta pembentukan. Akhir-akhir ini dijumpai
pula yayasan-yayasan di kalangan masyarakat yang bergerak dibidang kematian, bidang
pemeliharaan anak yatim-piatu dan sebagainya.
f. Koperasi
Koperasi adalah perkumpulan dimana keluar-masuknya anggota diizinkan secara leluasa.
Tujuan koperasi adalah meningkatkan kesejahteraan para anggotanya secara gotong-
royong. Usaha lazimnya di bidang perekonomian. Koperasi yang di dirikan berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Undang-undang No. 79 tahun 1958 jo. Undang-
undang No. 14 tahun 1965 jo. Undang-undang No. 12 tahun 1967 adalah suatu badan
hukum. Dan pada pasal 2 Undang-undang No. 12 tahun 1967 tersebut ditegaskan bahwa
landasan-landasanberikut:
1. Landasan idiil adalah PANCASILA
2. Landasan structural adalah Undang-Undang Dasar 1945
3. Landasan geraknya adalah pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
4. Landasan mental adalah setiakawan dan kesadaran berpribadi.
BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai