Anda di halaman 1dari 9

PUTUSNYA PERKAWINAN MELALUI PENGADILAN DI DUNIA

ISLAM

PENDAHULUAN

Perceraian merupakan suatu permasalahan yang mendapat kajian


mendalam pada fiqih khususnya pada fiqih munakahat. Dalam kajian
tersebut permasalah perceraian mendapat porsi yang cukup besar, sebab
selain tentang tata cara perceraian juga mengatur tentang akibat dari
putusnya perkawinan tersebut. Akibat hukum yang timbul dari perceraian
merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami istri yang
bersepakat untuk memutuskan ikatan mereka.

Dalam makalah sederhana ini akan dijelaskan secara singkat


tentang putusnya perkawinan menurut perspektif fiqih dan hukum positif
yang berlaku di beberapa negara Islam dan tentunya di Indonesia sendiri.
Akan nampak perbandingan tentang ketentuan perceraian tersebut oleh
masing-masing negara, baik negara yang memberlakukan syari’at Islam
maupun negara yang memberlakukan hukum Islam terkhusus kepada
peraturan perkawinan di negara tersebut.

Semoga makalah sederhana ini dapat menjadi bahan bacaan yang


bermanfaat kepada pembaca makalah ini dan terkhusu kepada penulis
makalah ini. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
A. Pengertian Putusnya Perkawinan
1. Perceraian dan Pengembangan Makna Perceraian

Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara


resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak
menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi
hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi.
Secara etimologi perceraian berasal dari kata “cerai”. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia “cerai” merupakan kata kerja yang berarti pisah;
putus hubungan sebagai suami isteri; talak. Sedangkan perceraian berarti
perpisahan; perihal bercerai (antara suami isteri); perpecahan.1 Menurut
Subekti perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim,
atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. 2 Perceraian dalam
istilah fiqh juga sering disebut “furqah” yang artinya “bercerai”, yaitu
“lawan dari berkumpul.”3 Perceraian dalam istilah ahli figh
disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan membatalkan
perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul).
Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang
berarti perceraian antara suami-isteri.

Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni
arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala
macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan
oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau
perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak
dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia Kamus Besar Bahasa
Indonesia, h. 185
2
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), h.42.
3
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 103
Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada
yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang
dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.

Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan.


Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki.
Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang
bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas
Hukum Islam.

Menurut hukum Islam ada beberapa bentuk perceraian sebagai


berikut:

a. Talak
Kata talak berasal dari kata “ithlaq”. Sedangkan secara istilah
talak menurut Sayyid Sabiq adalah “melepaskan ikatan perkawinan”. 4
Menurut al Jaziry talak adalah:

‫الطالق ازالة النكاح او نقصان حله بلفظ خمصوص‬5


talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu
Talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini
terjadi dalam hal talak bai’n, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan
ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu,
yaitu terjadi dalam talak raj’i
Islam menentukan bahwa thalaq merupakan hak sepenuhnya yang
berada ditangan suami.Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik,
suami boleh menjatuhkan thalaq kepada isterinya kapan saja dan dimana saja.

4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, 2007), Juz. II, h. 577
5
Abdurrahman al Jaziry, Fiqh ala mazahib al Arba’ah, (Mesir : Maktabah Al Hijaiyyah
Al Kubra, 1969), juz IV, h. 249
Hal ini sesuai denagan Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah
kecuali al-Nasa'isebagai berikut:

‫عن أيب هري رة رض ي اهلل عن ه أن رس ول اهلل ص لى اهلل علي ه وس لم ق ال ثالث ج دهن ج د‬


)‫وهزهلن جد النكاح والطالق والرجعة (رواه األربعة إال النسائي وصححه احلاكم‬
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ada tiga
perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-singguh
dan main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalaq, dan rujuk "
(diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasa'I dan di-shahih-kan oleh
Hakim).6
Alasan yang menyebabkan suami mempunyai wewenang dalam
menjatuhkan thalaq kepada isterinya adalah karena suami diberi beban
membayar mahar dan menyelenggarakan nafkah isteri dan anak-anaknya.
Demikian pula suami diwajibkan menjamin nafkah bekas isterinya selama ia
menjalani masa 'iddah. Disamping itu suami pada umumnya tidak mudah
terpengaruh oleh emosi terhadap masalah yang dihadapinya dan senantiasa
mempertimbangkan segala persoalan melalui pikirannya. Berbeda dengan
wanita yang sangat mudah dipengaruhi emosi dalam menghadapi berbagai
kemelut, termasuk kemelut Rumah Tangga. Oleh karena itu jika hak thalaq
diberikan kepada isteri maka keutuhan rumah tangga akan sering goyah.
Disebabkan karena masalah kecil saja dapat  menyebabkan isteri menjatuhkan
thalaq-nya, sesuai dengan tuntutan emosi mereka.

b. Khulu’

Khulu’ berasal dari kata “khala’ al-tsaub” yang berarti melepaskan


atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian
bagi laki-laki, dan juga sebaliknya.7 Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian
dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah
dengan kesediaan isteri membayar uang ‘iwadh atau uang pengganti kepada
suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’. Bila terjadi cerai
6
Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min
Adillah al-Ahkam, pdf. h. 15
7
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h.
112
dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada
isterinya. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang
disyaratkan suami.

Untuk maksud yang sama dengan kata khulu’ itu, ulama menggunakan
beberapa kata, yaitu fidyah, shulh,dan mubaraah. Walaupun dalam makna
yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang
digunakan. Apabila ganti rugi untuk putusnya perkawinan itu adalah seluruh
mahar yang diberikan waktu nikah disebut khulu’. Bila ganti rugi adalah
separuh dari mahar disebut shulh, bila ganti rugi itu lebi banyak dari mahar
yang diterima disebut fidyah dan bila isteri bebas dari ganti rugi disebut
mubaraah.8

Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan thalaq ba’in.


Maka bila suami telah melakukan khulu’terhadap isteri, suami tidak berhak
untuk ruju’ kembali kepada isteri sekalipun isteri rela menerima kembali uang
iwadh yang telah dibayarkannya. Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya
tersebut ruju’ kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah kembali
dengan melengkapi rukun dan syaratnya.

c. Fasakh

Fasakh menurut bahasa berarti membatalkan. Apabila dihubungkan


dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusakkan
perkawinan. Kemudian secara terminologi fasakh bermakna pembatalan ikatan
pernikahann oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami
yang dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah
terlanjur menyalahi hukum pernikahan.9
Thalaq adalah hak suami, khulu’ merupakan hak isteri, sementara
fasakh merupakan hak bagi keduanya. Bila sebab fasakh ada pada isteri, maka
hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya. Fasakh biasanya
timbul apabila pihak suami atau isteri merasa dirugikan oleh pasangannya itu,
8
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqh dan Hukum Positif),
(Yoqyakarta: UII Pers, 2011), h. 105-106
9
Ibid., h. 141
merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai yang ditentukan agama sebagai
seorang suami atau isteri. Akibatnya salah seorang dari keduanya tidak lagi
sanggup melanjutkan perkawinan karena keharmonisan rumah tangga tidak
lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini
perlu ditempuh. Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga isteri,
namun dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan
oleh isteri. Barangkali karena suami lebih banyak menggunakan hak thalaq
yang ditentukan agama.
Adapun yang menjadi faktor-faktor penyebab fasakh adalah sebagai
berikut:
1) Syiqaq. Yakni pertengkaran antara suami isteri yang tidak mungkin
didamaikan.
2) Fasakh karena cacat. Cacat di sini adalah cacat yang terdapat pada diri
suami atau isteri, baik cacat jasmani atau rohani. Cacat tersebut mungkin
terjadi sebelum perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau
cacat yang berlaku setelah terjadi perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya
itu setelah suami isteri bergaul. Fasakh karena cacat ini dilakukan di
lakukan di hadapan hakim Pengadilan dan tidak dapat dilakukan sendiri
setelah pihak-pihak mengetahui adanya cacat tersebut. Hal ini karena cacat
itu harus dibuktikan, yang mana hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan.
3) Fasakh karena ketidakmampuan suami memberi nafkah. Fasakh dalam hal
ini terjadi karena suami tidak mampu menunaikan kewajiban berupa nafkah
dalam berupa nafkah dalam bentuk belanja, pakaian, dan tempat tinggal.
4) Fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan. Termasuk karena
dalam hal ini adalah perjanjian untuk tidak dimadu dan ta’liq thalaq.10
Adapun yang dimaksud dengan pengembangan makna perceraian,
dalam hal ini penulis memahami bahwa pengembangan itu terletak pada
prosesnya. Yaitu perceraian harus melalui pengadilan. Hal ini merupakan
bentuk dari pembaharuan hukum keluarga pada abad ke 20. Proses

10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII, 1980), h. 78
penyesuaian hukum dilakukan terhadap hukum keluarga ini berbeda dengan
proses yang terjadi sebelumnya dalam bidang lain dari hukum Islam itu
sendiri. Pembaharuan ditandai tidak saja oleh penggantian hukum Islam
dengan hukum Barat, tetapi juga oleh perubahan dalam hukum Islam itu
sendiri yang didasarkan atas penafsiran kembali terhadap tradisi hukum Islam
sesuai dengan perkembangan penalaran dan pengamalannya. Dengan cara
inilah hukum keluarga Islam yang berlaku sejak dari Afrika Utara sampai ke
Asia tenggara mengalami perubahan.

B. Macam-macam Talak

o Talak raj’i adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya


pada waktu iddah. Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang
tidak disertai uang ‘iwald dari pihak isteri.
o Talak ba’in, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang
‘iwald dari pihak isteri, talak ba’in sperti ini disebut talak ba’in
kecil. Pada talak ba’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali
isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas
isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan
melaksanakan akad-nikah. Di samping talak ba’in kecil, ada
talak ba’in besar, ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah
dijatuhkan oleh suami. Talak ba’in besar ini mengakibatkan si
suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya baik
dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis. Seorang
suami yang mentalak ba’in besar isterinya boleh mengawini
isterinya kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
· Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.
· Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
· Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.
· Talah habis masa ‘iddahnya.
o Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-
Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak
yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum
dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil.
Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami dalah halal.
o Talak bid’i, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti
ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bid’i
dalah haram. Yang termasuk talak bid’i ialah:
· Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau
datang bulan.
· Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci
tetapi telah dicampuri.
· Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau
mentalak isterinya untuk selama-lamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai