Anda di halaman 1dari 16

TEORI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Oleh : Ahmad Faisal


A. Pendahuluan
Sejak zaman kedatangan Islam di Indonesia, Islam selalu
menjadi pembahasan yang tidak pernah berakhir di antara para
pemikir, baik pemikir Islam ataupun pemikir barat dengan
berbagai tujuan, baik demi kepentingan ilmu pengetahuan
ataupun

demi

kepentingan

kekuasaan.

Berbagai

teori

penerimaan hukum Islam di Indonesia muncul dengan berbagai


kepentingannya. Teori teori yang muncul sekaligus juga jadi
sejarah bagaimana hukum Islam menjadi bagian dari hukum
yang ditaati di Indonesia. Dengan teori yang timbul dapat dilihat
bagaimana aksi-aksi di masyarakat merupakan rekasi yang
timbul atas kehadiran hukum Islam dan bagaimana konsep
teoritis hukum Islam diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
Teori hukum Islam di Indonesia penting untuk dibahas
karena umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Sehingga
dengan mengetahui teori hukum Islam di Indonesia, kita dapat
mengetahui

urgensi

hukum

Islam

bagi

masyarakat

Islam

Indonesia. Dalam makalah ini dibahas mengenai jenis-jenis teori


hukum Islam di Indonesia.
B. Teori Hukum Islam Di Indonesia
Teori hukum menurut Arief Sidharta secara umum dapat
diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif
interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai
aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam
pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh
pemahaman

yang

lebih

baik

dan

memberikan

penjelasan

sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan


kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya

adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi


analisis

bahan

hukum,

metode

dalam

hukum

dan

kritik

ideologikal terhadap hukum.1


Seperti yang dikatakan Radbruch, yang dikutip Satjipto
Rahardjo, tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai oleh
postulat-postulat hukum sampai kepada penjelasan filosofis yang
tertinggi. Teori hukum akan mempertanyakan hal-hal seperti:
mengapa hukum berlaku, apa dasar kekuatan yang mengikatnya,
apa yang menjadi tujuan hukum, bagaimana hukum dipahami,
apa hubungannya dengan individu dengan masyarakat, apa yang
seharusnya dilakukan oleh hukum, apakah keadilan itu, dan
bagaimana hukum yang adil.2
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia
adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam
internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut
sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam
satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat
menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam
di

tengah-tengah

komunitas

Islam

terbesar

di

dunia

itu.

Pertanyaan-pertanyaan menarik akan timbul, seperti : Seberapa


jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu
terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air, mengapa rakyat
Indonesia

menerima

hukum

Islam,

bagaimana

praktek

pelaksanaan hukum Islam, dan lain-lain.


Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka
dalam perkembangannya terdapat beberapa teori-teori yang
1 Arif Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Jakarta: Mandar Maju,
2000), h.122.

2 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 2000), h. 254.

mencul. Teori-teori yang dikemukakan para ahli hukum mencoba


mengungkapkan jawaban-jawaban mendasar tersebut, sehingga
diketahui bagaimana konsep hukum Islam itu difahami dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Apalagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hukum adat
berpengaruh sangat besar, bahkan telah ada sejak ribuan tahun
sebelum kedatangan hukum Islam.
1. Penerimaan hukum Islam secara penuh (Teori Receptio in
Complexu)
Penerimaan hukum Islam secara penuh
complexu)

adalah

dimana

hukum

Islam

(Receptio in
diberlakukan

sepenuhnya oleh orang-orang Islam sebagai pegangan dalam


kehidupan beragama. Sebelum Belanda datang ke Indonesia,
kehidupan beragama. Sebelum Belanda datang ke Indonesia,
hukum Islam telah banyak juga didirikan lembaga-lembaga
peradilan agama dengan berbagai nama yang ada. Lembagalembaga peradilan agama ini didirikan di tengah-tengah
kerajaan atau kesultanan dalam rangka membantu dalam
penyelesaian maalah-masalah yang ada hubungannya dengan
hukum Islam, dimana waktu itu hukum perkawinan dan hukum
kewarisan Islam telah menjadi hukum yang hidup dan berlaku
di Indonesia. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau Badan
Peradilan Agama telah secara tetap dan mantap dapat
menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan kewarisan
orang-orang Islam.3
Walaupun bangsa Belanda mulai menguasai sebagian
wilayah nusantara di Indonesia, akan tetapi hukum Islam
(Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan) tetap berjalan dan
diakui oleh Bangsa Belanda, bahkan oleh Belanda dibuatlah
3 Sayuti Thalib, Receptio A Contrario (Jakarta : Bina Aksara, 1980), h.
15-17.

berbagai kumpulan hukum sebagai pedoman bagi para pejabat


dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum rakyat pribumi.
Sehingga tidaklah heran kalau mereka tetap mengakui dan
melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam
melalui peraturan "Resulitie Der Indersche Regeering", tanggal
25 Mei 1970, yang merupakan kumpulan aturan hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam oleh pengadilan
Belanda, yang terkenal sebagai Compedium Freijher. Dengan
demikian nyatalah bahwa posisi hukum Islam pada saat itu
sangat kuat dan berlangsung kira-kira mulai tahun 1602
sampai 1800.4 Adapun setelah pemerintah Hindia Belanda
benar-benar menguasai wilayah nusantara, hukum Islam mulai
mengalami pergeseran. Secara berangsur-angsur posisi hukum
Islam mulai lemah.
Pada abad ke-19 terjadi gerakan dikalangan banyak
orang

Belanda

yang

berusaha

menghilangkan

pengaruh

hukum Islam, dengan jalan antara lain adanya kristenisasi.


Karena kalau berhasil menarik banyak penduduk pribumi untuk
masuk

agama

Kristen,

akan

sangat

menguntungkan

kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Dengan asumsi bahwa


yang

telah

menganut

agama

Kristen

akan

menjadi

warganegara yang loyal dan patuh kepada pemerintah Kolonial


Belanda.5 Kemudian pada tahun 1882 dibentuklah pengadilan
agama di tempat-tempat yang terdapat pengadilan negeri,
yakni Pengadilan Agama berkompeten menyelesaikan perkaraperkata dikalangan umat Islam yang menyangkut hukum
4 Arso Sosroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h. 11-12
5 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta :
LP3ES, 1985), h. 183

perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Sehingga dengan


demikian hukum Islam mendapat pengakuan resmi dan
pengukuhan
pengadilan

dari

pemerintah

agama

tahun

Belanda

1882

itu.

sejak

didirikannya

Sedangkan

dalam

penelitian yang dilakukan oleh Lodewijk Willen Christiaan Van


Den

Breg

(1845-1927)

yang

tinggal

di

Indonesia

menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia pada hakekatnya


telah menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum
yang mereka sadari, bagi orang Islam berlaku penuh hukum
Islam, sebab mereka telah memeluk agama Islam walaupun
dalam prakteknya terjadi penyimpangan-penyimpangan. Oleh
karena itu muncullah teori yang dikenal dengan "Theorie
Receptie In Complexu".6
Teori Receptie In Complexu ini merupakan kelanjutan
dari teori yang ditegaskan oleh HAR Gibb bahwa " orang Islam
kalau telah menerima Islam sebagai agamanya maka ia
menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Pernyataan
ini diangkat sebagai

teori "Otoritas Hukum". Menurut Gibb;

orang-orang yang terikat dengan hukum itu harus bersedia


mengakui otoritas nya dan mengakui bahwa hukum mengikat
mereka.7 Dengan demikian penerimaan hukum Islam pun
terikat dengan syarat penerimaan agama Islam, karena
merupakan

kewajiban

lanjutan

setelah

seorang

menjadi

muslim. Menerima Islam sebagai agama mereka, para anggota


6 H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan
Pembentukan, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991), h.117-120.
7 Harun, Perkembangan Hukum Islam Dalam Konfigurasi Politik Di
Indonesia (Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Surakarta, SUHUF, Vol. 21, No. 2, Nopember 2009), h.
158.

kelompok-kelompok masyarakat tersebut secara prinsipil juga


mengakui otoritas hukum Islam.
Teori "Otoritas Hukum Islam" yang dikembangkan Gibb,
berangkat dari kenyataan sosial dengan melihat masyarakat
muslim yang tunduk dan patuh kepada ajaran agamanya,
hukum sebagai salah satu inti ajaran Islam yang merupakan
perintah Allah Swt, sebagai pencipta hukumnya. Melalui
RasulNya Muhammad saw, Hukum itu ditata dengan tujuan
untuk mendapatkan kemashalahatan dunia dan akhirat bagi
orang yang mentaati nya. Otoritas hukum Islam, merupakan
pentaatan Allah Swt sebagai wujud ketaqwaan. Taat kepada
Allah dan Rasul sebagai sumber syari'ah merupakan perintah
Allah Swt, dalam Al-Qur'an.
Dengan demikian teori Receptio in Complexu dan teori
Otoritas Hukum merupakan bahagian dan petunjuk al-Quran
dan Sunnah terhadap umat Islam di manapun mereka berada.
Pentaatan hukum Islam bagi seorang muslim merupakan
bentuk ta 'abbud kepada Allah Swt, karena bila mereka
mengingkari

hukum

Islam,

maka

orang

tersebut

dikelompokkan sebagai orang kafir, orang dzalim dan orang


fasiq. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 208 :



Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkahlangkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.8
8 QS. Al-Baqarah (2): 208

2. Penerimaan hukum Islam oleh hukum adat (teori Receptie)


Penerimaan hukum Islam oleh hukum adat. yang dikenal
dengan teori

Receptie adalah periode dimana hukum Islam

baru diberlakukan apabila dikehendaki atau diterima oleh


hukum adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini
menentang teori yang sebelumnya, yaitu teori Receptie In
Complexu.

Teori

ini

dikemukakan

oleh

Christian

Snouck

Hurgranje (1857-1936). Seorang penasehat pemerintah Hindia


Belanda dalam Urusan Islam dan Bumi Putera. Menurut Snouck
hukum Islam dapat diterapkan jika telah menjadi bagian dari
hukum adat. Bagi Snouck sikap pemerintah Hindia Belanda
sebelumnya menerima teori Receptie In Compexu bersumber
dari ketidaktahuannya terhadap situasi masyarakat pribumi,
khususnya masyarakat muslim. la berpendapat bahwa sikap
terhadap umat Islam selama ini merugikan pemerintah jajaran
sendiri, disamping itu Snock berharap situasi agar orang-orang
pribumi rakyat pada umumnya rakyat jajahan jangan sampai
kuat memegang agama Islam, sebab pada umumnya orang
yang kuat memegang agama Islam (Hukum Islam) tidak
mudah mempengaruhi orang peradapan Barat.
Sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda, Snouck
memberikan nasehat yang terkenal dengan sebutan "Islam
Policy". Beliau merumuskan nasehatnya pada pemerintah
Belanda dalam mengurus umat Islam di Indonesia dengan
usaha

menarik rakyat peibumi agar lebih mendekat kepada

kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. Nasehat ini


berintikan bahwa masalah yang menyangkut ibadah umat
Islam harus diberikan kebebasan sepenuhnya, dengan harapan
dalam lapangan kemasyarakatan pemerintah Hindia Belanda
harus menghormati adanya adat istiadat dan kebiasaan rakyat

yang berlaku, dengan cara mengalakkan agar mendekati


pemerintah

Hindia

ketatanegaraan,

Belanda.

pemerintah

Sedangkan
Hindia

dalam

Belanda

lapangan

tidak

boleh

memberikan kesempatan, dan harus mencegah hal-hal yang


bisa membantu adanya gerakan Pan Islamisme.9
Kemudian teori resepsi ini oleh Snouck diberi dasar
hukum dalam Undang-Undang Dasar Hindia Belanda yang
menjadi pengganti RR yang disebut Wet Op De Staat
Snrichting Van Nederlands Indie, yang disingkat Indische Staat
Regeering (IS) yang diundangkan pada tahun 1929. lebih lanjut
disebutkan pada pasal 134 ayat 2, yang berbunyi "Dalam hal
terjadi

perkara

perdata

antara

sesama

orang

Islam

diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat


mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain
dengan

suatu

ordonansi".

Tetapi

pada

kenyataannya,

kebijaksanaan pemerintah Belanda ini sebenarnya justru ingin


meruntuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam,
diantaranya

dengan

cara;

Mereka

sama

sekali

tidak

memasukkan hukuman hudud dan qisas dalam lapangan


hukum

pidana,

perkawinan

dan

ajaran

Islam

kewarisan

yang

mulai

menyangkut
dipersempit

hukum

dan

lain

sebagainya.10
Hukum Islam yang bersumber dari Al-quran dan hadits
hanya sebagian kecil yang mampu dilaksanakan oleh orang
Islam di Indonesia. Hukum pidana Islam yang bersumber dari
Al-Quran dan hadits tidak mempunya tempat eksekusi bila
9 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta : LP3ES, 1985),
h. 12.
10 Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional ( Jakarta :
Universitas Muhammadiyah, 1987) h. 5-6.

hukum yang dimaksud tidak diundangkan di Indonesia. Oleh


karena itu, hukum pidana Islam belum pernah berlaku kepada
pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak
merdeka sampai saat ini. Selain itu, hukum Islam baru dapat
berlaku bagi pemeluknya secara yuridis formal bila telah
diundangkan di Indonesia. Teori ini berlaku hingga tiba di
zaman kemerdekaan Indonesia.
Pandangan ini sebagai Teori berangkat dari keinginan
Snouck Horgronje, untuk jangan sampai orang pribumi rakyat
jajahan kuat memegang Islam, sebab pada umumnya muslim
yang fanatik, tidak mudah dipengaruhi oleh hukum dan
peradaban Barat. Inilah awal komplik antara hukum Islam
dengan hukum adat, hal ini ditempuh demi kelangsungan
kolonial di Indonesia. Namun demikian, kenyataannya politik
untuk menghapus hukum Islam di Indonesia tidak berhasil
sepenuhnya, karena disamping adanya perlawanan dari para
penghulu agama, juga dari masyarakat Islam itu sendiri.
hingga akhir penjajahan Belanda Hukum Islam "tetap eksis" di
bumi Nusantara, meskipun dalam bentuk parsial, namun
lembaga Peradilan tetap berjalan di berbagai daerah wilayah
Nusantara Islam Pasca Kolonial.
Peranan hukum Islam dalam tata hukum Republik
Indonesia mulai baik kembali yakni pada saat terbentuknya
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), dimana pemimpin-pemimpin Islam memperjuangkan
berlakunya kembali hukum Islam dengan kekuatan hukum
Islam sendiri tanpa adanya hubungan dengan hukum adat. 11
Panitia sembilan dari BPUPKI berhasil mencetuskan satu
11 Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun : Indonesian Islam
Under The Japanese Accupation 1942-1945 (Bandung : W. Van Hoeve,
1958), h. 89.

rumusan untuk Preambule UUD yang kemudian disebut


dengan nama "Piagam Jakarta" tanggal 22 Juni 1945. Di
dalamnya berisi dasar-dasar falsafah negara yang antara lain
berdasarkan pada "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".12
Dengan

pertimbangan

untuk

mewujudkan

kesatuan

bangsa Indonesia dan menghindari terjadinya diskriminasi


hukum

yang

berlaku,

akhirnya

rumusan

ini

mengalami

perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945, yakni sehari setelah


Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Perubahan itu berbunyi
"Ketuhanan Yang Maha Esa", rumusan ini oleh Moh. Hatta
dijelaskan bahwa walaupun bunyi berbeda namun isinya tidak
berubah, jiwa Piagam Jakarta masih tetap meskipun tanpa
dinyatakan secara jelas.13
3. Teori Receptio A Contrario atau Teori Receptie Exit
Teori ini oleh Hazairin dan Sayuti Thalib sebagai pematah
teori receptie. Dikatakan sebagai pematah, karena teori ini
menyatakan pendapat yang sama sekali berlawanan arah
dengan teori receptie Christian Hurgronje. Pada teori ini justru
hukum adat-lah yang berada di bawah hukum Islam dan harus
sejiwa dengan hukum Islam, sehingga hukum adat baru dapat
berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam. Sayuti Thalib
menyatakan bahwa dalam hukum perkawinan dan kewarisan
bagi umat Islam berlaku hukum Islam. Hal ini sesuai dengan
keyakinan, cita-cita hukum, dan cita-cita moralnya, yakni teori
ini mengemukakan bahwa hukum adat bisa berlaku bagi orang
12 Notonegoro, Pembukaan UUD 1945 (Jogjakarta : Tnp, 1956), h. 33.
13 Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Jakarta : Tnp,
1969), hlm. 59.

Islam Manakala tidak bertentangan dengan hukum Islam.


Dengan demikian jelaslah bahwa teori Receptio A Contrario
merupakan kebalikan dari teori receptie.14 Teori ini merupakan
pengembangan

teori

receptie

exit

yang

sebelumnya

dicetuskan oleh Prof. Hazairin.


Dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit
Presiden tanggal 05 Juli 1959, Piagam Jakarta atau penerimaan
hukum Islam telah menjadi

Authoritative-Source

(Sumber

Otoritatif) dalam hukum tata negara Indonesia, bukan lagi


sekedar sumber persuasif belaka. Lebih lanjut Prof. Mahadi
mengemukakan kata-kata "Kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya" mempunyai dua aspek.
Pertama, aspek individual, yaitu bahwa setiap orang Islam
wajib menjalankan syariat Islam. Kedua, aspek kenegaraan
mempunyai dua segi, yaitu segi aktif dan segi pasif. Segi pasif
mengandung pengertian bahwa negara atau pemerintah
hendaknya membiatkan umat Islam menjalankan syariat
Islam, sepanjang hal itu dapat diserasikan dengan Pancasila,
khususnya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban dalam
kehidupan

beragama.

Sedangkan

segi

aktif

berarti

mengharuskan negara atau pemerintah beraktifitas, bergerak


dan bertindak dalam bentuk; memberi fasilitas, memberi
bantuan, membuat peraturan-peraturan yang diperlukan dan
lain-lain demi umat Islam dalam menjalankan syariat Islam.15
Sebagaimana diketahui, bahwa Piagam Jakarta semula
merupakan pembukaan dari Rancangan UUD 1945 yang dibuat
14 Thalib, Receptio, h. 65
15 Mahadi, Pengaruh Piagam Jakarta Terhadap Pelaksanaan
Perkawinan, dalam Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, No.
3 Tahun II (Maret 1969), h. 37.

oleh BPUPKI. Kemudian dalam konsiderans Dekrit Presiden


ditetapkan, "Bahwa kami berkeyakinban bahwa Piagam Jakarta
tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan
suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi. Begitu juga
konsideran dan penjelasan peraturan perundangan adalah
bagian integral dari suatu peraturan perundang-undangan.16
Dalam Dekrit Presiden 05 Juli 1959 itu selain ditetapkan
Piagam Jakarta dalam konsiderans, dalam diktum ditetapkan
pula "Penetapan UUD 1945 berlaku lagi". Oleh karenanya
Presiden Republik Indonesia berkeyakinan bahwa Piagam
Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian
kesatuan dalam konstitusi. Sedangkan maksud dari kata
"Menjiwai" secara negatif berarti bahwa tidak boleh dibuat
peraturan

perundangan

dalam

negara

Indonesia

yang

bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.


Dan secara positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk Islam
diwajibkan menjalankan syariat Islam. Untuk itu harus dibuat
undang-undang yang akan memberlakukan hukum Islam
dalam hukum nasional.17
4. Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A
yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya
dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang
adanya hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini
mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah
satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut;
16 Suny, Hukum, h. 77.
17 Ibid

a. merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia.


b. keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui
oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum
nasional
c. norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai
penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan
d. sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional
Indonesia.18
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan
dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan
hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan
pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan puasa,
zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya
besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa
Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis
antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi
suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya
diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.19

18 Teori Eksistensi ini adalah hasil pemikiran Ichtijanto yang ditulis


dalam sebuah judul: Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia, salah satu subjudulnya: Hukum Islam Ada dalam Hukum
Nasional (Teori Eksistensi). Lihat, Cik Hasan Bisri, Hukum Islam di
Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan ( Bandung: Rosda Karya,
1991), h. 137.
19 A. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam
dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia Edisi: I (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006), h. 89.

Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini


nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum
merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada
nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional.
Dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa hukum Islam
ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber
hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional
dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara
tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundangundangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah
haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga
dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada
karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui
acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti Isra Miraj,
Nuzunul Quran, dan maulid Nabi Muhammad.
C. Penutup
Teori hukum adalah menganalisis berbagai aspek gejala
hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik
dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan
praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang
bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan
masyarakat.

Ada

beberapa

teori

yang

muncul

tentang

penerimaan hukum Islam di Indonesia, yaitu : Penerimaan hukum


Islam secara penuh (Teori Receptio in Complexu), Penerimaan
hukum Islam oleh hukum adat (teori Receptie), Teori Receptio A
Contrario atau Teori Receptie Exit dan Teori Eksistensi.

DAFTAR PUSTAKA
A, Ichtijanto S. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum
Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia,
Perkembangan dan Pembentukan. Remaja Rosdakarya, Bandung.
1991.
Benda, Harry J. The Crescent and The Rising Sun :
Indonesian Islam Under The Japanese Accupation 1942-1945.
Bandung : W. Van Hoeve. 1958.
Bisri, Cik Hasan. Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan
dan Pembentukan. Bandung: Rosda Karya, 1991.
Hatta, Moh. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta :
Tnp. 1969.
Harun. Perkembangan Hukum Islam Dalam Konfigurasi
Politik Di Indonesia. Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Surakarta, SUHUF, Vol. 21, No. 2, Nopember
2009.
Mahadi. Pengaruh Piagam Jakarta Terhadap Pelaksanaan
Perkawinan, dalam Majalah Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional, No. 3 Tahun II Maret 1969.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 19001942. Jakarta : LP3ES. 1985.
Notonegoro. Pembukaan UUD 1945 . Jogjakarta : Tnp, 1956.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. 2000.
Rosyadi, A. Rahmat, dan H. M. Rais Ahmad. Formalisasi
Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia Edisi: I.
Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.

Sidharta, Arif. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum.


Jakarta: Mandar Maju.2000.
Sosroatmodjo, Arso dan H.A. Wasit Aulawi. Hukum
Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang. 1976.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES,
1985.
Suny, Ismail. Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Jakarta :
Universitas Muhammadiyah. 1987.
Thalib, Sayuti. Receptio A Contrario. Jakarta : Bina Aksara.
1980.

Anda mungkin juga menyukai