Anda di halaman 1dari 12

1

DAYA SERAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA PADA


BIDANG IBADAH

Makalah Revisi
Dipersentasekan dalam Forum Seminar Kelas pada Mata Kuliah
Hukum Islam di Indonesia Konsentrasi Hukum Islam
Program Doktor (S3) Pascasarjana
UIN Alauddin Makassar
Oleh:
AKRAMA HATTA

NIM: 80100315054
Dosen Pemandu:
Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag.
Dr. Kurniati, M.H.I.

PASCASARJANA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR


2016

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum yang didasarkan pada
wahyu Allah swt. danSunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang
sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi
semua pemeluk agama Islam.1
Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari
al-fiqh al-islm atau dalam konteks tertentu dari al-syarahal-islmiyyah. Dalam
wacana ahli hukum Barat istilah ini disebut Islamic Law.
Penyebutan hukum Islam sering dimaknai sebagai terjemahan dari syariat
Islam atau fikih Islam. Apabila syariat Islam diterjemahkan sebagai hukum Islam
(hukum inabstracto), berarti syariat Islam yang dipahami dalam makna yang sempit.
Kajian syariat Islam meliputi aspek i'tiqdiyyah, khuluqiyyah dan amlal-syarah.
Sebaliknya bila hukum Islam merupakan terjemahan dari fikih Islam, maka hukum
Islam termasuk bidang kajian ijtihad yang bersifat ann.
Pada dimensi lain penyebutan hukum Islam selalu dihubungankan dengan
legalitas formal suatu negara, baik yang telah terdapat di dalam kitab-kitab fikih
maupun yang belum. Jika demikian adanya, kedudukan fikih Islam bukan lagi
sebagai hukum Islam inabstracto (pada tataran fatwa atau doktrin) melainkan sudah
menjadi hukum Islam inconcreto (pada tataran aplikasi atau pembumian). Hukum
Islam secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif, yang berarti
bahwa aturan yang mengikat dalam suatu negara.
1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 11.

Pakar hukum tatanegara Yusril Izza Mahaendra mengatakan bahwa hukum


Islam di Indonesia sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal
dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini utamanya hukum Islam
dibidang ibadah.2 Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis berusaha memaparkan
mengenai daya serap hukum Islam dalam bidang ibadah.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka pokok masalah
dalam makalah ini adalah bagaimana daya serap hukum Islam di Indonesia pada
bidang ibadah?Dengan sub masalah sebagai berikut;
1. Bagaimana kedudukan ibadah dalam Hukum Islam?
2. Sejauh mana penerapan ibadah sebagai Hukum Islam di Indonesia?

2Yusril Ihza Mahendra, Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap


Hukum Nasional Indonesia,
http://yusril.ihzamahendra.com/2007/12/05/hukum-islam-danpengaruhnya-terhadap-hukum-nasional-indonesia.html (17 Mei
2016).

II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Ibadah dalam Hukum Islam
Secara etimologi kata ibadah berasal dari bahasa Arab yaitu al-bdah, yang
merupakan masdr
dari kata kerja abada - yabudu yang berarti perendahan diri,

ketundukan dan kepatuhan.3Sedang secara terminologi ibadah diartikan dengan


perbuatan orang mukallaf (dewasa) yang tidak didasari hawa nafsunya dalam rangka
mengagungkan Tuhannya.4
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa ibadah adalah suatu istilah yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridai-Nya, baik berupa perkataan
maupun perbuatan, yang tersembunyi maupun yang nampak. 5 Sementara itu, Hasbi
ash-Shiddieqy mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dikerjakan untuk
mencapai keridaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat.Inilah definisi yang
dikemukakan oleh ulama fikih. Dari makna ini, jelaslah bahwa ibadah mencakup
semua aktivitas manusia baik perkataan maupun perbuatan yang didasari dengan niat
ikhlas untuk mencapai keridaan Allah dan mengharap pahala di akhirat kelak.6
Hakikat ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena
hati merasakan cinta pada yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya,
karena meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang hakikatnya tidak
3Ibrm Muaf dkk, Al-Mujam Al-Was (Istanbul: Al-Maktabah alIslamiyyah, t.th), h. 579.
4Al Ibn Muammad Al-Jarjn, Kitb al-tarft (Bairut: Dr al-kutub
al-ilmiyyah 1988), h. 55.
5Ibnu Taimiyah, Al Ubdiyah (Beirut: Maktabah dr al-balg, t.th)
h.6.
6Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra 2000), h. 70.

diketahui oleh akal. Pendapat lain menyatakan, hakikat ibadah adalah menghambakan
jiwa dan menundukkannya kepada kekuasaan yang gaib yang tidak dijangkau ilmu
dan tidak diketahui hakikatnya. Sedang menurut Ibnu Kar, hakikat ibadah adalah
suatu ungkapan yang menghimpun kesempurnaan cerita, tunduk dan takut.7
Dalam kaitannya dengan hukum Islam, Ibadah adalah bagian penting dari
hukum Islam.Abdu al-Wahhb Khallf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukumhukumitiqdiyyah (keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukumhukum amaliyyah (aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum
amaliyyahinilah yang identik dengan hukum Islam. Lalu selanjutnya Abdu alWahhb Khallf membagi hukum-hukum amaliyyah menjadi dua, yaitu hukumhukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukumhukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.8
Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam, yaitu ibadah mah d ah
(ibadah khusus) dan ibadah gairumah dah(ibadah
umum).9 Ibadah khusus adalah

ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan
ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu, pelaksanaan
ibadah sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasul. Allah dan RasulNya telah menetapkan pedoman atau cara yang harus ditaati dalam beribadah, tidak
boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Penambahan atau pengurangan dari
ketentuan-ketentuan ibadah yang ada dinamakan bidah dan berakibat batalnya
ibadah yang dilakukan.

7Ibnu Kar, Tafsr al-Qurn al-Am (Beirut: Dr aibah, t.th)h.11


8Abdu al-Wahb Khalf, Ilmu Usul al-Fiqh, (Kairo: Dr al-ad, 2003),
h. 23.
9Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, h. 73.

Contoh ibadah khusus ini adalah salat (termasuk di dalamnya tahrah),


zakat,

puasa dan haji.Inilah makna ibadah yang sebenarnya yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya.
Adapun ibadah gairumah d ah(ibadah umum) adalah ibadah yang tata cara
pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. Ibadah umum ini
tidak menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi justru berupa hubungan
antara manusia dengan manusia atau dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Bentuk
ibadah inibersifat sangat umum, berupa semua aktivitas kaum Muslimin (baik
perkataan maupun perbuatan) yang halal (tidak dilarang) dan didasari dengan niat
karena Allah (mencari rida Allah). Jadi, sebenarnya ibadah umum itu berupa
muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan mencari rida Allah.
Para ulama ada juga yang membagi ibadah menjadi lima macam, yaitu:
1. ibdahbadaniyyah, seperti salat,
2. ibdahmliyyah, seperti zakat,
3. ibdahijtimiyyah, seperti haji,
4. ibdahijbiyyah, seperti tawaf,
5. ibdahsalbyyah, seperti meninggalkan segala yang diharamkan dalam masa
berihram.10
Tentu masih banyak tinjauan ibadah dari ulama lain berdasarkan sudut
pandang yang berbeda-beda, namun tidak akan menghilangkan ruhnya, yaitu bahwa
ibadah merupakan suatu ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya dengan
didukung oleh keikhlasan atau ketulusan hati.

B. Penerapan Ibadah Sebagai Hukum Islam di Indonesia


10Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, h.77.

Hukum Islam di Indonesia menurut Yusril Inza Mahendra adalah hukum yang
hidup, berkembang, dikenal dan ditaati oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
Salah satu indikator hidupnya hukum Islam menurut beliau ialah munculnya banyak
pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui berbagai media tentang hukum
Islam. Sebagai respon dari antusias masyarakat maka beberapa ulama telah menulis
buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam.
Secara kelompok atau organisasi keislaman juga telah menerbitkan buku-buku
himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam seperti alah km al-fuqah dari kaum Nahd iyin, dan himpunan putusan tarjih oleh warga
Muhammadiyah dan sebagainya.11
1. Pada Masa Kerajaan Islam
Pemberlakuan hukum Islam pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
berjalan dengan baik, mencakup semua aspek dan ruang lingkup hukum Islam, tanpa
membedakan antara bidang-bidang ibadah, ruang privat maupun ruang publik. Upaya
untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, nampak mendapat dukungan yang besar
dari para ulama dan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan.
Jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam pada masa lalu
dapatditemukan di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa ,Tallo, Buton, Bima,
Banjar, Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan
Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang
begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama.
11Yusril Ihza Mahendra, Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap
Hukum Nasional Indonesia,
http://yusril.ihzamahendra.com/2007/12/05/hukum-islam-danpengaruhnya-terhadap-hukum-nasional-indonesia.html (17 Mei
2016).

Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif
yang berlaku di wilayahnya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota
negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara
mereka.
2. Pada Masa Penjajahan Belanda
Pada awal abad ke-18, tercatat ada tujuh masjid di luar tembok kota Batavia
yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang
ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian
melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke
dalam Compendium Freijer. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidahkaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab
fikih bermazhab Syfi, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari
hukum adat, yang ternyata dalam praktik masyarakat di masa itu telah diadopsi
sebagai bagian dari hukum Islam.
Pada kenyataannya pemberlakuan hukum Islam bagi masyarakat Muslim
memicu persatuan umat yang bertentangan dengan misi politik kolonial, politik
device et impera,makadibenturkanlah hukum Islam dengan hukum adat setempat
sehingga akhirnya yang muncul teori resepsi dimana hukum Islam tidak lagi dianggap
sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum adat. Jadi yang
berlaku sebenarnya adalah hukum adat, bukan hukum Islam. Namun Penjajah
kolonial tetap memberikan ruang yang cukup untuk pelaksanaan hukum Islam
dibidang ibadah, karena dipandang tidak banyak menggangu politik kolonial.

3. Pada Masa Kemerdekaan Hingga Sekarang


Patut disadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal
17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya Republik
Indonesia adalah penerus dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit,
Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan
Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang dasar ini. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada
dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda.
Oleh karena itu hukum Islam di bidang ibadah tetap berlaku tanpa perlu
mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, sebagaimana yang terjadi pada zaman
penjajahan Belanda. Hukum Islam dalam bidang ibadah tidak juga diformalkan ke
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur
tatacara menjalankan salat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan
kaidah hukum positif. Bahwa salat lima waktu itu wajib fardu ain menurut hukum
Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi dan juga
melakukan tawar menawar agar salat lima waktu menjadi sunnah muakkad. Hukum
Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan
negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan
kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum ibadah itu, atau paling jauh
adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari
suatu kaidah hukum Islam.

10

Contohnya di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan


kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan salat Jumat. Begitu
juga di bidang haji dan zakat diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan jamaah haji, administrasi zakat dan seterusnya.
Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan
pelayanan kepada rakyatnya.

11

III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan pada bab
sebelumnya, di antaranya; Ibadah adalah bagian penting dari hukum Islam,
Secara garis besar hukum Islam dibagi menjadi tiga, yaitu hukum-hukum
itiqdiyyah (keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukumhukum amaliyyah (aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum
amaliyyah kemudian dibagi lagi menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum
muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.
2. Hukum Islam bidang ibadah terus berlaku dan tetap hidup dan berkembang
sejak masa kerajaan Islam sampai pada masa sekarang, berbeda dengan
Hukum Islam bidang publik yang mengalami pasang-surut sesuai kebijakan
penguasa dan keinginan masyarakat.

B. Implikasi Penelitian
1. Jadikanlah makalah ini sebagai pedoman yang bersifat untuk menambah wawasan pengetahuan, jadikan acuan pemahaman yang lebih dalam sebagai wadah untuk menampung ilmu.
2. Makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan, olehnya itu, siapa pun yang menemukan kesalahan penulisan atau kesalahan interpretasi, baik disengaja atau tidak, seyogyanya memperbaikinya, baik secara langsung maupun tidak, dengan melalui saran dan kritikan kepada penulis. Semoga makalah bisa berguna, minimal bagi penulis sendiri dan menjadi sebuah amal jariyah yang dicacat di sisi Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pemaaf. Amin

12

DAFTAR PUSTAKA
Al-Jarjn,Al Ibnu Muh ammad. Kitab al-Tarifat. Bairt: Dr al-kutub al-ilmiyyah,
1988.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Kuliah Ibadah. Semarang: PT Pustaka Rizki
putra, 2000.
Kar,Ibnu. Tafsr al-Qurn al-A m. Beirut: Dr Taibah, t.th.
Khalf, Abdu al-Wahb.Ilmu Usul al-Fiqh. Kairo: Dr al-h ad, 2003.
Yusril Ihza Mahendra, Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional
Indonesia,
http://yusril.ihzamahendra.com/2007/12/05/hukum-islam-danpengaruhnya-terhadap-hukum-nasional-indonesia.html (17 Mei 2016).
Mus t af, Ibrh m dkk.Al-Mujam Al-Wast. Istanbul: Al-Maktabah al-Islamiyyah,
t.th.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Taimiyyah, Ibnu. Al-Ubdiyyah. Beirut: Maktabah dr al-balg, t.th.

Anda mungkin juga menyukai