Anda di halaman 1dari 33

PEMBAHARUAN

HUKUM KELUARGA

DI NEGARA-NEGARA MUSLIM

1
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM
DI BRUNEI DARUSSALAM

Kesultanan Brunai darussalam menganut sistem hukum Mazhab Syafi’i. Sejak tahun
1888 ia menjadi bagian proktektorat Inggris dan periode 1941-1945 sempat di duduki oleh
Jepang dibeberapa daerah. Sistem hukum dan sistem peradilan dalam kesultanan brunai di
pengaruhi oleh sebagian besar Comon Law (Hukum negara Inggris).
Hukum acara pidana ( di dasari pada undang-undang acara pidana Inggris 1898)
diterapkan di Brunei Darussalam oleh pemerintah Inggris memuat pasal tentang Nafkah Istri,
anak, dan Orang tua. Didalam pembahasan pasal menjelaskan tentang praktek hukum lokal
terhadap orang-orang (penduduk) yang beragama Islam. Pada tahun 1912 diterapkan hukum
muhammadan, kemudian ditahun berikutnya disempurnakan dengan penetapan perkawinan
dan perceraian muhammadan.
Hal-hal yang di atur
a. Janji perkawinan (Pembatalan Pertunangan)
Di Brunei penetapan Undang-undang tahun 1955 menyatakan jika kesepakatan
perkawinan menjadi batal jika seorang laki-laki memungkiri dalam pembayaran maskawin.
Apa bila yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah
pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela.
Semua pembayaran balik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui
pengadilan.[24]
b. Wali Nikah
Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan. Disamping itu,
wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan ataukadi yang mempunyai
kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu apabila tidak terdapat wali nasab tidak
menyetujui dengan alasan yang kurang tepat.
Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i dimana seorang perempuan yang
menikah harus mendapatkan izin dari walinya dan seandainya tidak mempunyai wali maka
Sultan (penguasa) yang menjadi wali orang yang tidak mempunyai wali.[25]
c. Pendaftaran Nikah
Dalam undang-undang brunei, orang yang bisa menjadi pendaftar Nikah
cerai selain kadi Besar dan kadi-kadi adalah imam-imam setiap masjid, di samping imam-imam
itu merupakan juru nikah yang di beri kuasa (tauliah) oleh sultan atau yang diberi kuasa oleh
hukum untuk orang Islam, tetapi dalam hal ini kehadiran dan kebenaran pendaftar juga
diperlukan. Walaupun demikian, pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap
dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan hukum muslim di anggap sah dan hendaknya
didaftarkan. Sedangkan yang dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang
tidak mengikuti hukum mazhab yang di anut oleh kedua belah pihak.
d. Poligami
Negara Brunei Darussalam tidak mengakomodir hal-hal terkait
poligami.[26] Dengan demikian dapat kita lihat meskipun mendapat pengaruh dari hukum
Inggris, negara Brunei tetap memiliki prinsip dalam hal poligami yakni sesuai dengan mazhab
syafi’i.
e. Perceraian yang dilakukan suami
Mengenai perceraian dalam undang-undang ini ada beberapa hal yang
penting. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan
orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masaiddah kecuali telah dibenarkan
oleh kadi yang berkuasa di mana ia tinggal.

2
Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan
istrinya dengan talak satu, dua atau tiga menurut hukum muslim. Seorang suami mesti
memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo tujuh hari. Seorang
perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada Kadi dengan
mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela, hendaknya ia mengucapkan cerai kemudian
didaftarkan, dan Kadi akan mengeluarkan akte perceraian kepada kedua belah pihak.[27]
f. Perceraian dengan Talak Tebus.
Di Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak tidak
menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa menyetujui
perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak. Kadi akan menilai jumlah yang perlu di bayar
sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian
itu.[28]
g. Talak Tafwid, Fasakh dan perceraian oleh pengadilan.
Dalam ketentuan di Negara Brunei, seorang perempuan yang telah menikah bisa juga
memohon perceraian berdasarkan syarat dalam surat ta’lik yang dibuat pada masa pernikahan.
Di Malaysia hal seperti ini dikenal dengan Surat Ta’likyang mengatur tentang kemungkinan
seorang istri mengajukan perceraian sendiri. Sedangkan di Singapura diberlakukan talak tafwid
yang di efektifkan oleh Kadi.
Perempuan di brunei bisa memohon kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan
perceraian lewat, Fasakh, yaitu suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum
Muslim. Pernyataan Fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum muslim dan
pihak perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan sekurang-kurangnya dua saksi
dengan mengangkat sumpah atau membuat pengakuan. Bagi istri yang dicerai oleh suaminya
bisa mengajukan pemberian penghibur atau Mut’ah kepada Kadi, dan setelah mendengarkan
kedua belah pihak Kadi memerintahkan untuk membayarnya.[29]
h. Hakam (Arbitrator)
Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka Kadibisa
mengangkat seorang, dua orang pendamai atau Hakam dari keluarga yang dekat dari masing-
masing pihak yang mengetahui keadaannya.
Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbitrasi dan harus
melaksanakan sesuai dengan hukum muslim. Apabila Kadi tidak sanggup atau Kadi tidak
menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, Kadi akan mengganti atau mengangkat hakam
yang lain. Demikian pula jika hakam berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi
dengan tanpa adanya alasan untuk menyatakan perceraian, maka Kadi akan mengangkat
hakam yang lain dan akan memberikan otoritas untuk mempengaruh perceraian.
i. Ruju’
Dalam undang-undang ini disebutkan adanya ruju’ (rojok) setelah
dijatuhkanya talak, yaitu apabila pun cerainya dengan talak satu atau dua. Tinggal bersama
setelah bercerai mesti berlaku dengan keralaan kedua belah pihak dengan syarat tidak
melanggar hukum muslim dan kadi harus mendaftarkan untuk “tinggal bersama” itu.
Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali pihak suami mengucapkanruju’dan
pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan oleh kadi untuk tinggal bersama, tetapi
perintah tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan.[30]
j. Surat kematian.
Apabila suami telah meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal atau tidak
terdengar beritanya dalam waktu yang lama, untuk menikah kembali harus menganggap mati
sesuai dengan hukum keluarga orang Islam. Seorang kadi dapat mengeluarkan surat pernyataan

3
kematian supaya pihak istri bisa kawin lagi, tentunya setelah mengadakan penyelidikan yang
tepat.
k. Nafkah dan Tanggungan Anak
para istri anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai
(fiskal), orang yang berpenyakit dan anak luar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan
berdasarkan hukum muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak
diluar nikah, mahkamah kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa
dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi besar.[31]

4
“PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA IRAN”

Iran merupakan pusat dari madzhab Syi’ah Imamiyah sebagai bagian integral dari
komunitas muslim dunia. Adapun ajaran fiqh yang berkembang di dalam negara ini
adalah Fiqh Ja’fari atau disebut juga Hukum Itsna ‘Asyariyyah, sebuah sistem hukum yang
berkembang dan berakar di wilayah Iran.[32]
Semenjak berlakunya Undang Undang Dasar Negara Iran pada tahun 1906-1907,
peraturan hukum di negara Iran dibawa menuju perubahan yang cepat dan meluas, Kitab
Undang Undang Hukum Perdata Iran yang lengkap diperkenalkan ke publik dan mulai
diterapkan selama kurun waktu 1928-1935
a. Pencatatan Perkawinan
Hukum Negara Iran terkini menyatakan bahwa setiap perkawinan haruslah tercatat
sesuai aturan pemerintah; perkawinan akan berakibat hukum pembatalan jika ia tidak dicatat
dan perkawinan yang demikian akan dikenakan ancaman hukum. Sebelum perkawinan
dicatatkan, pasangan calon suami-istri diwajibkan memperoleh sertifikat kelayakan dari
petugas medis untuk menjamin kesehatannya.[33]
b. Usia Perkawinan Anak-anak
Usia minimum untuk perkawinan, yakni 18 tahun untuk pria dan 15 tahun bagi wanita.
Perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita di bawah usia minimum, secara hukum akan
dikenakan pidana sesuai Undang Undang Perkawinan Iran Tahun 1931.[34]
Berbeda dengan madzhab Ja’fari, seseorang dipandang telah dewasa dan boleh
melangsungkan perkawinan jika ia telah menginjak usia 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi
wanita. Ja’fari juga memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang masih di
bawah umur.[35] Sehingga hukuman-hukuman yang ditentukan dalam Hukum Keluarga Iran
merupakan produk pembaharuan dengan tujuan kesempurnaan kepastian hukum dan
keteraturan di negara tersebut.
c. Perjanjian Kawin
perjanjian perkawinan di negara Iran ini berbeda dengan “perjanjian pra perkawinan”
yang marak saat ini terjadi di Indonesia, yang banyak menjelaskan mengenai pemisahan harta
suami dan istri. Perjanjian perkawinan di sini tidak lain dimaksudkan kepada “perkawinan
kontrak”
Ditinjau dari segi aplikasinya, kawin kontrak (mut’ah) yang banyak dilakukan di Iran
jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi negara yang ada, yakni tujuan perkawinan
yang sakinah, mawadah, warahmah. Dengan kata lain, teori kemaslahatan perkawinan yang
dicita-citakan Undang Undang Keluarga Iran tidaklah sesuai dengan kenyataan yang terjadi di
lapangan.
d. Poligami
Undang Undang Hukum Perkawinan Iran Tahun 1931 menyarankan bahwa jika
seorang pria ingin memperistri istri kedua, maka ia wajib menjelaskan statusnya bahwa ia
sudah memiliki istri. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, akan berefek kepada pembatalan
perkawinan yang kedua. Seorang istri dari suami yang berpoligami, dapat mengajukan
keberatan baik dengan izin pengadilan maupun tanpa izin pengadilan untuk memintakan
pemutusan perkawinannya di depan pengadilan.[36]
Aturan-aturan yang demikian, sebenarnya tidak dijumpai
dalam madzhabJa’fari, madzhab resmi negara, juga tidak ditemukan di
dalam madzhab hukum yang lain.
e. Perceraian

5
Keberlakuan Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967 menghapus
wewenang suami dalam menjatuhkan talak sepihak. Setiap perceraian, apapun bentuknya harus
didahului dengan permohonan pada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat legalitas yang
menyatakan bahwa pasangan “tidak dapat rukun lagi” atau dengan istilah
Inggrisnya: Impossibility of Reconciliation.[37]Pengadilan tidak lantas langsung menerbitkan
sertifikat legalitas tersebut, melainkan wajib mendahulukan upaya pendamaian di antara kedua
belah pihak. Adapun sertifikat legalitas dapat dikeluarkan jika:
1) Salah satu pasangan menderita gangguan kejiwaan yang permanen atau berulang-ulang;[38]
2) Suami menderita impotensi, atau dikebiri/diamputasi alat reproduksinya;[39]
3) Istri tidak dapat melahirkan, atau menderita cacat seksual, mengalami sakit lepra, atau bisa
juga karena alasan kebutaan pada kedua matanya;[40]
4) Suami atau istri dipenjara selama lima tahun masa hukuman;[41]
5) Suami atau istri mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang diduga akan terus
berlangsung dalam kehidupan rumah tangganya;[42]
6) Salah satu pihak mengkhianati pihak lain/berselingkuh;[43]
7) Adanya kesepakatan suami dan istri untuk bercerai;[44]
8) Adanya kontrak/perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan kewenangan kepada
pihak istri untuk menceraikan diri/berlepas diri dalam kondisi tertentu;[45]
9) Suami atau istri dihukum, berdasar pada keputusan hukum tetap, dikarenakan melakukan
perbuatan yang dapat dipandang mencoreng kehormatan keluarga.[46]
f. Tahkim
Hukum Keluarga Iran menggunakan konsep tahkim/juru pendamai sebagai salah satu
alternatif pencegahan perceraian. Juru damai tersebut disebut arbitrator dari istilah
Inggris: Arbitre. Pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian sengketa keluarga terkait
perkawinan itu kepada para arbitrator jika memang diminta oleh pasangan suami-istri yang
bersengketa
g. Pemeliharaan Anak sebagai akibat perceraian
Pengadilan dapat bertindak sesuai dengan amanat sertifikat legalitas untuk
menetapkan perceraian sekaligus menetapkan ketentuan nafkah dalam masa ‘iddah, termasuk
menentukan kepada siapa anak-anak akan dipercayakan pemeliharaannya.[47]
h. Pemberian Nafkah
Suami wajib memberikan nafkah kepada istri meliputi pangan, sandang, papan, dan
kebutuhan pokok rumah tangga yang layak. Apabila seorang suami gagal dalam pemenuhan
nafkah tersebut maka istri dapat menyatakan keberatannya kepada pengadilan untuk kemudian
pengadilan memaksakan suami untuk menafkahi istrinya. Dalam hal suami tidak mematuhi
perintah pengadilan, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian pada
pengadilan,[48] konsep ini sesuai dengan ajaran madzhabJa’fari.

6
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI KUWAIT

Islam datang ke Negara ini sejak masa khalifah Umar ibn Khattab (15-30 H). Islam
yang berkembang di Negara ini mengikuti aliran sunni yang bermazhab Maliki dan Hambali
serta minoritas syiah[49].
Pada tahun1950 shaikh Abdullah al-Salim al-Sabah adalah pemimpin Kuwait. Selama
masa pemerintahannya sejumlah undang-undang baru dibuat. Diantaranya adalah undang-
undang syari’ah yang mengatur tentang Waqaf 1951 dengan membuat batasan-batasan
waqaf keluarga pada keadaan-keadaan tertentu. Itu berdasarkan hukum Arab tentang
Waqaf 1946 dan hukum Lebanon pada waqaf keluarga.
Hukum Waris 1971 Pada tanggal 4 april keluar hukum “law on obligatory Bequest
1971-Qanun Wasiyah al wajibah”. Hukum ini dibuat demi kepentingan anak cucu untuk anak
yang masih hidup dan telah meninggal. Reformasi yang serupa telah lebih dahulu dikenalkan
di 4 negara Arab-Mesir, Moroko, Siria dan Tunisia. Setelah dikenalkan di Kuwait. Hukum ini
juga diadaptasi oleh Algeria, Irak dan Yordania.
Hukum negara Kuwait tentang hak waris 1971 adalah perundangan singkat yang berisi
4 artikel. Ketetapan-ketetapannya menguntungkan bagi anak laki-laki ahli waris, cucu laki-laki
dan seterusnya. Sedangkan pada garis keturunan perempuan, hukum ini hanya mengatur untuk
anak perempuan dari ahli waris. Sedangkan bagi orang yang bukan merupakan anak ahli waris
diatur oleh hukum baru atau berdasarkan keinginan/kesepakatan hubungan orang tua mereka
tanpa melebihkan batasan hak waris. Jika tidak ada kesepakatan maka akan diberlakukan
hukum yang sama[50].
Setelah 1971 Perkembangan Penilaian persatuan/perkumpulan nasional di Kuwait
pada tahun 1976 mengalami kemajuan dalam reformasi/pembaharuan undang-undang di
negara. pada bulan Februari pemimpin Kuwait mendeklarasikan bahwa sistem undang-undang
Kuwait akan disesuaikan dengan hukum syari’ah secara bertahap. Tiga tahun kemudian
persatuan nasional (pemerintah) dibentuk lagi dan sejak itu sejumlah undang-undang baru
dibuat. Diantaranya adalah hukum tentang status pribadi (personal status) qanun ahwal al-
shaksiyah dikatakn bahwa undang-undang ini berdasarkan doktrin/prisip Islam dan berisi
ketetapan-ketetapan. Ketetapan yang dibuat juga berasal dari undang-undang Mesir dan
Moroko[51].
Belakangan ini persiapan untuk menghasilkan ensiklopedia hukum islam mausu’ah
al-fiqhiyah sedang dalam proses pembuatan. Kuwait berjanji menjadi ensiklopedia ini akan
menjadi karya yang sangat berharga untuk seluruh umat muslim didunia[52].
1. Ketetapan Khusus
Dalam undang-undang yang dibuat oleh kuwait terdapat ketetapan-ketetapan khusus.
(a) Penggunaan hukum waris disetujui oleh anak-anak dalam hal ini anak laki-laki atau cucu laki-
laki dari anak laki-laki ahli waris dan seterusnya.
(b) Tersedianya hukum waris juga untuk anak-anak dalam hal ini anak perempuan ahli waris tapi
bukan untuk anak perempuan yang bukan keturunan ahli waris.
(c) Penggunaan aturan-aturan hukum waris untuk kasus-kasus yang sesuai
(d) Pembatasan yang cermat dalam pembuatan dan kontrol administrasi waqafkeluarga.
2. Hukum Yang Dipilih (select text)
(a) Jika almarhum tidak membuat wasiat untuk keturunan anaknya yang wafat sebelum atau
bersamaan dengannya, dengan syarat bagaian harta warisan anak yang wafat itu harusnya
diteruskan ke keturunannya jika sang keturunan masih hidup saat kematian si pemilik
harta wasiat wajib dibuat atas harta itu untuk keturunan anak yang wafat, tapi dalam batasan
bagian ketiga yang dapat diwariskan, asalkan sang keturunan itu bukanlah pewaris utama dan

7
almarhum belum memberinya bagian harta dengan cara lain, yang bukan dianggap hadiah atau
pembayaran. Wasiat seperti ini terutama dilakukan terhadap keturunan anak perempuan
almarhum. Keturunan langsung anak laki-lakinya sampai tingkat yang paling bawah diantara
mereka tiap orang dapat mengeluarkan keturunannya sendiri tapi tidak keturunan pihak lain.
(b) Jika ahli waris/almarhum telah mewariskan kepada keturunannya lebih dari kewajiban yang
harus ia lakukan, kelebihan itu dianggap sebagai harta warisan pilihan. Dan jika dia
mewariskan kurang dari itu, itu merupakan kewajiban untuk memenuhi hak. Sementara wasiat
wajib merupakan hak beberapa orang, dan almarhum telah berwasiat hanya untuk sebagian
diantara mereka, tapi tidak untuk sebagian lainnya diharuskan untuk memberikan pihak yang
tidak dapat warisan apa yang menjadi hak mereka. Mereka yang dapat warisan lebih sedikit
dari yang seharusnya bisa melengkapi jumlahnya dari sisa bagian ketiga yang dapat diwariskan
atau, jika, cukup, dari situ dan dari yang telah diberikan disitu sebagai warisan alternatif.
(c) (1) Harta warisan wajib didahulukan bagi warisan pilihan.
(2) Ketika almarhum/ahli waris tidak mewariskan apa-apa untuk mereka yang wajib menerima
warisan. Dan mereka mewariskan pada orang lain, maka orang yang wajib memperoleh
warisan akan mengambil warisan dari mereka yang tak berhak menerima warisan, jika telah
diwariskan kepada orang lain. Dan almarhum/ahli waris telah mewariskan kepada mereka tapi
tidak pada yang lainnya. Itu akan menjadi kewajiban untuk menyediakan sejumlah warisan
kepada keturunan yang kedua yang merupakan hak mereka. Untuk mereka yang belum
mewariskan.

8
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI MALAYSIA

Sebelum datangnya penjajah, hukum Islam yang berlaku di Malaysia adalah hukum
Islam bercampur hukum adat[61]. Antara tahun 1884 dan 1904, Raja Muda Sulaiman,
penguasa Selangor, mengkodifikasikan hukum perkawinan dan perceraian, mengangkat
sejumlah qadi, dan memberlakukan hukum Islam dalam perkara perdata dan pidana[62].
Malaysia dengan Konstitusinya tahun (1957 dan telah diubah tahun 1964 ) dengan
tegas menyatakan bahwa Islam adalah negara Federasi tersebut [pasal 3 ayat (1) Konstitusi
Malaysia tanggal 23 Agustus 1957, diubah tanggal 1 Maret 1964 dan diubah lagi dalam tahun
1971[63].

Hukum Keluarga di Malaysia


A. Poligami
Berdasarkan UU perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki
melakukan poligami, ada tiga hal yang perlu dibicarakan, yakni: (i) syarat-syarat, (ii) alasan-
alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan ( iii ) prosedur. Dalam perundang-undangan
Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, pertama, poligami tanpa izin lebih dahulu
dari pengadilan tidak boleh didaftarkan; kedua, poligami tanpa izin lebih dahulu dari
pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani
hukuman yang telah ditentukan.[64]
Alasan-alasan pertimbangan bagi pengadilan untuk memberi izin atau tidak ada tiga
pihak (1) pihak isteri, (2) pihak suami, dan (3) pihak orang-orang yang terkait. Adapun yang
bersumber dari pihak isteri adalah: karena kemandulan; keudzuran jasmani; karena kondisi
fisik yang tidak layak atau tidak mungkin melakukan hubungan seksual; sengaja tidak mau
memulihkan hak-hak persetubuhan, atau isteri gila.
Sedang pertimbangan dari pihak suami, yang sekaligus menjadi syarat boleh
berpoligami, adalah:
1. suami mempunyai kemampuan untuk menanggung semua biaya isteri-isteri dan orang-orang
yang akan menjadi tanaggungannya kelak dngan perkawinannya tersebut;
2. suami berusaha berbuat adil di antara para isterinya.
Sedang prosedur untuk berpoligami ada tiga langkah:
1. Suami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari hakim, bersama persetujuan atau
izin dari pihak isteri/isteri-isterinya.
2. Pemanggilan pemohon dan isteri atau isteri-isteri, sekaligus pemeriksaan oleh pengadilan
terhadap kebenaran pemohon.
3. Putusan pengadilan berupa penerimaan atau penolakkan terhadap permohonan pemohon.
Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan perundang-
undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman berupa hukuman denda
maksimal seribu ringgit[65] atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya.
B. Pencatatan perkawinan
Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah selesai aqad nikah bagi orang
yang melakukan perkawinan di luar Malaysia tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah
perbuatan melanggar hukum dan dapat dikenakan dengan hukuman denda maksimal seribu
ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya[66]. Fungsi pencatatan hanya
urusan atau syarat adminstrasi, tidak ada hubungannya dengan syarat sah atau tidaknya
pernikahan (aqad nikah).
C. Wali dalam perkawinan

9
Perundang-undangan (perkawinan) Malaysia juga mengharuskan (wajib) adanya
wali dalam perkawinan, tanpa wali perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Dalam perundang-
undangan keluarga Malaysia, pada prinsipnya, wali nikah adalah wali nasab. Hanya saja dalam
kondisi tertentu posisi wali nasab dapat diganti oleh wali hakim (di Malaysia disebut wali raja).
D. Perceraian
Adapun alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di negara-
negara Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam undang-undang perak
dan pahang ada lima alasan, yaitu:
(a) suami impoten atau mati pucuk;
(b) suami gila, mengidap penyakit kusta, atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin yang bisa
berjangkit, selama isteri tidak rela dengan kondisi tersebut;
(c) izin atau persetujuan perkawinan dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak sah, baik
karena paksaan kelupaan, ketidak sempurnaan akal atau alasan-alasan lain yang sesuai dengan
syariat;
(d) pada waktu perkawinan suami sakit syaraf yang tidak pantas kawin;
(e) atau alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh menurut syariah.

10
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI NEGARA MAROKO

Maroko secara georafis terletak di bagian utara benua Afrika, adalah Negara yang
memiliki peran penting dalam sejarah masuknya Islam ke benua Eropa. Dimana keberhasilan
Thariq bin Ziyad (w: 720 M) dan pasukannya dalam melakukan ekspansi militer pada tahun
711 M merupakan awal periode kejayaan Islam di Eropa.
Maroko adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di bagian barat laut Afrika.
Penduduk asli Maroko adalah Berber, yaitu masyarakat kulit putih dari afrika utara. Mereka
konon masih mempunyai garis keturunan dengan Rasulullah saw dan merupakan penganut
agama Islam bermadzhab Maliki.
Pada tanggal 19 Agustus 1957 sebuah komisi reformasi hukum dibentuk berdasarkan
keputusan kerajaan. Komisi ini bertugas menyusun rancangan undang-undang hukum
perorangan dan kewarisan. Penyusunan rancangan undang-undang tersebut didsarkan pada
: [74]
1. Beberapa prinsip dari mazhab-mazhab hukum Islam (fiqh), khususnya mazhab Maliki yang
dianut di Maroko.
2. Doktrin maslahah mursalah.
3. Undang-undang diberlakukan di beberapa Negara Muslim lainnya.
Pada tahun 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga
(Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-
undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.
Beberapa perubahan yang berhasil digolkan adalah :
a. Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan
sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga.
b. Perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum
dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya.
c. Batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun
merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun.
d. Poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan
poligami.
Adapun beberapa ketentuan hukum keluarga di Maroko adalah sebagai berikut :
1. Batas Usia minimum dalam Perkawinan
Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan
bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan oleh
pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan. Pembatasan umur
demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-qur’an, al-hadits maupun kitab-kitab fiqh.
Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat
dibolehkannya perkawinan, kecuali dilakukan oleh wali mempelai.
Namun setelah adanya UU tahun 2004 ini membatasi perkawinan diperbolehkan hanya
apabila mencapai umur 18 tahun bagi laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan.[75]
2. Poligami
undang-undang Maroko juga mengatur masalah poligami antara lain sebagai berikut
:[76]
Pertama, jika seorang laki-laki ingin berpoligami, ia harus menginformasikan kepada
calon istri bahwa ia sudah berstatus seorang suami.
Kedua, seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah perkawinan, boleh
mencantumkan taqlid talaq yang melarang calon suami berpoligami. Jika di langgar maka istri
berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.

11
Ketiga, walaupun tidak ada pernyataan seorang wanita, seperti di atas, jika perkawinan
keduanya menyebabkan istri pertama terluka maka pengadilan bisa membubarkan perkawinan
mereka.
Disamping itu Maroko lebih jauh menetapkan bahwa istri berhak minta cerai dengan
alasan suami tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya. Alasan dari pandangan ini adalah bahwa
prinsip umum quran tidak membolehkan poligami kalau suami tidak dapat berlaku adil
terhadap para istrinya.[77]
3. Peran Wali Dan Kebebasan Mempelai Wanita
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13
menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi kebolehannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya
wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah.
Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi
pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah
terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian
dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang
perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia
menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali
dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun
yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan
perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya).
4. Pencatatan Perkawinan
Dalam melaksanakan perkawinan, Maroko juga mengharuskan pencatatan
perkawinan. Disamping mengharuskan pencatatan, Maroko juga mensyaratkan tanda tangan
dua notaries untuk absahnya pencatatan perkawinan. Selain itu catatan asli harus dikirimkan
ke Pengadilan dan salinan (kopinya) harus dikirim ke kantor Direktorat Pencatatan Sipil.
Demikian juga istri diberi catatan asli, dan kepada suami diberikan salinannya, selama
maksimal 15 hari dari akad nikah. Tetapi tidak ada penjelasan tentang perkawinan yang tidak
sejalan dengan ketentuan ini.[78]
5. Proses Perceraian
UU Maroko menetapkan, istri berhak membuat taklik talak, bahwa suami tidak akan
melakukan poligami. Sementara apabila dilanggar dapat menjadi alasan perceraian. Perceraian
harus didaftarkan oleh petugas dan disaksikan minimal 2 orang saksi. Dari teks yang ada dapat
dipahami bahwa perceraian diluar Pengadilan tetap sah.[79]
Menurut undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat cerai ke
pengadilan jika: 1. Suami gagal menyediakan biaya hidup; 2. Suami mampunyai penyakit
kronis yang menyebabkan istrinya merana; 3. Suami brlaku kasar (menyiksa) istri sehingga
tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan kehidupan perkawinan; 4. Suami gagal
memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk
tidak mencampuri istrinya; 5. Suami meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun tanpa
memperdulikan istrinya.[80]
6. Hukum Kewarisan
Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh Tunisia dari hukum wasiat Mesir (1946) juga
diberlakukan di Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat dan
terakhir setelah Mesir, Syiria dan Tunisia yang mengadopsi aturan ini. Menurut undang-undang
Maroko (1958) hak untuk mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak dan seterusnya
kebawah dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini tidak ditemukan dalam

12
madzhab manapun dalam fiqih tradisional, sebab warisan hanya diperuntukkan bagi ahli waris
yang masih hidup.[81]

13
PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MESIR

Mesir adalah negara yang menjadi asal bagi Mazhab Imam Syafi’i sebagai bagian
integral dari Hukum Islam. Penduduk Mesir juga terdiri dari sebagian kecil pengikut Hanafi
setelah adanya pengaruh kekuasaan pemerintah Turki.[82]
1. Status Hukum Sipil Tahun 1920-1929
Undang Undang No. 25 Tahun 1920 tentang pembiayaan dan pemutusan hubungan
perkawinan, meliputi: “Pembiayaan pada masa ‘Iddah, Ketidakmampuan pemenuhan prestasi
atas pembiayaan ‘iddah, mengenai orang hilang (mafqud), perceraian, hal-hal prinsip yang lain
terkait Hukum Sipil”. Pada dekade yang sama, Hukum Sipil kedua diterbitkan sebagai
penyempurna peraturan sebelumnya dengan membawa penambahan dasar-dasar baru yang
terdiri dari 23 artikel, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Undang Undang Hukum Sipil
No. 25 Tahun 1925 tentang penyelesaian perselisihan dalam perkawinan dan sengketa di dalam
keluarga. Berikut ini sekilas isi dari kedua Undang Undang yang dimaksud:
a. Undang Undang Negara Mesir Nomor 25 Tahun 1920 memuat pemeliharaan dan ‘iddah serta
ketidakmampuan pemenuhan prestasi (artikel 1-6); orang hilang (artikel 7-8), kewajiban
perceraian yang tidak baik (artikel 9-11), beberapa jenis aturan dasar (artikel 12-13).
b. Undang Undang Negara Mesir Nomor 25 Tahun 1929 memuat tentang talak (artikel 1-5),
Perselisihan antara para pasangan dan perceraian akibat kekejaman (artikel 6-11), Perceraian
tanpa kehadiran suami di persidangan atau dikarenakan penahanan aparat hukum (artikel 12-
14), klaim kekeluargaan (artikel 15), pemeliharaan dan masa tunggu/‘iddah, (artikel 16-18),
mas kawin (artikel 19), pemeliharaan anak/hadanah (artikel 20), orang hilang (artikel 21-23),
prinsip-prinsip umum (artikel 23).
Tahir Mahmood membagi pembaruan Hukum Keluarga di Mesir menjadi dua bidang utama,
yaitu bidang perkawinan dan bidang pewarisan.[83]
a. Bidang Perkawinan[84]
1) Aturan tentang Usia Perkawinan: Pemerintah Mesir memberikan toleransi terhadap usia
perkawinan ideal. Seorang pria yang ingin menikah sekurang-kurangnya harus berusia 18
(delapan belas tahun) dan seorang wanita yang ingin menikah sekurang-kurangnya telah
mencapai berumur 16 (enam belas tahun). Adapun asumsi periode baligh –yang menunjukkan
kemampuan bertanggung jawab– adalah usia 15 tahun[85].
2) Aturan mengenai Perselisihan antara suami dan Istri: Terdapat tiga bagian pengaturan dalam
perselisihan; Istri dapat mengajukan penuntutan terhadap perilaku kejam suami sebagai alibi
penuntutan perselisihan, selain itu juga diatur mengenai sengketa terkait keuangan (Mahr al-
Mithl) dan aturan terkait pemenuhan prestasi dari akibat hukum yang ditimbulkan;
3) Akibat-akibat dari Perceraian: Perceraian melalui lisan yang diucapkan seseorang dalam
kondisi terpaksa dan/atau dengan menggunakan istilah majasi tidak berakibat hukum tetap[86].
4) Talak Tiga: Hukum Mesir menganut konsepsi talak bahwa tiga kali ucapan talak tetap
berhukum talak satu. Ucapan “Saya ceraikan anda, saya ceraikan anda, saya ceraikan
anda” dalam satu waktu, hanya berhukum talak satu dalam pandangan Hukum Mesir[87].
5) Berakhirnya Hubungan Perkawinan atas keinginan isteri: Sistem Peradilan Mesir
mengakomodir usulan perceraian dari pihak isteri dengan syarat mengajukan permohonan atas
dasar:
a. kegagalan suami menafkahi isteri;
b. ketidakmampuan suami atas alasan penahanan hukum yang menyebabkan ia tidak dapat
menafkahi istri;
c. suami menderita penyakit kronis yang menyusahkan istri, atau istri dapat mengajukan
keberatan jika ia tidak mengetahui perihal sakit sebelum perkawinan dilangsungkan;

14
d. suami berperilaku kejam;
e. suami menyusahkan istri dengan meninggalkannya sekurang-kurangnya satu tahun.
Undang Undang Keluarga Mesir membagi dua sifat dalam kasus perceraian atas kehendak
isteri, yakni perceraian yang dapat dibatalkan dan perceraian yang tidak dapat diajukan
pembatalannya. Untuk perceraian poin (a), (b), dan (c), sebagaimana disebutkan di atas,
perceraian tersebut masih bersifat dapat diajukan pembatalannya; sedangkan perceraian poin
(d) dan (e) merupakan perceraian yang berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat dibatalkan;
6) Orang Hilang (mafqud): Peradilan Mesir dapat memutuskan terkait kematian/hilangnya
seseorang dalam tempo empat tahun sejak peristiwa kehilangan ditetapkan. Peradilan akan
mengakui pernikahan kedua isteri sebagai pernikahan yang legal, kendatipun suami pertama
akhirnya kembali lagi setelah melewati masa daluwarsa yang diberikan pengadilan[88].
Berbeda dengan pendapat para imam, Imam Hanafi mengatakan bahwa masa tunggunya adalah
120 tahun, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali mengatakan masa tunggunya hingga
90 tahun atau hingga waktu mencapai kepastian orang tersebut dianggap telah meninggal
dunia[89];
7) Periode Kehamilan: Penelitian medis mendukung konsep Hanafi yang memperhitungkan masa
kehamilan menjadi satu tahun.
8) Pemeliharaan anak-anak (hadanah): Undang Undang Negara Mesir No. 25 Tahun 1929
memberikan kuasa peradilan untuk memperluas waktu pemeliharaan anak-anak kepada pihak
isteri (ibu) untuk mengampu anak-anaknya. Pengampuan untuk anak laki-laki diberikan
toleransi sampai anak berusia 9 (sembilan) tahun, dan pengampuan anak perempuan diberikan
waktu hingga ia berusia 11 (sebelas) tahun Adapun Undang Undang juga mengakomodir hal
pembayaran nafkah terhadap istri yang meliputi makanan, pakaian, kebutuhan pokok, obat-
obatan, dan keperluan lain yang diatur dalam Undang Undang[90]. Namun demikian,
kewajiban suami akan gugur bila istri yang diceraikan berbeda agama.
b. Bidang Pewarisan
Undang Undang Negara Mesir Nomor 77 Tahun 1943 tentang pewarisan menyepakati tentang
konsep pewarisan yang kebanyakan bersumber dari ajaran Imam Hanafi. Berikut ini beberapa
bentuk pembaruan dalam hukum waris, yaitu:
1. Prioritas utama pada biaya pemakaman;
2. Pengecualian ahli waris penerima warisan;
3. Hak waris dari saudara seibu dalam Kasus Himariya;
4. Pembatalan penerima warisan dengan alasan pelaku maksiat;
5. Perihal hak waris kakek dan cucu;
6. Doctrine of Return, perihal tidak ada hak waris terkait saudara tiri seibu;
7. Penyederhanaan kalkulasi pembagian waris oleh Shaybani;
8. Hak waris cucu yang mengalami kematian ayah;
9. Pernyataan pewarisan;
10. Syarat-syarat dasar para penerima waris yang terbebas dari kesalahan-kesalahan sosial politis
keislaman;
11. Penetapan hak waris anak yang belum dilahirkan;
12. Pewarisan sebagai karunia untuk ahli waris;
13. Prinsip kewajiban pewarisan terkait Doctrine of Representation yang membela hak anak
selaku pewaris dari permohonan pembagian harta waris oleh cucu.
Dian Khairul Umam menjelaskan tata urutan orang-orang yang berhak menerima warisan
menurut Kitab Undang Undang Warisan Mesir adalah sebagai berikut:[91]

15
1. Ashabul Furud: Golongan orang yang mendapatkan bagian tertentu, yang pertama kali diberi
bagian harta peninggalan dari orang yang meninggal dunia sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Alquran, Hadis, dan Ijma’;
2. Ashabah Masabiyah: Orang-orang yang mendapatkan bagian atas kelebihan harta peninggalan
setelah dibagikan kepada orang-orang yang mendapatkan bagian tetap;
3. Radd kepada Zawil Furud: Radd artinya membagi kembali atau mengembalikan kelebihan
harta. Zawil Furud adalah ahli waris yang berhak menerima waris dalam keadaan tertentu;
4. Zawil Arham: Para kerabat dari orang yang meninggal dunia tetapi tidak termasuk Zawil
Furud;
5. Radd kepada salah seorang suami/isteri: Pembagian yang dapat terjadi jika tidak ada ahli waris
seorangpun baik Ashabul Furud, Ashabah, maupun Zawil Arham;
6. Ashabah Sababiyah: Mereka yang memperoleh bagian karena adanya sebab, yakni para budak
yang dimerdekakan;
7. Orang yang diakukan nasabnya kepada nasab orang lain;
8. Baitul Maal.
2. Hukum Waris, Hukum Peralihan Harta Wakaf 1943-1953
Pada tahun 1936, pemerintah Mesir membentuk komisi untuk menyiapkan draft lengkap
tentang Hukum Sipil, dipimpin oleh ilmuwan-ilmuwan Hukum Islam. Pada tahun 1943, Qanun
al-Mirath dibentuk dan dianggap sebagai suatu kesuksesan hukum tersebut. Ia adalah hukum
lengkap yang mencakum semua aspek peninggalan berkelanjutan.
Tiga tahun kemudian, suksesi berikutnya hadir dengan nama Qanun al-Wasiyah. Ia merupakan
pelengkap atas Hukum Waris yang disusun pada tahun 1943. Keduanya didasari pada
penegakan prinsip-prinsip Hukum Islam terkait harta peninggalan dan kehendak.
Hukum Wakaf pertamakali dikodifikasikan sebagai prinsip hukum –Qanun al-Ushul al-Waqf–
ia diperbaharui dengan penentangan Undang Undang yang nyata terkait harta tak bergerak
milik Publik dan harta tak bergerak yang telah di privatisasi di bawah pengawasan pemerintah.
Pada tahun 1952, hukum baru tentang harta wakaf diperkenalkan dengan perluasan
amandemen dengan regulasi terbaru pada tahun 1946 dan menghapuskan kekuangan-
kekurangan yang merugikan dari penerapannya pada harta tak bergerak yang menjadi ranah
Hukum Keluarga. Pada tahun 1960 pemerintah kembali melakukan amandemen terhadap
Hukum Harta Wakaf.
3. Undang Undang Sipil dan Hukum Sipil pada Peradilan 1931-1955
Pada tahun 1931, Mesir menetapkan Undang Undang Sipil mereka di mana tidak mencakup
aturan-aturan perorangan tetapi memuat banyak aturan prosedural yang secara meyakinkan
dipengaruhi oleh institusi syari’ah.
Hukum organisasi peradilan akhirnya diamanedemen oleh pemerintah Mesir pada tahun 1955.
4. Syariah di Bawah Konstitusi Mesir Tahun 1977
Pada tahun 1977 Mesir meninggalkan konstitusi lama yang dibuat tahun 1923 dan mengadopsi
konstitusi permanen yang baru. Penetapan-penetapan dari konstitusi tersebut adalah:
1. Islam adalah agama resmi negara Mesir dan Syariah Islam adalah peraturan pokok negara;
2. Keluarga adalah bagian dasar kesatuan terkecil yang harus mencerminkan nilai-nilai
keagamaan, moralitas, dan jiwa kebangsaan, dan negara harus menjamin karakter asli dari
keluarga Mesir dan segala nilai-nilai dan tradisinya;
3. Negara menjamin kelahiran, dan termasuk pemeliharaan anak-anak;
4. Negara juga menjamin koordinasi antara tugas-tugas wanita, baik dalam bidang karir,
kesetaraan dengan kaum pria, kesetaraan dalam lapangan politil, sosial, budaya dan kehidupan
ekonomi tanpa tekanan Syariah Islam.
5. Hukum Jihan Tahun 1979

16
“Hukum Jihan” yang diambil dari nama Jihan Saddat, istri dari Anwar Saddat, presiden Mesir
saat itu. Di mana, menjadi kunci terbitnya penerapan aturan bidang keluarga, terutama soal
poligami. Aturan hukum tahun 1979 ini memperkenalkan perbaikan yang luas terhadap dua
produk hukum Mesir sebelumnya, termasuk status perundangan Hukum Sipil tahun 1920-
1929.
Tahun 1979 menjadi tahun pengumuman prosedural mengenai tingkatan terkait pendaftaran
dan bukti talak. Pada bulan Mei 1985 Hukum Jihan 1979 dibatalkan atas usul Peraturan
Presiden yang diajukan kepada Peradilan Tinggi Mesir, di mana dideklarasikan penetapan
tertinggi dari Konstitusi Mesir 1977.
6. Status Pribadi (Perbaikan) Undang Undang Tahun 1985
Pembaruan hukum pada 1985 juga menambahkan Hukum Sipil sebagai penetapan yang
bersifat alamiah. Pengecualian dari itu, dengan banyaknya perubahan yang dibuat terhadap
Hukum Sipil 1920 dan 1929, keadaan ini memaksa pembuat peraturan kembali harus meneliti
ke belakang sejak tanggal putusan peradilan tertinggi terhadap Hukum Jihan ditetapkan.

7. Catatan-catatan Penetapan
Dua status Hukum Sipil 1920-1929 yang dilanjutkan penetapan tahun 1943-1960 secara
bersama-sama dipembaharui kembali menjadi Undang Undang No. 100 tahun 1985. Sehingga
menjadi konstitusi terbaru dari perundang-undangan negara Mesir menyangkut Hukum Sipil.
Catatan-catatan penetapan terhadap undang undang ini berisi antara lain:
a. Tidak efektifnya talak tersebut tidak secara nyata langsung mengakibatkan memutuskan
hubungan perkawinan;
b. Pembatalan perkawinan dapat disebut dengan istilah bahasa “talak tiga”;
c. Pencegahan penggelapan perkawinan rangkap/bigami dan pembatalan perkawinan terhadap
perkawinan rangkap yang dilakukan oleh suami;
d. Pendaftaran talak dan komunikasi formal kepada istri;
e. Penetapan satu tahun sebagai periode maksimum masa kehamilan;
f. Lama batas waktu pembiayaan terendah adalah dua tahun, biaya pemeliharaan dengan
jalan mut’ah untuk istri yang diceraikan dibayarkan sesuai dengan kemampuan suami;
g. Lama waktu pemeliharaan anak-anak;
h. Penetapan tempat tinggal untuk anak-anak yang lahir dalam perkawinan;
i. Tidak mengistimewakan laki-laki/perempuan, juga tidak mengutamakan jalur turunan darah
keturunan penuh/setengah dari pihak kakek (keturunan kakek dari ayah atau kakek dari ibu);
j. Legalisasi waris sebagai karunia pemberian untuk ahli waris:
k. Pembatalan wakaf-wakaf keluarga.

17
PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI PAKISTAN

Pada tanggal 14 Agustus 1947 Pakistan muncul ke permukaan bumi dengan


keberhasilaan teori dua bangsa yang dikemukakan Muhammad Ali Jinnah serta legitimasi
negara baru tersebut atas dasar Islam.
Hukum keluarga yang berlaku di Pakistan adalah Hukum Keluarga Muslim atau
Hukum Islam. Sekalipun masih ada sebagian aturan yang masih memberlakukan hukum India
yang sebenarnya adalah warisan dari Inggris selaku penguasa imperium di India.Hukum Islam
yang dilaksanakan di Pakistan ini adalah menganut paham atau fiqh Mazhab Hanafi dan
sebagian adalah bermazhab Syi’ah. Dan kebanyakan di luar atau di negara bagian India
mayoritas bermazhab Syafi’i. Hal ini sesuai dengan penjelasan berikut ini.
Pembaharuan di India Pakistan sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyid Amir Ali
dkk. Telah memberikan kontribusi yang berpengaruh bagi perkembangan di India Pakistan .
Pemikiran pertama yang kembali kesejarah lama untuk membawa bukti bahwa agama islam
adalah agama rasional dan agama kemajuan ialah Sayyid Amir Ali. Bukannya The Sfirit Of
Islam di cetak pertama kali di tahun 1891, dalam bukunya itu ia kupas ajaran-ajaran islam
mengenai tauhid, ibadat, hari akhirat, kedudukan wanitaperbudakan, sistem politik, dan
sebagainya. Dan sebagaimana pembaharuan Iqbal, Jinnah, Abu Kalam Azat dan Abu A’la Al-
maududi juga memberikan kontribusi yang sangat penting bagi di India Pakistan.[92]
Sesuai dengan perkembangan zaman hukum islam di Pakistan pun mengalami
pembaruan khususnya dalam masalah hukum keluarga muslim. Misalnya hukum perkawinan
berkaitan dengan pencatatan perkawinan, poligami, perceraian,nafkah isteri masih dalam
keadaan iddah,mas kawin, hukum keturunan, usia nikah, dan lain-lain
A. Perkawinan di bawah umur (masalah batasan usia nikah)
Masalah ini setidaknya mendapatkan perhatian dari 4 negara Muslim, yakni
Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat
negara tersebut secara eksplisit memberlakukan sanksi hukum terhadap pelanggaran masalah
ini.
Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah
usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau
keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang
menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur
(nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak
lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau
mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di
bawah umur. Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang
dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu
keputusan tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara
maksimal 3 bulan.
B. Pendaftaran dan pencatatan perkawinan
Di Pakistan perkawinan juga wajib dicatat, seperti misalnya seorang yang telah
menceraikan isterinya wajib untuk memberikan copy dari putusan perceraian tersebut, kalau
tidak ia lakukan maka ia bisa dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku.
C. Masalah mas kawin uang haantaran
Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India) persoalan mas kawin, hantaran dan
biaya perkawinan sering menjadi isu kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat
masih kuatnya pengaruh tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang

18
kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus dan menggariskan
aturan sanksi hukum dalam masalah ini.
Pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran)
perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat dihukum penjara
maksimal 6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU ini; atau
keduanya sekaligus. Dalam pada itu apabila mas kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah
yang diberi atau diterima tidak sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada
Pemerintah federal untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur
dalam UU ini.
D. Poligami & hak istri dalam poligami
Setidaknya ada 8 Negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum
terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah
Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Di Pakistan,
poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan Dewan Hakam
(arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi pelanggarnya, atas pengaduan,
dapat dihukum penjara atau denda, atau malah kedua-duanya.
E. Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran perceraian
Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat
(chairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya kepada istri, dapat
dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.
F. Masalah hak waris perempuan
Tampaknya inisiatif model Pakistan telah masuk ke Indonesia, melalui bagian 4 dari
Ordonansi Hukum Keluarga Tahun 1961, negara ini telah memberikan kepada cucu laki-laki
maupun perempuan, hak untuk menerima bagian yang sama dengan bagian yang seharusnya
diterimakan kepada orang tua mereka yang telah meninggal terlebih dahulu jika orang tua
tersebut masih hidup pada saat pembagian warisan.

19
PEMBARUAH HUKUM KELUARGA DI SUDAN

Republik Sudan adalah sebuah negara di Afrika timur laut yang merupakan negara
terbesar di Afrika dan seringkali dianggap sebahagian Timur Tengah. Sudan memperoleh
kemerdekaan dari Inggris pada 1 Januari 1956, pernah mengalami perang sipil selama 10 tahun
(1972-1982), dan sejak saat itu, Sudan selalu dikuasai oleh militer. Kudeta silih berganti.
Jumlah penduduk Sudan adalah 38.114.160 orang, 70% Muslim (Sunni), Kristen 5% dan
Animisme 25%. Bahasa nasional adalah Arab, di samping bahasa lokal : Nubia, Ta Bedawie,
serta bahasa Inggris.
Sudan Selatan dalam sebuah referendum beberapa waktu lalu menyatakan,
pelaksanaan undang-undang Islam hanya berlaku di wilayah Utara Sudan, yang merupakan
mayoritas Muslim.
Sementara pada wilayah Selatan, yang berlaku adalah peraturan sekular yang
mengikuti kepercayaan Kristian dan tradisional mayoritas warga Sudan Selatan. Syariat Islam
dipilih karena dianggap mampu menghadirkan stabilitas, tata kelola, serta pertumbuhan.
I. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Dunia
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim dalam abad 20 adalah adanya
usaha pembaruan hukum keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan) di Negara-negara
yang berpenduduk mayoritas muslim.[124]
Adapun bentuk pembaharuan yang dilakuan berbeda antara satu Negara dengan
Negara lain. Pertama, kebanyakan Negara melakukan pembaruan dalam bentuk Undang-
undang. Kedua, ada beberapa Negara yang melakukannya dengan berdasar dekrit (raja atau
presiden), seperti Yaman Selatan, dan Syiria dengan Dekrit Presiden tahun 1953. Ketiga, ada
Negara yang pembaruannya dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadhi al-
Qudha) seperti yang dilakukan Sudan.[125]
Sejumlah Negara melakukan pembaruan hukum keluarga secara menyeluruh yang di
dalamnya mencakup perkawinan, perceraian dan warisan, sementara itu sejumlah Negara lain
membatasi hanya pada perkawinan dan perceraian. Bahkan ada Negara yang melakukan
pembararuan dengan cara setahap demi setahap yang dimulai dengan satu aturan tertentu,
seperti keharusan pencacatan perkawinan dan perceraian, serta siapa yang berhak mencatatkan
perkawinan dan perceraian, kemudian diteruskan dengan aturan lain yang masih dalam soal
perkawinan dan perceraian, lalu diteruskan lagi dengan aturan yang berhubungan dengan
masalah warisan.[126]
II. Proses yang Unik Terhadap Pembaharuan Hukum
Jumlah pembaharuan besar terkait hukum keluarga Islam terdapat di tetangga Mesir,
yakni di Sudan. Pada abad ke-19 Sudan menerapkan system hukum yang bersumber dari yang
bersumber dari system hukum Turki-Mesir. Mazhab awal yang digunakan adalah mazhab
hanafi, namun sebagian besar di kemudian hari menggunakan mazhab Maliki.[127]
Pada tahun 1899 Sudan berada di bawah pemerintahan Inggris Raya yang
diberlakukan seperti code penal 1860 dan undang-undang prosedur kriminal1898, keduanya
diadopsi sesuai kebutuhan setempat. Tahun 1900 regulasi iInggris-India diberlakukan di
Sudan, tetapi peradilan syari’ah setempat memperluas penggunaannya untuk pasangan suami
istri.[128]
Ordonasi peradilan hukum Muhammad 1902 memberikan wewenang kepada
peradilan-peradilan termasuk juga prinsip-primsip keradilan di bawah syari’ah di Sudan, qadhi
al- Qudhot menerapkan peraturan tersebut secara seksama di pengadilan-pengadilan[129]
Dalam perubahan hukum, banyak keluarga yang telah disurvey oleh orang-orang
Mesir sebagai Negara tetangga Sudan. Parubahan itu di pengaruhi oleh Legislatif, dan Negara

20
Sudan telah mengadopsinya dengan cara yang berbeda. Sebelum kekuasaan Ottoman sekolah
Maliki dan Syafi’i sudah ada di Sudan. System resmi Hanafi menjadi dominan sehingga
organisasi hukum pengadilan Muhammadan dan peraturan prosedur berlaku tahun 1915.
Kekuasaan peradilan ada di tangan para Qadhi, peraturan itu mengatakan bahwa : Keputusan
pengadilan hukum Muhammadan berdasarkan kekuasaan yang ada yaitu Hanafi kecuali
beberapa hal yang harus di putuskan oleh Qadhi dalam memorandum, dalam hal ini keputusan
berdasarkan doktrin dari Hanafi atau juri muslim yang ditetapkan dalam rapat dan
memorandum[130]
Dibawah kekuasaannya, pada tahun 1916 adanya jumlah dari manshurat para Qadhi,
dimana kekuasaanya identik dengan legislatif seperti Negara Mesir dan Arab serta pengadilan
tradisional Islam bukan pembuat undang-undang. Di Sudan juga masuk sekolah Hanafi
Posisi Qadi di Sudan sudah sejak lama dikuasai oleh orang-orang Mesir. termasuk
pendiri yang terkenal yaitu Musthofa Al-Maroghi pimpinan dari Jami’ah Al-Azhar. Posisi para
Qadhi sangat dominan di pengadilan syari’ah.
Beberapa prinsip islam anti Hanafi di Sudan diberitahukan melalui surat edaran pada
hukum keluarga. Surat edaran yang pertama pada tahun 1916 oleh Qadi Shyakh Muhammad
Shakir, seorang mesir yang sangat konsen dengan perubahan hukum tentang keluarga di Mesir.
Ketika hukum tentang keluarga diedarkan dan diisukan para Qadi dibawah pengaruh gerakan
perubahan sosial di Mesir, hampir semua anti hanafi resmi dipergunakan di mesir tepatnya
tahun 1920 dan 1929. Edaran muncul di Sudan pada tahun 1916 dan 1935, beberapa edaran
meluas hingga ke Sudan diantaranya prinsip berkenaan dengan wasiat ditetapkan di Mesir pada
tahun 1943 dan 1946 dengan maksud untuk menetapkan keseragaman, maka dari itu perubahan
hukum keluarga di Sudan hamper serupa dengan Mesir. Yang pada intinya perubahan hukum
di Mesir di adopsi oleh Sudan[131]
III. Ketentuan-ketentuan yang Berhubungan dengan perundang-undangan
Pada tahun 1916-1960 transisi konstitusi terjadi, terbitlah 10 penetapan bidang
hukum hubungan kekeluargaan dan pewarisan yang antar lain :[132]
1. Hukum pembiayaan dan perceraian di pengadilan (1916)
2. Hukum tentang orang hilang (1921)
3. Hukum waris (1925)
4. Hukum pembiayaan dan perceraian di pengadilan (1927)
5. Hukum pemeliharaan anak (1932)
6. Hukum tentang talak sengketa perkawinan, hibah (1935)
7. Hukum perlindungan anak dan harta (1937)
8. Huku waris (1943)
9. Hukum wakaf (1945)
10. Hukum perlindungan pernikahan (1960)
IV. Catatan penetapan Qodhi al-Qudhot
1. Hukum dalam pemeliharaan dan perceraian pada peradilan[133]
1) Jika seorang suami tidak mampu memberikan nafkah hidup kepada istrinya maka Qadhi dapat
menyetujui perceraian yang diajukan istrinya apabila suami telah diberikan peringatan.
2) Jika seorang pria meninggalkan istrinya lebih dari satu tahun dan ini menyebabkan situasi yang
sulit bagi sang istri, maka Qadhi dapat memutuskan untuk memisahkan/menceraikan atau
meminta istri meninggalkan suaminya.
3) jika seorang suami pergi menghilang dalam waktu yang panjang
Meskipun ia meninggalkan harta, maka seorang istri dapat mengajukan masalah tersebut
kedepan pengadilan. Selanjutnya pengadilan akan melakukan pencarian dan melacak informasi
keadaan suami .Jika pengadilan tidak memperoleh informasi maka pengadilan dapat meminta

21
kepada sang istri untuk menunggu mafqudnya suami terhitung empat tahun dan kemudian
melaksanakan masa iddah kematian. Setelah itu istri dapat menikah kembali dengan laki laki
lain. jika setelah nikah kedua tiba tiba suami pertama datang kembali, maka pernikahan kedua
tetap sah asal ia telah di gauli suami kedua tanpa mengetahui sedikitpun mengenai kehidupan
suami pertama. Jika suami kedua mempunyai informasi mengenai kehidupan suami pertama,
maka perkawinan kedua di anggap batal dan istri menjadi milik suami pertama.
2. Hukum pada pemeliharaan dan perceraian 1927 (Manshur 28 tahun 1927)[134]
1) Seorang wanita yang berada dalam masa iddah dan tidak dalam keadaan menyusui
anaknya, maka ia tidak berhak untuk mengkaim perawatan anaknya jika perceraian itu sudah
terjadi selama satu tahun.
2) Jika seorang suami yang sudah menikah kemudian ditemukan penyakit yang serius yang
dikhawatirkan akan berkembang dan menular, maka pernikahannya dapat dibubarkan
(diceraikan) oleh hakim demi menjaga kemaslahatan keduanya.
3. Hukum dalam talak dan pembagian harta pada tahun 1935 (mansyur 41 pada tahun 1935)[135]
1) Perceraian yang diucapkan oleh seorang suami yang mabuk, atau dibawah paksaan, atau
perceraian bersyarat, tidak berlaku (tidak sah). Perceraian baru sah apabila suami benar-benar
bermaksud untuk memutuskan perkawinan
2) Bahasa kiasan yang digunakan untuk perceraian antara suami dan istri yang akan bercerai,
perceraian bisa terjadi jikalau suami benar-benar ingin bercerai
3) Semua perceraian dapat dibatalkan oleh suami, kecuali talak tiga
4) Segala kebutuhan biaya hidup seorang istri harus bisa dipenuhi oleh sang suami
5) Jika terjadi sengketa antara pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus dapat
membuktikan gugatannya tersebut. Apabila istri tidak dapat membuktikan, maka sumpah
suami yang dijadikan dasar putusan, kecuali jika suami menyatakan jumlah yang tidak wajar
senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut
6) Perhiasan dan benda-benda yang lain seperti buku, mobil, gaun yang diberikan orang tua
kepada anaknya harus dianggap pemberian walaupun anak-anak harus izin terlebih dahulu
sebelum menggunakan
4. Hukum dalam warisan pada tahun 1945 (mansyur 53 pada tahun 1945)[136]
1. Warisan dibatasi oleh satu sampai tiga kepemilikan harta, apapun pewaris/bukan pewaris harus
sah terlepas pemberian kepada pewaris atau pewaris lainnya. Jika melebihi satu sampai tiga
kepemilikan harta maka kelebihan itu akan diberikan secara gratis kepada pewaris.
2. Orang yang membagi kepemilikan harta diantara pewaris dia tidak akan memberikan pewaris
lebih dari apa yang mereka dapat dalam harta warisan yang mereka dapat. Jika kelebihan itu
didapat secara secara resmi dan sah maka seharusnya warisan di setujui oleh hukum warisan
setempat
5. Hukum dalam perlindungan pernikahan pada tahun 1960 (Mansur 54 pada tahun 1960)[137]
1. Pernikahan seorang gadis (masih dibawah umur) tidak disahkan oleh perlindungan pernikahan
karena dipandang tidak efektif
2. Jika seorang laki-laki menikah dan menderita karena penyakit yang serius , untuk mencegah
agar tidak berkembang dan menular setelah menikah. Pernikahan akan dibatalkan oleh Qadhi.
Meskipun sang istri tidak terlalu perduli dalam pernikahannya. Jika sang suani tetap ingin
mempertahankan pernikahannya, maka pernikahan itu tetap tidak akan disetujui untuk
dilanjutkan
3. Seorang wanita yang berada pada masa idah tidak menyusui anaknya lebih dari 1 tahun dari
tanggal perceraiannya
4. Jika seorang wanita menyusui anak, maka dia harus bertanggung jawab menjaga selama tiga
bulan dan waktu menyapih tidak harus ditentukan

22
5. Ketika seorang gadis melakukan kontrak nikah tanpa ada kemauan dari dirinya, pernikahan itu
tidak dapat disahkan
6. Dimana ada seorang gadis dibawah pubertas berumur 10 tahun dia harus meminta izin kepada
qadhi untuk menikah. Dia harus meminta izin dari pihak laki-laki, mereka diberi mahar yang
bisa dipertanggung jawabkan
V. Perubahan Hukum di Mesir yang diadopsi oleh Sudan
Di bawah ini adalah kesimpulan dari prinsip-prinsip hukum yang ditetapkan di Mesir dan
di bawa ke Sudan
1. Hilangnya seorang suami (Mafqud)
Jika seorang suami hilang tidak diketahui keberadaannya dalam waktu yang lama,
sedangkan ia memiliki harta, maka sang istri berkewajiban menjaga hartanya tersebut.
Kemudian istri dapat mengajukan ke pengadilan untuk proses perceraian, maka pengadilan
juga harus menyelidiki hilangnya suami tersebut, jika seorang suami tidak diketahui kabar
beritanya atau disangka meninggal maka pengadilan harus meminta istrinya untuk
menunggu beberapa saat, dan istri harus menyelesaikan masa Iddahnya dulu baru kemudian
bisa menikah lagi, jika setelah pernikahan keduanya, tiba-tiba suaminya datang/muncul
kembali, maka pernikahan yang kedua harus dibatalkan.
2. Pengkhianatan dan kejahatan
Ketika seorang suami menghianati istrinya lebih dari satu tahun dan sang istri
mendapat kelakuan yang tidak baik maka sang istri berhak menghadap kepada Qadhi dan
meminta perceraian, untuk menerima laporan dari istri Qadhi sebelumnya harus memberi
peringatan terlebih dahulu kepada sang suami, jika sang suami bisa di hubungi maka Qadhi
harus membuat jadwal pertemuan untuk mereka berdua agar berkomunikasi terlebih dahulu,
jika suami tidak bisa dihubungi maka Qadhi tidak bisa menyelamatkan pernikahan tersebut.
Sama kasusnya apabila sang suami berbuat kejahatan pada istrinya, seorang istri bisa langsung
mengajukan perceraian atas pernikahannya itu.
3. Terputusnya sebuah pernikahan
Jika seorang suami tersiksa, selama pernikahan dari penyakit yang berbahaya dan istri
tidak tahu sama sekali maka sang istri berhak memutuskan perceraian kepengadilan
4. Pengaruh perceraian
Dibawah hukum Mesir no 25 tahun 1929 jika perceraian yang diucapkan oleh seorang
suami ketika dalam kondisi mabuk dibawah alam sadar, maka perceraian itu dianggap tidak
sah, karena perceraian harus diucapkan dalam kondisi stabil dan sadar.
5. Solusi perselisihan dalam hubungan perkawinan
Jika perselisihan itu sudah sampai di pengadilan maka salah satu pihak keluarga harus
hadir disana, harus ada kerjasama diantara kedua belah pihak, apabila tidak ada maka
penyelesaian perselisihan perkawinan tidak bisa dilakukan, jikalau sang istri tidak dapat
membuktikan ucapannya maka pernyataan suami yang akan diterima oleh pengadilan

23
PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA SYRIA

Sepanjang Perang Dunia I, Syria merupakan bagian dari Dinasti Utsmani. Sebagai
konsekuensinya berlakulah hukum dan peradilan Utsmani. Kemudian akhirnya mengalami
pembaruan dari waktu ke waktu secara berangsur ke seluruh penjuru wilayah negara
Syria.[138]
Undang Undang Status Perorangan/Sipil Negara Libya Tahun 1953 memuat 308
artikel yang dibagi ke dalam enam kitab yakni: Perkawinan, Putusnya Perkawinan, Kelahiran
Anak dan Akibat Hukum terhadap Kelahiran, Kapasitas dan Representasi Hukum, Wasiat, dan
Pewarisan.
Undang Undang yang dideklarasikan tersebut, didominasi oleh pendapat-pendapat
hukum dari Madzhab Hanafi. Ditambah dengan penyesuaian-penyesuaian secara spesial
terhadap kaum Duruz dan Kristen Syria.[139]
A. ASPEK-ASPEK HUKUM KELUARGA NEGARA SYRIA
Meski negara Syria bermadzhab Hanafi, pemerintah negara tetap mengadopsi produk
hukum negara Mesir peninggalan Qudri Pasha dan ‘Ali al-Tantawi (Damaskus).
1. Usia Perkawinan
Masa puber/baligh menjadi pertimbangan penting terkait pembatasan usia perkawinan.
Pengadilan memberikan izin perkawinan jika kedua mempelai memenuhi syarat usia minimal
dan memiliki keterangan sehat jasmani dari medis. Pemerintah Syria menentukan usia minimal
perkawinan yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan usia 17 tahun bagi perempuan. Khusus
perkawinan anak laki-laki berusia 15 tahun dengan anak usia 13 tahun bagi perempuan,
perkawinan tersebut wajib memperoleh izin dari pengadilan. Sedangkan perkawinan di bawah
toleransi usia dari pengadilan, dinilai batal secara hukum.[140]
2. Poligami
Di dalam artikel ke-17 dari Undang Undang Keluarga Negara Syria dikatakan bahwa
pengadilan dapat menolak keinginan berpoligami bagi laki-laki yang secara nyata dinilai tidak
mampu menafkahi dua istri. Konsep ini diambil dari ajaran Madzhab Syafi’i, meski
membolehkan poligami di dalam ajaran madzhabnya, Imam Syafi’i tetap menutup
kemungkinan seorang suami berpoligami dalam kondisi ia dinilai tidak mampu, terlebih lagi
jika poligami yang akan dilakukan dikhawatirkan akan menjadi bencana sosial. Di sini dapat
kita lihat meskipun menggunakan Madzhab Hanafi secara umum, konsep Madzhab Syafi’i
tetap dijadikan rujukan. Hal tersebut dimungkinkan karena Syria juga mengadopsi beberapa
konsep yang dihasilkan produk hukum negara Mesir yang memang jauh lebih dulu menelurkan
undang undang keluarganya.[141]
3. Hak Istri dalam Pembatalan Perkawinan
Di dalam Hukum Negara Syria, ajaran Hanafi menjelaskan pembedaan antara
perkawinan yang batil (batal) dan perkawinan yang fasid (batal demi hukum). Secara umum,
istri tidak dapat menuntut apa-apa dalam kasus perkawinan yang batal demi hukum, namun
demikian Madzhab Hanafi memberikan hak kepada Istri tetap dapat menuntut sejumlah biaya
dalam hal perkawinan yang dinilai fasid tersebut.
4. Nafkah kepada Istri
Undang Undang Keluarga Negara Syria. Artikel ke-72 menyatakan bahawa
sekalipun pasangan tersebut berbeda dalam keyakinan, istri –agama apapun dia– tetap dapat
meminta nafkah kepada suaminya yang berstatus muslim. Nafkah sudah dapat dimintakan
selambat-lambatnya empat bulan berjalan semenjak perkawinan dilakukan. Pengadilan dapat
memproses dan memutuskan dalam hal pengajuan tuntutan nafkah yang diajukan istri,
terutama nafkah yang berupa uang yang semestinya wajib diberikan suami kepada istrinya.

24
Pengadilan akan menetapkan tenggat waktu pembayaran nafkah suami kepada istri sesuai
dengan kondisi keuangan suami.[142]
5. Perceraian
Hukum Keluarga Negara Syria memberikan izin kepada seorang suami yang cukup
umur (18 tahun) melakukan talak cerai. Pengadilan dapat membatalkan talak yang diucapkan
oleh seorang suami yang berusia di bawah 18 tahun jika dikhawatirkan terhadap dampak yang
ditimbulkannya.
Secara umum, talak yang disebabkan ucapan orang mabuk, di bawah tekanan, dan dalam
keadaan tidak sadar, tidak menimbulkan efek menurut Hukum Keluarga Negara Syria. Namun
demikian, pernyataan-pernyataan berunsur majas metafora menjadi sah keberlakuannya
menurut hukum. Bentuk ucapan talak yang berulang-ulang dalam satu waktu tetap berhukum
talak satu sesuai dengan Madzhab Hanafi.[143]
6. Kompensasi dari Perceraian
Jika Pengadilan memutuskan bahwa serorang suami sah menceraikan istrinya tanpa
alasan-alasan hukum dan istri tersebut menerima penetapan yang demikian, maka suami harus
serta merta memberikan pembayaran kepada mantan istrinya tersebut sebagai kompensasi.
Besaran kompensasi ditentukan dengan melihat kondisi keuangan suami dan seberapa nilai
kerugian dari istri yang ditinggalkan.[144]

7. Perceraian dengan Khulu’


Hukum Keluarga Negara Syria mengakomodir Doktrin Islam
mengenaikhulu’ sebagai hak istri kepada suaminya untuk memutuskan ikatan perkawinan.
Namun demikian, di dalam Artikel/Pasal 96 dikatakan bahwa pengajuan itu harus diterima oleh
suami dengan sukarela. Selama periode ‘iddah perceraian dengankhulu’ itu, suami tetap harus
memberikan nafkah penghidupan kepada istrinya, kecuali ditetapkan lain di dalam
perjanjian khulu’ yang dibuat kedua belah pihak (suami dan istri).[145]
8. Permohonan Perceraian dari Istri
Pengadilan dapat memenuhi permohonan dari istri dalam pengajuan tuntutan bercerai sesuai
dengan hal-hal berikut, yaitu:
1) Suami mengalami penyakit dan/atau kebiasaan buruk yang tidak diinginkan oleh istri, di mana
istri tidak mengetahui kekurangan tersebut sebelum perkawinan dilaksanakan;[146]
2) Penyakit jiwa yang dialami oleh suami, dalam kondisi yang sama dengan penjelasan angka (1)
di atas;[147]
3) Suami mengalami pemidanaan yang mengakibatkan ia dipenjara selama lebih dari tiga
tahun;[148]
4) Kegagalan suami dalam hal nafkah;[149]
5) Kasus cedera atau cacat yang dialami oleh suami.[150]
Pengadilan akan melakukan pertimbangan terhadap alasan-alasan ajuan permohonan
perceraian di atas sebelum mengambil kebijakan dalam putusan. Adapun jenis permohonan
angka (1), (2), dan (5) merupakan kategori pengajuan gugat cerai yang tidak dapat dibatalkan,
sedangkan angka (3) dan (4) adalah jenis pengajuan perceraian yang dapat dibatalkan
sepanjang periode masa ‘iddah istri.[151]
9. Periode kehamilan
Artikel/Pasal 129 Undang Undang Keluarga Negara Syria menetapkan bahwa 180 hari sebagai
angka minimum dan satu tahun kalender matahari sebagai periode kehamilan.[152]

10. Hukum Wasiat

25
Sebagian besar ketentuan-ketentuan Hukum Wasiat Negara Syria merupakan adopsi dari
Hukum Wasiat Negara Mesir Tahun 1946. Namun demikian, ada juga aturan yang tidak
berhubungan dengan Hukum Mesir.[153]
11. Pewarisan
Kitab ke-4 dari Undang Undang Keluarga Negara Syria mengatur tentang suksesi
pewarisan. Secara umum ia mengambil dasar dari ajaran-ajaran tradisional Madzhab Hanafi
dalam pewarisannya. Sama halnya dengan Hukum Waris Negara Mesir Tahun 1943, Hukum
Waris Negara Syria juga memiliki kontroversi terutama permasalahan kasus Himariya, yakni:
1) Pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan Imam Maliki memberikan dukungan terhadap kasus
Himariya;
2) Khalifah ‘Ali memutuskan dalam kasus hak kakek dalam mendapatkan pewarisan di dalam
perebutan antara pewaris laki-laki dan pewaris perempuan;
3) Adanya hak yang tetap bertahan bagi suami dan istri untuk mendapatkan sisa bagian waris.
Sepanjang aturan Alquran dan di bawah doktrin pengembalian;
4) Skema yang dibuat oleh Imam Shaybani untuk mendistribusikan harta peninggalan kepada
garis keturunan kandung seibu.[154]

26
HUKUM KELUARGA ISLAM DI REPUBLIK TURKI

Turki merupakan Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Turki


mengproklamirkan sebagai suatu Negara sejak tahun 1924. Secara Geografis Negara Turki
memiliki wilayah yang membentang di dua benua, yaitu benua Eropa dan benua Asia dengan
luas wilayah 780 576 Km2 yang terdiri dari 67 propinsi.
Berdasarkan hasil sensus tahun 1989 jumlah penduduknya sekitar 55.400 000 jiwa
dengan tingkat kepadatan penduduk 711 jiwa/ Km2 dan prosentasi tempat tinggal 53 % hidup
di perkotaan. Dalam berbangsa dan bernegara mereka memiliki motto yaitu Yurta Sulh,
Cihandra Sulh (Peace at home, Peace in the world) . Turki bukanlah Negara agama, meskipun
penduduknya 98 % beragam Islam dan 2% lagi beragama Yahudi, Katolik Roma dan pengikut
beberapa kelompok ortodok timur.[155] Negara menjamin kebebasan beragama bagi
penduduknya.
Islam yang berkembang di Turki menganut paham mazhab Hanafi seperti di katakan
Tahir Mahmood ; In the republic of Turky, Islam is the religion of an over whelming majority.
The Hanafi school of Islami law was traditionally followed there till 1926. An Islamic civil
code based on the hanafi law (Called the majallat al Ahkamal Adliya) . [156] Turki telah
memberikan peluang sebagian Hukum Islam telah menjadi Undang undang Sipil Islam. Ini
merupakan respon terhadap perkembangan pemikiran dan politik di Turki.
Pada tahun 1839 dikeluarkan Dekrit imperium – Hatt-I syarif sebagai pondasi bagi
rezim legislatif moderen. Kemudian pada tahun 1850 – 1858 dikeluarkan undang undang
perdagangan dan pidana, yang sebagian rumusannya diambil dari hukum mazhab Hanafi dan
hukum prancis. Kodifikasi dilakukan bersamaan dengan gelombang modernisasi hukum dan
westernisasi, seperti penetapan Majallat al Ahkami Al Adliyah. Undang undang al Ahkam al
Adliyah adalah undang undang sipil pertama yang ditetapkan di dunia Islam.[157]
Pada tahun 1915 kekaisaran mengluarkan dua keputusan yang mereformasi hukum
mazhab Hanafi tentang hak perempuan untuk bercerai di pengadilan. Perempuan
dimungkinkan untuk meminta cerai perdilan (faskh) dengan alasan ditinggalkan oleh suami
dan penyakit yang diderita suami.[158] Dua tahun kemudian hukum pernikahan
dikodifikasikan, berjudul Qanun –I Qarar Haquq a’ailah al –uthmaniah-hukum Utsmaniyah
siberlakukan oleh governmanent kekaisaran.[159]
Dibawah pemerintahan Mustafa Kemal Pasha usaha kodifikasi kembali dilakukan.
Hasilnya pada tahun 1924 konstitusi nasional baru ditetapkan dengan mengadopsi system
hukum sipil. Adopsi tersebut karena perbedaan internal ahli ahli hukum agama telah gagal
mengusahakan undang undang didasarkan hukum Syari’ah. Undang undang sipil Turki 1926
yang baru, memuat tentang perkawinan, perceraikan, hubungan keluarga dan
kewarisan.[160] Pembaruan perundang undangan terus dilakukan UU sipil 1926 kemudian
dilakukan amandemen sebanyak 6 kali. Pemerintah Turki melakukan pembaruan pengaturan
hukum Sipil sesuai dengan perkembangan sosial dan politik masyarakatnya hingga sekarang.
Hukum yang berkaitan dengan pernikahan, keluarga dan suksesi incoporading dalam
kode sipil tahun 1926 diubah dengan undang undang debagai berikut ;
(1) Kode Sipil (amandemen Pertama) hukum 1933
(2) Kode Sipil (amandeman kedua) hukum tahun 1938
(3) Hukum perdata hukum tahun 1945
(4) Kode Sipil (amandemen) undang undang tahun 1950
(5) Kode Sipil (amademan) undang undang tahun 1933
(6) Kode Sipil tahun1965
1. Pinangan

27
Pinangan atau Pertunangan (khitbah) menurut hukum keluarga Turki, mendorong
untuk tidak mengadakan perjajian khusus pernikahan. Jika pesta pertunangan sudah silakukan,
ternyata perjajan pernikahan batal. Maka pihak yang membetalkan perkawinan akan membayar
anti rugi
2. Hukum Perkawinan
Dalam undang undang Turki menyatakan bahwa perkawinan boleh dirayakan sesuai
dengan agama masing masing jika dikehendaki, namun pendaftaran dilakukan sebelum
perayaan tersebut. Setelah syarat formalitas dipenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku,
kedua pasangan boleh merayakan pernikahan.[161]
Menurut mazhab Hanafi menyebutkan bahwa secara definitif walimah berarti
makanan pengantin atau makanan yang dihidangkan untuk sebuah jamuan sedangkan menurut
Jumhur ulama hukum penyelenggaraan walimah adalah sunnah muakkadah, sementara
menghadiri undangannya menurut Hanafiyah adalah sunnah. Pandangan Hanafi ini berbeda
dengan Jumhur yang mewajibkan.[162]
Untuk mengatur perkawinan pemerintah Turki membatasi usia perkawinan, maka
umur minimal seseorang yang akan menikah adalah 18 tahun untuk laki laki dan 17 tahun bagi
perempuan.[163] Sedangkan untuk pernikahan dibawah umur mazhab Hanafi tidak
memberikan batasan umur pernikahan.
Dalam kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun
bagi laki laki dan 14 tahun bagi perempuan setelah mendapatkan izin orang tua atau wali.
3. Larangan Perkawinan
a. Hubungan darah dalam garis langsung- saudara laki laki, perempuan, bibi, paman, keponakan,
saudara seibu, seayah dan juga melalui perkawinan.[164]
b. Adopsi.
Adopsi menurut hukum sipil Turki salah satu penghalang pernikahan. Dalam hal ini sangat
berbenturan dengan hukum Islam tentang Adopsi. Sedangkan menurut : mazhab Hanafi
tentang penyebab keharaman pernikahan karena musaharah (ikatan pernikahan), persusuan,
pernikahan dengan dua saudara kandung dalam satu waktu.[165]
Pengadilan secara khusus mengenal Adopsi sebagai salah satu penghalang pernikahan. Hal ini
merupakan pembaruan Kode Sipil Turki, yang didak dikenal dalam hukum Islam. Menurut
mazhab Hanafi penyebab haramnya pernikahan disebutkan Musaharah (Ikatan perkawinan),
persusuan, pernikahan dengan dua saudara kandung dalam satu waktu, pemilikkan,
musyrik. Jadi anak hasil adopsi tidak dapat mencegah pernikahan.
4. Poligami
Undang undang Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan
pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa seorang tidak menikah, jika dia tidak
membuktikan bahwa pernikahan yang pertama bibar karena kematian, perceraian atau
pernyataan pembatalan. Pernikahan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas
dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah.[166]
5. Pembatalan Pernikahan
Pembatalan Pernikahan menurut undang undang sipil Turki sebagi berikut :
a. Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah.
b. Salah satu pihak pada saat menikah menderita dakit jiwa atau penyakit permanen lain.
c. Pernikahan termasuk yang dilarang.
6. Pernikahan yang tidak sah (Voidable)
Undang undang Turki memberi kewenangan untuk menyatakan ketidakabsahan
suatu pernikahan sesuai alasan alasan yang telah ditetapkan, yaitu ;

28
(1) Bahwa pada saat nikah ada penilaian dari salah satu pihak suami isteri yang merasa dirugikan
yang dipengaruhi oleh suatu alasan yang biasa melekat pada kasus yang bersifat sementara
(2) Bahwa salah satu pihak dalam kenyataannya tidak bermaksud melakukan perjanjian
pernikahan atau menikahi pasangannya.
(3) Bahwa salah satu pihak yang melakukan kontrak nikah memiliki anggapan yang valid bahwa
pasangannya tidak memiliki kualitas seperti yang siinginkan sehingga membuat kehidupan
perkawinan tidak dapat si tolelit untuk teurs dilembagakan.
(4) Bahwa salah satu pihak dengan jelas mengetahui pasangan yang berhubungan dengan karakter
dan moral.
(5) Bahwa salah satu pihak menderita penyakit yang membahayakan orang lain atau masih berusia
anak anak.
(6) Bahwa salah satu pihak dipaksa menikah dengan ancaman yang membahayakan kehidupan,
kesehatan, financial atau membahayakan kerabat dekat.[167]
7. Perceraian
Undang undang Turki membolehkan suami istri mengajukan permohonan untuk
bercerai melalui pengadilan. Talak adalah suami, tetapi menurut Hanafi; talak dapat jatuh dari
pihak selain suami denan izinnya. Dengan cara mewakilkan atau tertulis melalui
surat.[168] Agama Islam membolehkan perceraian bila tidak mendapatkan solusi yang baik
dalam perselisihan perkawinan.
Ada 6 hal yang membolehkan suami istri menuntut pengasilan mengeluarkan dekrit
perceraian yaitu ;
1) Salah satu pihak telah memutuskan
2) Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain
3) Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak
bisa ditolelir untuk dilanjutkan.
4) Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa sebab yang jelas
selama sekurang kurangnya 3 bulan.
5) Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bida
ditolelir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode sekurang kurangnya 3
Tahun.
6) Hubungan suami istri sedekian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir
Dalam undang undang Turki ditetapkan bahwa pengadilan boleh menetapkan uang
ganti rugi yang harus dibanyar salah satu dari suami istri untuk pasangan yang disakiti. Ganti
rugi yang dimaksud, jika sang istri dirugikan karena tidak dapat dilanyani oleh suami, sang istri
tetap mendapatkan nafkah

8. Hukum Waris
Undang Undang Sipil Turki berkaitan dengan kewarisan terdapat pada buku ketiga.
Yang mengenalkan semuaskema kewarisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari Undang undang
sipil Awizerland, sedangkan hukum Hanafi tentang kewarisan sebalumnya telah diikuti di
Turki sampai tahun 1926 dan kemudian diganti dengan skema baru.
Salah satu bagian yang ditawarkan adalah prinsip kesetaraan antara laki laki dan
perempuan yang berkaitan dengan kewarisan. Al Quran menunjukkan tingkat kedekatan
proposisi bahwa kesamaan laki laki harus dalam pembagian dua kali dari perempua

29
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI NEGARA INDONESIA

Penduduk Indonesia mayoritas menganut mazhab syafi’i, Indonesia punya keanehan


yaitu mencampur hukum Islam dan hukum adat dalam sistem hukumnya.[181]Sebelum
kedatangan islam pada abad kedua belas, tidak ada hukum keluarga yang umum diikuti di
indonesia.[182]
Organisasi keagamaan dan sarjana memulai sebuah pergerakan untuk pembebasan
penuh hukum personal islam menjadi bagian terutama pada hukum adat, dimana lebih
memberikan keadilan kepada perempuan. “KOWANI” Kongres Perempuan untuk Indonesia,
juga memberikan dorongan untuk upaya ini.[183] Sebuah RUU untuk pembaharuan hukum
perkawinan telah dibahas tahun 1937 tetapi tidak bisa menjadi Undang-undang. Sebuah
konstitusi nasional telah diumumkan di Indonesia pada tahun 1945. Dideklarasikan bahwa “
negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal itu memperlihatkan
kesetiaan kepada dasar Islam percaya kepada satu Tuhan (wahdaniyah). Bagaimanapun itu,
terjamin “kebebasan setiap penduduk untuk taat menghormati agamanya dan untuk
melaksanakan kewajiban agamanya sesuai dengan kepercayaannya.
1. Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan
yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di
Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam
Mazhab Syafi’i.[184] Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat
Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.[185] Fungsi
memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas
melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk
dalam hukum keluarga/perkawinan.[186] Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula
kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di
wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[187]
2. Masa Penjajahan di Indonesia
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia,
kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada dimasyarakat sehingga pada saat itu diakui
sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda
menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama
penghimpunnya. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam
untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).[188] Ketika pemerintahan
VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di
Yokyakarta mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang
perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir
penjajah.

30
Pada permulaan tahun 1937 pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana
pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern
huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas
monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama
dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[189] Menurut rencana rancangan
ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam
dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh
organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum
Islam.
3. Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di
bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan
Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang
ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang
pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah
perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang
berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas
suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa iddah agar
PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili pemerintah membawa
konsep RUU Perkawinan yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka
pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan
diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
4. Undang-undang perkawinan tahun 1974
Pada tahun 1967-68 dua RUU perkawinan yang baru menjadi perbincangan di
parlemen Indonesia. Pada Juli 1972 sebuah RUU yang baru diajukan ke DPR Indonesia.
Setelah 18 bulan dari perdebatan, dibuatlah pada hari kedua bulan Januari tahun 1974 “
Undang-undang perkawinan”. Pada mukoddimah undang-undang baru ini berbunyi bahwa
dibuatnya peraturan ini dengan filosofi pancasila dan cita-cita untuk memajukan sebuaah
undang-undang nasional.[190] Ringkasan pembaharuan di dalam bukun Family Law Reform
in the World, Tahir Mahmood membaginya hanya kepada bidang perkawinan,[191] yakni ;
a. Pendaftaran/Pencatatan Perkawinan
Undang-Undang tahun 1946 menetapkan untuk mendaftarkan semua perkawinan
di seluruh daerah di tanah air. Menurut Undang-undang ini, kedua belah pihak wajib
mendaftarkan perkawinannya kepada pegawai pencatat perkawinan.
b. Perkawinan Anak
Pokok Undang-undang tahun 1974 mengatur agar pegawai pencatat nikah tidak
melakukan pelaksanaan perkawinan anak-anak. Menurut undang-undang ini, merupakan
wewenang pegawai pencatat nikah untuk mencegah, sejauh mungkin, sebuah perkawinan anak
dari tempat wilayah tugasnya dan wilayah pendaftar.

31
c. Perceraian oleh Suami/Cerai Talaq
Menurut Undang-undang tahun 1974, Seorang suami yang akan menceraikan
istrinya harus melapor kepada pegawai pencatat nikah setempat dan selajutnya dilakukan upaya
untuk mendamaikan diantara suami istri itu, jika perdamaian itu gagal dan tetap pada
perceraian, pegawai tersebut melakukan upaya lain untuk mendamaikannya sebelum
masa ‘iddah’ tiba dan berakhir.
d. Penarikan Kembali Perceraian/Rujuk
Satu dari dua perceraian dapat dicabut kembali, menurut hukum Islam, Selama
dalam masa iddah. Undang-undang Indonesia tahun 1946 menetapkan kewajiban pencatatan
setiap pencabutan perceraian/Rujuk. Menurut peraturan tahun 1955, ketika seorang suami ingin
rujuk, daftarkan terlebih dahulu, dia mengajukan sebuah permohonan ke Pegawai pencatat
Nikah setempat. Setelah permohonan tersebut diterima, Pegawai pencatat Nikah akan
mengeluarkan akte rujuk.
e. Perceraian yang diwakilkan
Menurut hukum Islam, seorang suami dapat mewakilkankan haknya untuk mengucapkan talak
kepada istrinya. Pada saat perkawinan, suami-istri bebas untuk menetapkan perjanjian dalam
kontrak pernikahan, pelanggaran yang akan diberikan kepada istri sebuah hak untuk
mengucapkan cerai diwakilkan (Talaq Tawfid).
Akan tetapi setelah UUP, upaya pembaharuan berikutnya terjadi pada Menteri Agama
Munawir Syadzali, ditandai dengan lahirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada 10 Juni 1991
yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Jadi, pembaharuan
hukum keluarga Islam pada khususnya dan hukum Islam pada umumnya, maka Indonesia
termasuk ke dalam negara yang memperbaharui hukum Islam di berbagai bidang, yakni

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
1. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Iraq........................................ 1
2. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Afghanistan........................... 5
3. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Al-Jazair................................ 8
4. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Brunai Darussalam.............. 12
5. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Iran...................................... 15
6. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Kuait................................... 18
7. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Libiya.................................. 20
8. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Malaysia.............................. 23
9. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Lebanon.............................. 27
10. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Maroko................................ 34
11. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Mesir................................... 37
12. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Pakistan............................... 43
32
13. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Somalia................................ 45
14. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Sudan.................................. 50
15. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Syria.................................... 56
16. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Turki.................................... 60
17. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Yordania............................. 65
18. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Indonesia............................. 70
19. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Tunisia................................. 74

33

Anda mungkin juga menyukai