Anda di halaman 1dari 12

PENCATATAN PERKAWINAN

Makalah

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Islam 1

Dosen Penguji : Bunyamin, DRS.,M.H.

Oleh :

Nama : Koswara

NPM : 191000112

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang


telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga atas izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Islam.
Sekalipun makalah yang berjudul “Pencatatan Perkawinan” ini masih jauh dari sempurna,
namun ini merupakan suatu usaha yang maksimal, karena dalam proses penyelesaiannya
tidak sedikit kesulitan dan hambatan dalam penyusunan makalah ini. Namun berkat
pertolongan Allah SWT yang memberikan nikmat-Nya, serta bantuan dari berbagai pihak
yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bunyamin, DRS. sebagai dosen mata kuliah Hukum Islam 1 Fakultas Hukum
Universitas Pasundan.

2. Orang tua dan keluarga tercinta, yang telah memberikan dukungan.

Akhir kata, penulis mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini masih terdapat
kesalahan dan kekurangan. Namun, penulis berharap saran serta kritik pembaca dalam rangka
perbaikan penulisan makalah ini. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandung, Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

DEFINISI JUDUL ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1

B. Pokok Masalah ........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Menurut Al-Qur’an .................................................................................... 3

B. Menurut Al-Hadits ..................................................................................... 4

C. Menurut Para Pakar Hukum Islam .............................................................. 4

D. Menurut Hukum Positif Indonesia .............................................................. 5

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ..................................................................................................... 6

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 7


DEFINISI JUDUL

Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh


petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum.
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan
oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Pencatatan perkawinan pada
prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan
terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-
lain.

Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika
suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan
(bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya
(bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama dan
kepercayaan masyarakat.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan pula bahwa tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
penjelasan umum disebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah sama halnya dengan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan. Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi
menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat
administrative (K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”, Ghalia Indonesia:
Jakarta, 1976, hlm. 16)

Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun


1975 yang menyatakan bahwa:

 Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat sebagaimana


dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah,
Talak dan Rujuk.
 Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat
perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
iii
Dengan kata lain bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam,
pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), pada umumnya dilaksanaan
bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas pencatat nikah dari KUA hadir dalam
acara akad nikah tersebut. Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu,
pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan
pernikahan menurut agamanya masing- masing. Misalnya bagi mereka yang memeluk agama
Katholik atau Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi penikahan di
gereja, dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah pernikahan tersebut
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.

DASAR HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN

Beberapa dasar hukum mengenai pencacatan perkawinan/pernikahan, antara lain:

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 2

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

UNDANG-UNDANG NO 22 TAHUN 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan


Rujuk Pasal 1 Ayat 1

“Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh
Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan
rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.”

Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak, dan rujuk menurut
agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur
segala hak-hak yang bersangkut pada dengan kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran,
pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi pada perkawinan perlu di catat ini untuk menjaga
jangan sampai ada kekacauan.

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai
dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua
insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan
sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut
keluarga. Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia, maka diperlukan
perkawinan. Tidak ada tanpa adanya perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan
tata aturan yang berlaku. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami
istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan
pernikahan tersebut. Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya cinta lahir
batin antara pasangan suami istri tersebut.

Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi
golongan-golongan tertentu. Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumiputra
yang beragama Islam. Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang
perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam
pelaksanaaan akad nikah perkawinanya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam yang
sudah diresiplir dalam hukum adat berdasarkan teori receptie yang dikemukakan oleh
Hurgronye.

Setelah Indonesia merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap diupayakan.


Pada akhir tahun 1950 dengan surat Penetapan Mentri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1
Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak Rujuk
yang diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan.

1
B. Pokok Masalah

1. Bagaimana pencatatan perkawinan menurut Al-Qur’an ?

2. Bagaimana pencatatan perkawinan menurut Al-Hadits ?

3. Bagaimana pencatatan perkawinan menurut Para Pakar Hukum Islam ?

4. Bagaimana pencatatan perkawinan menurut Hukum Positif Indonesia ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Menurut Al-Qur’an

Pada mulanya syariat Islam baik Al-Qur’an atau al-Sunnah tidak mengatur secara
konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan muamalat (mudayanah)
yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya.
Tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam
di Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat.

Ayat atau sunnah tidak mengatur tentang adanya pencatatan, namun jika kita melihat
dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang menjadi dasar hukum hutang piutang atau dikenal
dengan ayat mudayanah dapat ditarik sebagai dasar pencatatan dengan istinbath berupa qiyas,
berikut ayatnya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya .....”

Dengan melihat surat Al-Baqarah ayat 282, dari ayat ini menunjukkan anjuran yang
bersifat kewajiban untuk mencatat utang piutang dan mendatangkan saksi dihadapan pihak
ketiga yang dapat dipercaya. Dengan ayat ini dapat ditarik istinbath dengan qiyas (aulawi)
yaitu suatu perkara atau hukum yang sebelumnya belum ada, penetapan hukumnya sama jika
perkara tersebut memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya, dan berbagai aspek
lainnya. Dengan qiyas (aulawi) bahwa jika perjanjian yang berhubungan dengan harta saja
dianjurkan untuk dicatatkan diatas hitam dan putih, bagaimana dengan perkawinan, sebagai
ikatan lahir bathin antara laki-laki dan perempuan yang disebut dalam al-qur’an sebagai
mitsaqon ghalidza, yaitu untuk membina keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.

3
B. Menurut Al-Hadits

Adapun aturan agar setiap perkawinan dicatat hanyalah satu upaya untuk tertib
administrasi dalam kehidupan bernegara di samping juga untuk menjaga kemaslahatan
kehidupan warga negara secara umum. Bila ditilik lebih lanjut, sesungguhnya pencatatan
perkawinan yang dilakukan oleh KUA bisa merupakan upaya untuk mengawal sebuah
perkawinan agar benar-benar dilakukan sesuai hukum agama yang ada. Melalui proses
pendaftaran, pemeriksaan data, hingga pelaksanaan ijab kabul dapat dipastikan bahwa
pernikahan tersebut terlaksana dan sah menurut hukum agama.

Dengan berkas dan data yang ada, dapat dipastikan bahwa kedua calon pengantin
tidak ada halangan untuk menikah karena masih terikat hubungan perkawinan dengan orang
lain atau calon pengantin wanita masih dalam masa iddah misalnya. Dengannya pula orang
yang akan menjadi wali bisa dipastikan keabsahannya untuk menjadi wali nikah setelah
ditelusuri asal usulnya. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan sesungguhnya bukan
untuk mempersulit seseorang untuk melaksanakan perkawinan, tetapi sebaliknya justru
memastikan bahwa perkawinan yang akan dilakukan benar-benar telah sesuai dan sah
menurut agama. Kiranya hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh para ulama di
antaranya Imam Al-Ghazali di dalam kitab Al-Iqtishad fil I’tiqad yang menuturkan :

“Agama dan pemerintah adalah dua saudara kembar. Karenanya dikatakan, agama adalah
dasar dan pemerintah adalah penjaga. Apa yang tidak memiliki dasar akan roboh. Apa yang
tidak memiliki penjaga akan sirna.”

C. Menurut Para Pakar Hukum Islam

Lalu dengan tidak diaturnya pencatatan nikah di dalam fikih Islam, bagaimana
semestinya umat Islam Indonesia menyikapi aturan pencatatan nikah ini ? K.H. Afifudin
Muhajir dalam karyanya, Kitab Fathul Mujibil Qarib, menyatakan :

“Ketahuilah, sesungguhnya perintah seorang imam atau pemimpin, jika hal itu wajib maka
menjadi semakin wajib. Jika itu sunnah maka menjadi wajib. Apabila hal itu mubah, maka
juga menjadi wajib selama mengandung kemaslahatan.”

4
Merujuk pernyataan di atas, pencatatan perkawinan dalam melaksanakan perkawinan
bagi umat Islam Indonesia adalah suatu kewajiban, di samping sebagai upaya untuk
mewujudkan kemaslahatan rumah tangganya juga demi menaati pemerintah yang juga
diperintahkan oleh agama.

Masih menurut K.H. Afifudin Muhajir, pada mulanya pencatatan perkawinan


hukumnya adalah mubah, boleh dilakukan dan boleh pula ditinggalkan. Namun setelah
undang-undang mengatur agar setiap pernikahan dicatat di KUA, maka kini hukum
pencatatan tersebut berubah menjadi wajib. Peraturan ini tidak hanya menegaskan bahwa
perkawinan adalah mitsaqan ghalizha tetapi juga demi menjaga hak-hak pasangan suami istri,
terutama hak istri yang sering kali ditelantarakan. Regulasi pencatatan perkawinan adalah
upaya dalam rangka menjaga dan mengawal keabsahan sebuah perkawinan menurut aturan
yang ditetapkan agama, juga untuk kemaslahatan keluarga yang didirikan.

D. Menurut Hukum Positif Indonesia

Pencatatan Perkawinan merupakan sesuatu yang urgent di zaman sekarang ini.


Banyaknya kasus penelantaran istri dan anak, perceraian, perkawinan kontrak, salah satunya
disebabkan karena tidak dicatatkannya perkawinan. Mengatasi hal tersebut, pemerintah telah
memberikan payung hukum yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang- undang No.22 Tahun 1946 jo Undang- Undang
No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Kompilasi Hukum Islam,
sebagai upaya perlindungan dari negara terhadap masyarakat. Manfaat yang timbul karena
adanya pencatatan perkawinan, diantaranya: 1) Terjamin kepastian hukum status suami atau
istri serta anak- anak yang lahir dari perkawinan tersebut; 2) Terjamin kelangsungan (proses)
pengurusan akta kelahiran bagi anak, dengan mencantumkan nama kedua orang tua secara
lengkap; 3) Terjamin hak waris dari suami atau istri yang hidup terlama serta anak-anak yang
lahir dari perkawinan tersebut.

5
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974


bertujuan untuk : a) Tertib administrasi perkawinan, b) Memberikan kepastian dan
perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun anak, c) Memberikan jaminan dan
perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak
untuk memperoleh akta kelahiran, dan lain-lain.

Pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga


negara melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun keluarga
dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan
anak-anaknya. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memang tidak berdiri sendiri,
karena frasa “dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” memiliki
pengertian bahwa pencatatan perkawinan tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan bahwa
pencatatan harus mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan dalam perundang-
undangan. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak suami, istri, dan anak-anaknya benar-benar
dapat dijamin dan dilindungi oleh negara.

Persyaratan dan prosedur tersebut meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat
(2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan khususnya Pasal 2 sampai dengan Pasal
9. Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Perkawinan menimbulkan akibat
hukum bagi pihak suami dan istri dalam perkawinan, antara lain mengenai hubungan hukum
diantara suami dan istri, serta terbentuknya harta benda perkawinan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Abdulkadir Muhammad. 2019. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti.

http://mcholieq.blogspot.com/2013/12/makalah-pencatatan-perkawinan-dan-akta.html,
diakses pada 22 Februari 2020

https://islam.nu.or.id/post/read/86012/kedudukan-dan-urgensi-pencatatan-nikah, diakses pada


24 Februari 2020

https://www.researchgate.net/publication/313455671_Urgensi_Pencatatan_Perkawinan_Pers
pektif_Utilities, diakses pada 29 Februari 2020

Anda mungkin juga menyukai