Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tak seorang pun boleh mencampuri urusan mempelai wanita dalam masalah mahar.
Seorang wanita boleh berbuat baik kepada walinya dengan memberikan sebagian maharnya,
dengan syarat bahwa hal ini tidak dijadikan alasan untuk menuntut mahar yang tinggi. Sebab
mahar sebenarnya hanyalah untuk memenuhi kebutuhan mempelai wanita. Hal yang patut
disayangkan adalah sikap sebagian besar orang yang menajdikan anaknya atau saudarinya
sebagai barang dagangan yang dipasarkan secara terang-terangan. Mereka beranggapan
bahwa mahalnya maskawin akan membuat perempuan bertambah tinggi nilainya atau
bertambah wibawa dan martabatnya diatas laki-laki. Mereka bahkan beranggapan bahwa
mahalnya maskawin akan mampu menghalangi suami untuk melakukan poligami.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mahar dan bagaiamana hukumnya?
2. Berapa kadar (jumlah) mahar?
3. Apa saja syarat-syarat mahar?
4. Apa saja macam-macam mahar?
5. Bagaimana status memberi mahar dengan kontan dan hutang?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian mahar dan hukumnya
2. Mengetahui syarat-syarat mahar
3. Mengetahui kadar (jumlah) mahar
4. Mengetahui status memberi mahar dengan kontan dan hutang
5. Mengetahui macam-macam mahar

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahar dan Hukumnya

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah


pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya atau suatu
pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk
benda maupun jasa. 1

Mahar, Shadaq, dan maskawin wajib diberikan sebab nikah dan wathi’ syubhat
(hubungan seks keliru orang). Dalam konteks nikah, orang yang wajib membayar
maskawin adalah suami. Menyebutkan mahar dalam akad nikah hukumnya sunnah.
Mahar diharuskan dari sesuatu yang dapat dijadikan mabi’ (barang yang dapat dijual).
Namun ada yang membolehkan selain materi yaitu jasa yang bermanfat seperti mengajar
Al-Qur’an, menggembala ternak, menjahit pakaian, dan lain-lain.2

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan


memberi hak kepadanya, di antaranya adalah menerima mahar. Mahar hanya diberikan
oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun
sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya,
meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan si istri. Allah SWT
berfirman:

‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَإ ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيئًا َم ِريئًا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa’ ayat 4)

Imam Syafii mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh
seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.3

1
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 84.
2
Gus Arifin, Menikah untuk bahagia, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2013), hlm. 119.
3
Abdul Rahman Ghazali, op. cit. hlm. 85.

3
Jika istri menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi,
bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal
menerimanya. Allah SWT berfirman

B. Kadar (jumlah) Mahar

Mengenai besarnya mahar, para fuqoha telah bersepakat mahar itu tidak ada batas
tertinggi, melainkan menurut kemampuan sang suami beserta keridaan si istri. Kemudian
mereka berselisih pendapat tentang batas rendahnya. 4

Para imam madzhab berbeda pendapat dalam menentukan pendapat batas minimal
mahar itu:

1. Madzhab Maliki berpendapat bahwa maskawin minimal itu 3 dirham.


2. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa paling sedikit 10 dirham atau dengan yang
senilainya.
3. Madzhab Syafi’i dab Hambali berpendapat bahwa tidak ada batas minimal mahar,
yang penting bahwa sesuatu itu berharga maka sah (layak) untuk dijadikan maskawin.

Islam membenci berlebihan dalam mahar, dan menyunahkan dalam menentukan mahar
itu tidak memberatkan (seederhana). Seperti sabda Nabi Muhammad Saw:

‫ َﺴ ُﺮﻩُ ُﻣ ْﺆﻧَﺔ‬iَ‫ـﺎﺡ ﺑَ َﺮ َﻛﺔً ﺃَ َْْﻳ‬


ِ ‫ﺇِ َّﻥ ﺃَ ْﻋﻈَ َﻢ ﺍﻟﻨَّ َﻜ‬

“Sesungguhnya besar-besarnya berkah nikah adalah yang sederhana maharnya” (HR


Ahmad)

Dan hadis:

“Keberuntungan seorang wanita adalah yang ringan maharnya, mudah dinikahi, dan
bagus budi pekertinya. Sedangkan kesialan seorang wanita adalah yang mahal maharnya,
sulit dinikahi, dan buruk budi pekertinya.” (HR Hakim)5

C. Syarat-Syarat Mahar:

4
Sulaiman Rasyid, Fiqih islam, (Bandung:Sinar Baru Algensindo, 1986), hlm. 393.
5
Sulaiman Al-Faifi, Ringkasan Fiqih Sunnah Sayid Sabiq, (Jakarta: Beirut, 2017), hlm. 497.

4
1. Harta yang dijadikan mahar harusyang bermanfaat, atau yang bisa diambil manfaat.
Maka tidak memakai mahar khomermisalnya, atau memakai mahar babi, darah dll.
Mahar harus sesuai dengan pandangan dalam syariat islam.
2. Berupa harta yang berharga (mempunyai nilai harga). Tidak sah sesuatu yang sedikit
dan tidak ada harganya. Misalnya sebutir beras. Sedang nilai banyaknya mahar itu
tidak dibatasi berapapun banyaknya.
3. Mahar pernikahan tidak boleh dari sesuatu yang belum diketahui (dalam hal ini para
ulama berpandangan dengan beberapa pendapat)
4. Mahar tidak boleh diambil dari sesuatu yang dighsop (Mengambil hak milik orang
lain secara paksa)6

Dalam menentukan mahar atau maskawin ada 3 cara :

1. Ditentukan oleh hakim (pemerintah). Cara ini dilaksanakan apabila seorang suami
tidak mau menentukan maskawinnya, maka pemerintahlah yang menentukannya
dengan syarat: pemerintah mengetahui yang sebenarnya.
2. Ditentukan oleh suami isteri. Apabila suami isteri telah mengetahui ukuran maskawin
(yang sesuai untuk dirnya) tidak ada soal lagi. Tetapi kalau keduanya atau salah
satunya tidak mengetahui, menurut Jumhur pernikahannya sah dengan maskawinyang
ditentukan oleh keduanya, baik tunai maupun dihutang, baik lebih atau kurang (dari
ukuran yang tepat). Dan kalau bercerai sebelum berkumpul diharuskan membayar
jumlah yang telah ditentukan berdua.
3. Ditentukan (diberikan) ketika akan berkumpul. Kalau akan berkumpul padahal belum
ada maskawin baik yang ditentukan oleh hakim atau oleh keduanya, suami terlebih
dahulu harus memberi maskawin yang sesuai (dengan keadaan isteri). Sebab yang
boleh berkumpul tanpa menentukan maskawin hanya naNabi sendiri. 7
D. Macam-Macam Mahar:8
1. Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya
ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan
secara penuh apabila:
a. Telah bercampur
6
Ali bin Sa’id Al-Ghamidi, Fikih Wanita, (Jakarta: Anggota SPI Serikat Penerbit Islam, 2013), hlm. 190
7
Moh Rifa’i dkk, Terjemah Khulasah Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Putra Toha Semarang, 1979), hlm. 293
8
Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. (Jakarta: Kencana, 2010). Hlm, 92-94s

5
b. Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur
dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti
ternyata mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda (apabila
mensyaratkan harus perawan), atau hamil bekas suami lama. Akan tetapi, kalau
istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah.
2. Mahar Mitsil (sepadan)

Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum
ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur sepadan dengan dengan mahar
yang pernah diterima oleh keluarga terdekat (wali), agak jauh dari tetangga sekitar,
dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.

Bila terjadi demikian, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan
pengantin wanita. Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain
yang sederajat dengan dia.

Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:

a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika akad, kemudian suami
telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri
dan ternyata nikahnya tidak sah (batal).
c. Nikah yang tidak disebutkan dan tida ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal
ini menurut jumhur ulama dibolehkan.

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Perihal kadar maskawin, para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimalnya. Dan
mereka berselisih pendapat tentang batas minimalnya. Menurut Imam Syafi’i, Imam
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ulama-ulama ahli fiqih Madinah dari kalangan tabi’in,
tidak ada batas minimal maskawin. Segala sesuatu yang ada nilainya bisa dijadikan
sebagai maskawin. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab, salah seorang murid
Imam Malik.

7
DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.

Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Al-Faifi, Sulaiman. 2017. Ringkasan Fiqih Sunnah Sayid Sabiq. Jakarta: Beirut.

Arifi, Gus. 2013. Menikah untuk Bahagia. Jakarta: Kompas Gramedia.

Bin Sa’id Al-Ghamidi, Ali. Fikih Wanita. Jakarta: Serikat Penerbit Islam.

Rifa’i, Moh. Terjemah Khulasah Kifayatul Akhyar. Semarang: Putra Toha Semarang.

Anda mungkin juga menyukai