DISUSUN
O
L
E
H
NAMA / NIM : 1. Ayu Sania / 2110100014
2. Zulfadli / 2110100019
DOSEN PENGAMPU : Dr. Ikhwanuddin Harahap M,Ag
PRODI : Ahwal Al-syakhsyiah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa, atas
limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga masih dapat kami
menyelesaikan makalah ini, dengan semampu dan sebisa kami.
Makalah kami ini merupakan tugas yang di buat untuk memenuhi
kriteria matakuliah. Shalawat dan salam kami panjatkan kepada ruh
junjungan baginda Rasullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabat
serta seluruh umat muslim.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
1. Mahar
A. Defenisi
B. Pendapat mahzab ulama tentang mahar
C. Dalil
D. Jenis dan jumlah mahar
E. Macam-macam mahar
2. Muharramat
A. Al-Muharramat al-Muabbadah (sebab yang bersifat abadi)
B. Al-Muharramat al-Muaqqatah (sebab yang bersifat sementara).
3. Permasalahan kontemporer tentang perkawinan sejenis serta pendapat
para ulama
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa
Indonesia. Mahar sendiri adalah pemberian atau hadiah yang diberikan
secara suka rela dari calon suami kepada calon istrinya. Terdapat
beberapa pendapat para ulama tentang, jumlah, dan syarat mahar yang
diberikan kepada calon istri.
PEMBAHASAN
4. Mahar
A. Defenisi Mahar
Istilah mahar dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama
yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq.
Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai
imbalan dari suatu yang diterima.
Mahar atau maskawin dalam Kamus Bahasa Indonesia
diartikan sebagai pemberian wajib berupa uang atau barang dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
dilangsungkan akad nikah.1 Pengertian mahar secara etimologi
berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut terminologi:
pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan
pernikahan1.
B. Pendapat mahzab ulama tentang mahar
Mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai sesuatu yang
didapatkan seorang perempuan akibat akad pernikahan ataupun
persetubuhan. Mahar dalam mazhab Hambali adalah sesuatu yang
diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan
dengannya. Sementara itu, mazhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai
sesuatu yang diwajibkan sebab pernikahan atau persetubuhan.
Adapun mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pengganti
dalam akad pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad atau
ditetapkan setelahnya dengan keridaan kedua belah pihak.
C. Dalil
1
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Pernikahan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974),hlm. 81
Ayat Alqur’an yang mengatur tentang mahar terdapat dalam
penggalan surah An- Nisa’/4:4 ayat 24,
Terjemahnya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”....
Hadis-hadis Rasulullah tentang mahar Ada beberapa hadis
Rasulullah saw. mengenai jenis-jenis mahar, diantaranya: Mahar
dengan sebuah cicin dari besi, sepasang sandal, Mahar dengan
hapalan ayat-ayat al-Qur’an.
Terjemahan nya : “Apakah kamu rela dari dirimu dan
hartamu dengan sepasang dua sandal? Wanita itu menjawab, “Ya aku
rela” maka beliau memperbolehkannya”.2
Terjemahan nya: Rasulullah Saw.bertanya, “Apa yang kau
hafal dari AlQur’an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.
Rasulullah bersabda pergilah, sungguh aku telah menikahkan engkau
dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang
engkau hafal”.3
Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi Saw pernah
meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang
menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi, beliau tidak pernah
meninggalkannya, hal ini menunjukkan kewajibannya.4
Berdasarkan ayat-ayat di atas dan perintah Nabi untuk
memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum
wajibnya memberi mahar kepada isteri.Tidak ditemukan dalam
literature ulama yang menempatkannya sebagai rukun. Mereka
sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi suatu pernikahan,
dalam arti pernikahan yang tidak pakai mahar adalah tidak sah.5
2
Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, dalam bab Maa Jaa fii Muhuri alNisaa, Juz.4, h. 305. ,
[CD-ROM], Maktabah Syamilah.
3
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, dalam babShadaqu al- Nissai, Juz.5, h. 498.
4
Rusdaya Basri, fikih munakahat 4 mahzab dan pemerintah, (sulawesi, Cv. Kafaah
learning center,2019), hlm. 86
5
Rusdaya Basri, fikih munakahat 4 mahzab dan pemerintah, hlm.87
D. Jenis dan jumlah Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan jumlah
maksimum dari mahar/maskawin. Ukuran mahar diserahkan kepada
kemampuan suami, hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan
kemampuan manusia dalam memberikannya.6
Demikian pula tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang/
benda tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an dapat
dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Tidak
ada dalam syara’ suatu dalil yang membatasi batas maksimal mahar.
Meskipun mahar tidak memiliki ukuran atau jumlah yang pasti,
sebagai lambang kesanggupan dan kesediaan suami untuk
memberikan nafkah lahir kepada isteri, agar mahar dipandang sah
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mahar harus sesuatu yang ada harga dan bisa diambil manfaatnya.
Meskipun sedikit, tetapi ada harga dan manfaatnya.
2. Mahar harus suci. Tidak sah mahar dengan seuatu yang haram,
seperti kahamar, babi dan darah.
3. Mahar harus milik pribadi calon suami, bukan barang ghasab.
4. Mahar harus jelas serta diketahui bentuk dan jumlahnya.7
E. Macam-macam mahar
1. Mahar Musamma,
6
Rusdaya Basri, fikih munakahat 4 mahzab dan pemerintah, hlm.89
7
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Cet.IV; Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), h. 87-88.
c. Mahar musamma wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah
bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab
tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan
ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.
5. Mahar mitsli (sepadan)
Mahar mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya
pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang
diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga
terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan
status sosial, kecantikan dan sebagainya. Pembarian Mahar mitsli
terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika
berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan
istri, atau meninggal sebelum bercampur.
b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah
bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
2. Muharramat
8
Rusdaya Basri, fikih munakahat 4 mahzab dan pemerintah, hlm.124-127
Kejaksaan Tinggi NTB, telah mendaftarkan Permohonan
Pembatalan Perkawinan terhadap Muhlisin bin Kalamullah
dengan Mita binti Firman di Pengadilan Agama Giri Menang
Lombok Barat," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum
(Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Hari Setiyono melalui
keterangan resmi, Dia menjelaskan bahwa permohonan itu
diajukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Mataram dengan
memberi kuasa terhadap empat Jaksa Pengacara Negara.
Pembatalan perkawinan itu diajukan lantaran dinilai tidak sah
karena dilakukan antar-pria atau sesama jenis.
Perkawinan laki-laki dengan laki-laki atau perilaku
penyimpang seksual antar laki-laki dalam Islam di sebut
Liwath yang bermakna melakukan perbuatan seperti
perbuatan kaum Nabi Luth. Menurut AnNawawi, dinamakan
Liwath karena yang pertama kali melakukannya adalah kaum
Nabi Luth. Kata Liwath bukan kata asli bahasa Arab. Kata
Liwath berasal dari kata luth yang termasuk kata a‟jami
(asing/non Arab).
Hukum Islam tentu senantiasa akan memperhatikan
kemaslahatan umat manusia, dalam menghadapi masalah
dalam kehidupannya salah satunya terkait dengan substansi
jiwa yang berasal dari kehendak hawa nafsu manusia yang
cuma ingin melampiaskan seks diluar daripada ketentuan
Hukum Islam seperti perbuatan Liwath.
Dalil yang menunjukan keharamannya dan larangan
hubungan sesama jenis (liwath) adalah adanya perintah
menjaga kemaluan serta menyalurkan kebutuhan biologis
hanya dengan cara yang benar, antara lain: Q.S. Al-Nur: 30-
31, Q.S. Al-Mukminun: 5- 6, Q.S. Al-Ma‟arij: 29-30, juga
terdapat dalam Surat Al-A‟raf ayat 81.
Dalil lain yang menguatkan keharaman liwath adalah
laknat Nabi terhadap pelakunya. Ahmad (1995:83)
meriwayatkan: Artinya: “Allah melaknat orang yang
melakukan perbuatan kaum Luth dan Allah melaknat orang
yang melakukan perbuatan kaum Luth. Sebanyak tiga kali”
Para ahli hukum fiqh juga telah sepakat
mengharamkan liwath, menurut ulama ada berbagai jenis
hukuman bagi pelakunya yaitu di bunuh, dirajam, di hukum
saeperti pelaku zina dan di ta‟zir. Hukuman ini seharusnya
perlu dijalankan sebagaimana mestinya. Tetapi mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan hukumannya. Pertama,
pendapat dari segolongan Ulama Hukum Islam, yang
menganggap dirinya mengikuti pendapat Imam Syafi‟i, yang
memberikan ganjaran hukum bagi pelaku liwath, bersama-
sama orang yang dikumpulinya, dengan hukuman rajam bila
ia sudah pernah kawin, dan hukuman dera seratus kali bila ia
sudah pernah kawin, atau memberikan hukuman dengan
mengasingkan selama setahun bersama orang yang
dikumpulinya, baik ia telah kawin maupun yang belum.
Selain itu juga, dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) mempertegas dengan beberapa Pasal yang tidak jauh
berbeda dengan Hukum normatif, yaitu syarat perkawinan
yang sah adalah ikatan lahir bathin dan biologis antara laki-
laki dan perempuan sebagaimana ketentuan Pasal 1huruf a,
Pasal 1 huruf d, Pasal 29 ayat (3) serta Pasal 30.
Hal itu diperkuat oleh fatwa haram dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan Ormas Islam. Dengan
dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang
Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan. Dalam fatwa MUI
tersebut aktivitas LGBT juga diharamkan karena merupakan
suatu bentuk kejahatan, dapat menimbulkan penyakit yang
berbahaya bagi kesehatan dan sebagai sumber penyakit
menular seperti HIV/AIDS.
B. Dampak yang timbul akibat perkawinan sejenis
Perkawinan sejenis menimbulkan dampak dalam berbagai aspek
yaitu;
1. Aspek keperdataan
2. Aspek sosial
3. Aspek kesehatan