Anda di halaman 1dari 19

MAHAR DAN LARANGAN MENIKAH

Makalah Ini dibuat untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Fiqih Munakahat dan Mawaris

Dosen Pengampu:

Drs. Rusdi,M.Ag.

Disusun oleh:

Didan Galih Nandika 11210110000042

Fauzan Rizkiawan 11210110000046

Alifah Cindi Lestari 11210110000072

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN


2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah Subhannahu Wata’ala yang telah memudahkan penulis untuk
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dan tanpa kendala apapun. Tak lupa shalawat
dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang kita
nantikan syafa’atnya di hari akhir kelak.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs.Rusdi,M.Ag., selaku dosen


pengampu mata kuliah Fiqih Munakahat dan Mawaris pada semester 3 ini. Juga kepada teman-
teman atas sumbangsihnya berupa materi maupun waktunya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Mahar dan Larangan Menikah” dengan tanpa adanya
kendala apapun.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik
dari segi tulisan maupun dalam segi bahasa. Untuk itu, penulis mengharapkan krtik dan saran
yang membangun untuk menjadi acuan dalam penulisan makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembacanya, āmīn.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 17 September 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1

A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 3

A. Pengertian Mahar ..................................................................................................................... 3


B. Dasar Hukum Mahar ............................................................................................................... 4
C. Larangan Perkawinan .............................................................................................................. 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 15

A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan sebuah sunatullah yang sudah umum terjadi pada manusia.
Allah Subhannahu wa ta’ala sudah mengatur pernikahan sebagai jalan atau cara bagi manusia
untuk berkembang biak sekaligus untuk beribadah kepada-Nya. Pernikahan merupakan ibadah
yang paling lama durasinya. Oleh sebab itu, pernikahan diatur dengan sejelas-jelasnya menurut
al-Qur’an dan Hadist Rasulullah.
Dalam pernikahan ada istilah mahar, Pada zaman pra-islam, pelunasan mahar
diwajibkan terhadap kaum ataupun keluarga mempelai perempuan sebagaimana balasan atas
kehilangan daya melahirkan keturunan dan sebagaimana sarana akan menemukan kemampuan
keterikatan dan menghubungkan dua pasangan keluarga. Mahar atau mas kawin adalah
pemberian yang telah diberikan kepada seorang pengantin pria terhadap pengantin perempuan
yang dasarnya kewajiban. Penyerahan mahar/mas kawin terhadap wanita bukanlah sebagai
harga diri perempuana itu dan bukan pula sebagai pembelian perempuan dari orang tuanya.
Pensyariatan mahar juga merupakan salah satu syarat yang dapat menghalalkan hubungan
suami isteri, yaitu interaksi timbal balik yang disertai landasan kasih sayang dengan peletakan
status kepemilikan keluarga kepada seorang suami terhadap rumah tangganya. Di Indonesia,
jumlah mahar di setiap daerahnya berbeda-beda tergantung dari adat istiadat yang berlaku.
Selain mahar, Islam juga mengatur tentang larangan pernikahan karena suatu alasan.
Larangan pernikahan bisa terjadi karena senasab, sepersusuan, musaharah, lian dan larangan
menikah dengan perempuan yang haram dinikahi selamanya. Tentu sangat penting bagi kita
untuk mengetahui larangan untuk menikah karena beberapa alasan di atas agar kita dapat
terhindar dari dosa dan akibat buruk yang dapat terjadi.
Dalam makalah ini, kita akan membahas secara rinci tentang mahar dan larangan
menikah karena beberapa alasan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang disebut mahar dan apa dasar hukumnya?


2. Apa macam-macam mahar?
3. Apa saja sebab pernikahan yang dilarang?
4. Siapa saja perempuan yang haram dinikahi selamanya?

1
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahuti tentang mahar dan dasar hukumnya


2. Untuk mengetahui macam-macam mahar
3. Untuk mengetahui sebab pernikahan yang dilarang
4. Untuk mengetahui perempuan yang haram dinikahi selamanya

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahar

Menurut W.J.S. Poerwadarminta, maskawin atau mahar adalah pemberian dari


mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan. Pengertian yang sama dijumpai dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, maskawin atau mahar berarti pemberian wajib berupa uang
atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad
nikah. Sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir, kata mahar berarti maskawin. Sejalan dengan
itu, menurut Hamka kata maskawin, sadaq atau saduqat yang dari rumpun kata sidiq, sadaq,
bercabang juga dengan kata sadaqah yang terkenal yang artinya pemberian. Dalam maknanya
terkandung perasaan jujur, putih hati, jadi artinya ialah harta yang diberikan dengan putih hati,
hati suci, muka jernih kepada calon istri sewaktu akad nikah. Arti yang mendalam dari makna
mas kawin itu ialah laksana cap atau stempel, bahwa nikah itu telah dimateraikan.1

Mahar yakni balasan ataupun pemberian yang harus berupa uang maupun benda dari
pengantin pria untuk pengantin wanita, saat di langsungkan akad nikah. Mahar juga adalah
unsur terpenting dalam proses pernikahan.

Mahar secara etimologi artinya mas kawin. Sedangkan menurut termonologi mahar
yaitu pemberian dari calon mempelai laki-laki dengan mempelai wanita. Mahar jika dalam
bahasa arab memiliki 8 nama yaitu: mahar, shadaqah,nihlah, faridhah, hiba'ujr, 'uqar, dan alaiq.
Seluruh kandungan tersebut memilii makna atau arti yakni pemberian wajib dari suami."

Kata "mahar" berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau
masdar, yakni "mahram" atau kata kerja yakni fi'il dari "mahara-yamhuru-mahran." Lalu di
bakukan dengan kata benda mufrad, yakni al-mahr dan kini sudah di indonesiakan dengan kata
yang sama

Imam syafi'i menjelaskan jika mahar merupakan benda yang wajib diberikan oleh pria
dengan wanita demi mendapatkan seluruh anggota tubuhnya. Karna mahar merupakan syarat

1
Kosim, Fiqh Munakahat, (Depok: PT Raja Grafindo Persada,2019), hal 71.

3
sahnya nikah, bahkan imam malik mengatakan selaku rukun nikah maka hukumnya adalah
wajib."

Berdasarkan Sayyid Sabiq (1992:23) mahar/mas kawin merupakan benda atau harta
yang bermanfaat untuk diberikan kepada mempelai wanita. Penyebutan mahar/maskawin
hukumnya sunnah jika dari nominal ataupun karakter barangannya jika dalam akad pernikahan.
Adapun benda yang memiliki nilai sahnya akan di jadikan mahar. Demikian pula, menurut
Taqiyuddin berdasarkan hukunya sunnat namun bukan dikatakan nikah nya harus wajib
membayar mahar/maskawin mitsil."

B. Dasar Hukum Mahar

Jika melangsungkan pernikahan, suami di wajibkan memberi sesuatu kepada si istri


ataupun barang (harta benda) pemberian inilah yang dinamakan mahar (maskawin) Allah swt
berfirman:

‫وأتوا النساء صدقاتهن نخلة فإن طين لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مرينا‬

Artinya: berikan mahar/maskawin pada wanita yang akan kamu nikahi dengan tulus ikhlas.
Kemudian jika dia memberi harta atau sebagian maharnya kepada mu maka terimalah dan
terima balasannya. (Q.S An Nisa: 4)

‫ومن لم يستطع منكم طلوال أن ينكح المحصنات المؤمنات فمن ما ملكت أيمانكم من فتياتكم الشوينات‬
‫وهللا أعلم بإيمانكم بعضكم من بعض فالكحوش بإذن أهلين واثر من أجور من بالمعروف مخصالت غير‬
‫مسافحات وال متخذات أخدان فإذا أحصن فإن أتين بفاحشة فعليهن نصنفت ما على الشخصنات من‬
‫العذاب ذلك لمن خشي العنت ملكم وأن تصنيروا خير لكم وهللا غفور رحيم‬

Artinya: "Dan siapa saja di antaranya (orang merdeka) jika kebutuhan untuk menikah kurang,
maka boleh saja untuk menikah dengan perempuan yang solehah ataupun beriman diantara
budak-budak yang kamu inginkan. Allah melihat ketakwaanmu, maka nikahilah jika tuan mu
memberi izin dan kasihlah mahar yang pantas, karena mereka perempuan-perempuan yang
menjaga kethoatannya, tidak wanita kotor dan bukan wanita penggoda suami orang lain dan
apabila sudah melindungi diri dengan nikah, jika melakukan hal-hal yan tidak pantas (zina)
jadi separuh balasan dari balasan perempuan-perempuan merdeka yang bersuami. (Q.S An-
Nisa:25)

4
Kandungan dari ucapan meraka bahwasannya wajib bagi seorang pria untuk
memberikan mahar kepada wanita secara pasti. Dan demikan jika memeberi mahar kepada
perempuan yang akan dinikahinya dengan penuh kelapangan. Apabila ternyata perempuan di
nikahi itu merelakan maharnya setela di berikan atau di ssebutkan maka boleh bagi sang suami
untuk memakn (hasil dari mahar tersebut) sebagai hal yang halal dan baik

‫الرجال قوامون على النساء بما فضل هللا بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قائثات‬
‫حافظات للغيب بما حفظ هللا والالتي تخافون نشور من معطوف واهجروهن في المضاجع واضربوهن‬
‫كان عليا كبيرا فإن أطعنكم فال تبغوا عليهن سبيال إن هللا‬

Artinya: pria merupakan seorang penjaga perempuan, maka Allah memberikan separuh dari
pria maupun perempuan jika pria menafkahinya dengan hartanya, dengan begitu perempuan
perempuan yang sholeh maka dian akan taat kepada Allah dan menjga diri jika suami tidak
dirumah sesungguhnya Allah telah menjaga (mereka). Wanita-wanita jika mereka kurang
perhatian maka nasehati dengan baik dan juahkanlah dari tempat peristirahatan lalu
memukulnya. Jika mematuhimu kamu tidak boleh membantahnya. Maka Allah maha maha
agung dan maha besar. (Q.S An-Nisa: 34)

Pemberian mas kawin/mahar wajib atas pria, bukan berarti menjadi rukun nikah,
apabila tidak disebutkan saat akad maka nikahpun sah. Dalil di syariatkannya mahar juga ada
pada hadist Nabi Saw:

:‫عن عامر بن ربيعة أن المرأة من بني فزارة تزوجت على تعلين فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫ نعم فأجازه‬:‫ فقالت‬،‫أرضيت عن نفسك ومالك بنعلين‬

Artinya: dari amir bin robiah berkata wanita yang dari Fazarah menikah atas pemberian
maharmukawin sepang sandal. Rasulullah saw, berketa dengan anita itu, apa engkau mau jika
diberi mahar sepasang sandal? wanita itu menjaab ya, dan Rasulullah saw mengatakan lulus.
(HR Ahmad) Sabda Rasulullah SAW:

‫تزوج ولز بخاتم من حديد‬

"Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi". (HR. Bukhori) Dari Jabir
Nabi Saw bersabda:

‫لوان رجال أعطى امرأة صداقا من يديه العاما كانت له خال ال‬

5
Artinya: Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar oleh perempuan berbentuk makanan
sepenuhnya dua tangganya, maka halal baginya. (HR. Ahmad)

Hadist di atas menunjukan bahwa jika bernilai material walaupun sedikit sah di jadikan
mahar. Demikian pula hadist yang diriwayatkan rasulullah saw bersabda kepada seseorang
yang ingin menikah

‫الظن واو عالما من حديد‬

Artinya: Lihatlah walaupun sebuah cincin dari besi. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadist diatas menunjukan memberi mahar/maskawin walaupn jumlahnya sedikit.


Demikian nggak ada keterangna oleh rasullah jika meninggalakan mahar/maskawin. Jik kalau
mahar nggak di harus di wajibkan rasulullah tanpa alasan pernah meninggalkan hanya saja
peratama dan terkhir yang menunjukan tidak wajib. Rasullah pernah meninggalkannya, hal ini
menunjukan kewajibannya2

C. Macam-Macam Mahar

Mengenai kewajiban pembayaran mahar, para fuqaha telah berjanji bahwa mahar atau
maskawin harus diserahkan keapada seseorang pasangan suami istri. Waktu peneriman mahar
biasa dilakukan jika akan melaksanakan ijab qobol/akad perkawinan, mahar yang dimaksud
terdiri dari beberapa macam, yaitu :

1. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar/maskawin yan sudah disepakati oleh kedua


keluarga dalam nominal/jumlah shighat akad. Mahar musaima ada 2 bentuk, yaitu :

a. Mahar musaima mu'ajjal adalah mahar yan wajib diberikan kepada calon mempelai
wanitanya hukumnya sunnah mengasih pemberian mahar

b. Mahar musamma ghairmu'ajial adalah mahar yang diberikan dengan ditangguhkan.

2
Nur Rahmawati, Mahar Pernikahan Dalam Perspektif Islam, IAIN Metro Lampung, hal 2-6

6
Hukum membayar mahar musamma wajib jika dalam pemberian apabila sedang
terjadi dukhul. Jika salah satu dari meraka ada yang meninggal maka suami wajib
membayar mahar (Kamal Mukhtar: 1990:86).

Bagi seorang suami jika menalak istri sebelum dukhul, suami harus wajib
membayar separuh dari mahar/maskawin yang sudah disepakati. Allah Swt berfirman
dalam Alquran surat Albaqarah ayat 273

‫وإن طلقتموهن من قبل أن تمسوهن وقد فرضتم لهن فريضة فنصف ما فرضتم إال أن يعفون أو‬
‫يعفو الذي بيده عقدة النكاح وأن تعفوا أقرب للتقوى وال تنسوا الفضل بينكم إن هللا بما تعملون بصير‬

Artinya: Apabila kamu bercerai dengan istrimu sebelum berhubungan denganya, maka
kamu harus membayar setenganya yang telah disepakati, namun apabila istrimu
memaafkan ataupun di maafkan dengan janji pernikahan, permohonan maaf lebih dekat
dengan takwanya. Dan janganlah kamu melalaikan tugas di antara kamu. Sesungguhnya
Alla maha melihat apa yang kerjakan selama ini. (QS. Al-Baqarah:237)

2. Mahar Mitsil

Mahar mitsil yaitu mahar yang nominalnya ditetapkan, biasanya ditentukan kepada
keluarga pihak wanita karna jumlah/nominal pada waktu acara akad maharnya belum di
tetapkan bentuknya. Allah SWT. berfmnan dalam surat Al-Baqarah 236:

‫ال جناح عليكم إن طلقتم النساء ما لم تمسو هن أو تعرضوا لهن فريضة ومنعوهن على الموسع قدرة‬
‫وعلى المغتر قدرة متاعا بالمعروف حقا على المحسنين‬

Artinya: Pemberian mahar tidak ada kewajiban diantara kamu. Kalaupun kamu bercampur
berhubungan badan sebelum ada kesepakatan diantara kamu. Dan jangan berikan mut'ah
(memberi) olehnya, seseorang yang mampu dalam memberikan dan seseorang yang tidak
mampu dalam memberikan dengan itu berilah apa adanya. Yakni kebutuhan seseorang
yang berbuat kebaikan. (QS. Al-Baqarah:236)3

3 Ibid, hal 7-9

7
C. Larangan Perkawinan

A. Larangan Perkawinan Senasab


Perkawinan senasab atau sedarah (Incest) adalah pernikahan yang dilakukan
dilakukan dengan wanita yang tergolong mahram dan dilarang untuk dinikahi. Incest
sendiri berasal dari kata bahasa latin cestus yang berarti murni. Jadi incestus berarti
tidak murni. Incest menunjukkan pada hubungan seksual antara pria dan wanita yang
masih dalam satu keturunan, sanak saudara, pertalian kerabat.4
pernikahan sedarah menurut para ulama, bahwa anak yang lahir dari pernikahan
sedarah akan menjadi lemah dan kerdil. Umumnya ulama-ulama Islam berpendapat
demikian.5 Termasuk kejahatan dan juga pelanggaran atas fitrah ketika ada seseorang
yang memaksakan kehendak nafsu birahinya dan menafikan ikatan suci antara seorang
anak dan kedua orang tuanya sehingga hubungan yang telah terjalin menjadi rusak dan
cacat, sedangkan ikatan keluarga yang terjalin dengan indah merupakan jenis hubungan
terbaik di dalam kehidupan manusia.
Berhubungan dengan pernikahan senasab, hal ini sangat jelas dilarang oleh
Syari’at Islam. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 22 yang berbunyi:

ُ
ْ َ َ َ َ ٗ َّ َ َ َ ْ َ َ َّ َ
ࣖ ‫احشة َّو َمقتاۗ َو َسا َۤء َس ِب ْيلا‬ ‫ف‬ ‫ان‬‫ك‬ ‫ه‬ ‫ن‬‫ا‬ ۗ
‫ف‬ ‫ل‬‫س‬ ‫د‬‫ق‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ا‬‫ل‬‫ا‬ ‫ۤء‬ ‫ا‬ ‫س‬‫الن‬ ‫ن‬َ ‫َو َلا َت ْنك ُح ْوا َما نَ َك َح ٰا َبا ُۤؤك ْم م‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

Artinya:

Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali
(kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya (perbuatan) itu sangat keji
dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Al-Shiddieqy menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengazab
kamu atas perbuatan-perbuatan yang kamu lakukan pada zaman jahiliyah, atau sebelum
turunnya aturan-aturan baru melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad, asal setelah ada aturan baru, kamu beramal baik sesuai dengan ajaran
Islam. Di antara kemurahan Allah memberikan ampunan adalah menghapuskan dari

4
Abd. Aziz, Mif. Rahim, M. Chamim, Keharaman Pernikahan Sedarah (Incest) Ditinjau dari Hukum
Islam, Jurnal IRTIFAQ, Vol. 6, No. 2 September 2019, hal. 153
5
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali,
(Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1956), hal 37

8
jiwamu pengaruh-pengaruh perilaku buruk dengan menghapus dosa-dosamu, jika kamu
bertobat. Sedangkan diantara rahmat-Nya kepadamu adalah, mensyari’atkan hukum-
hukum nikah, mengokohkan ikatan-ikatan kekerabatan, perbesanan dan penyusuan,
supaya kamu saling mengasihi dan saling membantu dalam berbakti dan bertakwa
kepada Allah. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa pernikahan sedarah (incest) telah
ada pada zaman jahiliyah yaitu zaman sebelum Islam, sebelum ada aturan-aturan baru
melalui wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.6

Wanita yang memiliki hubungan nasab, yaitu terdiri dari:

1. Aṣal dari para ibu keatas. Yang dimaksud dengan asal adalah ibu kandung
seseorang dan ibunya ibu (nenek) ke atas. Ibunya bapak, ibunya kakek baik seayah
ataupun seibu ke atas.
2. Keturunan, yaitu anak perempuan kebawah. Yang dimaksud dengan far’i adalah
anak perempuan dan keturunannya dan anak perempuan dari anak lakilaki
kebawah dan keturunannya
3. Anak-anak perempuan dari kedua orangtua atau salah satu keduanya, kebawah.
Yang dimaksud dalam hal ini adalah saudara-saudara perempuan, baik seayah ibu
maupun seayah atau seibu saja dan anak-anak wanita keturunan mereka. Baik dari
anak-anak perempuan maupun anak perempuan dari anak laki-laki.
4. Tingkatan pertama dari anak-anak kakek dan nenek ke atas. Yang dimaksud dalam
hal ini adalah saudara-saudara bapak yang perempuan (bibi dari ayah) dan saudari-
saudari ibu yang perempuan (bibi dari ibu). 7

B. Larangan Perkawinan Sepesusuan


Masyarakat Arab dahulu terbiasa mencari ibu susu bagi anak-anak mereka.
Wanita-wanita baduilah yang banyak menggeluti profesi sebagai ibu susu. Mereka
menyerahkan penyusuan anak kepada wanita badui dikarenakan mereka meyakini
udara dan lingkungan daerah perkampungan lebih baik bagi partumbuhan anak. Maka
tidaklah mengherankan jika banyak shahabat yang menjadi saudara lewat jalur susuan.

6
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2000), hal 821-822
7
Anis Khafizoh, Perkawinan Sedarah dalam Perspektif Hukum Islam dan Genetika, Syariati: Jurnal Studi
Al-Qur’an dan Hukum, Vol. III No. 01, Mei 2017, hal. 64

9
Terlebih hari ini banyak terdapat bank-bank asi yang menyimpan ASI dari
banyak wanita. Tak dapat dipungkiri pula, semua bayi sangatlah membutuhkan ASI
sebagai makanan terbaik bagi mereka. Semua ahli kesehatan sepakat akan hal ini. Allah
Subhanahu wata’ala telah memerintahkan para ibu untuk menyusui bayinya,
sebagaimana yang terdapat dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 233, yaitu:
َ
ٗ ْ ُ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َّ َّ ُّ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َّ ُ َ َ ْ َ َ ْ ْ ُ ُ ٰ ٰ ْ َ
‫۞ والولِدت ير ِضعن اولادهن حولي ِن ك ِاملي ِن ِلمن اراد ان ي ِتم الرضاعةۗ وعلى المولو ِد له‬

ٌ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ٌ َ َ َّ َ ُ َ َ َ ْ ُ َّ ٌ ْ َ ُ ََّ ُ َ ْ ُ ْ َ ْ َّ ُ ُ َ ْ َ َّ ُ ُ ْ
‫ِرزقهن و ِكسوتهن ِبالمعرو ِفۗ لا تكلف نفس ِالا وسعهاۚ لا تضاۤر والِدة ِۢبول ِدها ولا مولود‬

َ َ ُ َ َ ُ َََ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ ََ ْ َ َ ٰ ُْ ْ َ َ َ َّ
َ َ َ َ ٗ
‫اض ِمنهما وتشاو ٍر فلا جناح‬
ٍ ‫له ِبول ِد ٖه وعلى الو ِار ِث ِمثل ذ ِلكۚ ف ِان ارادا ِفصالا عن تر‬

ْ ُ ْ َ ْ ْ ُ ْ َ ٰ َّ ْ ُ ْ َّ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َ ْ ُّ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ َ
ۗ‫علي ِهماۗواِ ن اردتم ان تستر ِضعوْٓا اولادكم فلا جناح عليكم ِاذا سلمتم مآْ اتيتم ِبالمعرو ِف‬

َ ُ ْ َ َ َ ‫ه َ َ ْ َ ُ ْ ََّ ه‬ ُ َّ
‫اّٰلل ِبما تع َمل ْون َب ِص ْي ٌر‬ ‫َواتقوا اّٰلل واعلموْٓا ان‬

Artinya:
“Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian
mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan
pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan
musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin
menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu
memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”8
Wanita yang diharamkan untuk dinikahi karena adanya hubungan sesusuan, yaitu:
1. Ibu Susuan, yaitu ibu yang pernah menyusui, maksudnya seorang wanita yang
pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui
itu, sehingga haram melakukan perkawinan.

8
Kosim, Fiqh Munakahati Dalam Kajian Filsafat Hukum Islam dan Keberadaannya dalam Politik Hukum
Ketatanegaraan Indonesia, (Depok: PT. RajaGrafindoPersada, 2019), hal. 23

10
2. Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang
menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu di pandang seperti ayah bagi
anak susuan sehingga haram melakukan perkawinan.
3. Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan
suami ibu susuan dan seterusnya ke atas.
4. Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
5. Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.9
C. Larangan Perkawinan Musaharah
Ketetapan tentang pelarangan pernikahan karena adanya hubungan kekerabatan
semenda ini didsarkan pada Al-Quran surah An-Nisa ayat 23 sebagaimana telah
disebutkan. Secara lebih jelas dan terperinci dalam ayat tersebut disebutkan dan
dijelaskan siapa saja perempuan yang haram untuk dinikahi karena adanya hubungan
semenda atau dalam bahasa jawa yaitu besan. Perempuan-perempuan itu adalah:
1. Ibu dari istri (mertua), termasuk nenek dari ibu ataupun bapak dan seterusya ke
atas. Mertua perempuan (ibu dari istri) langsung menjadi mahram begitu si laki-
laki mengawini anaknya baik itu setelah menggaulinya ataupun belum
menggaaulinya.
2. Anak perempuan dari istri, dengan syarat telah terjadinya hubungan badan
(kelamin) dengan ibu dari anak tersebut. Terkait dengan hukum menikah
dengan anak dari istri ini, para ulama memberikan syarat bahwa anak tersebut
harus dalam pemeliharaan orang yang menikahi ibunya dan telah dicampuri,
sesuai dengan hadits Rasulullah sebagaimana berikut:
“Apabila seorang laki-laki mengawaini seorang wanita, maka tidak halal
baginya mengawini ibu wanita itu baik ia telah menggaulinya atau masih belum
menggaulinya. Dan apabila ia kawin dengan ibu si wanita lalu ia tidak
menggaulinya dan menceraikannya maka jika ia suka boleh kawin dengan
anaknya”.
3. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki atau menantu, yaitu dilarang
dan diharamkan untuk menikahi istri-istri dari anak kandung.
4. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri.10

9
Sifa Mulya Nurani, Ade Winanengsih, Ida Farida, Larangan Pernikahan Menurut Kompilasi Hukum
Islam dan Relevansinya Dengan Al-Quran, Jurnal Hukum Pelita, Vol. 2 No. 2 (2021): November 2021, hal. 52
10
Ibid. hal. 50

11
D. Larangan Perkawinan Li’an
Li’an itu terjadi karena dua hal. Pertama, seorang suami menuduh istrinya
berbuat zina, tanpa mampu menghadirkan empar orang saksi. Kedua, suami tidak
mengakui anak yang ada dalam kandungan istrinya.
Secara bahasa Li’an berarti menyingkir dan menjauh dari rahmat Allah
Subhanahu wata’ala. Dinamakan demikian, karena suami dan istri bersumpah bersedia
mendapatkan laknat Allah Subhanahu wata’ala jika masing-masing berbohong.
Sedangkan arti Li’an secara istilah menurut syafi’iyah, yaitu dengan kalimat
(sumpah) yang sudah diketahui, yang dijadikan bukti bagi orang yang menuduh zina
orang yang telah menodai tempat tidurnya sehingga mengakibatkan dia mendapat aib
karenanya, atau karena tidak mengakui anaknya.
Adapun dalil yang menjadi dasar pelaksanaa sumpah Li’an adalah AL-Quran
surah An-Nur ayat 6-10, yaitu:
ٰ َ َ ََ َُ َ َ ُ ْ َ َّ َ ُ َّ ُ َ َ َْ َ َ ْ َّ
ۢ‫َوال ِذين َي ْر ُم ْون از َواج ُه ْم َول ْم َيك ْن ل ُه ْم ش َهدا ُۤء ِال ْٓا انف ُس ُه ْم فش َهادة اح ِد ِه ْم ا ْر َب ُع ش ٰهد ٍت‬

ْ َ َ ْ ْ َ َ ‫ْ َ َ ْ َ َ ُ ََّ َ ْ َ َ ه‬
َ‫ان م َن ال ٰكذب ْي َن َو َي ْد َر ُؤا َع ْنها‬‫ك‬ ‫ن‬‫ا‬ ‫ه‬ ‫ي‬‫ل‬‫ع‬ ‫اّٰلل‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫ع‬‫ل‬ ‫ن‬‫ا‬ ‫ة‬ ‫س‬‫ام‬ ‫خ‬ ‫ال‬‫و‬ ‫ن‬‫ي‬‫ق‬ ‫د‬
‫ه‬
‫الص‬ ‫ن‬َ ‫اّٰللۙاَّن ٗه َلم‬
‫ه‬
‫ِب‬
ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

ْ َ ْ َ َ ‫ه َّ ٗ َ َ ْ ٰ ْ َ َ ْ َ َ َ ََّ َ َ َ ه‬ ٰ َ َ َ َْ ْ َ ْ
َ ‫ال َع َذ‬
‫اّٰلل عليهآْ ِان‬
ِ ‫اّٰلل ِانه ل ِمن الك ِذ ِبينۙ والخ ِامسة ان غضب‬ ۢ ٍ ‫اب ان تش َهد ا ْر َب َع ش ٰهد‬
ِ ‫ت ِب‬

َ ٌ ََّ َ ‫ْ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ه َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ُ ٗ َ ََّ ه‬ ‫َ َ َ ه‬
ࣖ ‫اب ح ِك ْي ٌم‬ ‫اّٰلل عليكم ورحمته وان اّٰلل تو‬ ِ ‫كان ِمن الص ِد ِقين ولولا فضل‬

Artinya:
“Orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah
empat kali bersumpah atas (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang
yang benar. 7. (Sumpah) yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta. 8. Istri itu terhindar dari hukuman apabila dia
bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk
orang-orang yang berdusta, 9. (Sumpah) yang kelima adalah bahwa kemurkaan Allah
atasnya (istri) jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang benar. 10. Seandainya
bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu dan (bukan karena) Allah
Maha Penerima Tobat lagi Mahabijaksana, (niscaya kamu akan menemui kesulitan).”

12
Berdasarkan ayat tersebut, maka seorang suami yang menuduh isterinya berbuat
zina tanpa mampu menghadirkan empat orang saksi, atau jika dia tidak mengakui anak
dalam kandungan isterinya, maka ia harus melakukan sumpah li’ān.11
Dalam pandangan Imam Malik, setelah suami dan isteri selesai mengucapkan
sumpah Li’an, maka secara otomatis status hubungan suami isteri berakhir. Berbeda
dengan Imam Malik, menurut Imam Syafi’i, status putus otomatis berlaku sejak suami
menyelesaikan sumpahnya. Dengan demikian, sebelum isteri menyampaikan
sumpahnya, hubungan suami isteri itu telah berakhir. Berbeda dengan kedua pandangan
di atas, menurut Imam Hanafi, Imam Ḥanbali, serta Imam at-Tsauri, berakhirnya
hubungan suami isteri akibat Li’an tidak berlaku secara otomatis, melainkan harus
ditetapkan oleh hakim. Namun demikian para ulama sepakat bahwa suami isteri
tersebut tidak dapat kembali lagi selamanya, karena di antara mereka sudah terjadi
‘saling benci dan marah’ sehingga tidak memungkinkan kembali menjadi suami isteri
yang landasannya adalah cinta dan kasih sayang. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi
yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar, yaitu:

‫ان أ َ َبدًا‬ ِ ‫ْال ُمت َََل ِعن‬


ِ ‫َان ِإذَا تَفَرقَا ََل َيجْ ت َِم َع‬
“Dua orang yang saling melakukan Li’an, jika sudah terpisah, tidak dapat berkumpul
(Kembali) selamanya.”12

E. Wanita yang Haram Di Nikahi Untuk Selama-lamanya


Larangan perkawinan yang dinilai haram untuk selama-lamanya atau disebut
juga dengan mahram muabbad, terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Hubungan Nasab
Sesuai dengan Firman Allah Subhhanahu wata’ala yang tertera di dalam Al-
Quran surah An-Nisa ayat 23
2. Hubungan Sesusuan
Perkawinan terlarang karena adanya hubungan susuan, yaitu hubungan yang
terjadi karena seorang anak kecil menyusu kepada ibu selain ibu kandungnya
sendiri. Hal itu dikarenakan air susu yang dia minum akan menjadi darah daging

11
Iffah Muzammil, Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan dalam Islam, (Tangerang: Tira Smart, 2019), hal.
171
12
Ibid, hal. 177

13
dan membentuk tulang-tulang anak. Penyusuan itu dapat menumbuhkan
perasaan keanakan dan keibuan antara kedua belah pihak. Maka dari itu posisi
ibu susuan dihukumi sebagai ibu sendiri.
3. Hubungan Perkawinan
Sesuai dengan Firman Allah Subhanahu wata’ala dalam Al-Quran surah An-
Nisa ayat 22.

Larangan yang masih diperselisihkan terdapat dua bagian, yaitu:


1. Zina
Menikahi perempuan pezina adalah haram. Tidak di halalkan kawin dengan
perempuan zina,begitu pula bagi perempuan tidak halal kawin dengan laki –laki
zina, sebelum mereka bertaubat.
2. Li’an
Apabila terjadi sumph li‟an antara suami istri maka putuslah hubungan
perkawinan keduanya untuk selama - lamanya.13

13
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hal. 111

14
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Mahar adalah balasan atau sesuatu yang harus diberikan berupa uang, barang atau
sebagainya dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan saat terjadinya ijab nikah.
Dasar hukum mahar salah satunya ada dalam ayat di bawah ini.

‫وأتوا النساء صدقاتهن نخلة فإن طين لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مرينا‬

Artinya: berikan mahar/maskawin pada wanita yang akan kamu nikahi dengan tulus
ikhlas. Kemudian jika dia memberi harta atau sebagian maharnya kepada mu maka terimalah
dan terima balasannya. (Q.S An Nisa: 4)

Macam-macam mahar ada dua, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil.

Selain itu, ada pernikahan yang dilarang karena beberapa alasan. Alasan yang
menjadikan pernikahan tidak boleh dilakukan adalah larangan pernikahan karena senasab,
larangan pernikahan karena sepersusuan, larangan pernikahan karena musaharah dan larangan
pernikahan karena li’an.

Adapun beberapa perempuan yang dilarang untuk dinikahi selamanya atau yang biasa
disebut dengan mahram. Mahram dibagi menjadi tiga, yaitu dalam hubungan nasab, hubungan
sepersusuan dan hubungan perkawinan.

15
DAFTAR PUSTAKA
as-Shiddieqy, T. M. (2000). Tafsir Al-Qur'anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.

Aziz, A., Rahim, M., & Chamim, M. (2019). Keharaman Pernikahan Sedarah (incest) Ditinjau
darri Hukum Islam. Jurnal IRTIFAQ Vol.6 No.2, 153.

Ghazali, A. R. (2010). Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Khafizoh, A. (2017). Perkawinan Sedarah dalam Perspektif Hukum Islam dan Genetika.
Syariati, 64.

Kosim. (2019). Fiqh Munakahat. Depok: PT Raja Grafindo Persada.

Muzammil, I. (2019). Fiqh Munakahat Hukum Pernikahan dalam Islam. tangerang : Tira
Smart.

Nurani, S. M., Winanengsih, A., & Farida, I. (2021). Larangan Pernikahan Menurut Kompilasi
Hukum Islam dan Relevansinya dengan Al-Qur'an. Jurnal Hukum Pelita Vol.2 No.2,
52.

Rahmawati, N. (-). Mahar Pernikahan dalam Perspektif Islam. Lampung: IAIN Metro
Lampung.

Yunus, M. (1956). Hukum Perkawinan dalam Islam menurut Madzhab Syafi'i, Hanafi, Maliki,
Hanbali. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.

16

Anda mungkin juga menyukai