Disusun Oleh:
Lailiyah (1808201103)
2021 M / 1433 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung
dalam memelihara kontinuitas keturunan dan memperkuat hubungan antarsesama
manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih saying. Oleh
karena itu, syariat Islam sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang
disebut al-ahwal asy-syakhshiyyah (Hukum yang berkaitan dengan pernikahan, talak,
mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan suasana salihah yang menjurus
kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan
menjaganya dari segala keharaman, nikah juga merupakan ketenangan dan tuma'ninah,
karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta kecintaan diantara suami
dan isteri.
Setiap akad pernikahan dari berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna
dan sah dapat menimbulkan beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang
merupakan akad yang agung dan penting mempunyai p beberapa pengaruh, diantaranya
hak istri kepada suami. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah
satunya adalah mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan
berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak
karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar
wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo,
pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.
Perkara wali nikah dalam suatu perkawinan masih banyak diantara umat Islam
yang belum memahami fungsi, atau kedudukan wali nikah dengan segala ketentuan yang
melekat terhadap kebenaran wali nikah bahwa dia dibenarkan menjadi wali nikah. Pada
akhirnya sering terjadi kesalahpahaman dan perdebatan antara masyarakat dengan
petugas ketika adanya pendaftaran kehendak nikah di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan, disaat diadakan penelitian atau pemeriksaan kelengkapan administrasi
pernikahan, pemeriksaan calon pengantin dan kebenaran wali nikah. Petugas yang
menerima pendaftaran kehendak nikah dituntut kecermatan dan ketelitian tentang
kebenaran wali nikah yang telah ditentukan oleh syariat Islam dengan segala syarat
sahnya boleh atau tidaknya dia menjadi wali dalam pernikahan.
Oleh sebab itu ketentuan wali dalam pernikahan menurut Al-Qur’an dan hadits
pemahamannya justru merupakan tindakan perlindungan yang ditujukan kepada kaum
wanita sesuai dengan qudratnya sebagai makhluk yang lemah, dikhawatirkan akan
terjerumus dalam suatu perkawinan dengan suami yang tidak bertanggungjawab.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan mahar?
2. Bagaimana kedudukan wali?
3. Apa itu nikah mut’ah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kedudukan mahar
2. Untuk mengetahu kedudukan wali
3. Untuk mengetahui nikah mut’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Mahar
1. Pengertian Mahar
Secara eksternal, Mahar berarti mas kawin. Dalam terminologi, mahar
adalah hadiah wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan dari
calon suami untuk menimbulkan 2 cinta bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Atau hadiah yang diperlukan untuk calon suami kepada calon istrinya, baik dalam
bentuk benda dan jasa (membebaskan, mengajar, dll). Kata "mahar" berasal dari
bahasa Arab, yang mencakup bentuk katra abstrak atau masdar, yaitu "Mahram"
atau kata kerja, yang merupakan fi'il dari "mahara-yamaharumaharan". Lalau,
standar oleh kata benda mufrad, yaitu al-mahr, dan sekarang telah diindonesikan
dengan kata yang sama, yaitu mas kawin atau karena kebiasaan pembayaran mas
kawin dengan mas, mas kawin diidentifikasi dengan mas kawin. Di antara fuqaha,
selain kata "mas kawin", juga digunakan istilah lain, yaitu shadaqah, di sini, dan
faridhah yang berarti mahar. Dengan pemahaman etimologi, istilah mahar adalah
hadiah yang dibuat oleh mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan yang
hukumnya wajib, tetapi tidak menentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecil
dalam Alquran adalah al-Hadits.
Dalam bahasa Arab, kata mas kawin jarang digunakan. Para ahli hukum
sering menggunakan kata "shidaq" dalam buku-buku yurisprudensi mereka.
Sebaliknya, di Indonesia istilah yang sering digunakan adalah istilah mahar dan
mas kawin. Para ahli menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara
istilah ashshidaq dan terma al-mahar. Ada pendapat yang menegaskan bahwa
Shadaq adalah sesuatu yang wajib karena perkawinan, seperti wathi 'seubhat,
pemerahan susu, dan kesaksian menarik. Menurut Ibn Qayyim, istilah mahar
dengan shidaq tidak berbeda fungsinya jika yang dimaksudkan adalah
memberikan sesuatu dari mempelai laki-laki ke mempelai perempuan dalam suatu
pernikahan. Hanya istilah mahar yang digunakan untuk perkawinan, sedangkan
iatilah shidaq dapat digunakan dalam hal-hal selain perkawinan, karena istilah
umum sebagai sadaqah wajib dan sadaqah sunnah / sadaqah wajib adalah
membayar zakat dan membayar mahar. Mahar menurut pemahaman para ulama
memiliki formula yang berbeda walaupun artinya sama. Sarjana Hanafiyyah
mengklaim bahwa mahar adalah sejumlah aset yang merupakan hak istri karena
kontrak pernikahan atau hubungan seksual yang sebenarnya. Sarjana Malikiyyah
mendefinisikannya dengan sesuatu yang membuat istri halal menjadi hubungan
seksual. Syafiiyyah Ulama menyatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang harus
dibayar karena kontrak pernikahan atau hubungan seksual. Sedangkan ulama
Hanabillah menyatakan bahwa maharadalah hadiah untuk pernikahan, keduanya
jelas dinyatakan selama kontrak pernikahan, ditentukan setelah perjanjian dengan
perjanjian kedua belah pihak dan ditentukan oleh hakim (Dahlan, 1996).1
2. Kedudukan Mahar Dalam Pernikahan
Dalam Islam, dia meresepkan untuk membayar mas kawin hanya sebagai
hadiah yang diberikan oleh seorang pria kepada seorang wanita yang dia minta
ketika dia ingin menjadi pria terbaiknya, dan sebagai pengakuan dari seorang pria
kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan wanita. Oleh karena itu, dalam Al
Qur'an, Allah telah menegaskan dalam surat an-Nisa ayat 4 :
ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَِإ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيًئا َم ِريًئا
َ َوآتُوا النِّ َسا َء
1
Apriyanti, (2017). “Historiografi Mahar dalam Pernikahan,” An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak
12 (2), 34-35
2
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: CV. asy-Syifa’, 1994), 115.
3
Syamsudin Ramadhan, Fikih Rumah Tangga, Cet. 1 (Bogor: CV. Idea Pustaka Utama, 2004), 65.
Mahar adalah kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan,
karena mahar adalah hadiah yang dapat mengabadikan cinta, yang mengikat dan
memperkuat hubungan antara suami dan istri. Mahar yang harus dibayar ketika
kontrak pernikahan hanya sebagai wasilah (perantara), bukan sebagai ghayah
(tujuan), oleh karena itu Islam sangat merekomendasikan agar mahar atau mahar
dalam pernikahan difasilitasi.4
Islam tidak merinci mas kawin besar atau kecil, karena perbedaan antara
kaya dan miskin, luas dan sempitnya kekayaan. Selain itu, setiap komunitas
memiliki kebiasaan dan tradisi sendiri, karena itu Islam menyerahkan masalah
jumlah mahar berdasarkan kemampuan setiap orang atau keadaan dan tradisi yang
berlaku di keluarganya. Semua teks yang memberikan informasi tidak
dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar, terlepas dari
ukuran jumlahnya. Jadi diperbolehkan memberi mas kawin misalnya dengan
cincin besi atau hanya mengajarkan beberapa ayat Alquran dan sebagainya,
dengan syarat yang disepakati oleh kedua pihak dalam akad. Seperti hadits di
bawah ini:
“Dari Sahal bin Saad bahwa Nabi SAW …….lalu Nabi bersabda “
sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat al-Qur’an yang ada
padamu”. (HR. Bukhari Muslim). 5
4
Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), 148.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7 (Bandung: PT. al- Ma’arif, 1983), 55–56.
ْ ج ۖ فَِإ ْن َأ ْت َم ْمتَ ع ْأ َّ َقَا َل ِإنِّي ُأ ِري ُد َأ ْن ُأ ْن ِك َحكَ ِإحْ دَى ا ْبنَت
اzzك ۖ َو َمَ ِدz رًا فَ ِم ْن ِع ْنz َش ٍ ي هَاتَ ْي ِن َعلَ ٰى َأ ْن تَ ُج َرنِي ثَ َمانِ َي ِح َج
ۚ َق َعلَ ْيكَّ ُأ ِري ُد َأ ْن َأ ُش ََستَ ِج ُدنِي ِإ ْن َشا َء هَّللا ُ ِمنَ الصَّالِ ِحين
ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَِإ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيًئا َم ِريًئا
َ َوآتُوا النِّ َسا َء
Di antara banyak orang sudah menjadi tradisi bahwa mereka tidak cukup
hanya memberi mas kawin, tetapi disertai dengan berbagai hadiah lain (hadiah),
baik dalam bentuk makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, atau lainnya,
6
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, 613.
sebagai penghargaan dari calon suami untuk calon istri tercinta yang akan
menemani hidupnya.7
Mas kawin besar dan bentuk harus selalu dibimbing oleh sifat
kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang direkomendasikan oleh Islam,
sehingga ukuran dan bentuk mahar tidak membebani mempelai laki-laki.8
Jika mahar atau mahar adalah hak seorang wanita (istri) maka istri yang
baik adalah orang yang tidak menyulitkan atau menjadikannya mahal. Sekarang,
tidak sedikit dari umat Islam yang telah diracuni memahami materialisme.
Mereka tampak mahar dengan pandangan materi belaka. Mereka
menggunakannya sebagai prinsip dalam kontrak pernikahan. Padahal sebenarnya
mas kawin hanyalah simbol penghormatan terhadap wanita. Tapi sekarang
ternyata itu tuntutan yang paling penting. Pandangan seperti itu sangat
bertentangan dengan syariah Islam yang memerintahkan penganutnya untuk
meringankan masalah mahar. Memperluas mas kawin adalah sesuatu yang dibenci
oleh Islam, karena akan mempersulit hubungan perkawinan antara sesama
manusia. Islam tidak suka mahar yang berlebihan (wanita yang memasang mahar
terlalu mahal), bahkan sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar lebih
murah tentu akan memberi berkah dalam kehidupan suami-istri (menikah).
Dan mahar murah adalah untuk menunjukkan kemurahan hati wanita itu,
itu tidak berarti bahwa itu benar-benar menjatuhkan harga dirinya. Dari ‘Aisyah
ra. Dia mengatakan, bahwa Rasulullah, bersabda:
7
Nurjannah, Mahar Pernikahan, Cet. 1 (Yogyakarta: Prisma Sophie Press, 2003), 27.
8
Djamaan Nur, Fikih Munakahat (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), 81.
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, 58–59
Masih banyak orang yang belum tahu mahar atau mas kawin ini, mereka
menganut adat Jahiliyah. Yaitu seorang ayah menyerahkan putrinya kepada
seorang pria yang berani memberikan mahar dalam jumlah besar, alih-alih
menolak untuk menyerahkan putrinya kepada seorang pria yang hanya mampu
memberikan mahar dalam jumlah kecil. Sehingga seolah-olah perempuan itu
adalah barang dagangan yang memiliki tarif terpasang dalam etiket perdagangan.
Perilaku semacam ini menyebabkan banyak kecemasan sehingga baik pria
maupun wanita terlibat dalam bahaya, akan menyebabkan banyak kejahatan dan
kerusakan serta mengganggu dunia perkawinan sehingga akhirnya halal lebih sulit
untuk dicapai daripada yang melanggar hukum (perzinaan) . Masalah nominal
mahar, Islam tidak mengatur berapa banyak dan jumlah mahar yang kecil. Dalam
hal ini jumlah mahar tergantung pada kondisi suami dan posisi istri. Kewajiban
seorang Muslim untuk memberikan mahar atau mas kawin kepada seorang wanita
yang akan diedit menjadi istrinya tercantum dalam Al-Qur'an ayat Nisa ayat 25,
dan ia juga mengingatkan umat Islam untuk menikahi seorang wanita dengan izin
wali dan membayar mas kawin.
Seperti saudara kandung, bibi dari pihak ayah, anak-anak paman di pihak
ayah, bibi dari pihak ibu dan selain mereka dari kerabat yang ada. Jumlah mahar
atau mas kawin yang tepat akan tergantung pada posisi seseorang dalam
kehidupan, status sosial, mereka yang menikah, dan dapat berbeda dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu lain dan dari satu negara ke
negara lain di negara lain. Jenis mahar yang digunakan oleh masyarakat Indonesia
pada umumnya adalah musamma mas kawin, biasanya ditentukan bersama atau
dengan musyawarah dari kedua belah pihak
B. Kedudukan Wali
1. Pengertian Wali
Perwalian, dalam literature fiqh islam disebut dengan al-walaya ( ليϮ الseperti
kata ad-dalalah ( الضالت.( Secara etimologis, dia memiliki beberapa arti. Di antaranya
adalah cinta ( ˷تΒحϤ ( الdan pertolongan ( Γήشϧ ).
10
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam (Shari’ah The Islamic Law), Cet. II (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1996), 69–71.
Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminology para fuqaha (pakar
hukum islam) seperti diformulasikan Wahbah Al-Zuhayli ialah
“kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.
Sejalan dengan itu menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan wali secara
umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
terhadap dan atas nama orang lain. Orang yang mengurusi/menguasai sesuatu
(akad/transaksi) disebut wali seperti dalam penggalan ayat: fal-yumlil waliyyuhu bil-
adli. Kata alwaliya muannasnya al-waliyyah ( ( الىليهdan jamaknya al-waliya ( ,(لياءϭاا
berasal dari kata wala-yali-walyan-wa-walayatan , secara harfiah berarti yang
mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan
orang yang mengurus perkara (urusan)seseorang .Atas dasar pengertian semantik kata
wali di atas, dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam menetapkan
bahwa orang yang paling berhak menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah.
Alasannya, karena ayah adalah tentu orang yang paling dekat, siap menolong, bahkan
yang selama itu mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya,
barulah hak erwaliannya diganti oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah
sebagaimana dibahas panjang lebar dalam buku-buku fiqih.11
2. Kedudukan Wali Nikah dalam Perspektif Gender (Studi Analisis Fiqih Empat
Mazhab).
Mengetahui kedudukan wali nikah perspektif gender, mengetahui bagaimana
pandangan Empat Mazhab terhadap kedudukan wali nikah. Penelitian ini termasuk
penelitian Library research. Penelitian ini yang menjadi objek kajiannya
menggunakan data pustaka dan buku-buku sebagai dasar sumbernya. Dalam
menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan teologi normatif
(syar’i) dan pendekatan Filsafat Hukum Islam. Data dikumpulkan menggunakan data
Primer dan data sekunder yaitu dengan kutipan langsung dan kutipan tidak langsung,
menggunakan metode-metode komparatif yaitu, digunakan untuk membandingkan
antara beberapa data yang diperoleh. Metode Indukatif yaitu, digunakan untuk
mengolah data dan fakta yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat
11
Wahbah Az-Zuhayli, Fiqih Islam, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 178
umum. Metode deduktif yaitu, digunakan untuk mengolah data dan fakta yang
bersifat umum lalu menarik kesimpulan.
Setelah melakukan penelitian dari beberapa referensi buku mengenai
kedudukan wali nikah dalam perspektif Gender. Wali adalah orang yang bertanggung
jawab atas sah tidaknya suatu akad pernikahan. Sedangkan kedudukan wali menurut
gender konsep wali yang memaksa menikahkan anak perempuannya tanpa meminta
persetujuan dari anak perempuannya tersebut maka itu bisa merenggut hak
perempuan untuk memilih jodohnya sendiri. Adapun pendapat menurut empat Imam
Mazhab yaitu:12
a. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa yang berarti tanpa kehadiran wali nikah
ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Jika wanita yang baligh
dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada
wali, akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya.
b. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wanita yang telah baliqh dan berakal
sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah
sendiri baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang
mempunyai wewenang atas dirinya atau kufu (sepadan) dengannya dan
maharnya tidak kurang dari dengan mahar misil. Tetapi bila dia memilih
seorang laki-laki yang tidak sekufu deangannya, maka walinya boleh
menentangnya,dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad
nikahnya.
c. Mazhab Maliki berpendapat bahwa mengharuskan izin dari wali atau wakil
terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Jika wanita yang
baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada
pada wali,akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya. Wali
tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya
wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali.
d. Mazhab Hambali berpendapat bahwa jika wanita yang baligh dan berakal
sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan
tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak boleh
12
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
perkawinan. (Jakarta: Cet. V, 2014), 69.
mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu
pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. wali nikah harus
ada dalam perkawinan yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah.
Keberadaan seorang wali nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun
dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Hal ini sesuai dengan
beberapa Hadis Rasulullah saw berikut:
Dalil As-sunnah
“Tidak sah Nikah tanpa Wali.” (HR. Ahmad)
Dari Aisyah r.a, yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan
Imam Ahmad: No 2/169
اzzعن عائشة رضي اهللا عنها قالت قال رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم ٔايما امرٔاة نكحت بغير ٕاذن وليها فنكاحه
لطان ولي من ال وليzzتجروا فالسzzا و ٕان اشzzاب من فرجهzzا ٔاصzzا بمzzا مهرهzzابها فلهzzإن ٔاصzzباطل فنكاحها باطل ف
٣لها )رواه ٔاحم
Artinya :
“Dari Aisyah r.a , ia berkata Rasulullah bersabda “ Perempuan mana saja
yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya
batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar,
dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka
sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada ada walinya”.
(Diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadis Aisyah ini jelas membatalkan nikah tanpa izin wali. Hal ini
menunjukkan bahwa kalau suatu pernikahan dilangsungkan atas seizing wali,
hokum pernikahan tersebut adalah sah. Hadis tersebut tidak menerangkan bahwa
izin wali harus diperoleh sebelum akad nikah. Ini menunjukkan bahwa izin wali
dapat diminta sebelum atu sesudah berlangsung akad nikah. Jelaslah bahwa hadis
tersebut menggantungkan sahnya akad nikah pada keizinan wali secara umum,
baik izin itu diperoleh sebelum atau sesudah berlangsung nya akad nikah.
Tegasnnya, hadis tersebut menunjukkan sahnnya akad nikah tanpa wali asalkan
saja ada izinnya.13
C. Kedudukan Nikah Mut’ah
1. Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-
senang. Sedangkan nikah mut’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan
untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan
berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah
Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Gambaran lebih jelas yang dimaksud dengan nikah mut’ah sebagaimana yang telah
dikemu kakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy, bahwa asal kata mut’ah (Arab) ialah
sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan
sebagai ”ganti rugi” kepada isteri yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja
tamatta’a dan istamta’a barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau
bernikmat-nikmat dengan sesuatu. Haji tamattu’ disebut demikian karena memberikan
kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.
Secara istilah, yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah
dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya
berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.5
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya, wanita itu
mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau kunikahkan,” atau ”Engkau
kumut’ahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun
atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),” Kemudian orang laki-
laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, ”Aku terima.”
Ada beberapa pendapat ulama mengenai defenisi nikah mut’ah ini, diantaranya
yakni:6
a) Ibnu Qudamah:
13
Dawd, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Nikah No. 1785; al Turmuzi, Sunan al-Turmuzi Kitab al- Nikah No
1020: Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Nikah No 1870 , 1871; Ahmad, Musnad Ahmad, Musnah kifiyin
No.18697, (cet III, Kairo ; dar al-Fath Li al-I’Iam al-Arabiy, 1990 M / 1410 M), 240.
َ َِتى َش ْهرًا اَوْ َسنَةً اَوْ اِلى ا ْنق
ضا ِء َ ُ ِم ْث ُل اَ ْن يـَقُوْ َل زَ َّوجْ ت,ًَّج ْال َمرْ َأةَ ُم َّدة
ِ ك ابـْن َ نِ َكا ُح ْا ُمتـْ َع ِة اَ ْن يـَتـَزَ و
Artinya: (terikat dengan (wanita mengawini seseorang adanya adalah ah’mut nikah:“
hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya
mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis
musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan
waktu yang telah ditentukan atau yang belum.
الَِ َّن: َويُ َس ّمى بِ ْال ُمتـْ َع ِة. اَ ْن يـ َ ْعقِ َد ال َّر ُج ُل َعلَى ْال َمرْ َأ ِة يـَوْ ًم اَوْ اُسْبـُوْ عًااَوْ َش ْهرًا:نِ َكا ُح ْال ُمتـْ َع ِة
Artinya:
16
Shafira, 2010, Nikah Kontrak Menurut Islam Dan Realitas Di Indonesia, Marwah, 9 (1), 21-23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara eksternal, Mahar berarti mas kawin. Dalam terminologi, mahar
adalah hadiah wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan dari
calon suami untuk menimbulkan 2 cinta bagi seorang istri kepada calon
suaminya. Atau hadiah yang diperlukan untuk calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda dan jasa (membebaskan, mengajar, dll).
Dalam Islam, dia meresepkan untuk membayar mas kawin hanya
sebagai hadiah yang diberikan oleh seorang pria kepada seorang wanita yang
dia minta ketika dia ingin menjadi pria terbaiknya, dan sebagai pengakuan
dari seorang pria kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan wanita.
Islam tidak merinci mas kawin besar atau kecil, karena perbedaan
antara kaya dan miskin, luas dan sempitnya kekayaan
Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminology para
fuqaha (pakar hukum islam) seperti diformulasikan Wahbah Al-Zuhayli ialah
“kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.
Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali bagi
kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya, karena ayah adalah tentu orang
yang paling dekat, siap menolong, bahkan yang selama itu mengasuh dan
membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah hak erwaliannya
diganti oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah sebagaimana dibahas
panjang lebar dalam buku-buku fiqi
Keberadaan seorang wali nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah
akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan
sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya
bersenang-senang. Sedangkan nikah mut’ah menurut istilah adalah
perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu
sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan
tanpa adanya talak.
Kaitannya dengan syarat dan rukun nikah mut’ah, bahwa persyaratan
untuk melangsungkan nikah mut’ah tidak terikat pada persyaratan
sebagaimana yang lazimnya dilakukan untuk syarat sahnya nikah permanen.
Ia dapat dilaksanakan dengan menghadirkan saksi, atau tanpa saksi, di depan
wali atau sebaliknya, asalkan perempuan yang dinikahi setuju menerimanya.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa pada
permulaan Islam nikah mut'ah itu haram hukumnya. Demikian pula tidak ada
perbedaan pendapat bahwa hukum haram tersebut telah dinasakhkan, Artinya,
nikah mut'ah telah dibolehkan setelah pada mulanya diharamkan.
DAFTAR ISI
Abdur Rahman I. Doi. 1996. Perkawinan dalam Syari’at Islam (Shari’ah The Islamic
Law), Cet. II. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Agama RI Departemen. 1994. Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV. asy-
Syifa’.
Apriyanti. Historiografi Mahar dalam Pernikahan. An Nisa’a, Jurnal Kajian Gender
dan Anak 12 (2). 2017.
Az-Zuhayli Wahbah. 2011. Fiqih Islam. Jakarta: Gema Insani.
Dawd, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Nikah No. 1785; al Turmuzi, Sunan al-Turmuzi
Kitab al- Nikah No 1020: Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Nikah No 1870 , 1871;
Ahmad, Musnad Ahmad, Musnah kifiyin No.18697, (cet III, Kairo ; dar al-Fath Li al-I’Iam
al-Arabiy, 1990 M / 1410 M).
Mahalli Ahmad Mudjab. 2002. Wahai Pemuda Menikahlah. Yogyakarta: Menara
Kudus.
Noda Norma Fajriah . Analisis Terhadap Nikah Mut'ah Menurut M. Quraish Shihab.
Skripsi. 2018.
Nur Djamaan. 1993. Fikih Munakahat. Semarang: Dina Utama Semarang.
Nurjannah. 2003. Mahar Pernikahan, Cet. 1. Yogyakarta: Prisma Sophie Press.
Ramadhan Syamsudin. 2004. Fikih Rumah Tangga, Cet. 1 Bogor: CV. Idea Pustaka
Utama.
Sabiq Sayyid. 1983. Fiqh Sunnah 7. Bandung: PT. al- Ma’arif.
Saleh Ridwan Muhamad. Perkawinan Mut’ah (Prespektif Hukum Islam Dan Hukum
Nasional, Jurnal Al-Qadhau, 1 (1). 2014.
Shafira. Nikah Kontrak Menurut Islam Dan Realitas Di Indonesia. Marwah, 9 (1).
2010.
Syarifuddin Amir . 2014. Hukum perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Un
Dang g-Undang perkawinan. Jakarta: Cet. V.