Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KEDUDUKAN MAHAR, WALI DAN NIKAH MUT’AH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah: Masail Fiqhiyah

Dosen Pengampu: Dr. H. Syamsudin, M. Ag

Disusun Oleh:

Siska Analisa (1808201097)

Nurul Ulfa (1808201096)

Lailiyah (1808201103)

Anwar Musadat (1808201102)

Aulia Banin (1808201114)

Febi Octavian Nurcholis (1808201112)

JURUSAN HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM SYEKH NURJATI CIREBON

2021 M / 1433 H
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung
dalam memelihara kontinuitas keturunan dan memperkuat hubungan antarsesama
manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih saying. Oleh
karena itu, syariat Islam sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang
disebut al-ahwal asy-syakhshiyyah (Hukum yang berkaitan dengan pernikahan, talak,
mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan suasana salihah yang menjurus
kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan
menjaganya dari segala keharaman, nikah juga merupakan ketenangan dan tuma'ninah,
karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta kecintaan diantara suami
dan isteri.
Setiap akad pernikahan dari berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna
dan sah dapat menimbulkan beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang
merupakan akad yang agung dan penting mempunyai p beberapa pengaruh, diantaranya
hak istri kepada suami. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah
satunya adalah mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan
berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak
karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar
wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo,
pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.
Perkara wali nikah dalam suatu perkawinan masih banyak diantara umat Islam
yang belum memahami fungsi, atau kedudukan wali nikah dengan segala ketentuan yang
melekat terhadap kebenaran wali nikah bahwa dia dibenarkan menjadi wali nikah. Pada
akhirnya sering terjadi kesalahpahaman dan perdebatan antara masyarakat dengan
petugas ketika adanya pendaftaran kehendak nikah di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan, disaat diadakan penelitian atau pemeriksaan kelengkapan administrasi
pernikahan, pemeriksaan calon pengantin dan kebenaran wali nikah. Petugas yang
menerima pendaftaran kehendak nikah dituntut kecermatan dan ketelitian tentang
kebenaran wali nikah yang telah ditentukan oleh syariat Islam dengan segala syarat
sahnya boleh atau tidaknya dia menjadi wali dalam pernikahan.
Oleh sebab itu ketentuan wali dalam pernikahan menurut Al-Qur’an dan hadits
pemahamannya justru merupakan tindakan perlindungan yang ditujukan kepada kaum
wanita sesuai dengan qudratnya sebagai makhluk yang lemah, dikhawatirkan akan
terjerumus dalam suatu perkawinan dengan suami yang tidak bertanggungjawab.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan mahar?
2. Bagaimana kedudukan wali?
3. Apa itu nikah mut’ah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kedudukan mahar
2. Untuk mengetahu kedudukan wali
3. Untuk mengetahui nikah mut’ah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Mahar
1. Pengertian Mahar
Secara eksternal, Mahar berarti mas kawin. Dalam terminologi, mahar
adalah hadiah wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan dari
calon suami untuk menimbulkan 2 cinta bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Atau hadiah yang diperlukan untuk calon suami kepada calon istrinya, baik dalam
bentuk benda dan jasa (membebaskan, mengajar, dll). Kata "mahar" berasal dari
bahasa Arab, yang mencakup bentuk katra abstrak atau masdar, yaitu "Mahram"
atau kata kerja, yang merupakan fi'il dari "mahara-yamaharumaharan". Lalau,
standar oleh kata benda mufrad, yaitu al-mahr, dan sekarang telah diindonesikan
dengan kata yang sama, yaitu mas kawin atau karena kebiasaan pembayaran mas
kawin dengan mas, mas kawin diidentifikasi dengan mas kawin. Di antara fuqaha,
selain kata "mas kawin", juga digunakan istilah lain, yaitu shadaqah, di sini, dan
faridhah yang berarti mahar. Dengan pemahaman etimologi, istilah mahar adalah
hadiah yang dibuat oleh mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan yang
hukumnya wajib, tetapi tidak menentukan bentuk dari jenisnya, besar dan kecil
dalam Alquran adalah al-Hadits.
Dalam bahasa Arab, kata mas kawin jarang digunakan. Para ahli hukum
sering menggunakan kata "shidaq" dalam buku-buku yurisprudensi mereka.
Sebaliknya, di Indonesia istilah yang sering digunakan adalah istilah mahar dan
mas kawin. Para ahli menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara
istilah ashshidaq dan terma al-mahar. Ada pendapat yang menegaskan bahwa
Shadaq adalah sesuatu yang wajib karena perkawinan, seperti wathi 'seubhat,
pemerahan susu, dan kesaksian menarik. Menurut Ibn Qayyim, istilah mahar
dengan shidaq tidak berbeda fungsinya jika yang dimaksudkan adalah
memberikan sesuatu dari mempelai laki-laki ke mempelai perempuan dalam suatu
pernikahan. Hanya istilah mahar yang digunakan untuk perkawinan, sedangkan
iatilah shidaq dapat digunakan dalam hal-hal selain perkawinan, karena istilah
umum sebagai sadaqah wajib dan sadaqah sunnah / sadaqah wajib adalah
membayar zakat dan membayar mahar. Mahar menurut pemahaman para ulama
memiliki formula yang berbeda walaupun artinya sama. Sarjana Hanafiyyah
mengklaim bahwa mahar adalah sejumlah aset yang merupakan hak istri karena
kontrak pernikahan atau hubungan seksual yang sebenarnya. Sarjana Malikiyyah
mendefinisikannya dengan sesuatu yang membuat istri halal menjadi hubungan
seksual. Syafiiyyah Ulama menyatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang harus
dibayar karena kontrak pernikahan atau hubungan seksual. Sedangkan ulama
Hanabillah menyatakan bahwa maharadalah hadiah untuk pernikahan, keduanya
jelas dinyatakan selama kontrak pernikahan, ditentukan setelah perjanjian dengan
perjanjian kedua belah pihak dan ditentukan oleh hakim (Dahlan, 1996).1
2. Kedudukan Mahar Dalam Pernikahan

Dalam Islam, dia meresepkan untuk membayar mas kawin hanya sebagai
hadiah yang diberikan oleh seorang pria kepada seorang wanita yang dia minta
ketika dia ingin menjadi pria terbaiknya, dan sebagai pengakuan dari seorang pria
kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan wanita. Oleh karena itu, dalam Al
Qur'an, Allah telah menegaskan dalam surat an-Nisa ayat 4 :

‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَِإ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيًئا َم ِريًئا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬

“Berikanlah maskawin kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai


pemberian yang penuh kerelaan”. (QS. an-Nisa’: 4)2

Pemahamannya adalah, membayar mahar kepada mereka sebagai hadiah


yang tulus. Hadiah itu adalah maskawin, yang ukurannya ditentukan oleh
kesepakatan kedua belah pihak, karena hadiah itu harus dilakukan dengan tulus.
Mas kawin wajib juga berdasarkan pada sabda Rasulullah SAW “Berikanlah
(maharnya) sekalipun cincin besi”. (HR Muttafaq ‘alaih).3

1
Apriyanti, (2017). “Historiografi Mahar dalam Pernikahan,” An Nisa’a: Jurnal Kajian Gender dan Anak
12 (2), 34-35
2
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: CV. asy-Syifa’, 1994), 115.
3
Syamsudin Ramadhan, Fikih Rumah Tangga, Cet. 1 (Bogor: CV. Idea Pustaka Utama, 2004), 65.
Mahar adalah kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan,
karena mahar adalah hadiah yang dapat mengabadikan cinta, yang mengikat dan
memperkuat hubungan antara suami dan istri. Mahar yang harus dibayar ketika
kontrak pernikahan hanya sebagai wasilah (perantara), bukan sebagai ghayah
(tujuan), oleh karena itu Islam sangat merekomendasikan agar mahar atau mahar
dalam pernikahan difasilitasi.4

Islam tidak merinci mas kawin besar atau kecil, karena perbedaan antara
kaya dan miskin, luas dan sempitnya kekayaan. Selain itu, setiap komunitas
memiliki kebiasaan dan tradisi sendiri, karena itu Islam menyerahkan masalah
jumlah mahar berdasarkan kemampuan setiap orang atau keadaan dan tradisi yang
berlaku di keluarganya. Semua teks yang memberikan informasi tidak
dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar, terlepas dari
ukuran jumlahnya. Jadi diperbolehkan memberi mas kawin misalnya dengan
cincin besi atau hanya mengajarkan beberapa ayat Alquran dan sebagainya,
dengan syarat yang disepakati oleh kedua pihak dalam akad. Seperti hadits di
bawah ini:

“Dari Sahal bin Saad bahwa Nabi SAW …….lalu Nabi bersabda “
sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat al-Qur’an yang ada
padamu”. (HR. Bukhari Muslim). 5

Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar bisa menjadi sesuatu yang


bermanfaat. Di antara yang bermanfaat adalah mengajarkan sejumlah ayat dari Al
Qur'an, bentuk mas kawin dalam amal ibadah atau manfaat lainnya termasuk
dalam kategori melayani (khidmad), mereka berpendapat dengan merujuk pada
firman Allah yang bercerita tentang pernikahan Nabi Musa a.s. dengan putri Nabi
Syu’aib a.s. dengan mahar dalam bentuk jasa yang bermanfaat yaitu bekerja
selama delapan tahun, dalam al-Qur’an surat al Qashas ayat 27:

4
Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), 148.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7 (Bandung: PT. al- Ma’arif, 1983), 55–56.
ْ ‫ج ۖ فَِإ ْن َأ ْت َم ْمتَ ع‬ ‫ْأ‬ َّ َ‫قَا َل ِإنِّي ُأ ِري ُد َأ ْن ُأ ْن ِك َحكَ ِإحْ دَى ا ْبنَت‬
‫ا‬zz‫ك ۖ َو َم‬َ ‫ ِد‬z ‫رًا فَ ِم ْن ِع ْن‬z ‫َش‬ ٍ ‫ي هَاتَ ْي ِن َعلَ ٰى َأ ْن تَ ُج َرنِي ثَ َمانِ َي ِح َج‬
ۚ َ‫ق َعلَ ْيك‬َّ ‫ُأ ِري ُد َأ ْن َأ ُش‬ َ‫َستَ ِج ُدنِي ِإ ْن َشا َء هَّللا ُ ِمنَ الصَّالِ ِحين‬

Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan


kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu
insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".6

Mahar adalah kewajiban suami untuk memenuhi hak istrinya. Namun


setelah kepastian syarat pembayaran, pasangan juga mungkin saling mencintai
dan menghormati dan menjadi pasangan intim dalam rumah tangga untuk
mengembalikan mahar kepada suami mereka untuk kepentingan dan kesenangan
bersama, karena properti itu telah menjadi miliknya. Tentang hukum memberi
mahar adalah wajib, sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nisa ayat 4.

‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۚ فَِإ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيًئا َم ِريًئا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬

“Berikanlah maskawin kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai


pemberian yang penuh kerelaan”. (QS. an-Nisa’: 4)

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan suami


untuk membayar mahar kepada istrinya. Karena perintah itu tidak disertai dengan
qarinah yang menunjukkan sunnah atau mubah, maka ia menghendaki makna
yang wajib. Jadi mahar adalah kewajiban bagi suami dari istrinya, karena tidak
ada qarinah yang mengubahnya dari makna wajib menjadi makna lain. Hadiah itu
juga merupakan tanda hubungan dekat dan cinta yang mendalam antara calon
suami dan istri, selain kain yang harus menyelimuti rumah tangga yang sedang
mereka bangun.

Di antara banyak orang sudah menjadi tradisi bahwa mereka tidak cukup
hanya memberi mas kawin, tetapi disertai dengan berbagai hadiah lain (hadiah),
baik dalam bentuk makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, atau lainnya,
6
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, 613.
sebagai penghargaan dari calon suami untuk calon istri tercinta yang akan
menemani hidupnya.7

Mas kawin besar dan bentuk harus selalu dibimbing oleh sifat
kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang direkomendasikan oleh Islam,
sehingga ukuran dan bentuk mahar tidak membebani mempelai laki-laki.8

Jika mahar atau mahar adalah hak seorang wanita (istri) maka istri yang
baik adalah orang yang tidak menyulitkan atau menjadikannya mahal. Sekarang,
tidak sedikit dari umat Islam yang telah diracuni memahami materialisme.
Mereka tampak mahar dengan pandangan materi belaka. Mereka
menggunakannya sebagai prinsip dalam kontrak pernikahan. Padahal sebenarnya
mas kawin hanyalah simbol penghormatan terhadap wanita. Tapi sekarang
ternyata itu tuntutan yang paling penting. Pandangan seperti itu sangat
bertentangan dengan syariah Islam yang memerintahkan penganutnya untuk
meringankan masalah mahar. Memperluas mas kawin adalah sesuatu yang dibenci
oleh Islam, karena akan mempersulit hubungan perkawinan antara sesama
manusia. Islam tidak suka mahar yang berlebihan (wanita yang memasang mahar
terlalu mahal), bahkan sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar lebih
murah tentu akan memberi berkah dalam kehidupan suami-istri (menikah).

Dan mahar murah adalah untuk menunjukkan kemurahan hati wanita itu,
itu tidak berarti bahwa itu benar-benar menjatuhkan harga dirinya. Dari ‘Aisyah
ra. Dia mengatakan, bahwa Rasulullah, bersabda:

“Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang paling


murah maharnya. Dan sabdanya pula: perempuan yang baik hati adalah yang
murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik akhlaknya.
Sedang perempuan yang celaka yaitu maharnya mahal, sulit perkawinannya dan
buruk akhlaknya”. (HR. Ahmad).9

7
Nurjannah, Mahar Pernikahan, Cet. 1 (Yogyakarta: Prisma Sophie Press, 2003), 27.
8
Djamaan Nur, Fikih Munakahat (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), 81.
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, 58–59
Masih banyak orang yang belum tahu mahar atau mas kawin ini, mereka
menganut adat Jahiliyah. Yaitu seorang ayah menyerahkan putrinya kepada
seorang pria yang berani memberikan mahar dalam jumlah besar, alih-alih
menolak untuk menyerahkan putrinya kepada seorang pria yang hanya mampu
memberikan mahar dalam jumlah kecil. Sehingga seolah-olah perempuan itu
adalah barang dagangan yang memiliki tarif terpasang dalam etiket perdagangan.
Perilaku semacam ini menyebabkan banyak kecemasan sehingga baik pria
maupun wanita terlibat dalam bahaya, akan menyebabkan banyak kejahatan dan
kerusakan serta mengganggu dunia perkawinan sehingga akhirnya halal lebih sulit
untuk dicapai daripada yang melanggar hukum (perzinaan) . Masalah nominal
mahar, Islam tidak mengatur berapa banyak dan jumlah mahar yang kecil. Dalam
hal ini jumlah mahar tergantung pada kondisi suami dan posisi istri. Kewajiban
seorang Muslim untuk memberikan mahar atau mas kawin kepada seorang wanita
yang akan diedit menjadi istrinya tercantum dalam Al-Qur'an ayat Nisa ayat 25,
dan ia juga mengingatkan umat Islam untuk menikahi seorang wanita dengan izin
wali dan membayar mas kawin.

“Karena itu kawinilah mereka (wanita-wanita) dengan seijin keluarganya,


dan berikanlah kepada mereka maskawinnya”.

Wahbah al-Zuhaily dalam bukunya alFiqh al-Islamy wa Adillatuhu


mengatakan bahwa mahar disetujui oleh pengantin yang disebutkan dalam
editorial kontrak sesudahnya. Berdasarkan definisi ini, dapat dipahami bahwa
penentuan jumlah harga pengantin telah ditentukan saat kontrak pernikahan, tetapi
diperbolehkan untuk membayar penuh sekaligus atau menunda. Ini tentu sangat
didukung oleh kemauan kedua belah pihak. Hal-hal yang termasuk dalam
musamma mas kawin dalam kontrak adalah apa yang diberikan oleh suami
kepada istrinya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku sebelum pernikahan atau
sesudahnya, seperti gaun pengantin atau hadiah yang diberikan sebelum dukhul
(hubungan seksual) atau sesudahnya. Karena apa yang ma'ruf (baik) dalam
masyarakat seperti yang disyaratkan dalam kontrak adalah lafdziyah (diucapkan).
Hadiah tersebut harus disebutkan pada saat kontrak, suami harus
menyebutkan kecuali diwajibkan untuk tidak disebutkan dalam kontrak.
Sedangkan mahar yang tidak ditentukan adalah mahar yang diberikan oleh calon
suami kepada calon istrinya yang ketentuannya belum ditentukan dan formulirnya
belum disebutkan. Namun, mahar ini disesuaikan dengan posisi perempuan dalam
struktur kehidupan sosial dari semua aspek atau pertimbangan seperti agama,
kekayaan, keindahan, kecerdasan, kesopanan, usia, sadis, janda, negara, leluhur,
dan kejayaan leluhur mereka. Mitsil mahar diukur dari seorang wanita yang
menyerupai istri dari semua kerabatnya, baik di pihak ayah dan ibu.

Seperti saudara kandung, bibi dari pihak ayah, anak-anak paman di pihak
ayah, bibi dari pihak ibu dan selain mereka dari kerabat yang ada. Jumlah mahar
atau mas kawin yang tepat akan tergantung pada posisi seseorang dalam
kehidupan, status sosial, mereka yang menikah, dan dapat berbeda dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu lain dan dari satu negara ke
negara lain di negara lain. Jenis mahar yang digunakan oleh masyarakat Indonesia
pada umumnya adalah musamma mas kawin, biasanya ditentukan bersama atau
dengan musyawarah dari kedua belah pihak

Jumlah dan bentuknya harus disepakati bersama, dan Sunnah ketika


mengatakan persetujuan pernikahan, sehingga saksi dapat mendengar secara
langsung jumlah dan bentuk mahar. Penentuan mas kawin dan pemberiannya baik
dengan memberikan uang tunai atau menangguhkannya diperbolehkan, tetapi
ketentuan dari musamma mas kawin telah ditetapkan ketika persetujuan nikah
diberikan. Keputusan musyawarah antara kedua pihak dapat berfungsi sebagai
tolok ukur untuk memberikan mahar secara tunai atau penundaan. .10

B. Kedudukan Wali
1. Pengertian Wali
Perwalian, dalam literature fiqh islam disebut dengan al-walaya ( ‫لي‬Ϯ‫ ال‬seperti
kata ad-dalalah ( ‫ الضالت‬.( Secara etimologis, dia memiliki beberapa arti. Di antaranya
adalah cinta ( ‫˷ت‬Β‫ح‬Ϥ‫ ( ال‬dan pertolongan ( Γή‫ش‬ϧ ).
10
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam (Shari’ah The Islamic Law), Cet. II (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1996), 69–71.
Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminology para fuqaha (pakar
hukum islam) seperti diformulasikan Wahbah Al-Zuhayli ialah
“kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.
Sejalan dengan itu menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan wali secara
umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
terhadap dan atas nama orang lain. Orang yang mengurusi/menguasai sesuatu
(akad/transaksi) disebut wali seperti dalam penggalan ayat: fal-yumlil waliyyuhu bil-
adli. Kata alwaliya muannasnya al-waliyyah ( ‫ ( الىليه‬dan jamaknya al-waliya ( ,(‫لياء‬ϭ‫اا‬
berasal dari kata wala-yali-walyan-wa-walayatan , secara harfiah berarti yang
mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan
orang yang mengurus perkara (urusan)seseorang .Atas dasar pengertian semantik kata
wali di atas, dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam menetapkan
bahwa orang yang paling berhak menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah.
Alasannya, karena ayah adalah tentu orang yang paling dekat, siap menolong, bahkan
yang selama itu mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya,
barulah hak erwaliannya diganti oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah
sebagaimana dibahas panjang lebar dalam buku-buku fiqih.11
2. Kedudukan Wali Nikah dalam Perspektif Gender (Studi Analisis Fiqih Empat
Mazhab).
Mengetahui kedudukan wali nikah perspektif gender, mengetahui bagaimana
pandangan Empat Mazhab terhadap kedudukan wali nikah. Penelitian ini termasuk
penelitian Library research. Penelitian ini yang menjadi objek kajiannya
menggunakan data pustaka dan buku-buku sebagai dasar sumbernya. Dalam
menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan teologi normatif
(syar’i) dan pendekatan Filsafat Hukum Islam. Data dikumpulkan menggunakan data
Primer dan data sekunder yaitu dengan kutipan langsung dan kutipan tidak langsung,
menggunakan metode-metode komparatif yaitu, digunakan untuk membandingkan
antara beberapa data yang diperoleh. Metode Indukatif yaitu, digunakan untuk
mengolah data dan fakta yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat

11
Wahbah Az-Zuhayli, Fiqih Islam, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 178
umum. Metode deduktif yaitu, digunakan untuk mengolah data dan fakta yang
bersifat umum lalu menarik kesimpulan.
Setelah melakukan penelitian dari beberapa referensi buku mengenai
kedudukan wali nikah dalam perspektif Gender. Wali adalah orang yang bertanggung
jawab atas sah tidaknya suatu akad pernikahan. Sedangkan kedudukan wali menurut
gender konsep wali yang memaksa menikahkan anak perempuannya tanpa meminta
persetujuan dari anak perempuannya tersebut maka itu bisa merenggut hak
perempuan untuk memilih jodohnya sendiri. Adapun pendapat menurut empat Imam
Mazhab yaitu:12
a. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa yang berarti tanpa kehadiran wali nikah
ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Jika wanita yang baligh
dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada
wali, akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya.
b. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wanita yang telah baliqh dan berakal
sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah
sendiri baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang
mempunyai wewenang atas dirinya atau kufu (sepadan) dengannya dan
maharnya tidak kurang dari dengan mahar misil. Tetapi bila dia memilih
seorang laki-laki yang tidak sekufu deangannya, maka walinya boleh
menentangnya,dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad
nikahnya.
c. Mazhab Maliki berpendapat bahwa mengharuskan izin dari wali atau wakil
terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Jika wanita yang
baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada
pada wali,akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya. Wali
tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya
wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali.
d. Mazhab Hambali berpendapat bahwa jika wanita yang baligh dan berakal
sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan
tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak boleh
12
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
perkawinan. (Jakarta: Cet. V, 2014), 69.
mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu
pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. wali nikah harus
ada dalam perkawinan yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah.
Keberadaan seorang wali nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun
dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Hal ini sesuai dengan
beberapa Hadis Rasulullah saw berikut:
Dalil As-sunnah
“Tidak sah Nikah tanpa Wali.” (HR. Ahmad)
Dari Aisyah r.a, yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan
Imam Ahmad: No 2/169
‫ا‬zz‫عن عائشة رضي اهللا عنها قالت قال رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم ٔايما امرٔاة نكحت بغير ٕاذن وليها فنكاحه‬
‫لطان ولي من ال ولي‬zz‫تجروا فالس‬zz‫ا و ٕان اش‬zz‫اب من فرجه‬zz‫ا ٔاص‬zz‫ا بم‬zz‫ا مهره‬zz‫ابها فله‬zz‫إن ٔاص‬zz‫باطل فنكاحها باطل ف‬
٣‫لها )رواه ٔاحم‬
Artinya :
“Dari Aisyah r.a , ia berkata Rasulullah bersabda “ Perempuan mana saja
yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya
batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar,
dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka
sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada ada walinya”.
(Diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Hadis Aisyah ini jelas membatalkan nikah tanpa izin wali. Hal ini
menunjukkan bahwa kalau suatu pernikahan dilangsungkan atas seizing wali,
hokum pernikahan tersebut adalah sah. Hadis tersebut tidak menerangkan bahwa
izin wali harus diperoleh sebelum akad nikah. Ini menunjukkan bahwa izin wali
dapat diminta sebelum atu sesudah berlangsung akad nikah. Jelaslah bahwa hadis
tersebut menggantungkan sahnya akad nikah pada keizinan wali secara umum,
baik izin itu diperoleh sebelum atau sesudah berlangsung nya akad nikah.
Tegasnnya, hadis tersebut menunjukkan sahnnya akad nikah tanpa wali asalkan
saja ada izinnya.13
C. Kedudukan Nikah Mut’ah
1. Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-
senang. Sedangkan nikah mut’ah menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan
untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan
berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah
Mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Gambaran lebih jelas yang dimaksud dengan nikah mut’ah sebagaimana yang telah
dikemu kakan oleh A. Syarafuddin al-Musawiy, bahwa asal kata mut’ah (Arab) ialah
sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda yang diberikan
sebagai ”ganti rugi” kepada isteri yang telah diceraikan. Demikian juga kata kerja
tamatta’a dan istamta’a barasal dari akar kata yang sama, yakni menikmati atau
bernikmat-nikmat dengan sesuatu. Haji tamattu’ disebut demikian karena memberikan
kemudahan (kenikmatan) bagi yang mengerjakannya.
Secara istilah, yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah
dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya
berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.5
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya, wanita itu
mengucapkan, ”Engkau kukawinkan,” atau ”Engkau kunikahkan,” atau ”Engkau
kumut’ahkan atas diriku, dengan mas kawin sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun
atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti),” Kemudian orang laki-
laki tersebut harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, ”Aku terima.”

Ada beberapa pendapat ulama mengenai defenisi nikah mut’ah ini, diantaranya
yakni:6

a) Ibnu Qudamah:
13
Dawd, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Nikah No. 1785; al Turmuzi, Sunan al-Turmuzi Kitab al- Nikah No
1020: Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Nikah No 1870 , 1871; Ahmad, Musnad Ahmad, Musnah kifiyin
No.18697, (cet III, Kairo ; dar al-Fath Li al-I’Iam al-Arabiy, 1990 M / 1410 M), 240.
َ ِ‫َتى َش ْهرًا اَوْ َسنَةً اَوْ اِلى ا ْنق‬
‫ضا ِء‬ َ ُ‫ ِم ْث ُل اَ ْن يـَقُوْ َل زَ َّوجْ ت‬,ً‫َّج ْال َمرْ َأةَ ُم َّدة‬
ِ ‫ك ابـْن‬ َ ‫نِ َكا ُح ْا ُمتـْ َع ِة اَ ْن يـَتـَزَ و‬

Artinya: (terikat dengan (wanita mengawini seseorang adanya adalah ah’mut nikah:“

َْ ْ‫ت ْال ُم َّدةُ َم ْعلُوْ َمةً اَو‬


ً‫مجهُوْ لَة‬ ِ ‫س ِم اَوْ قُ ُدوْ ِم ْال َحا جِّ َو‬
ِ َ‫ش ْب ِه ِه َس َوا ٌء َكان‬ ِ ْ‫ْا ُمو‬

hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya
mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis
musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan
waktu yang telah ditentukan atau yang belum.

b) Sayyid Saabiq mengatakan:

‫الَِ َّن‬: ‫ َويُ َس ّمى بِ ْال ُمتـْ َع ِة‬.‫ اَ ْن يـ َ ْعقِ َد ال َّر ُج ُل َعلَى ْال َمرْ َأ ِة يـَوْ ًم اَوْ اُسْبـُوْ عًااَوْ َش ْهرًا‬:‫نِ َكا ُح ْال ُمتـْ َع ِة‬

ُ‫اج َويـَتَ َمتَّ ُع اِل َى ْاالَجْ ِل الَّ ِذىْ َوقـَّتَه‬


ِ ‫ال َّر ُج َل يـ َ ْن ْتفِ ُع َويـَتَبـَلَّ ُغ بِال َّز َو‬

Artinya:

“perkawinan mut’ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama


sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut’ah karena laki-laki mengambil
manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang
sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.

2. Dasar Hukum Nikah Mut’ah


Nikah mut’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil kitab, sunnah, ijma’, dan
akal sebagaimana berikut ini :
 Dalil al-Quran
Firman Allah: QS.al Maarij : 29-31
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,Kecuali terhadap isteri-
isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka
dalam hal Ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, Maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan
orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. Dalam peperangan
dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan
kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah
suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-
budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan badan hanya
melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut’ah,
bukanlah istri dan bukan pula budak.
Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan kelamin hanya diperbolehkan
dengan istri atau budak, sedangkan istri dari perkawinan mut’ah tidak berfungsi
sebagai istri karena:
1) Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab memperoleh
harta warisan
2) Idah nikah mut’ah tidak seperti nikah biasa
3) Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungannya
dengan beristri empat sedangkan tidak demikian halnya dengan mut’ah
4) Dengan melakukan mut’ah seseorang itu tidak dianggap menjadi muhsin
karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri,
sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus istri dan tidak pula
berstatus budak, maka termasuklah orang yang melakukan mut’ah itu di
dalam firman Allah.9
 Dalil as-Sunnah
Pada awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mut’ah pada tahun
penaklukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangnya.
Ada yang mengatakan, larangan nikah mut’ah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi
yang benar ialah pada tahun penaklukan Makkah. Yang dilarang sewaktu perang
Khaibar ialah makan daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah
berkata pada Ibnu Abbas, “Rasulullah saw melarang nikah mut’ah dan keledai
piaraan sewaktu perang Khaibar.” Lalu sebagian rawi mengira bahwa penyebutan
Khaibar ini berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang
menyebutkan pembatasan salah satu di antaranya dengan perang Khaibar.
Nikah Muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah sebelum
stabilitasnya syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan
peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan.
Rahasia diperbolehkan Nikah Muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat
islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada
islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka setelah
islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena
jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian
mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya.
Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan
sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya
berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya. Seperti apa
yang dikatakatan oleh Ibn Mas'ud :
Artinya : “Dari mas'ud berkata : waktu itu kami sedang perang bersama
Rasulullah SAW dan tidak bersama kami wanita, maka kami berkata : bolehkah
kami mengkebiri (kemaluan kami). Maka Raulullah SAW melarang kami
melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan keringanan kepada kami untuk
menikahi perempuan dengan mahar baju sampai satu waktu”14
3. Syarat dan Rukun Nikah Mut’ah

Untuk memperjelas syarat dan rukun nikah maka lebih dahulu


dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi maupun
terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun
adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan," sedangkan syarat
adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."

Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa, syarat adalah


sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda,
melazimkan sesuatu.
14
Muhamad Saleh Ridwan, 2014, Perkawinan Mut’ah (Prespektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional,
Jurnal Al-Qadhau, 1 (1), 36-41.
Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu
yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya
sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun denganadanya sesuatu
itu tidak mesti pula adanya hukum.21 Hal ini sebagaimana dikemukakan Abd al-
Wahhab Khalaf,22 bahwa syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum
tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh
ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan
secara syara’, yang menimbulkan efeknya.

Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat)


adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya
syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti
wujudnya hukum.

Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap


menentukan suatu disiplin tertentu, di mana ia merupakan bagian integral dari
disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, di
mana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.

Kaitannya dengan syarat dan rukun nikah mut’ah, bahwa persyaratan


untuk melangsungkan nikah mut’ah tidak terikat pada persyaratan sebagaimana
yang lazimnya dilakukan untuk syarat sahnya nikah permanen. Ia dapat
dilaksanakan dengan menghadirkan saksi, atau tanpa saksi, di depan wali atau
sebaliknya, asalkan perempuan yang dinikahi setuju menerimanya.

4. Pendapat Para Ulama tentang Hukum Nikah Mut'ah

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa pada permulaan


Islam nikah mut'ah itu haram hukumnya. Demikian pula tidak ada perbedaan
pendapat bahwa hukum haram tersebut telah dinasakhkan, Artinya, nikah mut'ah
telah dibolehkan setelah pada mulanya diharamkan.
Yang menjadi masalah di kalangan fuqaha ialah tentang hukum nikah
mut'ah setelah dibolehkan itu, apakah kebolehannya terus berlaku sampai
sekarang, atau telah dibatalkan sehingga diharamkan. Hal ini terjadi karena
banyak riwayat yang menceritakan bahwa Nabi telah melarang nikah mut'ah itu
setelah sebelumnya membolehkan. Akibatnya timbullah pro dan kontra di
kalangan sahabat, sampai kepada fuqaha. Mereka terpisah menjadi dua golongan:
golongan pertama mengharamkan nikah mut'ah secara mutlak dan golongan
kedua membolehkan nikah mut'ah secara mutlakPendapat golongan pertama yang
memandang haramnya nikah mut'ah secara mutlak, terdiri dari kalangan sahabat,
seperti Ibn Umar dan Ibn Abi Umrah al-Anshari; dan kalangan fuqaha ialah Abu
Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad Ibn Hambal dan lain-lain, yang selanjutnya
mereka disebut jumhur.15

5. Plus Minus Nikah Mut’ah


Harus diakui bahwa kehadiran wisatawan Timur Tengah
telahmenggairahkan roda perekonomian di sebagian daerah Jawa Barat
sepertiPuncak yang dikenal sebagai salah satu lokasi untuk melakukan nikah
kontraktersebut. Karena menjadi destinasi rutin, sejumlah fasilitas wisata
menjamur di kawasan tersebut. Di antaranya rental mobil, jasa penukaran uang
asing, travel agent, hingga penatu. Semua penyedia jasa itu bahkan membuat
papan namadalam dua bahasa, yakni Arab dan Indonesia.
Meskipun kehadiran wisatawan Arab tersebut membuat roda
perekonomian masyarakat sekitar menguat, namun pernikahan kontrak itu juga
menyisakan dampak negatif terutama kepada wanita dan anak yang dilahirkan
akibat dari pernikahan kontrak tersebut. Anak yang dilahirkan dari perkawinan
kontrak mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ia mirip anak yatim, diasuh,
dididik, dan dibesarkan hanya oleh ibunya tanpa mengenali, merasakan asuhan,
pendidikan, dan kasih sayang bapaknya. Bahkan menurut Kedutaan Arab Saudi di
Jakarta, keberadaan anak-anak tersebut banyak yang tidak diakui oleh bapaknya.
Di dalam masyarakat, perempuan yang terjebak dalam nikah kontrak
seringkali mendapat penilaian negarif. Ia nyaris disamakan dengan perempuan
15
Norma Fajriah Noda, 2018, Analisis Terhadap Nikah Mut'ah Menurut M. Quraish Shihab, Skripsi, 22-28
yang dapat dibeli untuk pemuas nafsu laki-laki, tidak demikian sebaliknya.
Ironisnya lagi, setelah berakhir jangka waktu, perempuan-perempuan pelakunikah
kontrak tersebut, beralih profesi menjadi Penjaja Seks Komersil (PSK).
Adapun dari segi relasi suami isteri, biasanya dalam pernikahannormal,
isteri menerima nafkah. Namun dalam nikah kontrak tersebut, isteritidak lagi
menerima nafkah karena ia sudah dibayar dalam jumlah tertentu. Selain itu,
perkawinan ini bubar dengan berakhirnya waktu, bukan talak.Kontrak waktu ini
pulalah yang menjadi pembeda dengan nikah biasayang tidak ditentukan
waktunya tersebut. Dampak negatif lainnya adalahperempuan tidak menerima hak
saling mewarisi dari suami kontraknyatersebut jika sang suami meninggal dunia.
Begitu juga dengan anak yang lahi rsemua ditanggung oleh perempuan bila
kontrak sudah habis.
Semua akibat yang muncul dari nikah kontrak tersebut sangatbertentangan
dengan prinsip dan aturan perkawinan. Karena perkawinan menimbulkan hak-hak
dan kewajiban dalam relasi hubungan suami isteri. Sementara dalam perkawinan
kontrak tidak demikian. Model pernikahan kontrak yang dipraktekkan dalam
kehidupan umat Islam di Indonesia menurut penulis tidak dibenarkan kalau tidak
dikatakan haram. Karena hanya bertujuan untuk mencari kesenangan semata dan
berdampak negatif terutama kepada perempuan dan anak. Pernikahan sepertiitu
bukanlah pernikahan yang sehat, karena bertentangan dengan tujuan dalam
perkawinan biasa. Pernikahan bukan hanya soal hubungan seks semata, tetapi
juga menyangkut keluarga, serta hak dan kewajiban dalam relasi hubungan suami
isteri dan sebagainya.
Islam sebagai agama rahmat bagi semua umat, mengajarkan keadilandan
persamaan hak dalam hidup begitu pula dalam hubungan pernikahan(QS, 2:228).
Ikatan pernikahan bertujuan mewujudkan kebaikan dan kemashlahatan manusia,
laki-laki dan perempuan tanpa membedakan jenis kelamin. Dalam rumah tangga
ada kesetaraan dan keadilan hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan,
sampai dalam urusan ”tempat tidur” (QS. 2:187).
Dari segi aspek keadilan, nikah kontrak tidak adil untuk perempuan,karena
laki-laki berada pada posisi yang diuntungkan. Ia dapat menikahi seorang
perempuan selama masa ia kehendaki dan melepaskan syahwatnya. Setelah habis
masa kontrak ia dapat pergi dan menikah lagi dengan perempuan lain. Demikan
seterusnya tanpa dibebani tanggung jawab moril terhadap akibat dari pernikahan
tersebut. Perempuan yang dalam nikah kontrak hanya berfungsi sebagai objek
yang berada pada posisi yang lemah. Akibat kodratidari perempuan yang
menikah, yang tidak pernah dirasakan oleh laki-lakiadalah hamil, melahirkan dan
menyusui. Sehabis masa kontrak, ia berfung ssebagai single parent bagi anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan kontrak tersebut.
Perempuan nikah kontrak dihadapkan pada situasi yang
tidakmenguntungkan pada dirinya, setelah dia hamil, melahirkan dan
menyusuimerupakan beban berat baginya, dia diharuskan mengurus,
mengasuh,membesarkan dan mendidik anak-anak sendirian. Sementara itu anak-
anak yang dilahirkan dalam nikah kontrak dianggap anak ibunya kalau tidak
dikatakan ”anak zina” karena di Indonesia nikah kontrak tidak diakui. Sehingga
tidak ada legalitas perkawinan yang diperoleh perempuan tersebut, notabenenya
anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan kontrak tidak mempunyai akte
kelahiran, kalau pun bisa diurus tapi nasabnya hanya padaibunya saja.
Terkait kepastian hukum tentang nikah kontrak, faktanya ikatan
pernikahan tanpa legalitas ini lebih banyak merugikan pihak perempuan dan anak-
anak. Banyak kasus yang membuktikan dampak buruk nikah kontraktersebut,
seperti ketidakpastian hak, pengabaian, atau bahkan penelantaran perempuan dan
anak-anak.
Dalam nikah kontrak seorang perempuan cenderung disepelekan, dan
lelaki bertindak semaunya terhadap perempuan yang dinikahinya karena tanpa
catatan legalitas tersebut. Kekerasan fisik dan seksual adalah dampak yang paling
sering terjadi. Perempuan dihad upapkan dengan berbagai resiko dan kebanyakan
menjadi korban.16

16
Shafira, 2010, Nikah Kontrak Menurut Islam Dan Realitas Di Indonesia, Marwah, 9 (1), 21-23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara eksternal, Mahar berarti mas kawin. Dalam terminologi, mahar
adalah hadiah wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan dari
calon suami untuk menimbulkan 2 cinta bagi seorang istri kepada calon
suaminya. Atau hadiah yang diperlukan untuk calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda dan jasa (membebaskan, mengajar, dll).
Dalam Islam, dia meresepkan untuk membayar mas kawin hanya
sebagai hadiah yang diberikan oleh seorang pria kepada seorang wanita yang
dia minta ketika dia ingin menjadi pria terbaiknya, dan sebagai pengakuan
dari seorang pria kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan wanita.
Islam tidak merinci mas kawin besar atau kecil, karena perbedaan
antara kaya dan miskin, luas dan sempitnya kekayaan
Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminology para
fuqaha (pakar hukum islam) seperti diformulasikan Wahbah Al-Zuhayli ialah
“kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang.
Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali bagi
kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya, karena ayah adalah tentu orang
yang paling dekat, siap menolong, bahkan yang selama itu mengasuh dan
membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah hak erwaliannya
diganti oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah sebagaimana dibahas
panjang lebar dalam buku-buku fiqi
Keberadaan seorang wali nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah
akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan
sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Mut’ah secara bahasa diambil dari bahasa arab Al-Tamattu’ artinya
bersenang-senang. Sedangkan nikah mut’ah menurut istilah adalah
perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan memberikan sesuatu
sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang telah ditentukan
tanpa adanya talak.
Kaitannya dengan syarat dan rukun nikah mut’ah, bahwa persyaratan
untuk melangsungkan nikah mut’ah tidak terikat pada persyaratan
sebagaimana yang lazimnya dilakukan untuk syarat sahnya nikah permanen.
Ia dapat dilaksanakan dengan menghadirkan saksi, atau tanpa saksi, di depan
wali atau sebaliknya, asalkan perempuan yang dinikahi setuju menerimanya.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa pada
permulaan Islam nikah mut'ah itu haram hukumnya. Demikian pula tidak ada
perbedaan pendapat bahwa hukum haram tersebut telah dinasakhkan, Artinya,
nikah mut'ah telah dibolehkan setelah pada mulanya diharamkan.

DAFTAR ISI

Abdur Rahman I. Doi. 1996. Perkawinan dalam Syari’at Islam (Shari’ah The Islamic
Law), Cet. II. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Agama RI Departemen. 1994. Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV. asy-
Syifa’.
Apriyanti. Historiografi Mahar dalam Pernikahan. An Nisa’a, Jurnal Kajian Gender
dan Anak 12 (2). 2017.
Az-Zuhayli Wahbah. 2011. Fiqih Islam. Jakarta: Gema Insani.
Dawd, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Nikah No. 1785; al Turmuzi, Sunan al-Turmuzi
Kitab al- Nikah No 1020: Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Nikah No 1870 , 1871;
Ahmad, Musnad Ahmad, Musnah kifiyin No.18697, (cet III, Kairo ; dar al-Fath Li al-I’Iam
al-Arabiy, 1990 M / 1410 M).
Mahalli Ahmad Mudjab. 2002. Wahai Pemuda Menikahlah. Yogyakarta: Menara
Kudus.
Noda Norma Fajriah . Analisis Terhadap Nikah Mut'ah Menurut M. Quraish Shihab.
Skripsi. 2018.
Nur Djamaan. 1993. Fikih Munakahat. Semarang: Dina Utama Semarang.
Nurjannah. 2003. Mahar Pernikahan, Cet. 1. Yogyakarta: Prisma Sophie Press.
Ramadhan Syamsudin. 2004. Fikih Rumah Tangga, Cet. 1 Bogor: CV. Idea Pustaka
Utama.
Sabiq Sayyid. 1983. Fiqh Sunnah 7. Bandung: PT. al- Ma’arif.
Saleh Ridwan Muhamad. Perkawinan Mut’ah (Prespektif Hukum Islam Dan Hukum
Nasional, Jurnal Al-Qadhau, 1 (1). 2014.
Shafira. Nikah Kontrak Menurut Islam Dan Realitas Di Indonesia. Marwah, 9 (1).
2010.
Syarifuddin Amir . 2014. Hukum perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Un
Dang g-Undang perkawinan. Jakarta: Cet. V.

Anda mungkin juga menyukai