Anda di halaman 1dari 8

NAMA : Muhammad Yuda Fadilah Al-Rohman

NPM : 2021.01.1.0082
MATA KULIAH : FIKIH MUNAKAHAT DAN MAWARIS

ARTI, RUANG LINGKUP, DAN HUKUM PERKAWINAN


A. Arti
Perkawinan berasal dari bahasa Arab yang disebut dengan al-nikah
berasal dari kata nakaha yang berarti al-wat’u (bersetubuh) atau al-dammu wa
al-jam’u yang mempunyai arti berkumpul dan bersetubuh. Pernikahan atau
nikah dan perkawinan atau kawin adalah merupakan dua kata yang
mempunyai satu arti yaitu hubungan antara dua jenis kelamin (laki-laki dan
perempuan). Begitu juga dalam literatur fiqh yang berbahasa Arab yaitu
disebut dengan dua kata yakni: pernikahan dilihat dari sudut bahasa adalah
terjemahan dari kata Nakaha dan Zawaja. Kedua kata itu yang jadi istilah
pokok yang digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjuk pernikahan atau
perkawinan. Kata Nakaha berarti berhimpun sedangkan Zawaja berarti
pasangan. Dari sisi bahasa pernikahan berarti berkumpulnya dua insan yang
semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan
bermitra.
Pengertian perkawinan menurut para ulama, yaitu sebagai berikut:
1. Ulama Hanafiyah mendefinisikan pernikahan atau perkawinan sebagai
suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’āh dengan sengaja.
Artinya, seseorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh
anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan.
2. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafadz nikāh atau zaūj, yang menyimpan arti
memiliki. Artinya dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau
mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad
yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak
mewajibkan adanya harga.
4. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa perkawinan adalah akad dengan
menggunakan lafadz nikāh atau tazwīj. Untuk mendapatkan kepuasan,
artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang
perempuan dan sebaliknya. Dalam pengertian di atas terdapat kata-kata
milik yang mengandung pengertian hak untuk memiliki melalui akad
nikah. Oleh karena itu, suami istri dapat saling mengambil manfaat untuk
mencapai kehidupan dalam rumah tangganya yang bertujuan membentuk
keluarga sakīnah mawāddah warāhmah di dunia.
Perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama Islam. Barang siapa
yang menghindari perkawinan, berarti dia telah meninggalkan sebagian dari
ajaran agamanya. Allah SWT menciptakan manusia itu berpasang-pasangan,
yaitu laki-laki dan perempuan sebagaimana firman Allah SWT:

‫ُس ْب ٰح َن اِذَّل ْي َخ َلَق اَاْلْز َو اَج َّلُكَها ِم َّم ا ُتْۢنِب ُت اَاْلْر ُض َو ِم ْن َاْنُفِس ِهْم َو ِم َّم ا اَل َيْع َلُمْو َن‬
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa yang tidak mereka ketahui” (QS. Yaasiin (36): 36)
Di dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 seperti yang
termuat dalam pasal 1 ayat (2) perkawinan didefinisikan sebagai: “Ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pencantuman berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan
kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan
bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur
batin/rohani. Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada
Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah, pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata miitsaqan ghalidhan ini
ditarik dari firman Allah SWT, yang terdapat pada surah an-Nisa’ ayat 21
yang artinya: ”Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu
berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (miitsaqan ghalidhan).”
B. Ruang Lingkup Perkawinan
1. Prinsip Perkawinan
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan,
yaitu:
a. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang
mengadakan perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan
terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju
untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada
ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang
harus diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi
persyaratanpersyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah
pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan
itu sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu
keluarga/rumah tangga yang tenteram, damai dan kekal untuk
selama-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah seimbang dalam rumah
tangga, di mana tanggungjawab pimpinan keluarga ada pada suami.
2. Hikmah dan Tujuan Perkawinan
a. Hikmah Perkawinan
Hikmah perkawina menurut ajaran Islam adalah untuk memelihara
manusia dari pada pekerjaan yang maksiat yang membahayakan diri,
harta dan pikiran.
b. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Untuk itu suami isteri saling membantu dan melengkapi, agar
masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu
dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat yang
harus di penuhi. Menurut bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan,
petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan Kategorisasi rukun dan
syarat perkawinan dalam pandangan ulama (fiqih) Islam masih terkesan
kontroversif. Sebagian ulama memasukkan bagian rukun kedalam syarat
begitu juga sebaliknya. Bahkan sulit untuk menemukan persamaannya,
karena hampir pendapat ulama tersebut berbeda dan masing-masing
mempunyai landasan hukum tersendiri dalam menanggapi diskursus
dalam rukun perkawinan ini. Namun perbedaan ini tidak bersifat
substansial. Dibalik perbedaan tersebut, ulama sepakat dengan hal-hal
yang harus ada dalam perkawinan antara lain:
a. Akad nikah
b. Calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan
c. Wali nikah
d. Saksi dan
e. Mahar.
4. Mahar (Maskawin)
a. Pengertian Mahar
Mahar dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama yaitu:
mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq.
Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagi
imbalan dari sesuatu yang diterima. Mahar adalah pemberian dalam
pernikahan atau sejenisnya yang diberikan berdasarkan kesepakatan
kedua mempelai atau berdasarkan putusan hakim. Seperti dalam kata
shadaq yang menujukan arti kesungguhan atau keseriusan (shidq)
seorang suami untuk menikah.
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi,
mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta
kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
b. Dasar hukum mahar
Para ulama telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar
atau maskawin itu adalah wajib.36 Ketentuan ini terdapat dalam
Firman Allah QS. An-Nisa/4: 4 berikut:
‫َو ٰا ُتوا الِّنَس ۤا َء َص ُد ٰقِهِت َّن ْحِنًةَلۗ َفِاْن ِط َنْب َلْمُك َع ْن ْيَش ٍء ِّم ْنُه َنْفًس ا َفُلُكْو ُه َه ِنْۤي ًٔـا َّمِر ْۤئًـا‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
c. Syarat-syarat mahar
Mahar yang diberikan suami kepada istri harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Berupa harta/benda berharga
2) Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
3) Barangnya bukan barang ghasab
4) Bukan barang yang tidak jelas keberadaannya
5. Walimah
Walimah artinya al-jam’u: kumpul, sebab antara suami dan istri
berkumpul. Walimah berasal dari bahasa Arab artinya makanan
pengantin, adalah makan yang disediakan khusus dalam acara pesta
perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan
atau lainya.
C. Hukum Perkawinan
1. Dasar Hukum
Islam menganjurkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan
dengan berbagai anjuran. Berikut ini beberapa bentuk anjuran Islam
tersebut diantaranya adalah:
a. Menikah merupakan sunnah para Nabi dan risalah para Rasul,
sebagaimana terdapat dalam QS. Ar-Rad/13:18
b. Menikah merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. QS. Ar-
Ruum/30:21
c. Pernikahan merupakan sunnah Nabi, yaitu mencontoh tingkah laku
Nabi Muhammad saw. sebagaimana yang diriwiyatkan oleh al-
Bukhari dari Anas bin Malik ra. Ia menuturkan:
d. Menikah merupakan salah satu bentuk ketaatan muslim (ibadah)
untuk menyempurnakan separuh agamnya.
e. Aktivitas seksual suami istrri, dinilai sedeqah. Hal ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzarr ra.
2. Hukum Melakukan Perkawinan
Hukum pernikahan berlaku sesuai dengan kondisi seorang laki-laki
yang akan menikah, ada beberapa hukum yang berlaku pada pernikahan,
yaitu:
a. Wajib
Pernikahan diwajibkan bagi orang yang telah mempunyai
kemauan dan kemampuan untuk menikah dan dikhawairkan akan
tergelincir pada perbuatan zina seandainya dia tidak kawin. Jika
seseorang khawatir akan terjerumus, akan tetapi belum mampu untuk
memenuhi nafkah lahir untuk istrina jika ia menikah, maka
hendaknya dia menahan dirinya untuk tidak menikah, hal ini
sebagaimana penyampaian Allah SWT. dalam QS. An-Nuur/24:33.
b. Sunah (Mustahab)
Pernikahan menjadi sunah bagi orang yang telah mempunyai
kemauan dan kemampuan untukmelangsungkan pernikahan, akan
tetapi jika dia tidak melaksanakan pernikahan tidak dikhawatirkan
akan jatuh ke perbuatan maksiat (perzinaan). Dalam hal seperti ini,
menikah baginya lebih utama dari pada segala bentuk peribadahan.
Karena praktik hidup membujang bukanlah termasuk ajaran dalam
Islam, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Tabrani dari Sa’ad
bin Abu Waqqas. Artinya: “Allah Swt tidak menganjurkan ke
rahiban kepada kita, namun menggantikannya dengan kesucian
penuh toleransi (pernikahan).” Artinya: “Menikahlah, karena aku
membanggakan kalian kepada umat yang lain karena banyaknya
jumlah kalian; dan janganlah kalian bertindak seperti para pendeta
Nasrani (tidak menikah)”.
c. Makruh
Pernikahan dikategorikan makruh bila bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan perkawinan ia juga cukup mempunyai
kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan
dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja
orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat
memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
d. Mubah
Pernikahan dikategorikan mubah bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya
tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga
tidak akan menerlantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya
didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan untuk menjaga
kehormatan agama dan membina keluarga.
e. Haram
Pernikahan diharamkan bagi orang yang dapat dipastikan bahwa ia
tidak akan mampu memberi nafkah istri, baik lahir maupun batin.
Nafkah lahir yang dimaksudkan di sini adalah: membayar mahar dan
segala konsekuensi-konsekuensi dalam berumahtangga (papan,
sandang dan pangan). Sedangkan nafkah batin di anataranya adalah
kemampuan untuk melakukan hubungan seksual dengan istrinya.
Termasuk juga hukumnya haram perkawinan bila seseorang kawin
dengan maksud untuk menerlantarkan orang lain atau menyakiti
istrinya.

Daftar Pustaka:
Zakiah Darajat Dkk, Ilmu Fiqih, (Cet. Ke-1; Yogyakarta: Pt. Dana Bhakti Wakaf,
1995), 45.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh
Munakahat Dan UU Perkawinan, (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2006)
http://repository.iainkudus.ac.id/4324/5/5.%20BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai