Disusun Oleh :
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG TAHUN AKADEMIK 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pernikahan adalah kenyamanan hakiki bagi pria dan wanita secara bersamaan, di mana
seorang wanita dapat menemukan seorang laki-laki yang bertanggung jawab yang mampu
memberinya nafkah lahir dan batin sehingga ia selalu merasa nyaman bersamanya.
Sementara si laki-laki, ia dapat menemukan dan merasakan istrinya adalah surga hidupnya,
seakan-akan istrinya itu adalah bagaikan genangan air yang tiada habis di tengah-tengah
padang pasir yang luas. Pernikahan merupakan suatu sunnatullah yang berlaku pada setiap
makhluk dan secara mutlak terjadi juga pada kehidupan binatang dan tumbuhan. Allah SWT,
tidak menjadikan manusia seperti makhluknya yang lain yang hidup untuk mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarkis tidak ada aturan. Akan
tetapi kepada manusia, Allah meletakan kaidah-kaidah yang mengatur, menjaga kehormatan
dan kemuliaan manusia. Yakni pernikahan secara syar’i yang menjadikan hubungan antara
pria dan wanita menjadi hubungan yang sakral dan sah, didasari atas kerelaan, adanya serah
terima, serta kelembutan dan kasih sayang antar keduanya.
Menurut Hukum Islam yang dimaksud dengan pernikahan ialah akad yang penghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang lelaki
dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Islam menyarankan manusia
untuk menikah salah satunya untuk memperoleh keturunan dan membangun keluarga.
Sedangkan Islam memandang bahwa jalan terbaik untuk menciptakan keluarga sakinah ialah
melalui pernikahan. Oleh karena itu pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua
belah pihak agar dapat tercapai tujuan perkawinan tersebut, sehingga dengan demikian
perlu adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak baik mental maupun material.
Artinya secara fisik laki-laki dan perempuan sudah sampai pada batas umur yang bisa
dikategorikan dan baligh menurut hukum islam. Akan tetapi faktor lain yang sangat penting
yaitu kematangan dalam berfikir dan kemandirian dalam hidup (sudah bisa memberiikan
nafkah kepada istri dan anak-anaknya).
B. RUMUSAN MASALAH
PEMABAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu, berkumpul. Menurut istilah
nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga
(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Keinginan untuk
menikah adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Selain defenisi diatas, ada beberapa defenisi pernikahan menurut empat
mazdhab, yakni:
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang berakibat
pada “pemilikan” seks secara sengaja. Yang dimaksud dalam pemilikan seks itu
adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta seluruh tubuh perempuan untuk
dinikmati. Sudah tentu kepemilikan ini bukan bersifat hakiki, karena kepemilkan
yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad untuk
mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa menyebutkan harga
secara pasti sebelumnya. Secara sederhana mazhab malikiyah mengatakan bahwa
nikah adalah kepemilikan manfaat kelamin dan seluruh badan istri.
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang
berdampak akibat kepemilikan seks. Inti dari definisi ini adalah kepemilikan hak bagi
laki-laki untuk mengambil manfaat seksual dari alat kelamin perempuan, sebagian
ulama syafi‟iyah berpendapat bahwa nikah adalah akad yang memperbolehkan
seks, bukan akad atas kepemilikan seks.
Ulama dalam mazhab ini tampak praktis dalam mendefinisikan pengertian dari
nikah. Menurut ulama Hanbaliyah, nikah adalah akad yang diucapkan dengan
menggunakan kata ankah atau tazwij untuk kesenangan seksual.
Sedangkan dalam Hukum Perkawinan Islam, definisi Nikah adalah melakukan suatu
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk menghalalkanhubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan rasa sukarela
dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputu rasa kasih sayang.
Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat
memenuhi kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat
mengasihi dan dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan
ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW
bersabda :
ومن لم يستطع، وأحصن للفرج، من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر،يا معشر الشباب
فعليه بالصوم؛ فإنه له ِوجَاء
Artinya : "Wahai para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu
menikah maka hendaklah ia segera menikah, karena hal itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa
belum mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi
tameng baginya (meredam syahwatnya) .
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan kabul
dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Menurut pendirian hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai laki-laki atau
wakilnya dan kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan
itu telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya.
Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada jarak yang lama
antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan
masing-masing ijab dan qabul dapat di dengar dengan baik oleh kedua belah pihak
dan dua orang saksi.
Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan qabul asal masih di dalam
satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berplaing dari
maksud akad itu.
Adapun lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafaz nikah atau tazwij,
yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di
dalam Kitabullah dan Sunnah. Demikian menurut asy-Syafi‟i dan Hambali.
Sedangkan hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari Al-Qur‟an,
misalnya menggunakan kalimat hibah, sedekah , pemilikan dan seagainya, dengan
alasan, kata-kata ini adalah majas yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra
atau biasa yang artinya perkawinan.
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk
jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut
istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama,
adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa;
pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan akad nikah dengan pengantin pria.Wali dalam nikah adalah yang
padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam
pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai
wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa
wali dinyatakan batal.
Wali adalah rukun dari beberapa rukun pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah
tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan.
Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali
dalam pernikahan, yaitu:
A. Jumhur ulama, Imam Syaf”i dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan
tak ada
perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa
wali hukumnya tidak sah (batal).
Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan,
sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia
tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan –tujuan utama
dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan
mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar
tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
B. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia
mempunyai
hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu Abu Hanifah
melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau
menganalogikan dimana kalau wanita sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka
bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu‟amalat menurut syara‟, maka
dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah menyangkut
kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita (janda)
diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur
tangan orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila
wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya,
maka wali mempunyai hak I‟tiradh (mencegah perkawinan).
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang
dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai wali.
Dalam memahami tentang Rukun perkawinan ini ada beberapa buku dan pendapat yang
mengutarakan dan menguraikan dengan susunan yang berbeda tetapi tetap sama
intinya. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang
memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
1. Wali dari pihak perempuan,
2. Mahar (maskawin)
3. Calon pengantin laki-laki
4. Calon pengantin perempuan
5. Sighat akad nikah
Imam Syafi‟i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
1. Calon pengantin laki-laki,
2. Calon pengantin perempuan,
3. Wali,
4. Dua orang saksi,
5. Sighat akad nikah.
Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang
dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan
menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
1. Sighat (ijab dan qabul)
2. Calon pengantin perempuan,
3. Calon pengantin laki-laki,
4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat
menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal
bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak
lengkap. Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan
merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus
ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
DOKUMENTASI