Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MEMAHAMI KAJIAN TENTANG AKAD NIKAH


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Munakahat
Dosen Pengampu : Muhammad Ali, M.Pd.I

Disusun Oleh:
Kelompok 11
Silvi Anggraini (2201010110)

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
Tahun Ajaran 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Waarahmatullahi Wabarakatuh...

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
nikamat iman, nikmat sehat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas dengan tepat waktu dan tanpa ada suatu halangan apapun. Dan tak lupa
sholawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan baginda agung Nabi
Muhammad SAW yang selalu dinanti-nantikan syafa’atnya kelak di yaumil qiyamah.

Tak lupa juga mengucap rasa syukur dan banyak-banyak terimakasih kepada dosen
pengampu pada mata kuliah “Fiqih Munakahat” yang telah memberikan tugas ini sehingga
kami dapat membuat dan menghasilkan makalah ini. Makalah ini dibuat diharapkan supaya
dapat menambah pengetahuan dan menambah wawasan kami sesuai dengan bidang studi
yang sedang kami tempuh sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Meskipun makalah ini telah disusun dengan secara maksimal, akan tetapi kami
sebagai penulis memahami bahwa sebagai manusia bisa menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih sangatlah jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.

Wassalamu’alaikum Waarahmatullahi Wabaraktuh...

METRO, 27 Februari 2024

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

1. Rukun Nikah
2. Syarat Ijab Qobul
3. Lafadz Ijab Qobul

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut istilah ilmu fikih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh “Al-Nikah” atau “Al-
Tazwīj”. Al-Nikah atau jimᾱ‟, sesuai dengan makna linguistiknya, berasal dari kata “al-
wath”, yaitu bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang mengandung
pembolehan untuk berhubungan seks dengan lafazh “Al-Nikᾱh” atau “AlTazwīj”, artinya
bersetubuh, dengan pengertian menikahi perempuan makna hakikatnya menggauli istri dan
kata “munakahat” diartikan saling menggauli. 1 Pernikahan merupakan hukum alam dan
berlaku kepada semua makhluk-Nya baik hewan, tumbuhan, dan manusia. Pernikahan ini
adalah cara yang digunakan oleh Allah agar makhluk-Nya bisa berkembang biak dan
meneruskan generasi. Umat Islam harus meyakini bahwa pernikahan merupakan perjanjian
syari‟at yang yang sah atau batalnya semata-mata ditentukan oleh hukum Illahi. Hal ini
dinyatakan sebagai sebuah perjanjian yang sangat kuat dan kokoh, sebagaimana disebut
dalam Al-Qur‟an dengan ungkapan ikatan yang kokoh, yang mana perjanjian itu bukan hanya
sekedar disaksikan oleh dua orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada
saat berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT. Sebagaima
disebutkan bahwa:

‫وكيف تا خذ نه وقد افضى بعضكم اىل بعض واخذن منكم ميثقا غليظا‬

Artiya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali (pemberian itu) padahal
sebagian kamu telah bergaul dengan sebagian sebagian yang lain (sebagai suami istri) dan
mereka telah mengambil dari padamu janji yang teguh?” (Q.S an-Nisa: 21).

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan


bahwa “Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Keluarga
yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah keluarga yang damai dan
penuh kasih sayang antara anggota keluarga. Dengan demikian jelas bahwa diantara tujuan
pernikahan adalah membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

1
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Dalam pasal 3 KHI dinyatakan bahwa “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah (tentram), mawaddah (penuh cinta) dan rahmah
(penuh kasih sayang). Pasal tersebut mengacu pada Q.S. ar-Rum ayat 21:

‫ان ىف ذا لك اليت‬,‫ومن ءايته ان خلق لكم من انفسكم ازوجا لتسكونوا اليها وجعل بينكم مودةورمحه‬

‫لقوم يتفكرون‬

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S al-Rum: 21).

Dari firman Allah tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perkawinan itu
terkandung unsur ketentraman dalam rumah tangga sebagai sumber kebahagiaan dan
ketentraman yang dijalani dengan rasa mawaddah yaitu rasa kasih sayang diantara suami
istri. Ada yang menafsirkan mawaddah itu nafsu birahi yang dilengkapi lagi dengan rahmah,
yaitu kasih sayang mengikat kedua suami isteri. Guna mencapai sakinah harus disertai cinta
birahi dan kasih sayang.

Hidup berkeluarga menurut Islam harus diawali dengan pernikahan. Perkawinan


menurut Islam yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakanya merupakan ibadah. Hal tersebut merupakan perjanjian yang membingkai
suami istri secara khusus dan keluarga secara umum. Dalam pernikahan ridanya laki-laki dan
perempuan serta persetujuan antara keduanya merupakan hal yang pokok untuk mengikat
hidup berkeluarga. Perasaan rida dan setuju bersifat kejiwaan yang tidak dapat dengan jelas,
karena itu harus ada perlambang yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan
bersuami istri. Perlambang itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang

melangsungkan akad. Inilah yang merupakan ‫ ص< <<يغِة‬dalam pernikahan.2 Manusia sebagai

makhluk Tuhan yang paling mulia karena dianugerahi akal dan pikiran, adakalanya dilahirkan
tidak sempurna secara fisik. Berkurangnya atau hilangnya sebagian fungsi fisik bisa dialami
sejak lahir maupun sebab lain. Setiap anak yang lahir di dunia adalah anugerah terindah dari
Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap orang tua.

BAB II
2
Tihami dan Sohari Sahrani, Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali, 2010).
PEMBAHASAN

A. Rukun Nikah
Rukun yaitu sesuatu yang pasti dan menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk wudhu atau takbiratul ihram untuk ibadah shalat. Atau juga
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Jadi dapat diketahui
bahwa, rukun merupakan suatu hal pokok dalam sebuah pekerjaan (ibadah), apabila
salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan (ibadah) tersebut tidak akan sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan terkait rukun perkawinan yang
terdapat pada pasal 14. Untuk melaksanakan perkawinan maka harus ada: calon
suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan qabul.
Sedangkan mengenai rukun perkawinan menurut jumhur ulama sepakat bahwa
rukunnya terdiri atas:
a. Adanya calon suami
Dalam hal ini, calon mempelai laki-laki tidak boleh ada hubungan saudara atau
mahram dengan calon istri, kemudian tidak sedang dalam keadaan terpaksa,
orangnya jelas, dan tidak sedang melakukan ihram.
b. Adanya calon istri
Sama dengan calon suami, calon mempelai perempuan pun juga tidak boleh
adanya hubungan mahram dengan calon mempelai laki-laki, dan tidak juga sedang
melakukan ihram.
c. Adanya wali dari pihak calon mempelai perempuan
Akad perkawinan atau pernikahan akan dianggap sah apabila ada seorang wali
atau wakilnya yang akan menikahkannya. Berdasarkan sabda Nabi Saw. dalam
hadisnya yang berbunyi:

‫ فنكاحهاباطل‬,‫ فنكاحهاباطل‬,‫اميا امر اة نكحت بغري اذن مو اليها فنكا حهاباطل‬


Artinya : “perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka
pernikahnnya batal, pernikahnnya batal, pernikahanya batal”.(HR. Semua
Muhaddisin kecuali Imam Nasa’i).

Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda:


)‫التزوج املراة وال تزوج املر اة نفسها (رواه ابن ما جه واد ار قطىن‬
Artinya :“Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan
jananlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”.3

Wali bagi mempelai perempuan ini terbagi menjadi dua yaitu wali dekat
(qorib) dan wali jauh (ab’ad). Seseorang boleh menjadi wali apabila ia merdeka,
berakal, dewasa, dan harus beragama islam. sebab apabila walinya tidak beragama
islam, maka tidak boleh menjadi wali nikahnya orang islam.4
d. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang saksi yang menyaksikan
akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi Saw:

)‫ال نكا ح اال بو ىل و شا هدى عد ل (رواه امحد‬


e. Sighat akad nikah
Yaitu ijab qobul yang diucapakan oleh wali atau wakilnya dari pihak calon
mempelai perempuan dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki. Dalam
kompilasi hukum islam (KHI) yang terdapat pada pasal disebutkan bahwa “ijab
dan qobul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu”. Dalam kompilasi hukum islam (KHI) pada pasal 29 disebutkan
bahwa akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Selain itu yang berhak mengucapkan qobul ialah calon mempelai
pria secara pribadi. Dalam hal-hal tertentu ucapan qobul nikah dapat diwakilkan
kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas
secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai
pria. Kemudian, pada ayat ke-3 disebutkan bahwa dalam hal calon mempelai
wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakilkan maka akad nikah tidak
boleh dilangsungkan. Namun demikian, walaupun rukun-rukun perkawinan
semuanya terpenuhi maka agar memiliki kekuatan di mata hukum hendaknya pada
saat perkawinan disaksikan oleh pegawai pencatat nikah (PPN) dari kantor urusan

3
Prof. Dr.Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, 1 ed. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 13220),
hal.47.
4
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia1, 1999), hal.83.
agama (KUA) setempat sesuai dengan Undang-undang (UU) perkawinan yang
telah berlaku di Indonesia.5

B. Syarat Ijab Qobul


Perkawinan wajib dilakukkan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinanya dengan isyrat tangan atau kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukkan oleh pihak wali mempelai laki-laki atau walinya, sedangkan
qobul dilakukkan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
Menurut pendirian Hanafi, boleh juga ijab oleh pihak mempelai laki-laki atau
wakilnya dan kabul dari pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu
telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya.
Ijab dan kabul merupakan syarat perkawinan. Ijab qobul ini dilakukkan
didalam satu majelis dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan kabul yang
merusak kesatuan akad dan kelangsunganakad, dan masing-masing ijab dan kabul
dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Hanafi
membolehkan ada jarak antara ijab dan kabul asal masih didalam satu majelis dan dan
tiada hal-hal yang menujukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad itu. 6
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti menutup aurat untuk ibadah shalat. Atau menurut Islam, calon pengantin
lakilaki atau perempuan itu harus beragama Islam. Sedangkan sah yaitu sesuatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. Secara garis besar syarat-syarat
sahnya suatu perkawinan itu dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram
dinikahi, baik karena haram untuk sementara maupun selama-lamanya.
b. Akad nikahnya dihadiri para saksi.7
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki yang muslim,
baligh, berakal, melihat dan mendengar, serta mengerti (paham) akan maksud

5
Abdul Rohman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003).
6
Ilmu Fiqh, 2 ed. (Jakarta: Departmen Agama, t.t.), hal.98.
7
Abdul Rohman Ghazali, Fiqih Munakahat, hal. 49.
akad nikah. Namun menurut golongan Imam Hanafiyyah dan Imam Hambali,
boleh juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Syarat-syarat perkwinan juga diatur pada UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 6 yang berisikan sebagai berikut:
a. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b. Untuk melangsungkan perkawinan bagi seseorang yang umurnya belum
mencapai 21 tahun maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari kedua
orang tua.
c. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu dalam
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang masih memiliki hubungan darah keturunan
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
d. Perkawinan harus dilakukan sesuai dengan hukum agama.
e. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.

Dengan demikian yang dimaksud syarat-syarat perkawinan adalah dasar bagi


sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Adapun
penentuan batas umur perkawinan bagi laki-laki berusia 19 tahun dan perempuan
berusia 16 tahun. Dalam hal keadaan tertentu, dapat meminta dispensasi nikah dari
pengadilan atau pejabat yang berwenang. Hal ini ditegaskan dalam KHI bahwa
sebelum akad nikah, pihak KUA atau Pegawai Pencatat Nikah wajib menanyakan
persetujuan kedua belah pihak mengenai pelaksanaan perkawinan tersebut. Jika salah
satunya atau keduanya tidak sepakat maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.8

C. Lafadz Ijab Qobul


Akad nikah dapat dikatan sah, apabila diucapkan dengan perkaataan yang
menunjukkan akad pernikahan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh kedua
belah pihak. Lafadz nikah merupakan bagian dari akad nikah, akad nikah adalah
wujud nyata perikataan antara seorang pria yang menjadi suami dengan seorang yang
menjadi istri, dilakukkan di depan dua orang saksi dengan menggunakan sighat ijab
dan kabul. Teks akad nikah memegang peran kunci dalam sebuah pernikahan. Dalam
8
Mesta Wahyu Nita, “Analisis Hukum Islam Tentang Akad Nikah,” t.t.
literatur madzhab syafi’iyyah, teks akad nikah (ijab qobul) dianggap sah dan mengikat
apabila harus memenuhi beberapa syarat yang harus terpenuhi.
a. Ijab hendaknya menggunakan teks ankahtuka atau zawwajtuka (aku menikahkan atau
mengawinkan), maka tidak sah jika menggunakan kata lain seperti lafadz “ahlltuka
ibnati” (aku halalkan anak perempuanku kepadamu).
b. Ijab boleh menggunakan bahasa arab atau bahasa lain yang makna dan artinya
merupakan terjemahan dari lafadz nikah dan tazwij.
c. Ijab harus jelas yaitu harus disebut nama anak perempuan yang dinikahkan, tidak
boleh menyebut anak perempuan tanpa ada kepastian dan kejelasan, misalnya seorang
wali mengatakan “aku menikahkan dan mengwaninkan salah seorang anak
perempuanku kepadamu” ijab ini penuh bias, dianggap batal dan tidak sah.
d. Ijab hendaknya diijuti dengan kabul dari pihak pengantin laki-laki dengan segera dan
dalam satu tempat.
e. Ijab dan kabul dapat didengar dan dipahami dengan jelas dan terang oleh wali, calon
pengantin dan dua orang saksi.
f. Ijab tidak boleh bertaklik (menggantungkan dengan sesuatu kejadian,), misalnya
dengan mneggunakan lafadz “aku menikahkan dan mengawinkan anakku yang
bernama Fatimah kepadamu jika rumahku terjual”
g. ijab tidak boleh oleh waktu tertentu, misalnya wali mengatakan “aku menikahkan dan
mengawinkan ankku yang bernama zahro kepadamu dalam waktu masa sebulan”.
h. Ijab harus diucapkan oleh wali atau wakilnya.
i. Qobul harus segra diucapkan setelah ijab, dengan jangka waktu tidak terlalu lama.
j. Tidak ada selingan perkataan lain diantara ijab dan kabul.
k. Qobul harus terang dan jelas, bukan dengan kalimat sindiran.
l. Qobul tidak dibatasi oleh waktu tertentu, misalnya menggunakan kalimat “ aku telah
menerima nikah dan kawinnya fulanah selama dua tahun”.
Jika salah satu unsur-unsur diatas tidak terpenuhi maka berkonsekwensi terhadap
batal dan tidaknya sebuah akad nikah.9
Adapun pelaksanaan ijab dan qobul umumnya dari pihak keluarga wanita
sebagai tanda kesedian dalam merelakan anak perempuannya serta pelimpahan
amarah Allah swt. kepada calon suaminya, kemudian dilanjutkan dengan sambutan
penerimaan dari calon suami sebagai tanda kesedian dan kemampuan menerima
amanah.
9
Subaidi dan Subyanto, “Al-Hukmi” 2, no. 2 (November 2021).
Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang
terjemahannya adalah kawin dan nikah. Seperti: ankahtuka, zawwajtuka, yang
keduanya secara jelas menujukkan pengertin nikah. Sebab kalimat-kalimat ini
terdapat didalam sunnah dan kitabullah. Demikian asy-syafi’iyyah dan hambali.
Sedangkan hanafi membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari al-qur’an,
misalnya menggunakan kalimat hibah, sedekah, pemilikan dan sebagainya, dengan
alasan kata-kata ini adalah kata-kata majaz yang biasa digunakan dalam bahasa
sastera atau biasa yang artinya juga perkawinan.

Contoh kalimat akad nikah:

‫ مبهر الف روبية حا ال‬..... ‫ بنت‬........ ‫انكحتك‬

Artinya: “ aku kawinkan engkau dengan....... binti...... dengan mas kawin Rp. 1.000
tunai.

Jawab atau kalimat kabul yang digunakan wajiblah sesuai dengan ijab.10

Mengenai bentuk kalimat ijab dan qobul ini, para fuqaha telah mengsyaratkan
harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kefua belah pihak. Atau salah satunya
bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang akan datang). Contoh
untuk bentuk pertama adalah si wali mengatakan, “zawwajtuka Ibnatii” (aku nikahkan
kamu dengan putriku), sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki menjawab,
“Qobiltu” (aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi
bentuk kedua adalah si wali mengatakan, “Uzawwijtuka Ibnatii” (aku akan nikahkan
kamu dengan putriku), sebagai bentuk mustqbal. Lalu si mempelai laki-laki
menjawab;”Qobiltu” (aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.

Seandainya mempelai laki-laki mengatakan: “zawwijni Ibnataka” (nikahkan


aku dengan putrimu), lalu si wali mengatakan:”zawwajtuha Laka” (aku telah
menikahkannya untuk kamu). Maka dengan demikian akad nikah pada saat itu telah
terlaksana. Karena, kata “zawwijni” (nikahkan aku) menujukkan arti perwakilan dan
akad nikah itu dibenarkan jika diwakili oleh satu satu dari kedua belah pihak.11

Normalnya ijab dan kabul dalam semua akad haruslah diucapkan atau
dilafalkan tak terkecuali akad nikah, tetapi dalam kenyataanya tidak semua orang
10
Abdul Rohman Ghazali, Fiqih Munakahat, hal. 57-58.
11
Abdul Ghoffar, Fiqih Wanita (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hal.428.
mampu untuk melafalkan sebuah akad, misalnya orang yang bisu atau tuna wicara.
Hal yang demikian bisa melakukkan ijab qobul dengan tulisan atau isyarat. Dengan
demikian teks akad nikah ada tiga macam antara lain:

1. Ijab kabul secara lisan, yaitu akad yang menggunakan ucapan sebagai media
utama. Hal ini sering digunakan dalam akad karena kemudahannya, kekuatan dan
faktor kejelasannya dari pada menggunakan yang isyarat dan tulisan.
2. Ijab kabul dengan tulisan, yaitu akad yang menggunakan isyarat bagi orang yang
tidak bisa melafalkan karena tuna wicara atau disebabkan hal lain. Hal yang
demikian, haruslah menggunakan tulisan yang bisa dipahami oleh semua pihak.
3. Ijab kabul dengan isyarat. Yaitu akad menggunakan isyarat bagi seseorang yang
tidak bisa melaflkan ijab kabul karena tuna wicara atau hal lain.12

12
Buhadi, “Teks Akad Nikah dalam persepketif gramatikal sintaksis morfologis,” t.t., 03.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan merupakan suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah,
tentram, dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang dengan mentaati perintah Allah
dan melakukkanya merupakan ibadah.
Perkawinan dalam hukum islam dapat dilaksanakan apabila memenuhi
rukun dan syarat perkawinan serta harus dicatat oleh syarat perkawinan
pencatat nikah di kantor urusan agama demi kepastian hukum. Sedangkan
perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan
membawa kemudaratan kepada pihak-pihak yang melakukkanya dan juga
kepada keturunanya.
Dalam prosesi akad nikah sudah sesuai dengan syariat islam yang telah
ditentukkan oleh para ulama menggunakan redaksi nakaha dan tazwij. Jika
ijab qobul tidak menggunakan lafadz tazwij dan nakaha, maka otomatis ijab
dan qobulnya tidak sah. Lafal dalam ijab qobul haruslah dimengerti maknanya
oleh yang melafalkan, tidak diisyaratkan dengan bahasa tertentu aslkan yang
mengucapkan mengetahui makna yang diucapkan itu. Pelaksanaan lafadz ijab
qobul dalam prosesi akad nikah yaitu ijab yang diucapkan wali harus selaras
dengan qobul yang dijawab oleh calon mempelai laki-laki. Sedangkan yang
walinya itu diwakilkan kepada wali nasabnya atau wali yang sudah ditetapkan.
Maka harus disebutkan bintinya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghoffar. Fiqih Wanita. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008.


Abdul Rohman Ghazali. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2003.
Buhadi. “Teks Akad Nikah dalam persepketif gramatikal sintaksis morfologis,” t.t.
Ilmu Fiqh. 2 ed. Jakarta: Departmen Agama, t.t.
Mesta Wahyu Nita. “Analisis Hukum Islam Tentang Akad Nikah,” t.t.
Prof. Dr.Abdul Rahman Ghozali. Fiqih Munakahat. 1 ed. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 13220.
Rahmat Hakim. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Slamet Abidin dan Aminuddin. Fiqih Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia1, 1999.
Subaidi dan Subyanto. “Al-Hukmi” 2, no. 2 (November 2021).
Tihami dan Sohari Sahrani. Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali, 2010.

Anda mungkin juga menyukai