Disusun Oleh:
Kelompok 11
Silvi Anggraini (2201010110)
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
nikamat iman, nikmat sehat serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas dengan tepat waktu dan tanpa ada suatu halangan apapun. Dan tak lupa
sholawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan baginda agung Nabi
Muhammad SAW yang selalu dinanti-nantikan syafa’atnya kelak di yaumil qiyamah.
Tak lupa juga mengucap rasa syukur dan banyak-banyak terimakasih kepada dosen
pengampu pada mata kuliah “Fiqih Munakahat” yang telah memberikan tugas ini sehingga
kami dapat membuat dan menghasilkan makalah ini. Makalah ini dibuat diharapkan supaya
dapat menambah pengetahuan dan menambah wawasan kami sesuai dengan bidang studi
yang sedang kami tempuh sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Meskipun makalah ini telah disusun dengan secara maksimal, akan tetapi kami
sebagai penulis memahami bahwa sebagai manusia bisa menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih sangatlah jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1. Rukun Nikah
2. Syarat Ijab Qobul
3. Lafadz Ijab Qobul
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut istilah ilmu fikih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh “Al-Nikah” atau “Al-
Tazwīj”. Al-Nikah atau jimᾱ‟, sesuai dengan makna linguistiknya, berasal dari kata “al-
wath”, yaitu bersetubuh atau bersenggama. Nikah adalah akad yang mengandung
pembolehan untuk berhubungan seks dengan lafazh “Al-Nikᾱh” atau “AlTazwīj”, artinya
bersetubuh, dengan pengertian menikahi perempuan makna hakikatnya menggauli istri dan
kata “munakahat” diartikan saling menggauli. 1 Pernikahan merupakan hukum alam dan
berlaku kepada semua makhluk-Nya baik hewan, tumbuhan, dan manusia. Pernikahan ini
adalah cara yang digunakan oleh Allah agar makhluk-Nya bisa berkembang biak dan
meneruskan generasi. Umat Islam harus meyakini bahwa pernikahan merupakan perjanjian
syari‟at yang yang sah atau batalnya semata-mata ditentukan oleh hukum Illahi. Hal ini
dinyatakan sebagai sebuah perjanjian yang sangat kuat dan kokoh, sebagaimana disebut
dalam Al-Qur‟an dengan ungkapan ikatan yang kokoh, yang mana perjanjian itu bukan hanya
sekedar disaksikan oleh dua orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada
saat berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT. Sebagaima
disebutkan bahwa:
وكيف تا خذ نه وقد افضى بعضكم اىل بعض واخذن منكم ميثقا غليظا
Artiya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali (pemberian itu) padahal
sebagian kamu telah bergaul dengan sebagian sebagian yang lain (sebagai suami istri) dan
mereka telah mengambil dari padamu janji yang teguh?” (Q.S an-Nisa: 21).
1
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Dalam pasal 3 KHI dinyatakan bahwa “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah (tentram), mawaddah (penuh cinta) dan rahmah
(penuh kasih sayang). Pasal tersebut mengacu pada Q.S. ar-Rum ayat 21:
ان ىف ذا لك اليت,ومن ءايته ان خلق لكم من انفسكم ازوجا لتسكونوا اليها وجعل بينكم مودةورمحه
لقوم يتفكرون
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S al-Rum: 21).
Dari firman Allah tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perkawinan itu
terkandung unsur ketentraman dalam rumah tangga sebagai sumber kebahagiaan dan
ketentraman yang dijalani dengan rasa mawaddah yaitu rasa kasih sayang diantara suami
istri. Ada yang menafsirkan mawaddah itu nafsu birahi yang dilengkapi lagi dengan rahmah,
yaitu kasih sayang mengikat kedua suami isteri. Guna mencapai sakinah harus disertai cinta
birahi dan kasih sayang.
melangsungkan akad. Inilah yang merupakan ص< <<يغِةdalam pernikahan.2 Manusia sebagai
makhluk Tuhan yang paling mulia karena dianugerahi akal dan pikiran, adakalanya dilahirkan
tidak sempurna secara fisik. Berkurangnya atau hilangnya sebagian fungsi fisik bisa dialami
sejak lahir maupun sebab lain. Setiap anak yang lahir di dunia adalah anugerah terindah dari
Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap orang tua.
BAB II
2
Tihami dan Sohari Sahrani, Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali, 2010).
PEMBAHASAN
A. Rukun Nikah
Rukun yaitu sesuatu yang pasti dan menentukan sah dan tidaknya suatu
pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk wudhu atau takbiratul ihram untuk ibadah shalat. Atau juga
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Jadi dapat diketahui
bahwa, rukun merupakan suatu hal pokok dalam sebuah pekerjaan (ibadah), apabila
salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan (ibadah) tersebut tidak akan sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan terkait rukun perkawinan yang
terdapat pada pasal 14. Untuk melaksanakan perkawinan maka harus ada: calon
suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan qabul.
Sedangkan mengenai rukun perkawinan menurut jumhur ulama sepakat bahwa
rukunnya terdiri atas:
a. Adanya calon suami
Dalam hal ini, calon mempelai laki-laki tidak boleh ada hubungan saudara atau
mahram dengan calon istri, kemudian tidak sedang dalam keadaan terpaksa,
orangnya jelas, dan tidak sedang melakukan ihram.
b. Adanya calon istri
Sama dengan calon suami, calon mempelai perempuan pun juga tidak boleh
adanya hubungan mahram dengan calon mempelai laki-laki, dan tidak juga sedang
melakukan ihram.
c. Adanya wali dari pihak calon mempelai perempuan
Akad perkawinan atau pernikahan akan dianggap sah apabila ada seorang wali
atau wakilnya yang akan menikahkannya. Berdasarkan sabda Nabi Saw. dalam
hadisnya yang berbunyi:
Wali bagi mempelai perempuan ini terbagi menjadi dua yaitu wali dekat
(qorib) dan wali jauh (ab’ad). Seseorang boleh menjadi wali apabila ia merdeka,
berakal, dewasa, dan harus beragama islam. sebab apabila walinya tidak beragama
islam, maka tidak boleh menjadi wali nikahnya orang islam.4
d. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang saksi yang menyaksikan
akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi Saw:
3
Prof. Dr.Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, 1 ed. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 13220),
hal.47.
4
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia1, 1999), hal.83.
agama (KUA) setempat sesuai dengan Undang-undang (UU) perkawinan yang
telah berlaku di Indonesia.5
5
Abdul Rohman Ghazali, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003).
6
Ilmu Fiqh, 2 ed. (Jakarta: Departmen Agama, t.t.), hal.98.
7
Abdul Rohman Ghazali, Fiqih Munakahat, hal. 49.
akad nikah. Namun menurut golongan Imam Hanafiyyah dan Imam Hambali,
boleh juga saksi itu satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Syarat-syarat perkwinan juga diatur pada UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 6 yang berisikan sebagai berikut:
a. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b. Untuk melangsungkan perkawinan bagi seseorang yang umurnya belum
mencapai 21 tahun maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari kedua
orang tua.
c. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu dalam
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang masih memiliki hubungan darah keturunan
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
d. Perkawinan harus dilakukan sesuai dengan hukum agama.
e. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.
Artinya: “ aku kawinkan engkau dengan....... binti...... dengan mas kawin Rp. 1.000
tunai.
Jawab atau kalimat kabul yang digunakan wajiblah sesuai dengan ijab.10
Mengenai bentuk kalimat ijab dan qobul ini, para fuqaha telah mengsyaratkan
harus dalam bentuk madhi (lampau) bagi kefua belah pihak. Atau salah satunya
bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang akan datang). Contoh
untuk bentuk pertama adalah si wali mengatakan, “zawwajtuka Ibnatii” (aku nikahkan
kamu dengan putriku), sebagai bentuk madhi. Lalu si mempelai laki-laki menjawab,
“Qobiltu” (aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi juga. Sedangkan contoh bagi
bentuk kedua adalah si wali mengatakan, “Uzawwijtuka Ibnatii” (aku akan nikahkan
kamu dengan putriku), sebagai bentuk mustqbal. Lalu si mempelai laki-laki
menjawab;”Qobiltu” (aku terima nikahnya), sebagai bentuk madhi.
Normalnya ijab dan kabul dalam semua akad haruslah diucapkan atau
dilafalkan tak terkecuali akad nikah, tetapi dalam kenyataanya tidak semua orang
10
Abdul Rohman Ghazali, Fiqih Munakahat, hal. 57-58.
11
Abdul Ghoffar, Fiqih Wanita (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hal.428.
mampu untuk melafalkan sebuah akad, misalnya orang yang bisu atau tuna wicara.
Hal yang demikian bisa melakukkan ijab qobul dengan tulisan atau isyarat. Dengan
demikian teks akad nikah ada tiga macam antara lain:
1. Ijab kabul secara lisan, yaitu akad yang menggunakan ucapan sebagai media
utama. Hal ini sering digunakan dalam akad karena kemudahannya, kekuatan dan
faktor kejelasannya dari pada menggunakan yang isyarat dan tulisan.
2. Ijab kabul dengan tulisan, yaitu akad yang menggunakan isyarat bagi orang yang
tidak bisa melafalkan karena tuna wicara atau disebabkan hal lain. Hal yang
demikian, haruslah menggunakan tulisan yang bisa dipahami oleh semua pihak.
3. Ijab kabul dengan isyarat. Yaitu akad menggunakan isyarat bagi seseorang yang
tidak bisa melaflkan ijab kabul karena tuna wicara atau hal lain.12
12
Buhadi, “Teks Akad Nikah dalam persepketif gramatikal sintaksis morfologis,” t.t., 03.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan merupakan suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk membangun rumah tangga yang sakinah,
tentram, dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang dengan mentaati perintah Allah
dan melakukkanya merupakan ibadah.
Perkawinan dalam hukum islam dapat dilaksanakan apabila memenuhi
rukun dan syarat perkawinan serta harus dicatat oleh syarat perkawinan
pencatat nikah di kantor urusan agama demi kepastian hukum. Sedangkan
perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan
membawa kemudaratan kepada pihak-pihak yang melakukkanya dan juga
kepada keturunanya.
Dalam prosesi akad nikah sudah sesuai dengan syariat islam yang telah
ditentukkan oleh para ulama menggunakan redaksi nakaha dan tazwij. Jika
ijab qobul tidak menggunakan lafadz tazwij dan nakaha, maka otomatis ijab
dan qobulnya tidak sah. Lafal dalam ijab qobul haruslah dimengerti maknanya
oleh yang melafalkan, tidak diisyaratkan dengan bahasa tertentu aslkan yang
mengucapkan mengetahui makna yang diucapkan itu. Pelaksanaan lafadz ijab
qobul dalam prosesi akad nikah yaitu ijab yang diucapkan wali harus selaras
dengan qobul yang dijawab oleh calon mempelai laki-laki. Sedangkan yang
walinya itu diwakilkan kepada wali nasabnya atau wali yang sudah ditetapkan.
Maka harus disebutkan bintinya.
DAFTAR PUSTAKA