Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FIQH IBADAH " PERNIKAHAN" LENGKAP

MAKALAH FIQIH IBADAH 2

PERNIKAHAN dan SYARAT RUKUNNYA


Dosen Pengampu : Tobibatussaadah

Disusun Oleh:ILHAM WAHYU SAPUTRA 1602100132

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO


PRODI S1 PERBANKAN SYARIAH
KELAS D
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
TAHUN AJARAN 2016/2017

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan
merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan seorang laki-laki menyatukan
hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adab-adab
tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan
berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi perbuatan sebuah zina.
Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai
dengan kaidah agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh ALLAH Swt.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apakah pengertian pernikahan?
b. Apakah dasar hukum pernikahan?
c. Bagaimana hukum pernikahan?
d. Apa sajakah yang termasuk rukun dan syarat pernikahan?
e. Apa tujuan dari pernikahan?

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERNIKAHAN
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua mahluk-Nya, baik
pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh
Allah S.W.T, untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa al-jam’u dan al-dhamu yang artinya
kumpul atau mengumpulkan, dan digunakan untuk kata bersetubuh. Nikah (Zawaj) bisa
diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah dan juga bisa diartikan (wath’u
al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.[1]Definisi yang lain mengemukakan bahwa nikah
berasal dari bahasa arab ”nikahun”yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja
”nakaha”, sinonimnya ”tazawwaja” kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
sebagai”perkawinan”. Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha mendefinisikan
nikah yaitu suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual
(persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij.[2]
Para ahli fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam mendefinisikan nikah atau kawin itu
sendiri.
1. Golongan Hanafiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang dapan memberikan
manfaat bolehnya bersenang-senang (istimta’) dengan pasangannya.
2. Golongan Syafi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum bolehnya wati’ (bersenggama) dengan menggunakan lafaz nukah, atau tazwij dan
lafaz-lafaz semakna dengan keduanya.
3. Golongan Malikiyah mendefinisikan bahwa kawin adalah akad yang mengandung
ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan wati’(bersenggama), bersenang-senang
menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dikawininya (bukan mahram).
4. Golongan Hanabilah mendefinisikan kawin adalah akad dengan menggunakan lafaz
nikah atau tazwij guna untuk memperoleh kesenangan dengan seorang wanita.

Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
di dalam Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[3]

Dapat dipahami bahwa menikah dalam rangka pembentukan keluarga bukan saja untuk
pemenuhan kebutuhan naluri insani manusia. Tetapi pembentukan keluarga merupakan salah
satu perintah agama, yang berfungsi untuk menjaga dan melindungi manusia dari berbagai
penyelewengan dalam pemenuhan kebutuhan seksual.[4]

B. DASAR HUKUM NIKAH


Anjuran untuk menikah dapat dilihat dalam surat an-Nur ayat 32 :
ُ‫َوَأن ِكحُوا اَْأليَامٰ ى ِمن ُك ْم َوالصَّالِ ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم وَِإ َمآِئ ُك ْۗم ِإن يَ ُكونُوا فُقَ َرآ َءيُ ْغنِ ِه ُم هللاُ ِمن فَضْ لِ ِۗه َوهللا‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬
ِ ‫َو‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur :32).

Munasabah ayatnya dalam ayat ini Allah menganjurkan perkawinan dengan beberapa
fasilitas. Karena perkawinan merupakan jalan yang paling efektif untuk menjaga kehormatan
diri menjauhkan seorang mukmin dari berbuat zina dan dosa-dosa lainnya. Pernikahan juga
sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan membina masyarakat
yang ideal. Oleh karena itu ayat ni juga mengharuskan orang tua untuk menjaga kehormatan
keluarganya dengan cara perkawinan tanpa terbebani dengan masalah harta atau yang
lainnya.
Hadist Rasulullah juga menjelaskan anjuran untuk menikah :Rosulullah SAW bersabda:
“Nikah itu sunahku,barang siapa yang tidak suka, bukan golonganku!”
(HR.Bukhari,Muslim).
Tafsiran hadist diatas bahwa berkeluarga merupakan salah satu aspek dari berbagai aspek
ibadah. Oleh karena itu,setiap muslim harus mempunyai kesadaran bahwa dalam
pembentukan keluarganya sebagai aplikasi dari keinginan untuk mengikuti RosulullahSAW.
Kesadaran bahwa menikah merupakan perintah agama dan merupakan sunah Nabi akan
membawa implikasi positif terhadap kelangsungan keluarga yang dibentuk.[5]

C. HUKUM NIKAH
Hukum nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya.
Ini disebabkan kondisi mukallaf, baik dari segi karakter manusiaannya maupun dari segi
kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf.
Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan
kondisinya yang spesifik pula, baik persyaratan harta, fisik, dan atau akhlak.[6]
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam. Terkadang hukum nikah itu wajib,
terkadang bisa menjadi sunnah, kadang itu hukumnya haram, kadang menjadi makruh dan
mubah atau hukumnya boleh menurut syari’at.[7] Sebagian ulama membaginya kepada lima
kategori sebagaimana halnya pembagian hukum perbuatan, Sedangkan sebagian ulama lainya
membagi hukum perkawinan tidaklah demikian, yaitu :
a. Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh).
b. Mazhab Hanafi, Maliki, dan Ahmad Hambali mengatakan bahwa hukum
melangsungkan perkawinan adalah sunat.
c. Dawud Zahiri mengatakan bahwa hukum melangsungkan perkawinan adalah wajib
bagi orang muslim satu kali seumur hidup.[8]
d. Sedangkan Sayyid Sabiq menyimpulkan lima kategori hukum dari perkawinan itu, yaitu
:
1) Wajib, apabila seseorang sudah mampu kawin, nafsunya mendesak dan takut
terjerumus dalam perzinahan.
2) Sunnah, bagi seseorang yang nafsunya telah mendesak dan mampu untuk kawin tetapi
masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina.
3) Haram, apabila seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya
kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak.
4) Makruh, apabila seseorang yang hendak kawin lemah syahwatnya dan tidak mampu
memberi belanja istrinya walaupun tidak merugikan istri.
5) Mubah, jika seseorang tidak terdesak oleh semua alasan yang mewajibkan dan
mengharamkan untuk kawin.
Hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi dan akan kembali kepada
hukum yang lima (al-ahkamul khasah).[9] Menurut syariat, disunnahkan menikahi wanita
yang mempunyai latar belakang agama yang baik,mampu menjaga diri dan berasal dari
keturunan orang baik-baik.[10]

D. RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN


1. Rukun Pernikahan
Rukun, yaitu sesuatu yang pasti ada yang menentukan sah atau tidakya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon
pengentin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.
Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan atau peristiwa hukum itu tidak terpenuhi
berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut adalah tidak sah dan statusnya
“batal demi hukum”.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan
menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :

ِ َ‫ت بِ َغي ِْر اِ ْذ ِن َولِيِّهَا فَنِ َكا ُحهَا ب‬


‫اط ٌل (اخرجه االربعة اال للنسائ‬ ْ ‫)اَيُّ َما ا ْم َرَأ ٍة نِ َك َح‬
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal”
Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda:

‫ج ْال َمرْ َأةُ نَ ْف َسهَا ( رواه ابن ماجه و دار قطنى‬ ْ ‫)الَ تُز َِّو‬
ِ ‫ج ال َمرْ ا َءةَ َواَل تُز َِّو‬
ِ
“Janganlah seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri”.
c. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksiakan akad nikah
tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
‫)اَل نِ َكا َح اِاِّل بِ َولِ ِّي َو َشا ِهدَى َع ْد ٍل (رواه احمد‬
d. Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan
yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa
kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik
salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang
datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan
persetujuan ridhanya.
Berdasarkan pengertian di atas, ijab tidak dapat dikhususkan dalam hati sang istri atau wali
dan atau wakilnya. Demikian juga dengan qabul.Jika seorang laki-laki berkata kepada wali
perempuan: “Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan putrimu bernama si fulanah”.
Wali menjawab: “Aku nikahkan kamu dengan putriku atau aku terima atau aku setuju”.
Ucapan pertama disebut ijab dan ucapan kedua adalah qabul. Dengan kata lain, ijab adalah
bentuk ungkapan baik yang memberikan arti akad atau transaksi, dengan catatan jatuh pada
urutan pertama. Sedangkan qabul adalah bentuk ungkapan yang baik untuk menjawab,
dengan catatan jatuh pada urutan kedua dari pihak mana saja dari kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Seperti
ucapan seorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab. Sedangkan
yang lain berkata: “ Aku terima” adalah qabul.

Tentang Jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:


1) Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a) Wali dari pihak perempuan
b) Mahar (maskawin)
c) Calon pengantin laki-laki
d) Calon pengantin perempuan
e) Sighat akad nikah

2) Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a) Calon pengantin laki-laki
b) Calon pengantin perempuan
c) Wal
d) Dua orang saksi
e) Sighat akad nikah

3) Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang
dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut
segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
a) Sighat (ijab dan qabul)
b) Calon pengantin perempuan
c) Calon pengantin laki-laki
d) Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin
laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.

2. Syarat Sahnya Perkawinan


Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak
dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan
rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan dalam penyusunan
syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
a. Syarat-syarat calon suami
1) Beragama Islam
2) Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
4) Orangnya diketahui dan tertentu
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal
baginya.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan atas
kemauan sendiri.
7) Tidak sedang melakukan Ihram.
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.

b. Syarat-syarat calon istri


1) Beragama Islam
2) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalam sedang
iddah.
3) Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
4) Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
5) Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
6) Tidak sedang ihram haji atau umrah.[11]

c. Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wakil pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan
calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah seorang wali hendaknya:
1) Laki-laki
2) muslim
3) Baligh
4) Waras akalnya
5) Adil (tidak fasik)
6) Tidak dipaksa
7) Tidak sedang berihram.

d. Syarat-syarat saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim,
baligh, berakal,tidak sedang mengerjakan ihram, melihat dan mendengar serta mengerti
(paham) akan maksud akad nikah.[12]

e. Syarat Shigat/Ijab Kabul


Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedangkan kabul
dilakukan oleh mempelai pria atau wakilnya. Sighat ijab kabul harus didasarkan kalimat
nikah atau tazwij. Sesuai firman Alloh surat an-Nisa’ ayat 3 dan surat al-Ahzab ayat 37.
Mengenai ijab dan kabul ini di dalam Kompilasi Hukum Islam disyaratkan bahwa:
1) Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu.
2) Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan.
Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
3) Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria seecara pribadi.
4) Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan
ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
5) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,
maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

f. Mahar (maskahwin)
Mahar adalah hak mutlak calon mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk
memberikanya sebelum akad nikah dilangsungkan. Mahar merupakan lambang penghalalan
hubungan suami istri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita,
yang kemudian menjadi istrinya. Firman Allah swt:
‫ص ُدقَاتِ ِه َّن نِحْ لَةً فَِإ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوهُ هَنِيًئا َم ِريًئا‬
َ ‫َوآتُوا النِّ َسا َء‬
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.”(QS. An-Nisa’ S[4] : 4).[13]

E. TUJUAN PERNIKAHAN
Perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana firman Allah SWT. :
‫ت‬ َ ِ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ِإ َّن فِي َذل‬
ٍ ‫ك آليَا‬ َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن َخل‬
َ‫لِقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum ayat 21).
Menurut ayat tersebut, keluarga islam terbentuk dalam keterpaduan antar ketentraman
(sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari istri yang
patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu
yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat serta kerabat yang
saling membina silaturrahmi dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-masing
anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.
Sulaiman Al-Mufarraj, dalam bukunya Bekal Pernikahan, menjelaskan bahwa ada 15 tujuan
perkawinan, yaitu:
1. Sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nikah juga dalam rangka
taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
2. Untuk ‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang; ihsan (membentengi diri) dan
mubadho’ah (bisa melakukan hubungan intim)
3. Memperbanyak umat Muhammad SAW
4. Menyempurnakan agama
5. Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah SWT
6. Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu
mereka saat masuk surga
7. Menjaga masyarakat dari keburukan,runtuhnya moral,perzinaan, dan lain sebagainya
8. Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami
dalam memimpin rumah tangga, memberikan nafkah dan membantu istri dirumah
9. Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran
keluarga
10. Saling mengenal dan menyayangi
11. Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri
12. Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga islam yang sesuai dengan ajaran-Nya
terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah SWT, maka tujuan nikahnya
akan menyimpang
13. Suatu tanda kebesaran Allah SWT. Kita melihat orang yang sudah menikah, awalnya
mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi dengan melangsungkan tali
pernikahan hubungan keduanya bisa saling mengenal dan sekaligus mengasihi
14. Memperbanyak keturunan umat islam dan menyemarakkan bumi melalui proses
pernikahan
15. Untuk mengikuti panggilan ‘iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal yang
diharamkan.[14]
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
B. SARAN
Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawadah,
dan warohmah, dunia dan akhirat.
Pernikah menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia yang kedepannya
diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera rumah tangga, kehidupan
diharpakan menjadi lebih bermakna dan suami istri dan istri-istri akhir zaman ini memiliki
semangat yang tinggi di jalan Allah Swt. Amiin . .

[1].Tihami,Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers), 2014, Cet.4, hlm.6-7
[2].Hakim Drs. H. Rahmat, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung: CV. Pustaka
Setia), 2000, hlm.11-12
[3].Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Praktik Prostitus Gigolo
Ala Yusuf Al-Qardawi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar, (Surabaya :
Khalista), 2010, hlm.8
[4].Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.3
[5].Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, cet.1,
hlm.3-5
[6]. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
terj.Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH ), hlm.44
[7]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.8
[8]. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang : Dimas), 1993,Hlm. 9
[9]. Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia),
2000, hlm.4
[10]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.10
[11]. Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1,
hlm.49-53
[12]. Tihami dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta:
Rajawali Pers),2014, Cet.4, hlm.13-14
[13]. Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia),
2000, hlm.82

[14]Tihami,Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta: Rajawali


Pers,2014), Cet.4, hlm.18-19

Anda mungkin juga menyukai