Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

PERKAWINAN LELAKI MUSLIM


DENGAN PEREMPUAN NON MUSLIM

DOSEN PENGAMPU
Dede Darisman, S.Pd.I., M.Pd.I.

DISUSUN OLEH
Cindi Aditia 2003003703
Agus Firdaus 3002003687
Nurul Kholifah 2003003811

INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM CIAMIS


FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
A. Definisi nikah
Dalam Alquran, paling tidak ada dua kata yang menunjukkan pengertian
pernikahan atau perkawinan, yaitu kata nikāḥ dan kata zawj. Kata nikah diulang
sebanyak 23 kali di berbagai surah.Bentuk fi‘il māḍi diulang sebanyak 2 kali, fi’il
muḍāri ‘ sebanyak 13 kali, fi‘il amar sebanyak 3 kali, dan bentuk maṣdar sebanyak 5
kali. Sedangkan kata zawj, diulang sebanyak 79 kali. Bentuk fi’il maḍi terulang 3
kali, fi’il muḍāri ‘ hanya terulang 1 kali, bentuk mufrad 17 kali, muthanna 8 kali,
selebihnya sebanyak 50 kali dalam bentuk jamak.
Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menyatakan,“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab II Pasal 2 disebutkan:“Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mithāqan
ghalīẓan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
Ditegaskan Alquran:“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia telah
menciptakan pasangan pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.(QS al-Rūm/30:21).
Ayat di atas menunjukkan,untuk mewujudkan kebahagian dalam rumah
tangga, dibutuhkan persamaan prinsip antara suamiisteri. Ini berarti, pernikahan tidak
hanya mengikat perihal fisik dan materi, melainkan mencakup tataran ideal spirtual,
yaitu unsur-unsur ruhaniyah.
Secara etimologis, kata nikah berasal dari nakaḥa-yankiḥunikāḥan, yang
berarti: “al-ḍammu(berhimpun), al-jam‘u (berkumpul),al-waṭ‘u (hubungan
kelamin),al-‘aqdu (perjanjian)”. Secara terminologis, nikah didefinisikan :
‫عقد يتضمن إباحة الوط ء بلفظ النكاح أولتزويج‬
“Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan
kelamin dengan menggunakan kata nakaḥa atau zawwaja”.
Berdasarkan definisi tersebut,ada tiga kata kunci: ‘aqdun,yataḍammanu, dan al-
nikāḥ.Kata ‘aqdun untuk menjelaskan bahwa pernikahan itu adalah suatu perjanjian
yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa nikah.
Pernikahan itu dibuat dalam bentuk akad, karena ia adalah peristiwa hukum, bukan
peristiwa biologis atau sematamata hubungan kelamin antara pria dan wanita.
Penggunaan ungkapan yataḍammanu ibāḥat al-waṭ‘i mengandung maksud
membolehkan hubungan kelamin, karena pada dasarnya hubungan pria dan wanita
adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya secara syar’I (hukum
syarak).
Hal-hal yang membolehkan hubungan kelamin, yaitu adanya akad nikah. Adapun
yang dimaksud bi lafẓi al-nikāh aw al-tazwīj,bahwa akad yang membolehkan
hubungan kelamin antara pria dan wanita itu harus menggunakan kata nakaḥa atau
zawwaja.Akad atau perjanjian tersebut keabsahannya sangat terkait dengan ketentuan
syarat dan rukun nikah menurut syariat Islam.
B. Rukun dan Syarat Nikah
Islam memposisikan pernikahan sebagai salah satu ibadah,maka persyaratan dan
rukun pernikahan di perlukan agar tujuan dari disyariatkannya dapat tercapai. Dari
pernikahan tersebut Allah menciptakan berbagai aturan khusus, di mana aturan
tersebut adalah sebuah prosuder dalam pernikahan, aturan tersebut tiada lain adalah
rukun nikah, adapun rukun nikah tersebut adalah :
1. Pengantin laki-laki (suami)
2. Pengantin perempuan (istri)
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qobul.
Syarat sah perkawinan di atas adalah aturan pokok yang harus terpenuhi supaya
pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan yang sah, dan sah secara hukum,
sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku.
Sesuai Pasal 2 ayat 1 UU No. 1 1974 bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Pada ayat 2
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Dijelaskan juga dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 bahwa untuk
melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali
d. Dua orang saksi dan
e. Ijab dan Kabul
Agar pernikahan diakui secara hukum dan sah, unsur-unsur di atas harus
terpenuhi. Jumhur ulama sepakat bahwa pernikahan tidak sah tanpa ada kejelasan
mengenai saksi yang adil. Pernikahan akan sah apabila dihadiri oleh para saksi ketika
akad nikah dilangsungkan, meskipun kabar tentang pernikahan itu telah disampaikan
melalui sarana yang lain.
Syarat mutlak untuk sahnya pernikahan adalah salah satunya kehadiran saksi.
Bahwa saksi nikah merupakan orang yang menyaksikan secara langsug akad
pernikahan. Dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 26 bahwa saksi harus
hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah
pada waktu dan di tempat akad dilangsungkan.
Sebagaimana diuraikan dengan jelas mengenai dasar hukum keberadaan saksi
dalam akad nikah yang diatur dalam al-qur’an dan juga hadist. Secara umum
keberadaan saksi diterima oleh jumhur ulama. Akan tetapi dalam masalah syarat-
syarat yang harus dimiliki oleh saksi sewaktu menjadi saksi nikah terdapat perbedaan
pandangan. Secara umum syarat yang harus dimiliki oleh saksi yaitu, baligh
(dewasa), berakal dan mukallaf,muslim, berjumlah dua orang atau lebih, kedua saksi
bukan fasik harus adil,hadir dalam pelaksanaan akad, mendengar dan memahami ijab
qobul yang diucapkan dalam akad.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 25, yang dapat ditunjuk menjadi saksi ialah
orang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu
atau tuli. Salah satu yang harus diperhatikan adalah syarat adil.Mengenai kriteria
saksi nikah yang adil Pada Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak dijelaskan, dimana
saksi yang adil belum mempunyai hukum baku dalam Kompilasi Hukum Islam
maupun Undang-undang No. 1 Tahun 1974, namun 4 madzhab mempunyai beberapa
konsepsi yang adil. Menurut peniliti konsepsi dalam beberapa pendapat imam
madzhab masih belum terealisasi secara penuh dalam pengaplikasiannya. Hal ini
menimbulkan dilema dalam pernikahan apakah sudah dianggap sempurna atau tidak.
C. Tujuan Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan
syahwatnya semata,sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini.Namun
hendaknya Ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini : Pertama,melaksanakan
anjuran Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya:
“Wahai sekalian para pemuda siapa di antara kalian yang telah mampu untuk
menikah maka hendaklah ia menikah..."
Kedua,memperbanyak keturunan umat ini karena nabi shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
"Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur,karena (pada hari
kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat
yang lain."
Ketiga,menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya,menundukkan pandangannya
dan pandangan istrinya dari yang haram.Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
memerintahkan:
"Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa
yang mereka perbuat.'Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:
hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara
kemaluan mereka....'."(An-Nur :30-31)
D. Hukum Perkawinan lelaki muslim dengan perempuan nonmuslim
Sementara itu, hukum seorang lelaki muslim yang menikah dengan wanita non-
muslim pada Madzhab Imam Maliki dikatakan sah. "Seorang lelaki muslim dan
wanita non-muslim pernikahannya sah,
namun wanita yang non-muslim harus memiliki asal usul agama Nasrani yang
benar,"ujar Buya Yahya. Sedangkan menurut Madzhab Imam Syafi'i tidak sah.
Meskipun begitu,
pada Madzhab Imam Maliki yang mengatakan sah terdapat pula ketentuan yang
diperhatikan. "Namun, dalam imam Syafi'i tidak sah. Menurut mazhab Maliki,
asalkan menisbatkan agamanya kepada Nasrani dan yahudi, maka pernikahannya sah.

Perlu Dibedakan Dalam pernikahan beda agama ini, perlu dibedakan antara
pernikahan lelaki Muslim dengan wanita non-Muslim dan pernikahan wanita
Muslimah dengan lelaki non-Muslim. Dikutip dari tulisan Ustadz Yulian Purnama
seperti dilansir muslimah.or.id, berikut penjelasannya:
1. Wanita Muslimah tidak boleh menikahi lelaki non-Muslim Seorang wanita
Muslimah tidak boleh menikah dengan lelaki non Muslim, baik Yahudi, Nasrani
ataupun selain mereka. Bahkan pernikahan tersebut tidak sah dalam pandangan
syari’at. Dan jika melakukan hubungan intim teranggap sebagai zina, wal ‘iyyadzu
billah. Allah Ta’ala berfirman:

ِ َّ‫ت فَاَل تَرْ ِجعُوه َُّن ِإلَى ْال ُكف‬


‫ار اَل ه َُّن ِح ٌّل لَهُ ْم َواَل هُ ْم يَ ِحلُّونَ لَهُن‬ ٍ ‫فَِإ ْن َعلِ ْمتُ ُموه َُّن ُمْؤ ِمنَا‬
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir”
(QS. Mumtahanah: 10).
Allah Ta’ala juga berfirman:
‫الَ ه َُّن ِح ٌّل لَّهُ ْم َوالَ هُ ْم يَ ِحلُّونَ لَه َُّن‬
“Tidaklah mereka wanita mukminah halal bagi lelaki musyrik, dan lelaki musyrik
halal bagi wanita mukminah”
(QS. Al Mumtahanah: 10).

Dan ulama ijma (sepakat) akan hal ini, tidak ada khilafiyah. Al Qurthubi
mengatakan:

‫وأجمعت األمة على أن المشرك ال يطأ المؤمنة بوجه لما في ذلك من الغضاضة على اإلسالم‬
“Ulama sepakat bahwa lelaki musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah
karena ini termasuk merendahkan Islam” (Tafsir Al Qurthubi, 3/72).

2. Lelaki Muslim tidak boleh menikahi wanita non-Muslim selain ahlul kitab Wanita
yang non-Muslim selain ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), yaitu yang beragama
Hindu, Budha, Konghucu, Majusi, atheis dan lainnya, tidak boleh dinikahi oleh lelaki
Muslim. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ت َحتَّى يُْؤ ِم َّن َوَأَل َمةٌ ُمْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ َأ ْع َجبَ ْت ُك ْم‬
ِ ‫َواَل تَن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر َكا‬
“Tidak boleh menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman. Dan sungguh
budak-budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita musyrik walaupun mereka
mengagumkan kalian” (QS. Al Baqarah: 221).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini: “Dalam ayat ini Allah azza wa jalla
mengharamkan para lelaki Mukmin untuk menikahi wanita-wanita musyrik dari
kalangan penyembah berhala. Walaupun bentuk kalimat dalam ayat ini umum,
mencakup seluruh wanita musyrik baik ahlul kitab atau penyembah berhala, namun
telah dikhususkan kebolehannya terhadap wanita ahlul kitab dalam ayat lain” (Tafsir
Ibnu Katsir, 1/474).

3. Lelaki Muslim boleh menikahi wanita ahlul kitab Berbeda lagi dengan pernikahan
lelaki Muslim dengan wanita ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani), maka ini sah dan
dibolehkan. Allah Ta’ala berfirman:

ِ ْ‫َاب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ِإ َذا آتَ ْيتُ ُموه َُّن ُأجُو َره َُّن ُمح‬
‫صنِينَ َغي َْر‬ َ ‫َات ِمنَ الَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِكت‬
ُ ‫صن‬َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬ ِ ‫َات ِمنَ ْال ُمْؤ ِمنَا‬
ُ ‫صن‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
‫ُم َسافِ ِحينَ َوال ُمتَّ ِخ ِذي َأ ْخدَا ٍن‬
“(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik” (QS. Al-Maidah : 5).
Namun tidak boleh sebaliknya, wanita Muslimah menikahi lelaki Yahudi atau
Nasrani. Ini tidak diperbolehkan. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Para ulama
tafsir dan ulama secara umum, berbeda pendapat dalam menafsirkan makna [wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum
kamu]. Apakah ini berlaku umum untuk semua wanita Ahlul Kitab yang menjaga
kehormatan? Baik wanita merdeka atau budak wanita? Ibnu Jarir menukil dari
sebagian salaf bahwa mereka menafsirkan muhshanat di sini adalah semua wanita
Ahlul Kitab yang menjaga kehormatan. Sebagian salaf menafsirkan bahwa
muhshanat di sini adalah Israiliyyat, dan ini adalah pendapat madzhab Syafi’i. Dan
sebagian ulama yang lain berpendapat muhshanat di sini adalah Ahlul Kitab yang
dzimmi bukan yang harbi” (Tafsir Al Qur’anil Azhim, juz 3 hal. 42). Beliau
rahimahullah juga mengatakan: “Sebagian sahabat Nabi juga menikahi para wanita
Nasrani, mereka tidak melarang hal tersebut. Mereka berdalil dengan ayat (yang
artinya) : “(dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu” (QS. Al Maidah: 5). Dan mereka
menganggap ayat ini adalah takh-shish (pengecualian) terhadap ayat dalam surat Al
Baqarah (yang artinya) : “janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik hingga
mereka beriman” (QS. Al Baqarah: 221)” (Tafsir Al Qur’anil Azhim, juz 3 hal. 42).
Maka jelaslah tentang bolehnya lelaki Muslim untuk menikahi wanita Yahudi atau
Nasrani. Terutama jika dengan menikahi mereka, dapat menjadi jalan hidayah agar
mereka mentauhidkan Allah dan memeluk Islam. Namun, tentu saja menikahi wanita
Muslimah yang shalihah itu lebih utama secara umum. Karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang yang akan bahagia dan beruntung dalam
pernikahannyaa adalah orang yang memilih wanita shalihah untuk menjadi istrinya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ْ َ‫ ت َِرب‬،‫ت الدِّي ِن‬
bersabda, َ‫ت يَداك‬ ْ ،‫ لِمالِها ولِ َح َسبِها و َجمالِها ولِ ِدينِها‬:‫“ تُ ْن َك ُح ال َمرْ َأةُ ألرْ بَ ٍع‬Wanita
ِ ‫فاظفَرْ بذا‬
biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena
parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus
agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR.
Bukhari no.5090, Muslim no.1466).

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia
KOMPILASI HUKUM ISLAM (Hukum perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan), cv nuansa
aulia,cet.5, 2013.
Imam Zakaria al-Anshari Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar-Fikr), juz II,
hlm. 41
http://jurnal.upi.edu/file/05_PERNIKAHAN_DALAM_ISLAM_-_Wahyu.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/275121-pernikahan-beda-agama-dalam-perspektif-
h-d718141e.pdf

Anda mungkin juga menyukai