Anda di halaman 1dari 10

Sumber : 1. Abror, Khoirul. 2020. Hukum Perkawinan dan Perceraian.

Yogyakarta:
Pustaka Bening Pustaka. DOI: http://repository.radenintan.ac.id/12665/1/Hukum
%20Perkawinan%20dan%20Perceraian.pdf

2. Azizah Linda. 2012. Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam.


Al-'Adalah, 10(4), 415-422. DOI: https://doi.org/10.24042/adalah.v10i2.295

3. Musyafah, Aisyah Ayu. 2020. Perkawinan dalam Perspektif Filosofis Hukum


Islam. Jurnal Crepido, 2(2), 111-122. DOI:
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/crepido/

4. Puniman, Ach. 2018. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam dan


Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Jurnal Yustitia, 19(1), 86-94. DOI:
https://core.ac.uk/download/pdf/229038524.pdf

5. Wibisana, Wahyu. 2016. Pernikahan dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama


Islam, 14(2), 185-193. DOI:
http://jurnal.upi.edu/file/05_PERNIKAHAN_DALAM_ISLAM_-_Wahyu.pdf

Catatan Hasil Belajar :

1. Ketentuan Hukum Islam dalam bidang perkawainan


Perkawinan merupakan sunatullah sebagai jalan untuk berkembang biak dan
menjaga kelangsungan hidup semua makhluk Allah SWT. Secara bahasa nikah
diartikan sebagai penggabungan, pencampuran, menghimpun, dan mengumpulkan
sedangkan secara istilah syara' nikah ditandai dengan adanya akad pihak laki-laki
dengan wali perempuan yang menjadikan berhubungan badan menjadi halal. Dalam
bahasa Indonesia terkadang kata pernikahan disebut "perkawinan". Menurut UU No.
1 Tahun 1974 Pasal 1 diterangkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam
Kompilasi hukum Islam pernikahan didefinisikan sebagai miisaqan ghalizan atau
Akad yang sangat kuat yang dilaksanakan sebagai wujud menaati perintah Allah SWT
dan merupakan ibadah. Jadi secara sempit perkawinan merupakan akad yang
bertujuan agar hubungan badan antara laki-laki dan perempuan halal, sedangkan
secara luas perkawinan adalah akad atau terikatnya seorang pria dan seorang wanita
untuk membentuk keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Berkenaan dengan perkawinan manusia dapat ditemukan dalam Al-Qur'an yaitu QS.
An-Nisa' (4): 1, QS. Ar-Rum (30): 21, dan QS. Az-Zariyat (51): 49. Dasar hukum
perkawinan disusun berdasarkan sumber hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan hadis.
Menurut Al-Qur'an perkawinan diatur dalam QS. An-Nur (24): 32 yang artinya
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (masih membujang) 19diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
dan QS An-Nahl (16): 72 yang artinya
“Allah menjadikan bagi kamu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-
cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bațildan mengingkari nikmat Allah?”
Selanjutnya terdapat dua hadits berkenaan dengan perkawinan yaitu Hadiś Rasulullah
Saw dari Abdillah, yang diriwayatkan oleh Bukhari:
"Dari ‘Abdillah bin Mas’ud berkata: Di zaman Rasulullah Saw, kami adalah
pemuda-pemuda yang tidak memilki apa-apa. Rasullullah Saw berkata kepada
kami, ‘Hai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah!
Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan.
Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu
merupakan tameng baginya’.” (H.R. Bukhari)
dan hadiś yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan dan Qabul kewajiban
laki-laki:
“Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh walinya maka pernikahannya
tidak sah, beliau mengucapkannya tiga kali. Jika telah melakukan hubungan
badan, maka wanita itu tetap berhak menerima mahar (maskawin) karena
hubungan badannya itu. Jika mereka berselisih maka pemerintah adalah
wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (H.R. Ahmad)
Pada dasarnya perkawinan dalam hukum Islam hukumnya bisa wajib, sunnah,
haram, makruh, dan mubah semuanya tergantung pada keadaan maslahatnya.
Perkawinan hukumnya wajib jika seseorang sudah dalam keadaan mampu untuk
menikah, memiliki nafsu syahwat, dan berpotensi untuk berzina jika tidak melakukan
perkawinan sedangkan perkawinan hukumnya sunnah jika seseorang telah mampu
untuk menikah, memiliki nafsu syahwat, namun masih mampu untuk menghindari
perzinahan. Pernikahan haram dilakukan seseorang jika tidak ada keinginan, belum
mampu dan belum bisa bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam pernikahan sedangkan menjadi makruh jika apabila dilakukan oleh seseorang
yang belum mampu memenuhi kebutuhan secara ekonomi namun memiliki nafsu
syahwat ataupun sebaliknya sekalipun hal tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Untuk pernikahan tanpa unsur pemaksaan atau menghalang-halangi maka hukumnya
mubah. Selanjutnya yaitu rukun dan syarat dalam perkawinan. Pengertian dari rukun
perkawinan yaitu seseuatu yang harus ada dalam termasuk dalam rangkaian acara
dalam perkawinan karena menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, sedangkan
syarat perkawinan diartikan sebagai sesuatu yang harus ada namun tidak termasuk ke
dalam rangkaian acara dalam perkawinan yang juga menentukan sah tidaknya suatu
perkawinan. Rukun-rukun perkawinan yang sudah menjadi kesepakatan jumhur
ulama meliputi
a) dalam perkawinan terdapat calon suami dan calon istri;
b) terdapat wali dari pihak calon istri (pengantin wanita);
c) terdapat dua orang saksi; dan
d) sighat akad nikah yaitu terdapat ikan Qabul yang dikatakan oleh wali nikah
pihak pengantin wanita kemudian dijawab oleh pengantin laki-laki.
Ada beberapa ulama yang menambahkan juga bahwa mahar termasuk dalam rukun
perkawinan. Untuk syarat-syarat perkawinan mengikat calon suami, calon istri, wali
nikah, saksi nikah, dan ijab qabul. Syarat yang harus dipenuhi calon suami meliputi :

a) Beragama Islam;
b) Laki-laki;
c) Jelas orangnya;
d) Dapat memberikan persetujuan;
e) Dan tidak terdapat halangan perkawinan,

Untuk syarat-syarat calon istri terdiri atas :

a) Beragama Islam;
b) Perempuan;
c) Jelas orangnya;
d) Dapat dimintai persetujuan;
e) Dan tidak terdapat halangan perkawinan.

Wali nikah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut,

a) Beragama Islam;
b) Jelas orangnya;
c) Dapat dimintai persetujuan;
d) Dan tidak terdapat halangan perwalian.

Untuk saksi nikah syaratnya yaitu

a) Minimal dua orang laki-laki;


b) Hadir dalam ijab qabul;
c) Dapat mengerti maksud akad;
d) Beragama islam;
e) Dan dewasa.

Yang terakhir yaitu ijab qabul harus memenuhi syarat-syarat meliputi

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;


b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;
c) Memakai kata-kata nikah, tazwid, atau terjemahan dari kedua kata tersebut;
d) Antara ijab dan qabul bersambungan;
e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;
f) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram atau umrah;
g) Dan majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon
mempelai, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.
Berikutnya ada prinsip-prinsip dalam perkawinan meliputi terdapat persetujuan dan
sukarela; perkawinan harus memenuhi semua rukun dan syarat perkawinan; tujuan
perkawinan membentuk keluarga yang damai dan kekal; hak dan kewajiban istri
seimbang; musyawarah dan demokrasi; menciptakan rasa aman, nyaman, dan
tenteram dalam keluarga; menghindari kekerasan; hubungan suami istri selayaknya
hubungan sebagai partner; dan prinsip keadilan, sedangkan prinsip perkawinan
menurut UU perkawinan meliputi bertujuan untuk membentuk keluarga yang damai
dan kekal; dilakukan sesuai agama dan kepercayaan (jika Islam berdasar hukum
Islam); asas monogamy (poligami diperbolehkan jika dikehendaki, diizinkan oleh
istri, dan tidak dilarang oleh agama pihak bersangkutan, serta memenuhi persyaratan
dan diputuskan pengadilan); Calon suami istri harus telah dewasa dan siap baik
jasmani dan rohaninya; prinsip mempersukar perceraian; hak dan kedudukan suami
istri seimbang. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam Tahun 1991 terdapat 7 asas kaidah meliputi asas membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal; asas keabsahan perkawinan (berdasarkan ketentuan agama
dan kepercayaan calon suami dan calon istri yang kemudian dicatat oleh petugas yang
berwenang); asas monogami terbuka; asas calon suami dan istri telah siap jasmani dan
rohaninya dalam melaksanakan perkawinan; asas mempersulit perceraian; asas
keseimbangan hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga dan masyarakat;
dan asas pencatatan perkawinan. Lalu tujuan dari perkawinan meliputi membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah (QS. ar-Rŭm (30): 21);
bereproduksi guna menghasilkan keturunan yang secara tidak langsung juga menjaga
eksistensi agama Islam (QS. an-Nahl (16): 72); menciptakan keluarga yang penuh
ketenangan dan cinta kasih dalam kehidupan keluarga (QS.al-Ma’arij (70): 29-31,
Al-Baqarah (2): 187, 223 dan QS. an-Nŭr (24): 33); memenuhi kebutuhan
biologis; menjaga kehormatan (QS.al-Ma’arij (70): 29-31, QS. al-Mu’minŭn (23): 5-
7, QS. an-Nŭr (24): 33); dan bertujuan ibadah (QS. al-Mu’ minŭn (23): 115, QS.
Aż-Źȃriyȃt (51): 56). Menurut UU No. 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan yang
disebutkan dalam rumusan Pasal 1 perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sedangkan
menurut Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 3
yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah, dan
rahmah.
Dalam melaksanakan perkawinan ada beberapa hal yang menyebabkan
dilarang dan dapat dibatalkan. Larangan perkawinan tersebut dikarenakan oleh hal-hal
di bawah ini meliputi,
a) Larangan perkawinan karena pertalian nasab yaitu perkawinan dilarang antara
seorang pria dengan perempuan yang ada hubungan darah garis keturunan ke
atas seperti ibu, nenek (dari pihak ayah maupun ibu), dan seterusnya;
perempuan yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah
seperti anak perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki maupun anak
perempuan)dan seterusnya; saudara perempuan (adik/kakak baik se-ayah se-
ibu, se-ayah saja, atau se-ibu saja); saudara perempuan ayah atau ibu (bibi dari
ayah maupun bibi dari ibu baik saudara sekandung ayah atau se-ibu); anak
perempuan dari saudara laki-laki atau anak perempuan dari saudara
perempuan (keponakan).
b) Larangan perkawinan karena hubungan pertalian kerabat (semenda) yaitu
seorang wanita dilarang melakukan perkawinan dengan laki-laki selamanya
karena hubungan perkawinan (semenda) seperti ibu isteri (mertua perempuan),
nenek perempuan isteri dari ayah maupun ibu; anak-anak istri yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri (anak tiri), isteri-isteri
anak kandungmu (menantu) dan isteri cucu, perempuan yang telah dinikahi
ayah (ibu tiri).
c) Larangan perkawinan karena hubungan sepersusuan yang menjadikan terdapat
hubungan kekeluargaan yang dekat diantara mereka (menjadi saudara
sepersusuan).
d) Larangan perkawinan untuk sementara waktu (mahram ghairu muabbad)
meliputi mengadakan pernikahan dua perempuan bersaudara dalam satu masa
perkawinan; poligami melibihi 4 orang (kecuali salah satu isteri diceraikan dan
sudah selesai masa iddahnya)
e) Larangan karena ikatan perkawinan yaitu jika jika pihak perempuan masih
dalam ikatan perkawinan sehingga sebelum suaminya meninggal atau
diceraikan dan selesai masa iddahnya haram untuk dinikahi pria lain.
f) Larangan karena talak tiga (ba'in kubro) yaitu jika perempuan telah ditalak
tiga maka haram untuk menikah lagi dengan mantan suami yang menalaknya
kecuali perempuan tersebut sudah mengadakan perkawinan lagi dengan pria
lain dan telah berhubungan seksual kemudian diceraikan oleh suaminya dan
setelah habis masa iddahnya baru boleh menikah lagi dengan mantan
suaminya yang mentalaknya tiga kali tadi.
g) Larangan karena ihram yaitu seorang wanita haram untuk dinikahi saat
melakukan haji maupun ihram.
h) Larangan karena musyrik (beda agama) yaitu pernikahan diharamkan bagi
laki-laki ataupun perempuan muslim dengan perempuan atau laki-laki non
Islam.
i) Larangan karena waktu iddah yaitu dilarang menikahi perempuan yang sedang
dalam masa Iddah karena ditinggal mati maupun Iddah cerai.
j) Istri yang putus perkawinan karena li'an yaitu karena laknat (kutukan) artinya
suami isteri yang menyatakan bersedia dilaknat Allah karena mereka bersaksi
empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masing
yang ke lima untuk bersedia dilaknat oleh Allah jika berdusta karena salah
satu pihak bersikeras menuduh pihak lain melakukan zina atau suami tidak
mengakui anak yang dikandung/dilahirkan isteri sedangkan menolak tuduhan
tersebut di mana mereka tidak mempunyai alat bukti untuk diajukan kepada
hakim. Karena li'an tersebut suami istri tersebut bercerai dan tidak boleh
menikah kembali untuk selamanya
Berikutnya batalnya suatu perkawinan pada dasarnya adalah ketika perkawinan
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan ke pengadilan. Pembatalan
perkawinan adalah ketika terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi berdasarkan UU
No. 1 tahun 1974 yaitu

a) Apabila pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-


syarat perkawinan (pasal 22);
b) Apabila salah satu pihak dari yang melakukan perkawinan masih terikat status
perkawinan dengan pihak lain maka dapat diajukan pembatalan dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU ini (Pasal 24);
c) Dalam Pasal 26 ayat 1 jika perkawinan dilangsungkan di depan pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah tidak sah, tanpa dua
orang saksi maka dapat diajukan pembatalan oleh para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa, dan suami atau isteri. Pada
ayat 2 hak pembatalan ini dapat gugur jika suami istri telah hidup bersama dan
bisa menunjukkan akte perkawinan yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak
berwenang dan perkawinan tersebut harus diperbarui agar sah.
d) Dalam pasal 27 Ayat 1 dapat mengajukan pembatalan jika ada ancaman yang
melanggar hukum. Pada ayat 2 pembatalan dapat dilakukan jika terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri. Pada ayat 3 jika sebagaimana
disebutkan dalam ayat 1 dan 2 yaitu ancaman telah berhenti dan yang bersalah
sangka telah menyadari dan dalam waktu 6 bulan masih hidup bersama
sebagai suami isteri maka hak pembatalan perkawinan gugur.

Selain berdasarkan UU No. 1 tahun 1974, menurut KHI Pasal 71 perkawinan batal
jika

a) Saat melakukan akad suami telah beristri 4, sekalipun salah satu isteri dalam
Iddah talak raj'i
b) Menikahi mantan istri yang telah dili'annya
c) Menikahi mantan istri yang sudah pernah ditalak 3 kali sedang persyaratan
untuk dapat menikah kembali belum dipenuhi
d) Perkawinan dilakukan oleh pihak yang sebenarnya dilarang dalam hukum
Islam
e) Suami yang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama
f) Perempuan yang dikawini ternyata masih menjadi isteri pria lain yang mafqud
g) Perempuan yang dikawini masih dalam masa Iddah
h) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan
i) Perkawinan yang dilakukan tanpa wali atau dengan wali yang tidak berhak
j) Perkawinan dilakukan karena paksaan.
Berdasarkan Pasal 23 yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan yaitu
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau isteri;
pejabat berwenang ketika perkawinan belum diputuskan; pejabat yang ditunjuk (Pasal
16 ayat 2) yang mempunyai kepentingan hukum dan hanya setelah perkawinan
diputuskan. Dalam Pasal 74 KHI diterangkan bahwa permohonan pembatalan
perkawinan dapat dilakukan di Pengadilan Agama wilayah tempat suami atau istri
atau tempat perkawinan dilangsungkan di mana batas suatu perkawinan setelah
Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Berdasarkan pasal 75 KHI pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu murtad, anak-anak
yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, dan pihak ketiga sepanjang mereka
mendapatkan hak-hak dengan beritikad baik sebelum keputusan pembatalan
perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk hubungan anak dan orang tua
berdasarkan pasal 76 KHI pembatalan perkawinan tidak memutuskan hubungan
hukum keduanya.

2. Ketentuan Hukum Islam dalam bidang perceraian


Dalam fiqh perceraian disebut "talaq" (membuka ikatan/membatalkan
perjanjian) atau "furqah" (bercerai). Jadi perceraian adalah segala bentuk usaha
memutuskan perkawinan antara suami dan istri karena tidak ada kedamaian dalam
rumah tangga atau alasan lain. Dalam hukum Islam pemutusan perkawinan bisa
disebabkan oleh salah satu dari beberapa hal berikut, yaitu kematian, perceraian, dan
putusan pengadilan. Dalam suatu perkawinan terkadang ada masalah yang tidak dapat
diatasi dan Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian. Perceraian dalam Islam
halal namun Allah membenci perceraian yang dilakukan oleh umat muslim. Dalam
melakukan talak ada rukun-rukun talak sebagai unsur yang harus ada di mana
pandangan ahli berbeda-beda mengenai hal ini. Menurut ulama Hanafiyah talak hanya
satu yaitu sighah atau lafal menalak baik secara etimologi, syar'iy maupun apa saja
yang menempati posisi lafal talak. Menurut ulama Malikiyah rukun talak meliputi
a) Orang yang berhak melakukannya (suami atau wakil/kuasa hukumnya ataupun
wali jika ia masih kecil);
b) Dilakukan secara sengaja;
c) Talak dijatuhkan kepada istri yang halal dari pernikahan yang sah
d) Ada lafal talak baik yang bersifat sarih (gamblang) maupun yang kategori lafal
kinayah.
Menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabillah ada 5 rukun talak yaitu orang yang
menjatuhkan talak;
a) Adanya lafal talak;
b) Adanya kesengajaan dalam mengucapkan talak;
c) Adanya perempuan yang dihalalkan (istri);
d) Menguasai istri tersebut.

Sebab-sebab putusnya perkawinan sebagai berikut

a) Karena talak
Dalam pasal 117 Kompilasi Hukum Islam talak didefinisikan sebagai ikrar
yang diucapkan suami di depan sidang Pengadilan Agama untuk memutuskan
perkawinan. Jadi perkawinan yang terputus akibat perceraian terjadi karena
talak atau gugatan perceraian (cerai gugat). Hakikat dari talak adalah
"melepaskan" ikatan perkawinan di mana berarti talak mengakhiri hubungan
perkawinan antara suami istri. Diucapkannya kata "ta-la-qa" berarti putusnya
perkawinan melalui ucapan. Talak ada bermacam-macam, meliputi
1) Talak raj'i, yaitu talak suami kepada istri yang telah digaulinya sebagai
talak satu atau dua yang diikrarkan di depan sidang Pengadilan di
mana suami masih diperbolehkan untuk meruju' mantan istrinya jika
masih dalam masa Iddah tanpa harus menikah baru.
2) Talak ba'in, yaitu talak suami kepada istri yang sudah habis masa
iddahnya. Talak ba'in terbagi menjadi
a. Talak ba'in sughra, yaitu talak suami kepada istrinya (talak 1
dan 2) yang telah habis masa iddahnya di mana suami masih
boleh meruju’ mantan istrinya, tetapi dengan akad dan mahar
yang baru.
b. Talak ba'in kubra, yaitu talak suami kepada istrinya (talak 3) di
mana suami juga masih boleh kembali dengan mantan istrinya
asalkan setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai
secara wajar.

Dilihat dari cara pengucapannya, talak terbagi menjadi

1) Talak sunni, yaitu talak suami kepada istri di mana istri dalam keadaan
suci atau tidak bermasalah secara hukum syara', seperti haidh, dan
selainnya.
2) Talak bid'i, yaitu talak suami kepada istrinya di mana istrinya dalam
keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar'i.
3) Țalak lȃ Sunni walȃ Bid’i,, yaitu meliputi talak yang dijatuhkan
terhadap isteri yang belum pernah didukhul (disetubuhi); talak yang
dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah haid atau isteri
telah lepas dari masa haid (menopause); dan talak yang dijatuhkan
terhadap isteri yang sedang hamil.
Dilihat dari segi lafaz (redaksi) dalam menjatuhkan talak, meliputi

1) Talak sareh, yaitu talak suami kepada isterinya dengan menggunakan


kata-kata at-talak, al-firaq atau as sara.
2) Talak kinaya, yaitu talak suami kepada isterinya dengan
menggunakan lafaz kinayah (sindiran) di mana suami tersebut
memang mempunyai niat bahwa perbuatannya tersebut adalah
ucapan yang bertujuan untuk mentalak isterinya.
Dilihat dari redaksinya, talak terbagi menjadi talak ucapan, talak dengan
tulisan, talak dengan isyarat suami yang tuna wicara kepada istrinya, dan talak
utusan (perantara dari suami kepada istri untuk menyampaikan maksud
mentalak istri).

b) Gugatan perceraian (putusnya perkawinan karena khulu')


Khulu' merupakan menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan
kesediaan istri membayar uang 'iwad atau uang pengganti kepada suami agar
suami memberikan pernyataan cerai. Perceraian dengan cara khulu'
merupakan talak ba'in dan menjadikan suami tidak memiliki hak untuk rujuk
dengan istrinya. Jika istri bersedia rujuk maka suami harus akad nikah lagi dan
memebuhi rukun syarat perkawinan.

c) Perceraian karena sebab lain


1) Karena Fasakh
Fasakh secara bahasa artinya memisahkan atau memutuskan. Secara
istilah Fasakh merupakan hak suami dan hak istri untuk memutuskan
ikatan perkawinan melalui pengadilan dan diputuskan oleh hakim
untuk menghindari kemudharatan dari tidak tercapainya tujuan
perkawinan.
2) Karena Li'an
Li'an yaitu sumpah yang diucapkan suami untuk menuduh istrinya
berzina sebanyak 4 kali sumpah menyatakan dirinya orang yang benar
dan pada sumpah yang kelima terdapat pernyataan bersedia menerima
laknat Allah jika berdusta yang jika tidak menerimanya istri juga dapat
melakukan li'an kepada suaminya sedang mereka tidak mempunyai
bukti untuk diajukan kepada hakim.
3) Karena Syiqaq
Syiqaq yaitu perselisihan yang terjadi terus menerus dan tidak dapat
diselesaikan oleh suami dan istri bahkan setelah diutus 2 orang
pendamai setelah fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan
memukul istri sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah
tangga.
4) Karena Ila'
Ila' yaitu sumpah suami kepada istri untuk tidak menggaulinya dan
menahan nafsunya selama paling lama 4 bulan dan apabila setelah
jangka waktu tersebut suami antara harus kembali hidup sebagai suami
istri atau mentalaknya. Jika meneruskan maka suami harus membayar
denda atau kaffarah salah satu dari memberi makan 10 orang miskin
(menurut makan yang wajar diberikan suami ke keluarganya),
memberikan 10 orang miskin pakaian, memerdekakan budak, berpuasa
3 hari.
5) Karena Zihar
Zihar yaitu putusnya perkawinan jika suami menyatakan kepada
istrinya bahwa istrinya disamakan dengan ibunya sendiri. Suami dapat
menarik ziharnya dengan membayar kaffarah berupa memerdekakan
seorang budak sebelum menggauli istri, atau berpuasa 2 bulan berturut-
turut, atau memberi makan 60 orang miskin. Jika suami tidak ingin
kembali maka suami diberi waktu 4 bulan untuk membayar kaffarah
atau menceraikan istrinya.
6) Karena kematian
Apabila salah satu (suami atau istri) meninggal maka terputuslah
ikatan perkawinannya (cerai mati).
7) Karena Putusan Pengadilan
Berdasarkan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah segala
upaya untuk mendamaikan suami istri tidak berhasil. Alasan perceraian
menurut KUH Perdata Pasal 209 meliputi zina; meninggalkan tempat
tinggal bersama dengan sengaja terhitung selama 5 tahun, apabila
kembali maka gugatan gugur, dan apabila pergi lagi maka gugatan
dapat diajukan setelah 6 bulan; penghukuman dengan hukuman penjara
5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan; melukai
berat atau menganiaya (fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah
tangga).

Anda mungkin juga menyukai