Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Nikah adalah salah satu azas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan masyarakat yang sempurna. Pernikahan merupakan satu jalan
yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Faedah yang terbesar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan
memelihara perempuan dari kebinasaan. Nikah juga dipandang sebagai
kemaslahatan umum, karena jika tidak ada manusia akan menurun sifat
kebinatangan, dan karna sifat itu akan muncul perselisihan, bencana, dan
permusuhan antar sesamanya. Pernikahan merupakan sunnatullah pada
alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya manusia, hewan maupun
tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah” (QS adz-Dzariyat ayat 49).
Allah memilih sarana ini untuk berkembang-biaknya alam dan
berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan
tugas dan posisi masing-masing. Oleh karenanya, salah-satu maqashid
syari’ah (pokok dasar syariah), yaitu menjaga keturunan. Islam
menganjurkan umat Islam untuk menikah dan diharamkan membujang.
Islam melarang mendekati zina dan menutup sarana-sarana yang menjurus
kepada perbuatan kotor tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia seperti ciptaan
yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau
membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan kacau tidak
beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana
telah diterangkan oleh utusanNya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Manusia mengalami pertumbuhan mulai dari bayi, anak – anak,
remaja dan menjadi dewasa. Kedewasaan seseorang bukan hanya terukur
dari pada berkembangnya fisik tersebut, melainkan keluasan wawasan,
pemaknaan hidup, dan pembuat keputusan untuk menjadi lebih bijaksana.

i
Semakin bertambah dewasa maka beban – beban hidup yang terbebankan
pada pundak – pundak yang lemah ini akan semakin berat. Sehingga tidak
jarang manusia mengambil jalan kematian. Masa – masa dewasa yang
berat dan penuh tantangan ini tentunya harus berpikir kedepan seperti
membangun keluarga yang islami. Ketika berkeluarga beban – beban
hidup akan semakin ringan. Mengapa semakin ringan? Bukankan
berkeluarga itu menjadi lebih banyak pikiran dan beban hidup bertambah?
Justru ini yang dinamakan keluarga islami melalui suatu pernikahan Islam.
Bersama pasangan hidup yang terikrarkan janji suci yang membangun
tekad setia dan komitmen untuk saling menguatkan satu sama lain
sehingga beban – beban hidup tidak hanya pada pundak salah seorang raja.
Tak lepas dalam ajaran Islam, pernikahan (perkawinan) tersebut
sangat penting sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat baik
secara langsung maupun tidak langsung membahas tentang masalah
pernikahan.
Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya
untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga
sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin
kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu
sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah
manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Oleh karena itu,
di sini pemakalah akan membahas mengenai nikah, syarat nikah, hukum
nikah, hal – hal yang berkaitan dengan nikah, dimana termasuk juga talak,
iddah, dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dipaparkan dari latar belakang masalah ialah:
1. Menjelaskan pengertian dari nikah dan hukum nikah.
2. Menjelaskan bagaimana persiapan dan pelaksanaan nikah, serta
hikmah nikah.
3. Menjelaskan pengertian dari talaq dan hukum talaq.
4. Menjelaskan pembagian dan cara talaq.
5. Menjelaskan pengertian dari iddah

i
6. Menjelaskan
7. Menjelaskan

C. Metode Pembahasan (Penelitian)


Penulisan dalam makalah ini adalah penulisan yang bersifat studi
perpustakaan yang bercorak deskriptif, dimana penulis berusaha
memahami dan menafsirkan dengan data-data yang ada di beberapa
referensi buku-buku maupun sumber media, baik cetak maupun elektronik
untuk mendapatkan data yang relevan

i
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Nikah
A. Pengertian Nikah
Nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah merupakan suatu
ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan, untuk hidup
bersama dalam suatu ikatan rumah tangga dan keturunan yang
dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Selain itu juga
nikah juga dapat diartikan adalah akad menghalalkan pergaulan serta
tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bukan muhrim.
B. Hukum Nikah
Asal hukum melakukan perkawinan itu menurut pendapat sebagian
besar para fuqaha adalah mubah atau ibahah (halal atau kebolehan). Asal
hukum melakukan nikah (perkawinan) yang mubah (ibahah) tersebut dapat
berubah-ubah berdasarkan sebab-sebab (‘illahnya) kausanya, dapat beralih
menjadi makruh, sunat, wajib dan haram.
 Hukum nikah menjadi wajib bagi orang yang berhawa nafsu dan takut
kalau ia terjerumus ke jurang perzinaan. Ibnu Qudamah berkata: Para
ulama telah menyepakati bahwa barangsiapa yang telah menghayalkan
dirinya untuk menikah dan takut terjerumus ke lembah perzinaan, maka
nikah baginya adalah lebih baik dari pada haji, shalat, dan puasa."
 Hukum nikah menjadi sunnah, bagi seseorang yang memiliki hawa nafsu
tapi tidak mengkhawatirkan dirinya terjerumus pada perzinaan. Dalam hal
ini, 'Iyadl berkata: "Barangsiapa yang mampu memberikan keturunan tapi
tidak takut terjerumus ke jurang perzinaan maka hak nikah baginya adalah
sunnah (manduub)."

i
 Hukum nikah juga bisa menjadi haram bagi seseorang yang sedang berada
di kawasan daar al-harb (medan perang), sebagaimana yang disebutkan
oleh sebagian ulama. Sama halnya seperti pedagang yang masuk ke
kawasan tersebut dengan aman, kecuali dalam kondisi darurat,
sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ahli 'ilmi.
 Hukum nikah adalah makruh. Bagi seseorang yang memiliki hawa nafsu,
tetapi bila ia menikah maka urusan ibadah dan hubungan kerabat bisa
putus, maka hukum nikahnya adalah makruh.
Adapun dasar hukum nikah adalah firman Allah :

Artinya: “…..Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi,


dua,tiga atau empat,…” (Q.S: An-Nisa’: 3)
Rasulullah bersabda:

Artinya: Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian mampu


menyiapkan bekal, maka menikahlah, karena sesungguhnya nikah dapat
menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barang siapa tidak mampu
maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi
benteng. (Muttafaq Alaih).1
Berdasarkan hadis di atas, maka Imam Taqiyyuddin Abi Bakar
dalam Kifatul Akhyar mengatakan bahwa nikah disunahkan bagi orang
yang sangat membutuhkan dan dia sudah mampu membiayai pernikahan,
mahar dan untuk memberi nafkah lahir dan batin. Namun apabila ia sudah
sangat ingin menikah sementara ia belum mampu membiayainya, maka
hendaknya ia tidak menikah terlebih dahulu dan untuk menjaga hal-hal
yang tidak diinginkan, hendaknya ia berpuasa.

i
C. Syarat dan Rukun Pernikahan
Mengenai syarat rukun nikah ini maka Kompilasi Hukum Islam pasal
14, menjelaskan yaitu :
“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami
b. Calon Istri
c. Wali nikah
d. Dua Orang saksi
e. Ijab dan Qabul”
Rukun adalah sesuatu yang harus ada untuk menentukan sah atau
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), namun sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan tersebut. Adapun rukun dalam sebuah pernikahan,
jumhur ulama sepakat ada empat, yaitu:
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai adalah:
a) Laki-laki dan perempuan yang melangsungkan pernikahan haruslah sama-
sama beragama Islam.
b) Keduanya harus jelas identitasnya dan bisa dibedakan dengan orang lain,
baik terkait dengan nama, keberadaan, jenis kelamin dan hal-hal lainnya
yang berkenaan dengan dirinya. Dengan adanya syariat peminangan
sebelum berlangsungnya pernikahan kiranya merupakan suatu syarat
supaya kedua calon mempelai bisa sama-sama tahu dan mengenal satu
sama lain secara baik dan terbuka.
c) Kedua belah pihak telah setuju untuk menikah dan juga setuju dengan
pihak yang mengawininya. Tentang izin dan persetujuan dari kedua belah
pihak yang akan melangsungkan pernikahan ulama fikih berbeda pendapat
dalam menyikapinya.
2.) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang
akan menikahkannya

i
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang menjadi wali
adalah:
a) Orang merdeka (bukan budak)
b) Laki-laki (bukan perempuan) sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis
yang diriwayatkan Abu Hurairah. Namun ulama Hanafiah dan Syiah
Imamiyah berbeda pendapan tentang hal ini. Keduanya berpendapat
bahwa perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi
wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan
lain yang mengharuskan adanya wali.
c) Telah dewasa dan berakal sehat. Oleh karena itu anak kecil atau orang gila
tidak berhak menjadi wali. Hal ini merupakan syarat umum bagi
seseorang yang melakukan akad.
d) Tidak sedang melakukan ihram untuk haji atau umrah. Hal ini
berdasarkan hadis Nabi dari Us|man menurut riwayat Abu Muslim yang
artinya ‚Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan
tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang.‛
e) Tidak dalam keadaan mendapat pengampuan (mahjur ‘alaih). Hal ini
karena orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat
hukum dengan dirinya sendiri.
f) Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering
terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara murah dan sopan santun.
Hadis Nabi dari ‘Aisyah menurut riwayat Al Qut}ni menjelaslan bahwa
‚Tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil.‛
g) Berpikiran baik. Oleh karena itu tidak sah menjadi wali seseorang yang
terganggu pikirannya sebab ketuaannya, karena dikhawatirkan tidak akan
mendatangkan maslahat dalam pernikahan tersebut.
h) Seorang muslim, oleh karena itu orang yang tidak beragama Islam tidak
sah menjadi wali untuk pernikahan muslim.
3) Adanya dua orang saksi
Tidak semua orang boleh menjadi saksi, khususnya dalam pernikahan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dia bisa menjadi saksi yang
sah, yaitu:

i
a) Saksi berjumlah minimal dua orang. Pendapat inilah yang dipegang
oleh jumhur ulama. Sedangkan hana>fiyah berpendapat lain,
menurutnya, saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan.
b) Kedua saksi itu merdeka (bukan budak).
c) Saksi bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan
tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muru>ah.
d) Saksi harus beragama Islam.
e) Saksi harus bisa mendengar dan melihat.
f) Kedua saksi adalah laki-laki. Menurut Hanafiyah saksi itu boleh terdiri
dari perempuan asalkan harus disertai saksi dari laki-laki. Sedangkan
menurut Zahiriyah, saksi boleh dari perempuan dengan pertimbangan
dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki.
4) Sighat akad nikah yaitu ijab dan kabul yang diucapkan oleh wali
atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-
laki.
Dalam hukum Islam, akad pernikahan itu bukanlah sekedar perjanjian
yang bersifat keperdataan. Akad dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat
yang disebut dengan ungkapan mis|aqan galizan dalam Al Quran, yang
mana perjanjian itu bukan haya disaksikan oleh dua orang saksi atau
kehadiran orang banyak pada waktu terlangsungnya pernikahan, akan
tetapi juga disaksikan langsung oleh Allah SWT. Oleh karena itu
perjanjian pada akad pernikahan ini sangatlah bersifat agung dan sakral.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar akad ijab kabul itu bisa
menjadi sah, yaitu:
a) Akad dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Ijab berarti
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan Kabul adalah penerimaan dari
pihak kedua. Contoh penyebutan ijab ‚saya nikahkan anak saya yang
bernama Khotibah dengan mahar uang satu juta rupiah dibayar tunai‛. Lalu
kabulnya ‚saya terima menikahi anak bapak yang bernama Khotibah
dengan mahar uang sebesar satu juta rupiah. Materi dari ijab dan Kabul

i
tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan dan bentuk mahar yang
sudah ditentukan.
b) Ijab dan Kabul harus menggunakan lafad yang jelas dan terang sehingga
dapat dipahami oleh kedua belah pihak secara tegas. Dalam akad tidak
boleh menggunakan kata sindiran karena masih dibutuhkan sebuah niat,
sedangkan saksi dalam pernikahan itu tidak akan dapat mengetahui apa
yang diniatkan oleh seseorang. Lafad yang sharih (terang) yang disepakati
oleh ulama ialah kata nakaha atau zawaja, atau terjemahan dari keduanya.
c) Ijab dan kabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat
membatasi masa berlangsungnya pernikahan, karena adanya pernikahan
itu bertujuan untuk selama hidupnya, bukan sesaat saja.
d) Ijab dan kabul harus diucapkan secara bersinambungan tanpa terputus
walau sesaat.

D. Hikmah Nikah
Allah SWT berfirman :
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dasri jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadaya, dan dijaikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar-ruum,21).
Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia
didunia ini berlanjut, dari generasi ke generasi. Selain juga menjadi
penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari
godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahn juga berfungsi untuk
mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asa saling
menolong dalam wilayah kasih saying dan penghormatan muslimah
berkewajiban untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti
mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang
menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan
baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.
Adapun hikmah yang lain dalam pernikahannya yaitu :

i
a. Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan
berkembang biak dan berketurunan.
b. Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan
mampu mengekang syahwat serta menahan pandangan dari
sesuatu yang diharamkan.
c. Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa dengan cara
duduk-duduk dan bercengkramah dengan pasangannya.
d. Mampu mebuat wanita melaksanakan tuagsnya sesuai dengan
tabiat kewanitaan yang diciptakan.
2.2. Talak
A. Pengertian Talak
Secara bahasa talak berarti pemutusan ikatan, sedangkan menurut istilah
talak berarti pemutusan tali pernikahan. Talak tanpa adanya alasan merupakan
sesuatu yang dimakruhkan. Talak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari
bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik itu suami atau istri, Allah SWT
berfirman dalam surat Al-Baqarah: 231

Artinya: ‚Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir


iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu

i
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu‛.
Talak adalah putusnya ikatan pernikahan antara seorang pria dengan
seorang wanita. Dan putus pernikahan disini adalah bisa berarti salah seorang
diantara keduanya meninggal dunia atau antara pria dan wanita sudah bercerai dan
salah seorang diantara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada
beritanya, sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah
meninggal. Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan pernikahan suami istri
sudah putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang
diikat oleh tali pernikahan.
Selain itu talak juga dapat diartikan dengan menghilangkan ikatan
pernikahan sehingga setelah hilangnya ikatan pernikahan itu istri tidak lagi halal
bagi suaminya, dan ini terjadi dalam talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi
pelepasan ikatan pernikahan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak suami talak,
itu yaitu terjadi dalam talak raj’i.

B. Hukum Talak
Adapun hukum dari talak atau cerai ada bermacam-macam, yaitu :

1. Wajib ; Perceraian atau talak dikatakan wajib apabila :

 Antara suami dan istri tidak dapat didamaikan lagi


 Tidak terjadi kata sepakat oleh dua orang wakil baik dari pihak suami maupun
istri untuk perdamaian rumah tangga yang hendak bercerai
 Adanya pendapat dari pihak pengadilan yang menyatakan bahwa
perceraian/ talak adalah jalan yang terbaik.

Dan jika dalam keadaan-keadaan tersebut keduanya tidak diceraikan, maka


suami akan berdosa.

2. Haram ; Suatu perceraian/ talak akan menjadi haram hukumnya


apabila :

i
 Seorang suami menceraikan istrinya ketika si istri sedang dalam masa haid
atau nifas
 Seorang suami yang menceraikan istri ketika si istri dalam keadaan suci yang
telah disetubuhi
 Seorang suami yang dalam keadaan sakit lalu ia menceraikan istrinya dengan
tujuan agar sang istri tidak menuntut harta
 Seorang suami yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus, atau
juga bisa dengan mengucapkan talak sat akan tetapi pengucapannya dilakukan
secara berulang-ulang sehingga mencapai tiga kali atau bahkan lebih.

3. Sunnah ; Perceraian merupakan hal yang disunnahkan, apabila :

 Suami tidak lagi mampu menafkahi istrinya


 Sang istri tidak bisa menjaga martabat dan kehormatan dirinya

4. Makruh ; Perceraian/ talak bisa dianggap sebagai hal yang makruh


apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya yang baik, memiliki
akhlak yang mulia, serta memiliki pengetahuan agama yang baik.
5. Mubah ; Sedangkan perceraian atau talak bisa dikatakan mubah
hukumnya apabila suami memiliki keinginan/ nafsu yang lemah atau juga bisa
dikarenakan sang istri belum datang haid atau telah habis masa haidnya.

C. Macam-macam dan cara talak

Talak terbagi menjadi dua macam yakni talak sunnah dan talak bid’i:2

 Talak Sunnah
Talak sunnah yakni talak yang terjadi dengan mengikuti perintah syara’.
Talak sunnah adlah talak suami yang menceraikan istri telah berhubungan
dengan istri dengan satu kali talak. Istri dalam keadaan suci dan ia tidak
menyentuhnya.

i
 Talak Bid’i
Talak bid’i adalah talak yang berbeda dengan yang disyariatkan. Seakan –
akan ia menceraikannya tiga kali dalam satu kata. Atau ia menceraikannya
tiga kali berbeda – beda pada satu tempat. Seakan – akan ia berkata :
“Engkau aku cerai, engkau aku cerai, engkau aku cerai.” Atau juga ia
menceraikan waktu haidh dan nifas, atau dalam waktu suci namun telah
berhubungan dengannya. Para ulama; telah sepakat bahwa talak bid’i
hhukumnya haram.
Kemudian talak jika dilihat dari segi kembalinya dan bagiannya terbagi dalam dua
hal yakni talak raj’i dan talak ba’in.

 Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang diperbolehkan bagi laki – laki untuk kembali
pada istrinya, sebelum habis masa ‘iddah dengan tanpa mahar baru dan
akad baru. Talak ini tidak menjadi jelas untuk istri seketika tetapi stelah
berakhirnya ‘iddah. Ia bernaung dalam lindungan suaminya hingga habis
masa ‘iddahnya. Ia tinggal dalam rumah yang disebutkannya. Atau rela
jika dipilihkannya. Ia memberikan nafkahnya, selama dirinya tidak takut
atas suaminya. Maka pada saat demikian ia pergi ke keluarganya. Adapun
yang termasuk dalam kategori talak raj’i adalah sebagai berikut: 1) Talak
satu atau talak dua tanpa ‘iwadh dan telah kumpul. 2) Talak karena ila’
yang dilakukan Hakim. 3) Talak Hakamain artinya talak yang diputuskan
oleh juru damai (hakam) dari pihak suami maupun dari pihak isteri.3
 Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang memutuskan, yaitu suami tidak memiliki hak
untuk kembali pada perempuan yang diceraikannya dalam masa ‘iddahnya.
Talak ba’in masih terbagi lagi menjadi dua yakni talak ba’in shughra dan
qubra.

Jenis – Jenis Talak

i
Jika ditinjau dari segi ini, talak dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Talak Sharih (Talak langsung)

Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya
dengan lafadz atau ucapan yang jelas dan terang. Meskipun talak ini diucapkan
tanpa adanya niat ataupun saksi, akan tetapi sang suami tetap dianggap
menjatuhkan talak/ cerai. Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah
:

‫واتفقوا على أن الصريح يقع به الطالق بغير نية‬

Artinya “Para ulama sepakat bahwa talak dengan lafadz sharih (tegas) statusnya
sah, tanpa melihat niat (pelaku).”

Contoh Lafadz/ ucapan Talak Sharih :

 Aku menceraikanmu
 Engkau aku ceraikan
 Engkau kutalak satu, dan lain sebagainya.

2. Talak Kinayah (Talak Tidak Langsung)

Ini adalah talak yang diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya
dengan menggunakan kata-kata yang di dalamnya mengandung makna perceraian
akan tetapi tidak secara langsung. Seorang suami yang apabila menjatuhkan talak
dengan lafadz talak kinayah sementara tidak ada niat untuk menceraikan istrinya,
maka talak tersebut dianggap tidak jatuh.

Kapankah perceraian atau talak itu dapat dilakukan?


Islam telah mengajarkan bahwasannya talak atau cerai tidak bisa
dilakukan kapan saja. Al- Qur’an dan As- Sunnah telah mengajarkan
bahwa talak hendaknya dilakukan secara pelan-pelan dan memilih waktu
yang sesuai.

i
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam talak atau cerai diantaranya :

1. Talak atau cerai tidak boleh dilakukan oleh seorang suami kepada
istrinya pada saat istrinya sedang dalam masa haid, nifas, atau saat
istrinya dalam keadaan suci akan tetapi ia menggaulinya. Jika
suami melakukan hal tersebut maka dianggap telah
melakukan talak yang bid’ah dan diharamkan. Rasulullah
Shalallahu Alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang
melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah kami maka itu
tertolak (tidak diterima).”
2. Hendaknya ketika mengucapkan talak, suami dalam keadaan sadar,
karena apabila suami mentalak istrinya dalam keadaan tidak sadar
seperti ketika sedang marah, sehingga karena amarah tersebut
dapat menutupi kesadarannya hingga ia bicaa yang tidak
diinginkan, maka talak yang ia lakukan adalah tidak sah.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :

‫ال طالق وال عتاق في إغالق‬

Artinya “Tidak ada talak dan tidak dianggap kalimat membebaskan budak, ketika
ighlaq.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim)

3. Seorang suami yang mentalak atau menceraikan istrinya


bermaksud untuk benar-benar mencerai atau berpisah dengan
istrinya tersebut, jangan sampai talak yang diucapkan hanya
sekedar menakut-nakuti atau menjadikan talak itu sebagai
sumpah. Hal tersebut tidak dibenarkan dalam islam. Ibnu Abbas
pernah berkata: “Sesungguhnya talak itu harena diperlukan.”

2.3.Iddah

A. Pengertian Iddah

‘Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata addayauddu-iddatan,
dan jamaknya adalah idad yang secara arti kata berarti‚ menghitung‛ atau hitungan

i
kata ini digunakan untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang
ber’iddah menunggu berlalunya waktu.

Artinya: ‚ wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga


kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-
suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
B. Hukum Iddah
Yang menjalani iddah adalah perempuan yang bercerai dari suaminya
bukan laki-lakiatau suaminya. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam
bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau
tidak wajib menjalani masa iddah. Kewajiban menjalani masa iddah itu dapat
dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 228 yang artinya:
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada istrinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

C. Macam-Macam Iddah

i
Istri yang menjalani iddah ditinjau dari segi keadaan waktu berlangsungnya
perceraian adalah sebagai berikut:
a. Kematian suami
b. Belum dicampuri
c. Sudah dicampuri tetapi dalam keadaan hamil
d. Sudah dicampuri tidak dalam keadaan hamil, dan telah berhenti haidnya.
e. Sudah dicampuri, tidak dalam keadaan hamil dan masih dalam masa haid.
Adapun bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam: a) Iddah dengan cara
menyelesaikan quru’ yaitu antara haid dan suci; b) Iddah dengan kelahiran anak;
dan c) Iddah dengan perhitungan bulan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 masa iddah diklasifikasikan
menjadi beberapa macam yaitu:
A. Putus pernikahan karena ditinggal mati suaminya.
Apabila pernikahan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
hari hal itu diatur dalam pasal 39 ayat 1 huruf a PP nomor 9 tahun 1975 dan pasal
153 KHI. Dan ketetapan ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam
keadaan tidak hamil. Lain halnya dengan istri yang ditinggal mati suaminya dalam
keadaan hamil maka waktu tunggunya adalah sampai ia melahirkan.
B. Putus pernikahan karena perceraian
Seorang istri yang diceraikan oleh suaminya maka memungkinkan
mempunyai beberapa waktu tunggu yaitu:
1) Dalam keadaan hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil
iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.
2) Dalam keadaan tidak hamil
Apabila seorang istri diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi hubungan kelamin
maka tidak berlaku baginya masa iddah. Apabila seorang istri diceraikan oleh
suaminya setelah terjadi
hubungan kelamin (dukhul). Adapun rincian masa tunggunya sebagai berikut:
 Bagi seorang istri yang masih datang bulan (haid), waktu tunggunya
berlaku ketentuan 3 kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari.
 Bagi istri yang tidak datang bulan maka iddahnya 3 bulan atau 90 hari.

i
 Bagi seorang istri yang pernah haid namun ketika menjalani masa iddah ia
tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci.
 Dalam keadaan yang disebut pasal 5 KHI pasal 153 bukan karena
menyusui maka iddahnya selama satu tahun akan tetapi bila dalam waktu
satu tahun dimaksud ia berhaid kembali maka iddahnya menjadi tiga kali
suci.
C. Putus pernikahan karena khulu’, fasakh dan li’an
Masa iddah bagi janda yang putus ikatan pernikahannya karena khulu’ (cerai
gugat atas dasar tebusan atau iwad dari istri), fasakh (putus ikatan pernikahan
karena salah satu diantara suami-istri murtad atau sebab lain yang seharusnya ia
tidak dibenarkan kawin) atau li’an maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak.
D. Istri ditalak raj’i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa iddah.
Apabila istri tertalak raj’i kemudian di dalam menjalani masa iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 pasal 153
KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan
sepuluh hari atau 130 hari yang mulai perhitungannya pada saat matinya bekas
suaminya. Adapun masa iddah yang telah dilaluipada saat suaminya masih hidup
tidak dihitung, tetapi mulai dihitung dari saat kematian. Sebab keberadaan istri
yang dicerai selama menjalani iddah dianggap masih terikat dalam pernikahan
karena sang suami masih berhak merujuknya selama masih dalam masa iddah.
Karakteristik masa iddah tersebut merupakan ketentuan hukum mengenai
tenggang waktu hitungan masa iddah dalam hukum pernikahan Islam.

D. Hak dan Kewajiban Perempuan Dalam Masa Iddah


Dalam menjalankan masa iddahnya bagi seorang istri terdapat beberapa
perkara yang harus dilaksanakan dan yang harus diperoleh. Dikutip dari Sayyid
Sabiq yang mengatakan bahwa istri yang sedang menjalankan masa iddah
berkewajiban untuk menetap di rumah di mana ia dahulu tinggal bersama sang
suami sampai selesai masa iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar dari
rumah tersebut. Sedangkan si suami juga tidak boleh mengeluarkan ia dari
rumahnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada surat Ath-Talak ayat
pertama.

i
Seandainya terjadi perceraian diantara mereka berdua, sedang istrinya
tidak berada di rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga,
maka si istri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya
mengetahuinya dimana ia berada. Dan apabila istri yang ditalak itu melakukan
perbuatan keji secara terang-terangan memperlihatka sesuatu yang tidak baik bagi
keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah
tersebut. Ulama’ fiqh mengemukakan bahwa ada beberapa kewajiban bagi
perempuan yang sedang menjalani masa iddahnya adalah:
a. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain baik secara terang-terangan
maupun melalui sindiran, akan tetapi untuk wanita yang menjalani iddah
kematian suami pinangan dapat dilakukan dengan cara sindiran.
b. Dilarang keluar rumah. Jumhur ulama fiqh selain mazhab Syafi’i sepakat
menyatakan bahwa perempuan yang menjalani iddah dilarang keluar
rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, akan tetapi Ulama’ Mazhab Syafi’i berpendapat
bahwa wanita yang dicerai suaminya baik cerai hidup maupun cerai mati
dilarang keluar rumah. Alasan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir bin
Abdullah yang menyatakan bahwa: ‚Bibinya dicerai suaminya dengan
talak tiga lalu ia keluar rumah unntuk memetik kurmanya, ditengah keluar
jalan bibi Jabir ini bertemu dengan seorang laki-laki, laki-laki ini
melarangnya keluar rumah, lalu bibi Jabir mengadukan permasalah ini
kepadaa Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata: ‚pergilah engkau ke
kebunmu itu untuk memetik buah kurma, mudah-mudahan engkau
bersedekah dengan buah kurma itu dan lakukanlah sesuatu yang baik
untukmu(HR.Nasa’i dan Abu Dawud)‛ Kemudian ayat Al-Qur’an yang
dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan bahwa seorang
perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai hidup ataupun cerai mati
dilarang keluar rumah.
c. Menurut kesepakatan ulama’ fiqh perempuan yang menjalani iddah akibat
talak raj’i atau dalam keadaan hamil suaminya wajib menyediakan seluruh
nafkah yang dibutuhkan perempuan tersebut. Akan tetapi apabila iddah
yang dijalani adalah iddah karena kematian suami maka perempuan itu

i
tidak mendapatkan nafkah apapun karena kematian telah menghapus
seluruh akibat pernikahan. Namun demikian ulama’ mazhab Maliki
menyatakan bahwa perempuan tersebut berhak menempati rumah
suaminya selama dalam masa iddah tersebut, apabila rumah itu adalah
rumah suaminya.
d. Perempuan tersebut wajib ber-ihdad
Mengenai hak-hak istri dalam masa iddah bahwa Ulama fiqh berpendapat
istri yang dicerai oleh suami dengan talak raj’i selama masa iddah berhak
mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal inilah yang kurang mendapat perhatian
dari suami yang menceraikan istrinya padahal masalah tersebut menyangkut
dengan tanggung jawab (kewajiban) dari seorang suami. Akan tetapi apabila
iddahnya karena suami wafat maka istri tidak mendapat nafkah. Namun mazhab
Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal.4
Istri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang
diterimanya dikelompokan ke dalam tiga macam:
 Istri yang dicerai dalam talak raj’i hak yang diterimanya adalah penuh
sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk
perbelanjaan untuk pangan, pakaian dan juga tempat tinggal. Dan hal ini
merupakan kesepakatan Ulama’.
 Istri yang dicerai dalam bentuk talak ba’in, baik ba’in sughro ataupun
ba’in kubra dan dia sedang hamil, dalam hal ini ulama’ sepakat bahwa dia
berhak atas nafaqah dan tempat tinggal.
 Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal ini dalam keadaan
hamil ulama’ sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan
tempat tinggal, namun bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama’ berbeda
pendapat. Sebagian ulama’ diantaranya Imam Malik, Syafi’i dan Abu
Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas tempat
tinggal. Sebagian ulama’diantaranya Imam Ahmad berpendapat bahwa
istri dalam iddah

i
wafat yang tidak hamil tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal, karena Allah
hanya menentukan untuk yang kematian suami itu adalah peninggalan dalam
bentuk harta warisan.
Dalam menjalankan iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya
maka wajib bagi mereka untuk menjalani masa berkabung atau ihdad dan terdapat
perkara-perkara yang
dilarang pada saat ihdad, berikut ini dijelaskan mengenai larangan melakukan
perkara tersebut
Ummu ‘Athiyah meriwayatkan ‚kami diwajibkan berkabung atas kematian suami
yakni empat bulan sepuluh hari. Selama itu kami dilarang memakai celak, parfum
dan pakaian yang dicelup, kecuali sejenis pakaian celup buatan Yaman. Apabila
kami suci dari dan mandi setelah haid, kami diberi keringanan untuk
menggunakan sedikit wewangian. Dan kami dilarang mengiringi pemakaman
jenazah
E.Hikmah ‘Iddah
Sebagai peraturan yang dibuat oleh Allah SWT, aturan tentang iddah pasti
mempunyai rahasia serta manfaat tersendiri. Kadang kala manfaat itu dapat
langsung kita rasakan namun seringkali baru dapat kita rasakan setelah kejadian
itu telah lama berlalu. Hikmah atau manfaat dari diwajibkannya iddah dapat
dilihat dari beberapa sisi diantaranya dari sisi sosial:
a. Untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang
diceraikan.
b. Memberikan kesempatan kepada suami-istri untuk kembali kepada
kehidupan rumah tangga, apabila keduanya masih melihat adanya
kebaikan di dalam hal itu.
c. Agar istri yang diceraikan dapat ikut merasakan kesedihan yang dialami
keluarga suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan
suami, hal ini jika iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.
d. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calon, terutama suami yang
akan menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk dalam kehidupan wanita
yang baru dicerai mantan suaminya.
2.4. Rujuk

i
A. Pengertian Rujuk
Rujuk ialah mengembalikan Isteri yang telah ditalak pada pernikahan yang
asal sebelum diceraikan. Hukum rujuk menurut kata yang mu’tamat adalah syah
selain itu rujuk hukumnya sama hal dengan hokum nikah tetapi dalam pengertian
yang berbeda.
Menurut Ibnu Rusyd hukum rujuk ada dua macam:
1. Hukum rujuk pada talak raj’i
Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan untuk yang pertama atau untuk yang
kedua kalinya selama masih dalam masa iddah, maak suami dapat rujuk kembali
kepada bekas istrinya tersebut tanpa memperbarui akad nikahnya.5
Kaum muslim telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri
pada talak raj’i, selama istri masih berada dalam masa iddah tanpa pertimbangan
persetujuan istri. Berdasarkan firman Allah surat Al- Baqarah ayat 228 yang
berbunyi:

Artinya: Dan para suami mereka lebih berhak merujuknya kembali kepada mereka
dalam masa iddah, jika mereka ( para suamisuami) itu menghendaki perbaikan.
Dan mereka para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu kelebihan dari
pada istrinya. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.
Imam Syafi’i juga berkata: Hamba budak mempunyai hak talak dua kali,
bila ia mentalak satu pada istrinya, maka ia seperti orang merdeka yang mentalak
istrinya satu atau dua talakan, maka suami berhak juga untuk rujuk sesudah talak
satu sebagai sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki merdeka dalam merujuk
istrinya setelah talak satu
dan dua.
B. Rukun Rujuk

i
Rukun rujuk adalah sigat atau pernyataan kembali dari suami serta
perbuatan yang menunjukkan keinginan tersebut. Ulama’ sepakat bahwa rujuk
tidak sah apabila tidak memenuhi rukun-rukun rujuk, akan tetapi terhadap
ketentuan rukun itu mereka berbeda pendapat. Menurut ulama’ jumhur rukun
rujuk ada 3 macam yaitu:
1) Murtaji atau mantan suami.
2) Murtaja’a atau mantan istri.
3) Sigat atau ijab rujuk.

C. Syarat Rujuk
 Laki- laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki- laki yang merujuk itu
adalah sebagai berikut:
a) Laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang di rujuk
yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
b) Laki-laki yang merujuk itu mestilah seorang yang mampu
melaksanakan pernikahan dengan sendirinya yaitu telah dewasa, sehat
akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri.
 Perempuan yang dirujuk adalah perempuan yang telah dinikahi dan
kemudian diceraikannya tidak dalam bentuk cerai tebus atau khuluk dan
tidak pula dalam talak tiga, sedangkan dia telah digauli selama dalam
perkawinan itu dan masih berada dalam masa iddah.Adapun syarat sahnya
rujuk bagi perempuan yang di rujuk itu adalah sebagai berikut:
a) Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki- laki yang merujuk.
b) Istri itu telah diceraikan dalam bentuk talak raj’i.
c) Istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i.
d) Istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu.
 Ucapan rujuk
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami.
Tindakan sepihak itu di dasarkan kepada pandangan ulama’ fiqh bahwa
rujuk itu merupakan hak khusus seorang suami.6 Oleh karena sifatnya

i
yang sepihak itu tidak diperlukan penerimaan dari pihak perempuan yang
di rujuk atau walinya. Dengan begitu rujuk tidak di lakukan dalam bentuk
suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk hanya di perlukan ucapan rujuk
yang dilakukan oleh orang yang merujuk.
 Kesaksian dalam rujuk
Tentang kesaksian dalam rujuk ulama berbeda pendapat ada yang
sebagian ulama’ termasuk salah satu pendapat dari Imam al- Syafi’i
mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi sebagaimana yang
berlaku dalam akad nikah.
D.Hikmah Rujuk
Dari penjelasan tentang rujuk, nyatalah bahwa perceraian itu merupakan
satu perbuatan yang sangat dibenci oleh Islam karena dampak negativ yang di
timbulkannya baik kepada suami atau istri maupun terhadap anak- anaknya bagi
yang telah memiliki anak. Sebaliknya perdamaian (ishlah) atau rujuk merupakan
perbuatan yang sangat disukai dalam Islam. Atas dasar inilah institusi rujuk dalam
Islam merupakan kesempatan yang cukup baik untuk melakukan rekonsiliasi
terhadap konflik yang terjadi antara suami dan istri. Dengan demikian suami- istri
yang telah di cerai harus memanfaatkan kesempatan masa iddah untuk
melaksanakan rujuk.

i
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Nikah adalah akad yang dapat menghalalkan pergaulan antara seorang


laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya sehingga menimbulkan hak dan
kewajiban antara keduanya. Pada dasarnya menikah menurut agama islam
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia penuh cinta kasih (mawaddah
wa rahmah), akan tetapi secara umum nikah mempunyai tujuan memperoleh
ketenangan hidup, cinta dan kasih sayang, memenuhi kebutuhan seksual yang sah
dan diridhai Allah swt, memperoleh keturunan serta memperoleh keluarga yang
bahagia didunia dan akhirat.

Menurut islam nikah dipandang sah apabila telah memenuhi syarat dan
rukunnya, yaitu ; calon suami dan isteri, ijab qabul, ada wali, dan dua orang saksi.
Didalam islam ada beberapa golongan pernikahan yang dilarang yaitu nikah
mut’ah, nikat sighor, nikah masa iddah, nikah muhrim dan lain sebagainya.

Talak menurut agana islam adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan


menggunakan kata talak dan kata ang searti. Bila terjadi talak, ikatan-ikatan antara
suami isteri yang disebabkan oleh perkawinan telah lepas semuanya. Setelah
ditalak, seorang wanita harus menjalani masa iddah, yaitu masa menunggu.
Sedangkan rujuk (kembali) menurut syara’ adalah kembalinya suami isteri kepada
ikatan perkawinan dari talak raj’I yang masih dalam masa iddah dengan aturan
tertentu. Baik munakahah, talak maupun rujuk mempunyai hikmah dalam
kehidupan secara umumnya.

3.2. Saran

i
Bagi seorang laki-laki yang sudah berkeinginan untuk menikah dan sudah mampu
baik lahir maupun batin sebaiknya mencari seorang istri dan segera menikahinya,
agar ibadah menjadi lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Aam Amiruddin & Ayat Priatna Muhlis. 2006. Membingkai Surga Dalam Rumah
Tangga. Khazanah Intelektual.

Abu Bakar Al Jazairi. 2002. Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim. Darul Falah.

Ahmad Rofiq. 2000. Hukum Islam di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.

Jabir Al jazairy, Syaikh Abu Bakar. 2014. Ummul Qura. Bab Muamalah Pasal ke-
6 tentang Nikah, Talak, Ruju’, Khulu’, Li’an, Zhihar, Iddah, Nafkah, dan
Hadhanah. Minhajul Muslim Pedoman Hidup Harian Seorang Muslim. Jakarta.
Muh. Jawad Mughniya, Fiqih Lima Mazhab. 1996. PT. Lentera Basritama.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai