Anda di halaman 1dari 15

KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN PERADAPAN ISLAM DALAM BIDANG

PENDIDIKAN
Milla Hasanabella 1800001155(1) Eva Asmaraningrum 1800001158(2) Sri Rizki Wulandari
1800001190(3)
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan
Jl. Ringroad Selatan, Kragilan, Tamanan, Kec. Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta 55191
Email: milla1800001155@webmail.uad.ac.id, eva1800001158@webmail.uad.ac.id,
sri1800001190@webmail.uad.ac.id
Abstrak

Kata Kunci:

Pendahuluan

Islam merupakan sebuah agama yang telah Allah tetapkan pada zaman para nabi
dan dalam perkembangannya islam juga pernah mengalami masa kejayaannya dalam
berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, teknologi, kedokteran, dan juga pendidikan.
Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat
hebatnya di seluruh negeri islam sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung
banyaknya dan tersebar dari kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda
berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat pendidikan,
meninggalkan kampung halamannya, karena cinta akan Ilmu pengetahuan.

Pada masa Abbasiyah ini juga berdiri perpustakaan dan akademi. Perpustakaan
pada masa ini lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab
di sana orang juga dapat membaca, menulis, dan berdiskusi. Perkembangan lembaga
pendidikan ini mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan yang tidak ada
tandingannya di kala itu. Kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban
dan kebudayaan sehingga Islam mencapai masa keemasan kejayaan dan kegemilangan.
Setelah umat Islam mencapai kejayaannya lebih kurang tujuh abad (abad VII M. sampai
abad XIII M).

Para ahli sejarah menyebutnya dengan masa periode kemajuan, periode klasik dan
sebagainya, maka hukum sejarahpun berlaku. Sesuatu yang sampai pada puncaknya akan
memperlihatkan grafiknya yang menurun. Namun pada masa itu saat islam sedang berada
pada puncak-puncaknya islam mengalami kemunduran yang sangat drastic sebab
perpustakaan yang tadinya digunakan untuk tempat menuntut ilmu oleh para pelajar itu
mengalami kebakaan hebat yang menyebabkan kemunduran islam secara drastis.

Menurut (Zaimuddin, 2018) Pada tahun 1250-1500 M, merupakan babak dimana


umat islamyang berada disekitar timur tengah mendapatkan berbagai cobaan baik dari
dalam maupun dari luar. Setelah sempat mengalami kejayaan berabad-abad lamanya
yaitu pada masa Bani Abbasiyah, akhir nya islam berlahan mengalami kemunduran.
Sejarah kemunduran islam berarti juga kemunduran dalam pendidikan islam. Masa
kemunduran berarti bagian penting dari sejarah peradaban islam. Oleh karenanya dalam
hal ini, saya akan menjelaskan masalah pendidikan islam pada masa kemunduran.

Pembahasan

A. Kemajuan Islam Dalam Bidang Pendidikan


Berdirinya Dinasti Abbasiyah berawal sejak merapuhnya kekuasaan Bani
Umayyah yang berujung pada keruntuhan Dinasti Umayah di Damaskus. Dengan
segala konflik yang ada pada tubuh Bani Umayyah, menjadikankan Bani Abbasiyah
maju sebagai pengganti kepemimpinan umat Islam. Wajah revolusi kepemimpinan
Abbasiyah terhadap Umayyah banyak mendapatkan simpati dari masyarakat,
terutama dari kalangan Syi’ah. Dukungan itu hadir disebabkan janji untuk
menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan oleh Khulafaurrasyidin.
Nama DinastiAbbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad
yang ernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Dinastiini didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas.
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak dari Bani Umayyah atas Kekhalifahan
Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara garis keturunan
lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, Bani Umayyah menguasai bangku
kekhalifahan Islam secara paksa, dengan melalui tragedi Perang Siffin. Oleh karena
itu,untuk mendirikan DinastiAbbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa
melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah. Kekuasaan Bani Abbasiyah
berlangsung selama lima abad sejak tahun 750-1258 M, melanjutkan kekuasaan Bani
Umayyah.
Setelah meruntuhkan DinastiUmayyah dengan cara membunuh Marwan
sebagai khalifahnya, pada tahun 750 M, Abu al-‘Abbas mendeklarasikan dirinya
sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Ketika Abbas menjabat khalifah, dia
diberi gelar al-Saffah yang berarti penumpah atau peminum darah. Berdirilah sebuah
Dinasti menuju kekuasaan yang bersifat internasional, dengan assimilasi corak
pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sabagainya. Al-Saffah
menjadi pendiri Dinasti Arab Islam ketiga –setelah Khulafaurrasyidin dan Dinasti
Umayyah yang sangat besar dan berusia lama.
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju. Kemajuan ilmu pengetahuan diawali
dengan penerjemahan naskah-naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam
bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan Bait al-Hikmah,
dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah
dari kebebasan berpikir. Popularitas Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di
zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833
M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harunal-Rasyid untuk keperluan sosial;
rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan.
Sejak upaya penerjemahan meluas dan sekaligus sebagai hasil kebangkitan
ilmu pengetahuan, banyak kaum muslimin mulai mempelajari ilmu-ilmu itu langsung
dalam bahasa Arab sehingga muncul sarjana-sarjana muslim yang turut mempelajari,
mengomentari, membetulkan buku-buku penerjemahan atau memperbaiki atas
kekeliruan pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan menciptakan pendapat atau
ide baru, serta memperluas penyelidikan ilmiah untuk mengungkap rahasia alam,
yang dimulai dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik peninggalan ilmuwan
Yunani kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, Socrates, dan sebagainya. Manuskrip-
manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad lalu diterjemahkan dan dipelajari di
perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga penelitianal-Baitul Hikmah, sehingga
melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Kota Baghdad didirikan oleh Khalifah Abbasiyah kedua, al-Manshur (754-775
M) pada tahun 762 M. setelah mencari-cari daerah yang strategis untuk ibukotanya,
pilihan jatuh pada daerah yang sekarang dinamakan Baghdad, terletak dipinggir
sungai Tigris. Al-Mansur sangat cermat dan teliti dalam masalahlokasi yang akan
dijadikan ibukota. Ia menugaskan beberapa orang ahli untuk meneliti dan
mempelajari lokasi. Bahkan, ada beberapa orang di antara mereka yang diperintahkan
tinggal beberapa hari di tempat itu pada setiap musim yang berbeda, kemudian para
ahli tersebut melaporkan kepadanya tentang keadaan udara, tanah dan lingkungan.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan
kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya, Philip K. Hitti
menyebutnya sebagai kota intelektual. Menurutnya, di antara kota-kota dunia,
Baghdad merupakan professor masyarakat Islam. Al-Mansur memerintahkan
penerjemahan buku-buku ilmiah dan kesusastraan dari bahasa asing: India, Yunani,
Bizantium, Persia, dan Syiria. Para peminat ilmu dan kesusastraan segera
berbondong-bondong datang ke kota ini.
Setelah masa al-Mansur, kota Baghdad menjadi lebih masyhur lagi karena
perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. Banyak para
ilmuwan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan.
Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan Khalifah Harun al-
Rasyid (786-809M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M). Dari kota inilah
memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Prestise politik,
supremasi ekonomi, dan aktivitas intelektual merupakan tiga keistimewaan kota ini.
Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi meliputi seluruh negeri
Islam. Baghdad ketika itu menjadi pusat peradaban dan kebudayaan yang tertinggi di
dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat. Banyak buku filsafat
yang sebelumnya dipandang sudah “mati” dihidupkan kembali dengan diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Khalifah al-Makmun memiliki perpustakaan yang dipenuhi
dengan buku-buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan itu benama Bait al-Hikmah.
Baital-Hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi
serupa di masa imperium Sasania Persia yang bernama Jundishapur Academy.
Namun, berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi
dan cerita-cerita untuk raja, pada masa Abbasiyah, institusi ini diperluas
penggunaannya.
Pada masa Harun al-Rasyid, institusi bernama Khizanah al-Hikmah
(Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak 815 M, al-Ma’mun mengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi
Bait al-Hikmah. Pada masa ini, Baitul Hikmah dipergunakan secara lebih maju yaitu
sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium,
dan bahkanEthiopia dan India. Di institusi ini, al-Ma’mun mempekerjakan
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi yang ahli dibidang aljabar dan astronomi.
Direktur perpustakaan Bait al-Hikmah sendiri adalah seorang nasionalis Persia
dan ahli Pahlevi, Sahl ibn Harun. Di bawah kekuasaan al-Ma’mun, Baitul Hikmah
tidak hanya berfungsi sebagai perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi
dan riset astronomi dan matematika. Sejak pertengahan abad ke-9, Bait al-
Hikmahdikuasai oleh satu mazhab penerjemah di bawah bimbingan Hunayn ibn
Ishaq. Mereka menerjemahkan karya-karya keilmuan dari Galen serta karya-karya
filsafat dan metafisika Aristoteles dan Plato. Di Baitul Hikmah terdapat juga
observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan
kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad
terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Bait al-
Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai
ilmu. Selain itu Baghdad juga sebagai pusat penerjemahan buku-buku dari berbagai
cabang ilmu ke dalam bahasa Arab. Selainitu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi
dan sekolah biasa yang memenuhi kota itu. Dua diantaranya yang terpenting adalah
perguruan Nizhamiyyah, didirikan oleh Nizham Al-Mulk, wazir Sultan Seljuk, pada
abad ke-5 H dan perguruan Mustansiriyah, didirikan dua abad kemudian oleh
Khalifah Mustanshir Billah.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan
sangat pesat sehingga anak-anak bahkan orang dewasa saling berlomba dalam
menuntut ilmu pengetahuan. Tingginya nilai pendidikan dalam kehidupan,
menyebabkan mayoritas masyarakat meninggalkan kampung halaman mereka, demi
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di kota, dan salah satu indikatorberkembang
pesatnya pendidikan dan pengajaran ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Dalam dunia Islam sebelum munculnya lembaga pendidikan formal, masjid
dijadikan sebagai pusat pendidikan. Fungsi masjid selain untuk tempat menunaikan
ibadah juga dijadikan sarana dan fasilitas untuk pendidikan, diantaranya tempat
pendidikan anak-anak, tempat-tempat pengajian dari ulama-ulama yang merupakan
kelompok-kelompok (halaqah), tempat untuk berdiskusi dan munazharah dalam
berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan yang
berisikan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.
Selain masjid sebenarnya telah berkembang pula lembaga-lembaga
pendidikan Islam lainnya baik yang bersifat formal maupun non-formal, lembaga-
lembaga ini berkembang terus bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya
bentuk-bentuk lembaga pendidikan baik non formal maupun formal yang semakin
luas. Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa
DinastiAbbasiyah tersebut adalah:
a. Kuttab
Sebagai lembaga pendidikan dasar. Sewaktu agama Islam diturunkan
Allah sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis baca. Kemudian tulis
baca tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam Islam,
sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam. Kepandaian tulis baca dalam
kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting
dikarenakan dari awal pengajaran al-Qur’an juga telah memerlukan kepandaian
tulis baca, karena tulis baca semakin terasa perlu maka kuttab sebagai tempat
belajar menulis dan membaca, terutama bagi anak-anak berkembang dengan
pesat.
b. Pendidikan Rendah Di Istana
Pendidikan rendah di istana muncul berdasarkan pemikiran bahwa
pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampumelaksanakan
tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Atas pemikiran tersebut khalifah dan
keluarganya serta para pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan pendidikan
rendah ini agar anak-anaknya sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan
dan tugas-tugas yang akan diembannya nanti.
c. Toko-Toko Kitab
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam yang semakin
pesat terus diikuti dengan penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko-toko tersebut
berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-kitab yang ditulis dalam berbagai ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa itu, mereka membelinya dari para
penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang berminat untuk
mempelajarinya.
d. Rumah-Rumah Para Ulama
Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting dalam
mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum. Pelaksanaan kegiatan
belajar di rumah pernah terjadi pada awal permulaan Islam, Rasulullah
SAWmisalnya pernah menggunakan rumah al-Arqam (Dar al-Arqam) bin Abi al-
Arqam sebagai tempat belajar dan mengajar tentang dasar-dasar agama yang baru
serta membacakan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan. Dan pada masa
Abbasiyah di antara rumah-rumah para ulama yang digunakan sebagai lembaga
pendidikan, rumah yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-
Rais ibn Sina; sebagian ada yang membaca kitab al-Syifa’dan sebagian lain
membaca kitab al-Qanun.
B. Kemunduran Islam Dalam Bidang Pendidikan
Pemikiran keislaman menurun setelah abad XIII M dan terus melemah sampai
abad XVIII M,4 masa ini dikenal dengan masa pertengahan. Berbeda dengan masa
klasik Islam, kehidupan intelektual pada masa pertengahan Islam dapat dikatakan
sudah mengalami kemunduran (pasang surut). Hal tersebut terlihat pada kuantitas
yaitu berkurangnya para ahli yang muncul dalam bidang ilmu pengetahuan dan
penurunan kualitas ilmiah yang dimiliki oleh para ahli dengan sulitnya ditemukan
para mujtahid. Di antara penyebab melemahnya pemikiran keislaman antara lain
dikemukakan oleh Syarif:
1. Telah banyaknya Filsafat Islam (yang bercorak sufistis) yang dimasukkan Al-
Ghazali di Timur, demikian pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat
Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di Barat yang akhirnya
keduanya bermuara ke arah bidang rohaniah hingga menghilang dalam mega
alam tasauf, sedangkan Ibnu Rusyd menuju ke jurang materialisme.
2. Umat Islam terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir)
melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak memberi kesempatan
bidang-bidang tersebut untuk berkembang.
3. Terjadinya pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga
menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya
kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam.

Kemunduran ini terjadi karena di sebabkan oleh pola-pola pendidikan yang


telah dilakukan sejak munculnya Islam sampai ke masa kemunduran. Dalam
perjalanan sejarah Islam terlihat ada dua pola dalam pemikiran Islam yang saling
berlomba mengembangkan diri dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan
pola pendidikan umat Islam yaitu, pola pemikiran yang bersifat tradisional yang
selalu mendasarkan diri pada wahyu dan pola pemikiran rasional yang mementingkan
akal fikiran.

Dari pola yang pertama berkembang menjadi pola pemikiran sufistik dan
mengembangkan pola pendidikan sufi; yang kedua menimbulkan pola pendidikan
empiris rasional, dan pola pendidikan ini lebih memperhatikan pendidikan intelektual
dan penguasaan materi. Berkembangnya pola pendidikan menuju dua kutub yang
berlawanan adalah dengan munculnya kecenderungan rasional yang kuat pada
Ikhwanussafa yang memandang pendidikan dari sudut pandangan aqliah bukan dari
segi amaliah.

Mereka berpendapat bahwa cara memperoleh pengetahuan melalui tiga jalan,


pertama melalui panca indra. Kedua, memperoleh pengetahuan dengan
mendengarkan berita-berita yang hanya manusia sanggup. Ketiga, memperoleh
pengetahuan melalui tulisan dan bacaan, memahami arti kata-kata bahasa dan
pembicaraan orang dengan melihat tulisan-tulisan itu. Pengetahuan semuanya
dipelajari bukan secara naluri, dan semua pengetahuan melalui panca indra.
Untuk menaggapi kecenderungan rasionalisme ini muncul suatu mazhab yang
menentang kecenderungan rasionalisme sebagai sumber satu-satunya pengetahuan.
Hal ini terjadi pada zaman Abbasiyah. Selanjutnya, mazhab sufi yang melalui jalan
lain untuk sampai pada hakikat (jalan selain rasional), jalan itu ialah hati sesudah
dibersihkan dari kotoran dan jalan jiwa setelah ia bebas dari nafsu.

Kalau diamati pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola pendidikan
tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling
melengkapi, Setelah pola pernikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh
dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola berfikir tersebut, maka
dalam dunia Islam tinggal pola pemikiran sufistik, yang sifatnya memang
memperhatikan kehidupan batin yang mengabaikan perkembangan dunia material.
Pola pendidikan yang dikembangkannya pun tidak Iagi menghasilkan perkembangan
budaya Islam yang bersifat material, dari aspek inilah dikatakan pendidikan dan
kebudayaan Islam mengalami kemunduran.

Gejala-gejala kemunduran dan kemacetan intelektual ini juga diungkapkan


oleh Fazlurrahman, bahwa tertutupnya pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil
dan bebas) selama abad ke4 H/10 M dan 5H/11M telah membawa kemacetan umum
dalam ilmu hukum dan ilmu intelektual khususnya yang pertama. Ilmu-ilmu
intelektual yakni teologi, dan pemikiran keagamaan, sangat mengalami kernunduran
dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intelektualisme
sekuler dan karena kemunduran yang disebut terakhir ini, khususnya filsafat, dan juga
pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh
sufisme.

Jadi, jelaslah kemunduran pendidikan disebabkan dua faktor yaitu internal dan
eksternal. Faktor internal yaitu macetnya salah satu bentuk pola pendidikan (pola
pendidikan intelektual) sehingga tidak ada lagi keseimbangan pengetahuan aqliah
(intelektual) dan nakliah. Pengetahuan aqliah telah mengalami stagnasi misalnya
filsafat, bidang ilmu pengetahuan ini tidak bisa dipertahankan dan bahkan
diharamkan.

Faktor penyebab lainnya adalah faktor internal yaitu penguasa atau khalifah
yang mempunyai kekuasaan absolut yang menentukan kelembagaan pendidikan,
sehingga kemajuan pendidikan sangat ditentukan oleh khalifah yang berkuasa.
Kemudian adanya faktor eksternal yaitu penyerangan bangsa Tar-Tar dari luar Islam
yang telah menghancurkan pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam. Sehingga
sulit dan membutuhkan waktu untuk bisa membngun kembali pusat kebudayaan yang
baru.

C. Faktor-Faktor Pendukung Kemajuan


Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-
penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-
kekuatan umat Islam, seperti Abd Al Rahman Al-Dakhil, Abd Al-Rahman Al- Wasith
dan Abd Al-Kahman Al-Nashir. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut
ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang mempelopori
kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting di antara penguasa dinasti Umayyah di
Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad Ibn Abd Al-Rahman (852-886) dan Al-
Hakam II Al- Muntashir (961-976).
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama
Kristen dan Yahudi, sehingga, mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban
Arab Islam di Spanyol. Untuk orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi,
disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama
mereka masing-masing. Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk,
terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya
toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja sama dan
menyumbangkan kelebihannya masing-masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan
Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa
peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan
perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-
buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun umat Islam
terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat api yang disebut kesatuan budaya
dunia Islam.
Perpecahan politik pada masa Muluk Al-Thawa‟if dan sesudahnya tidak
menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan, merupakan puncak
kemajuan ilmu pengetahuan, Kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap
dinasti (raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi
Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan satu- satunya pusat ilmu dan
peradaban Islam di Spanyol, Muluk Al-Thawa‟ berhasil mendirikan pusat-pusat
peradaban baru yang di antaranya justru lebih maju.
D. Penyebab Kemunduran dan Kehancuran
1. Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa Muslim tidak melakukan Islamisasi secara sempurna.
Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-
kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum
dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan
bersenjata. Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa
kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan negara
Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan
Kristen. Pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara
umat Islam sedang mengalami kemunduran.
2. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau di tempat-tempat lain, para mukalaf diperlakukan sebagai orang
Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani
Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang
pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih memberi
istilah ibad dan muwalladun kepada para mukalaf itu, suatu ungkapan yang dinilai
merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering
menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar
terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini menunjukkan tidak
adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan, di samping kurangnya
figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.
3. Kesulitan Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat “serius”, sehingga
lalai membina perekonomian.31 Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat
memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.
4. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan,
karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk Al-Thawaif muncul.
Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh
ke tangan Ferdinand dan Isabella, di antaranya juga disebabkan permasalahan ini.
5. Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia
selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dan Afrika Utara.
Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung
kebangkitan Kristen di sana.
PENUTUP

Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan Dinasti Umayah di Damaskus.


Dengan segala konflik yang ada pada tubuh Bani Umayyah, menjadikankan Bani
Abbasiyah maju sebagai pengganti kepemimpinan umat Islam. Bani Hasyim yang secara
garis keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, Bani Umayyah menguasai
bangku kekhalifahan Islam secara paksa, dengan melalui tragedi Perang Siffin.
Kekuasaan Bani Abbasiyah berlangsung selama lima abad sejak tahun 750-1258 M,
melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Setelah meruntuhkan DinastiUmayyah dengan
cara membunuh Marwan sebagai khalifahnya, pada tahun 750 M, Abu al-‘Abbas
mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah.

Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah.


Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju. Kemajuan ilmu pengetahuan diawali
dengan penerjemahan naskah-naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam
bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan Bait al-Hikmah, dan
terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari
kebebasan berpikir. Popularitas Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M).

Pemikiran keislaman menurun setelah abad XIII M dan terus melemah sampai
abad XVIII M,4 masa ini dikenal dengan masa pertengahan. Berbeda dengan masa klasik
Islam, kehidupan intelektual pada masa pertengahan Islam dapat dikatakan sudah
mengalami kemunduran (pasang surut). Hal tersebut terlihat pada kuantitas yaitu
berkurangnya para ahli yang muncul dalam bidang ilmu pengetahuan dan penurunan
kualitas ilmiah yang dimiliki oleh para ahli dengan sulitnya ditemukan para mujtahid.

Kemunduran ini terjadi karena di sebabkan oleh pola-pola pendidikan yang telah
dilakukan sejak munculnya Islam sampai ke masa kemunduran. Dalam perjalanan sejarah
Islam terlihat ada dua pola dalam pemikiran Islam yang saling berlomba mengembangkan
diri dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola pendidikan umat Islam
yaitu, pola pemikiran yang bersifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu
dan pola pemikiran rasional yang mementingkan akal fikiran.

Namun hal ini pun juga ada faktor pendukungnya baik dalam perkembangan dan
kemjuannya maupun dalam penurunan dan kehancuran islam dalam bidang pendidikan.
DAFTAR REFERENSI

Syukri, A., & Jambi, D. F. U. I. S. (2014). Pendidikan Masa Kemunduran Umat Islam.

Zaimuddin, Z. (2018). KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM. Jurnal I'TIBAR, 2(02).

Nur, M. (2015). Pemerintahan Islam Masa Daulat Bani Umayyah


(Pembentukan,Kemajuan dan Kemunduran). PUSAKA, 3(1), 111-126.

NASUTION, S. (2018). PENYEBAB KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM PADA


ABAD KLASIK. An-Nida', 41(1), 1-15.

NUGROHO, B. T. A. (2020). SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN


ISLAM.

Manan, N. A. (2020). Kemajuan dan Kemunduran Peradaban Islam di Eropa (711M-


1492M). Jurnal Adabiya, 21(1), 54-79.

Abdurrahman, D. (2003). Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern.


Yogyakarta: LESFI.

Hitti, P. K. (2002). History ofThe Arabs. (R. C. L. Y. & D. S. Riyadi, Trans.). Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta.

Karim, M. A. (2009). Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher

Yatim, B. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Nata, A. (2011). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Zuhairini, M. K. (1985). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Departemen Agama.

Anda mungkin juga menyukai