Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PERANAN PENTING PESANTREN TERHADAP ASWAJA

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ASWAJA

Dosen Pengampu : Drs. Ahmad Musthofa, M.Si

Disusun Oleh :

1. Siti Syarifatul Fatimah 171110002222

2. Ayu Oktafia Ningrum 171110002224

3. Ahmad Abdul Qofur 171110002229

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Peranan Penting Pesantren
Terhadap ASWAJA ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan
juga kami berterima kasih kepada Bapak Drs. Ahmad Musthofa, M.Si selaku Dosen
mata kuliah ASWAJA yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami harap makalah yang kami susun ini dapat berguna untuk menambah
pengetahuan dan pemahaman bagi pembacanya tentang Peranan Penting Pesantren
Terhadap ASWAJA. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan
makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
makalah yang telah kami buat ini, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran dan usulan yang membangun.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan. Terima kasih.

Jepara, 3 Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 1

1.3. Tujuan Penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................2

2.1. PengertianASWAJA dan Peranan Penting Pesantren Terhadap Aswaja 2

2.1. Faktor Pendukung Peranan Pesantren Terhadap ASWAJA 3

2.2. Faktor Penghambat pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah 5

BAB III PENUTUP......................................................................................................7

3.1. Kesimpulan 7

3.2. Saran 7

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pesantren sejak awal adalah pelaku utama dalam menjalankan ajaran


Aswaja. Darah kepesantrenan dari generasi ke generasi  adalah paham
ahlussunah wal jamaah. Pesantren membangun tradisi, melalui pendidikan,
dan pembudayaan, bergerak bersama paham yang terus bertahan dari tahun
ke tahun.

Keberadaan pesantren disangga oleh empat pilar: Pertama,


keberadaan Santri. Mereka adalah subyek pengkaderan amalan Aswaja,
sekaligus bibit penggerak amalan ahlussunah wal jamaah. Kedua, adalah
keberadaan Kyai. Ia adalah pemimpin komunitas sekaligus pengendali
seluruh aktivitas kepesantrenan. Ia juga merupakan guru utama bagi semua
santrinya. Ketiga, adalah materi pelajaran, yaitu kurikulum yang dipegangi
dari masa ke masa. Keempat, adalah keberadaan Masjid. Fungsi masjid di
samping sebagai rumah ibadah, adalah untuk praktek pengamalan
keagamaan mereka, dan tidak jarang digunakan untuk belajar dan latihan
ketampilan.    

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa Pengertian ASWAJA dan Peranan Penting Pesantren Terhadap


Aswaja?
1.2.2. Apa Faktor Pendukung Peranan Pesantren Terhadap ASWAJA?
1.2.3. Apa Faktor Penghambat pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah?

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Mengetahui pengertian ASWAJA dan Peranan Penting Pesantren


Terhadap Aswaja.
1.3.2. Mengetahui Faktor Pendukung Peranan Pesantren Terhadap
Aswaja.

1
1.3.3. Mengetahui Faktor Penghambat pemahaman Ahlussunnah Wal
jama’ah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian ASWAJA dan Peranan Penting Pesantren Terhadap Aswaja

Aswaja adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada


ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. Syaih Al Baghdadi dalam
kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan, bahwa pada zaman sekarang
kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi
dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Elemen
Ahlussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits,
Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang
berpegang teguh para ahli aqidah dan ahli sunnah. Secara ringkas bisa
disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang
berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat
sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
Para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Shalihin. Seperti yang telah
disabdakan oleh Nabi

َ‫تي َو ُسنَّ ِة ال ُخلَفَا ِء الرَّا ِش ِدينَ ِم ْن بَ ْع ِدي‬


ِ َّ‫لَي ُك ْم بِ ُسن‬

Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrasyidin setelah


wafatku.

Pesantren adalah pewaris utama karakter para wali. Seperti


diketahui, bahwa dalam penyebaran Islam di Jawa, para wali dihadapkan
oleh belantara sistem kepercayaan yang masih mistisisme dan kejawen.
Mereka berhadapan dengan kekuatan besar kerajaan Majapahit yang
beragama Hindu Buddha. Sunan Gresik (wafat 1419 M), yang dikenal
sebagai penyebar Islam pertama, dikenal sangat akrab dengan para petani
dan masyarakat bawah lainnya. Ia membangun sebuah pondokan yang
dikhususkan unuk belajar agama. Dilanjutkan dengan Sunan Ampel, ia
yang semasa kecilnya dikenal sebagai Raden Rahmad adalah salah seorang
putera Sunan Gresik. Dalam catatan sejarah Sunan Ampel (lahir 1401 M)
merupakan pendulum peletak dasar pendidikan agama model pesantren,

3
sekaligus pelanjut ajaran ahlus sunnah waljamaah. Salah satu murid Sunan
Ampel adalah Raden  Patah, yang waktu mudanya bernam. Ia adalah
pendiri pesantren di Demak, yang dengan pesantren itu menjadi cikal
bakal berdirinya Kerajaan Demak Bintara.

Pesantren sejak awal, adalah pelaku utama dalam menjalankan


ajaran Aswaja. Darah kepesaantrenan dari generasi ke generasi  adalah
paham ahlussunah wal jamaah. Pesantren membangun tradisi, melalui
pendidikan, dan pembudayaan, bergerak bersama paham tersebut, yang
terus bertahan dari tahun ke tahun.

Keberadaan pesantren disangga oleh empat pilar: Pertama,


keberadaan Santri. Mereka adalah subyek pengkderan amalan Aswaja,
sekaligus bibit penggerak amalan ahlussunah wal jamaah. Kedua, adalah
keberadaan Kyai. Ia adalah pemimpin komunitas sekaligus pengendali
seluruh aktivitas kepesantrenan. Ia juga merupakan guru utama bagi semua
santrinya. Ketiga, adalah materi pelajaran, yaitu kurikulum yang dipegangi
dari masa ke masa. Keempat, adalah keberadaan Masjid. Fungsi masjid di
samping sebagai rumah ibadah, adalah untuk praktek pengamalan
keagamaan mereka, dan tidak jarang digunakan untuk belajar dan latihan
ketampilan.    

Empat pilar pesantren itu, menurut teori struktrural, merupakan


komponen yang tidak bisa dipisahkan.  Masing –masing memiliki fungsi,
dan fungsi-fngsi itu saling terkait, saling menunjang serta saling
mendukung.  

2.1. Faktor Pendukung Peranan Pesantren Terhadap ASWAJA

Perkembangan Ahlussunah Wal Jamaah melalui pesantren tidak


jauh dari keterkaitannya dengan empat unsur yang harus ada di pesantren
diantaranya adalah Kitab Kuning dan Kepemimpinan yang ada di
Pesantren.

2.1.1. Kitab Kuning

4
Ilmu yang diperoleh dari membaca kitab-kitab kuning tersebut,
langsung diamalkan dalam lingkungan pesantren.  Interaksi santri-kyai dan
hubungan antar teman, bisa terjadi setiap saat. Menjadi ajang penempaan
kepribadian para santri. Di sanalah terjadi penanaman nilai, penanaman
ilmu  alat, ilmu fiqih tersebut dalam “sekali waktu”.  

Dengan mempelajari kitab-kitab tersebut, otomatis ajaran Aswaja


sudah tertanam. Sebagaimana diketahui, Aswaja Secara umum diartikan
sebagai suatu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen
mengikuti sunnah Nabi SAW dan thariqah para shabatnya dalam hal
aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf dan Akhlaq).

Sedangkan  kitab-kitab kuning tersebut merupakan jembatan unuk


menangkap ilmu dari Rasulullah, setelah melewati generasi
khulafaurrasyidin dan tabiin serta tabi’it tabi’in.

Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Furu’nya


dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu
merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wal  jamaah.
Mentradisikan shalat tarawih 20 rakaat plus witir, baca shalawat, ziarah
kubur, mendo’akan orang yang sudah mati, pewarisan yang pernah
dijalankan oleh para wali. Mereka menjalani amalan-malan yang telah
ditunjukkan para Imam besar, dan paham itu pun yang didakwahkan oleh
para ulama terdahulu di negeri ini.

Tradisi pesantren yang terus dilestarikan melalui sistem


kependidikaan pesantren adalah penghargaan pada para leluhur yang telah
tak kenal lelah dalam menyebarkan agama Islam, dan terus menyatukan
bangsa ini dari berbagai perbedaan kepentingan. Sehingga kultur Aswaja
telah menjadi pemersatu dalam kehidupan berbangsa. Mereka yang
berbeda-beda dalam kepentingan dan mengarah kepada konflik
antarkelompok, telah berhasil menyatupadukan diri di bawah payung
pesantren.

2.1.2. Kepemimpinan Pesantren

5
Sebagai salah satu pilar pesantren yang perannya sangat menentukan
berkembang atau tidaknya sebuah pesantren. Ia yang sejak awal telah
berkhidmat untuk menjadi pendidik, telah mengorbankan banyak tenaga,
pikiran dan hartanya. Ia disebut “kyai” terutama adalah karena
penguasaannya dalam pengetahuan agama. Menguasa ilmu alat,
menguasai kitab-kitab baku, dari ilmu balaghah, fiqih, tasawuf, sampai ke
cabang-cabang ilmu tersebut.

Kini kepemimpinan pesantren ada yang sudah berkembang menjadi


sistem kolegial, yakni tidak mengandalkan kharisma seorang Kyai, tapi
menampilkan kepemimpinan bersama, para pemegang kendali. Namun
nama Kyai pendiri pesantren tersebut, tetap melekat di dalamnya,
sekalipun pesantren yang selama itu dikenal “salafi” telah berubah menjadi
“pesantren modern”.

Atas peran kepemimpinan, baik yang masih bersifat perorangan dan


yang collegial dalam pesantren, bagaimanapun merupakan sistem
pengendalian, yang sangat urgen untuk penguatan pengamalan Aswaja.
Menjadilah para alumni pesantren, sebagai orang yang tetap setia
menjalani pesan kependidikannya selama di pesantren. Mereka hidup
bermasyarakat, biasanya merasa diri berkewajiban untuk berdakwah. Dan
dalam menjalankan fungsinya itu mereka terbawa oleh kebiasaan di
pesantren dan ilmu yang diperoleh di dalamnya. Alumni pesantren yang
membaur dalam kehidupan bermasyarakat, biasa menjadi guru ngaji, dan
sering ditunjuk oleh warganya memimpin upacara keagamaan. Dengan
kata lain, ia menjadi pemimpin non formal, yang memang dibutuhkan oleh
masyarakat, karena keikhlasannya, kepenguasaan ilmu agamanya, dan
ketrampilannya dalam berdakwah menyebarkan agama. Yang terahir ini,
misalnya keahlian berpidato, membina kelompok pengajian, mendirikan
kusus tilawatil Qur’an, membina kelompok Seni Barzanji, dzzibaan,
sampai ke ketrampilan perbengkelan. Sepertinya hanya masalah
sederhana, tatapi membawa berkah tersendiri dalam membimbing
masyarakat.  

6
Keterikatan masyarakat pada sosok alumni pesantren menjadi jaminan
keterpeliharaan paham Aswaja, dari masa ke masa. Selama pesantren
masih ada maka selama itu pula, Aswaja terpelihara.

Para kyai alumni pesantren adalah pendekar Aswaja yang kini tersebar
di masyarakat. Maka ketika kini gencar adanya diskursus Islam Nusantara,
jawabannya ada pada mereka. Sistem pesantren adalah yang sejak awal
masukknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang menjadi sumber
penyebaran Islam di Jawa dan merambah ke selutuh nusantara. Sejak
pesantren yang diasuh oleh Sunan Ampel di Surabaya, abad 1448, terus
berkembang. Telah meneguhkan sebuah pola dakwah yang adaptif dengan
budaya setempat, dan dengan cara yang ditempuh para wali, dan
diteruskan oleh para kyai, para da’i, sehingga tergelarlah wajah Islam
nusantara seperti sekarang ini.

2.2. Faktor Penghambat pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah

Faktor Penghambat pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah secara


ilmiah, diantaranya adalah :

Pertama: pemahaman tentang Ahlussunnah wal jama’ah kurang


proporsional ( Fi ghori maudi ihi), Ada kecenderungan penyempitan
pemahaman dan wawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti pertanyaan :
“yang tidak qunut dalam shalat subuh, itu bukan Ahlussunnah ...”, atau
“yang tidak mau manaqiban itu bukan Ahlussunnah...”, cara-cara semacam
itu akan mengkerdilkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah secara
ilmiah, sebab di dalam buku-buku atau kitab-kitab yang mu’tabarpun tidak
pernah masalah qunut itu menjadi ukuran/para meter Ahlussunnah Wal
jama’ah. Di kalangan Madzahibul Arba’ah yang melakukan “qunut’ saat
melaksanakan shalat subuh hanya madzhab Syafi’i, sedangkan Hanafi,
Maliki dan Hambali tidak melakukannya. Apakah berarti mereka bukan
termasuk golongan Ahlussunnah?.

Kedua; Buku-buku pelajaran dan bacaan bebas tentang


Ahlussunnah Wal Jama’ah, umumnya disusun hanya dengan pendekatan
”Doktrinal” yang Normatif, tanpa mengembangkan wawasan sesajarahan.

7
Misalnya, tentang konsep Al-Juaini yang mengharuskan “ Ta’wil”
terhadap semua ayat yang memberikan gambaran tentang Allah secara
“jasmani” sepert muka (wajah),tangan(yad), mata (ainun), duduk (Istawa)
dan lain-lain padahal Al-Assy’ari sendiri tidak melakukannya. Semua itu
menunjukkan bahkan bahwa Doktrin Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini cukup
dinamis dan kedinamisan itu tidak lepas dari pengaruh sosiohistoriknya.

Ketiga: kalau dahulu mulai zaman Al-Asy’ari dan Al-maturidi juga


pada zaman generasi selanjutnya. Masalah Aqidah dan prinsip-prinsip
teologi Ahlussunnah Wal-jama’ah , selalu dikembangkan melalui metode
diologis, memberi peluang untuk bertukar pikiran, mengadu argumen dan
bersifat terbuka. Sekarang ini kerapkali kita gunakan pendekatan yang
sebaliknya guru banyak bersikap otoriter, serba memaksakan, tidak banyak
memberi peluang dialog tidak memberikan penjelasan yang memuaskan,
malah menimbulkan rasa penasaran pada peserta didiknya.

8
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pesantren sejak awal, adalah pelaku utama dalam menjalankan ajaran


Aswaja. Keberadaan pesantren disangga oleh empat pilar: Pertama,
keberadaan Santri, Kedua adalah keberadaan Kyai, Ketiga adalah materi
pelajaran, Keempat adalah keberadaan Masjid. Sementara Aswaja adalah
golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para
sahabat dalam hal aqidah.

Perkembangan Ahlussunah Wal Jamaah melalui pesantren tidak jauh


dari keterkaitannya dengan empat unsur yang harus ada di pesantren
diantaranya adalah Kitab Kuning dan Kepemimpinan yang ada di
Pesantren. Kitab - kitab kuning tersebut merupakan jembatan unuk
menangkap ilmu dari Rasulullah, setelah melewati generasi
khulafaurrasyidin dan tabiin serta tabi’it tabi’in. Dengan mempelajari
kitab-kitab tersebut, otomatis ajaran Aswaja sudah tertanam. Keterikatan
masyarakat pada sosok alumni pesantren menjadi jaminan keterpeliharaan
paham Aswaja, dari masa ke masa. Selama pesantren masih ada maka
selama itu pula, Aswaja terpelihara.

Faktor Penghambat pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah secara


ilmiah, diantaranya adalah :

1. pemahaman tentang Ahlussunnah wal jama’ah kurang


proporsional ( Fi ghori maudi ihi) Ada kecenderungan
penyempitan pemahaman dan wawasan Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
2. Buku-buku pelajaran dan bacaan bebas tentang Ahlussunnah Wal
Jama’ah umumnya disusun hanya dengan pendekatan ”Doktrinal”
yang Normatif tanpa mengembangkan wawasan sesajarahan.
3. Masalah Aqidah dan prinsip-prinsip teologi Ahlussunnah Wal-
jama’ah , selalu dikembangkan melalui metode diologis, memberi

9
peluang untuk bertukar pikiran, mengadu argumen dan bersifat
terbuka.

3.2. Saran

Kini ribuan pesantren di nusantara telah berjasa membuka akses


jutaan anak bangsa dari yang paling marjinal, baik secara ekonomi maupun
intelektual, untuk menjalani proses pembelajaran. Pesantren telah mengalami
inovasi, dengan segala corak ragamnya. Sebagian yang tetap bertahan dengan
sistem salafinya, sebagian lagi dengan mengadopsi atau mencampurkan
antara  tradisi dan kemodernan, dan sebagaian lagi, yang hanya pinjam nama
“pesantren” untuk menunjukkan sebagai sekolah Islam dan santri yang
berasrama. Namun bagaimanapun, dengan menggunakan lebel pesantren,
dijadikan sebagai ciri pendidikan keagamaan Islam, dan dengan sistem
asrama tersebut dimaksudkan untuk mengintensifkan dalam belajar agama
dan mentradisikan penerapan nilai-nilai Aswaja.  

10
DAFTAR PUSTAKA

11

Anda mungkin juga menyukai