Anda di halaman 1dari 24

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER UTAMA AJARAN ISLAM

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu:
Bazuri Fadillah Amin, M.Pd

Disusun oleh:
Cut Nadhira Meutia Azhari (1206619043)
Mei Haryati (1206621074)
Royan Nur Faiz (1206619019)
Syamil Abdul Fattah (1206619046)
Tasya Shabrina (1206619054)
Tyara Putri Afandi (1206619055)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah, dan
karunia-Nya kami diberikan kemudahan dalam penyusunan makalah Al-Qur’an sebagai
Sumber Ajaran Islam guna memenuhi tugas kelompok pada Mata Kuliah Pendidikan Agama
Islam. Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Bazuri Fadillah Amin, M.Pd yang telah
membantu kami dalam hal pembelajaran tentang Pendidikan Agama Islam dengan baik
secara moral maupun materi.
Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna
baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari kalian semua guna menjadi acuan
agar penulisan ini bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. Harapan kami, semoga
makalah ini dapat bermanfaat pada umumnya bagi pembaca dan khususnya bermanfaat bagi
kami juga.

Jakarta, 27 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2
A. Makna, Fungsi dan
Kandungan Al-Qur’an ............................................................................. 2
B. Sejarah Pembukuan Al-Qur’an .............................................................. 7
C. Nilai-nilai Al-Qur’an dalam Lingkungan
Pendidikan, Keluarga, dan Pekerjaan .................................................... 21
D. Cara berinteraksi dengan Al-Qur’an ..................................................... 18
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 20
A. Kesimpulan ................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an diturunkan Allah kepada manusia untuk dibaca dan diamalkan. Ia
telah terbukti menjadi pelita agung dalam memimpin manusia mengurangi perjalanan
hidupnya. Tanpa membaca Al-Qur’an manusia tidak akan mengerti akan isinya.
Tanpa mengamalkan Al-Qur’an manusia juga tidak akan dapat merasakan kebaikan
dan keutamaan petunjuk Allah di dalam Al-Qur’an. Untuk mendapatkan jaminan
keselamatan dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat melalui Al-
Qur’an, maka umat Islam harus berusaha belajar memperdalami atau mengenal,
membaca, dan mempelajarinya.

A. Rumusan Masalah
1. Apa makna, fungsi dan kandungan dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimanakah sejarah pembukuan Al-Qur’an?
3. Apa sajakah nilai-nilai Al-Qur’an dalam lingkungan pendidikan, keluarga, dan
pekerjaan?
4. Bagaimana cara berinteraksi dengan Al-Qur’an?

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui makna, fungsi dan kandungan dalam Al-Qur’an
2. Untuk mengetahui sejarah pembukuan Al-Qur’an
3. Untuk mengetahui nilai-nilai Al-Qur’an dalam lingkungan pendidikan, keluarga,
dan pekerjaan
4. Untuk mengetahui bagaimana cara berinteraksi dengan Al-Qur’an

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna, Fungsi dan Kandungan dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an secara bahasa diambil dari kata: ‫ ا ق ر‬- ‫ي قرا‬- ‫ق راة‬- ‫ وق ران ا‬yang berarti
sesuatu yang dibaca. Arti ini mempunyai makna anjuran kepada umat Islam untuk
membaca Alquran. Alquran juga bentuk mashdar dari ‫ ال قراة‬yang berarti
menghimpun dan mengumpulkan. Dikatakan demikian sebab seolah-olah Alquran
menghimpun beberapa huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun rapi
dan benar.1 Oleh karena itu Alquran harus dibaca dengan benar sesuai sesuai dengan
makhraj dan sifat-sifat hurufnya, juga dipahami, diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari dengan tujuan apa yang dialami masyarakat untuk menghidupkan Alquran baik
secara teks, lisan ataupun budaya.

Menurut M. Quraish Shihab, Alquran secara harfiyah berarti bacaan yang


sempurna. Ia merupakan suatu nama pilihan Allah yang tepat, karena tiada suatu
bacaanpun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat
menandingi Alquran, bacaan sempurna lagi mulia.2 Dan juga Alquran mempunyai arti
menumpulkan dan menghimpun qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-
kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Quran pada
mulanya seperti qira’ah, yaitu mashdar dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan.

1. Makna Al-Qur’an
Makna Quran dari segi bahasa tersebut didasarkan pada firman Allah dalam
Alquran surat Al-Qiyamah ayat 16-18: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
membaca Alquran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya
atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu

2
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu”. Menurut makna yang tersurat dari ayat tersebut, Qur’an itu
diartikan sebagai “bacaan”, yakni kalam Allah yang dibaca dengan berulang-
ulang.

2. Fungsi Al-Qur’an
Al-quran merupakan kitab suci umat Islam yang memiliki banyak
manfaat bagi umat manusia. Alquran diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh
manusia melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai Rosul
yang dipercaya menerima mukjizat Alquran, Nabi Muhammad SAW menjadi
penyampai, pengamal, serta penafsir pertama dalam Alquran. Fungsi Alquran
antara lain:
a. Al-Huda (petunjuk)

Di dalam Alquran ada tiga posisi Alquran yang fungsinya sebagai


petunjuk. Alquran menjadi petunjuk bagi manusia secara umum, petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa, dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman.
Jadi Alquran tidak hanya menjadi petunjuk bagi umat Islam saja tapi bagi
manusia secara umum. Kandungan Alquran memang ada yang bersifat universal
seperti yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan itu bisa menjadi petunjuk
bagi semua orang tidak hanya orang yang beriman Islam dan bertakwa saja.

b. Asy-Syifa

Di dalam Alquran disebutkan bahwa Alquran merupakan obat bagi penyakit


yang ada di dalam dada manusia. Penyakit dalam tubuh manusia memang tak
hanya berupa penyakit fisik saja tapi bisa juga penyakit hati Perasaan manusia
tidak selalu tenang, kadang merasa marah, iri, dengki, cemas, dan lain-
lain.Seseorang yang membaca Alquran dan mengamalkannya dapat terhindar
dari berbagai penyakit hati tersebut. Alquran memang hanya berupa tulisan
saja tapi dapat memberikan pencerahan bagi setiap orang yang beriman. Saat

3
hati seseorang terbuka dengan Alquran maka ia dapat mengobati dirinya
sendiri sehingga perasaannya menjadi lebih tenang dan bahagia dengan berada
di jalan Allah. Kemudian syifa (obat) yang saya bahas dalam penelitian ini
melalu living quran pada praktik pengobatan Ustadz Sanwani.

c. Al-Furqon (pemisah)

Nama lain Alquran adalah Al-Furqon atau pemisah. Ini berkaitan dengan
fungsi Alquran lainnya yang dapat menjadi pemisah antara yang hak dan
yang batil, atau antara yang benar dan yang salah. Di dalam Alquran
dijelaskan berbagai macam hal yang termasuk kategori salah dan benar atau
hak dan yang batil. Jadi jika sudah belajar Alquran dengan benar maka
seseorang seharusnya dapat membedakan antara yang benar dan yang salah.
Misalnya saja saat mencari keuntungan dengan berdagang, dijelaskan bahwa
tidak benar jika melakukan penipuan dengan mengurangi berat sebuah barang
dagangan. Begitu juga dengan berbagai permasalahan lainnya yang bisa
diambil contohnya dari ayat-ayat Alquran.

d. Al-Mu’izah (nasihat)

Alquran juga berfungsi sebagai pembawa nasihat bagi orang-orang yang


bertakwa. Di dalam Alquran terdapat banyak pengajaran, nasihat-nasihat,
peringatan tentang kehidupan bagi orang-orang yang bertakwa, yang berjalan di
jalan Allah. Nasihat yang terdapat di dalam Alquran biasanya berkaitan
dengan sebuah peristiwa atau kejadian, yang bisa dijadikan pelajaran bagi
orang-orang di masa sekarang atau masa setelahnya. Nasihat dan peringatan
tersebut penting karena sebagai manusia kita sering menghadapi berbagai
masalah dan cara penyelesaiannya sebaiknya diambi bdari ajaran agama.
Bagaimana cara kita menghadapi tetangga, suami, orang tua, dan bahkan
musuh kita telah diajarkan dalam Alquran.

4
3. Isi Kandungan Al-Qur’an
a. Akidah

Akidah secara bahasa berarti keyakinan. Sedangkan secara istilah artinya


suatu kepercayaan yang harus diyakini dengan sepenuh hati, dinyatakan dengan
lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Inti pokok dari akidah adalah tauhid
atau keyakinan penuh akan keesaan Allah SWT. Seorang Muslim hendaknya
tidak meragukan lagi keesaan dan kebesaran Allah, Tuhan alam semesta. Selain
itu, konsep keimanan ini juga berlaku pada rukun iman lainnya. Adapun rukun
iman tersebut adalah iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman
kepada rasul, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada takdir baik buruk Allah.

b. Ibadah dan Muamalah

Eksistensi manusia di muka bumi ini tentu karena kuasa Allah SWT. Kuasa
Allah sebagai pencipta menjadikan-Nya satu-satunya zat yang pantas untuk
disembah. Untuk itu setiap manusia diperintahkan untuk menyembah Allah
dengan melakukan ibadah. Artinya, manusia diperintahkan untuk menyembah
atau mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT dengan tunduk, taat, dan patuh
kepada-Nya. selain beribadah, manusia juga memiliki kecenderungan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan manusia lain. Untuk itu, Allah mengatur
hubungan antarmanusia dalam Alquran yang disebut muamalah.

c. Hukum

Hukum dalam Alquran berisikan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan


dasar serta menyeluruh bagi umat manusia. Hukum ini dapat menjadikan hidup
manusia menjadi lebih tentram, adil, dan sejahtera. Adapun hukum yang
tercantum dalam Alquran meliputi hukum perkawinan, hukum waris, hukum
perjanjian, hukum pidana, hukum perang, dan hukum antarbangsa.

5
d. Sejarah

Alquran mengungkapkan sejarah dan cerita masa lalu untuk dijadikan


pelajaran ('ibrah) bagi umat Islam. Pelajaran ini bisa menjadi pedoman untuk
menjalani kehidupan agar senantiasa diridhoi Allah SWT. Banyak diceritakan
kisah para sahabat yang memiliki akhlak baik, senantiasa mematuhi perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dan begitu pula sebaliknya, supaya manusia
bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut.

e. Akhlak

Isi kandungan yang tak kalah penting untuk dijadikan pedoman manusia
adalah akhlak. Secara istilah, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
manusia dan muncul secara spontan dalam tingkah laku sehari-hari.Figur yang
bisa dijadikan suri tauladan bagi umat Islam adalah Rasulullah SAW. Sebab,
kepribadian beliau bersumber langsung pada Alquran. Dengan mengikuti akhlak
Rasulullah, seorang Muslim akan menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan jauh
dari akhlak tercela.

f. Ilmu Pengetahuan
Alquran banyak mengandung ayat yang mengisyaratkan ilmu
pengetahuan sains dan teknologi. Ilmu ini sangat potensial untuk kemudian
dikembangkan guna kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Ayat
yang pertama kali diturunkan Allah adalah Al-Alaq, yang memerintahkan
umat Islam untuk membaca sebagai jembatan utama untuk mendalami ilmu
pengetahuan. Ini mengisyaratkan Alquran ada sebagai sumber ilmu
pengetahuan bagi manusia.

6
B. Sejarah Pembukuan Al-Qur’an

Sesungguhnya penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai


sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasi dan pembukuannya
menjadi teks dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar dan selesai dilakukan pada zaman
khalifah Utsman bin Affan.

Masa kekhalifahan Utsman bin Affan adalah masa penting dalam Qur’an dibukukan
setelah sebelumnya dikumpulkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar Shiddiq dan
mendapat pemeliharaan pada masa Umar Bin Khattab . Dipandang penting karena
sebagai kelanjutan dari pemeliharaan terhadap Al-Qur’an yang sudah dirintis oleh orang-
orang sebelumnya. Umat Islam setelah masa ini berpedoman kepada hasil jasa yang telah
dilakukan oleh orang-orang yang diberi tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan yang
monumental ini dibawah kepemimpinan Usman bin Affan. Pekerjaan yang besar ini
sangat pantas untuk dihargai. Kalaulah pekerjaan pembukuan ini tidak dilakukan pada
masa Usman tentunya sejarah Al-Qur’an akan berbeda.

Keberhasilan orang-orang yang bertanggung jawab dalam hal ini bukanlah dengan
cara yang mudah dan sederhana.Berbagai tanggapan dan anggapan muncul mengenai
kebijakan Usman Ini. Ada yang beranggapan bahwa Usman membukukan Al-Qur’an
adalah karena keinginan pribadinya atau ingin mendapatkan nama baik dan dalam proses
pelaksanaannya Usman dipengaruhi oleh fanatisme. Ketika itu, ada juga sahabat yang
merasa keberatan dengan ketetapan Usman bin Affan ketika ia memerintahkan kaum
muslimin untuk membakar mushaf mushaf selain mushaf yang dibuat oleh tim yang
ditunjuk. Keengganan ini tercatat dalam sejarah berasal dari sahabat yang diakui oleh
umat Islam tentang keahliannya dalam menguasai hal-hal yang terkait dengan Al-Qur’an
yaitu Ibnu Mas’ud yang dipandang sebagai salah seorang imam sekaligus guru Al-Qur’an
dari kaum muslimin ketika itu yang pendapatnya juga sering dikutip dalam buku-buku
tafsir yang bercorak atsar (riwayat). Di samping itu ditambah lagi dengan persoalan
teknik penulisan yang hanya diarahkan kepada satu huruf dan juga disinyalir adanya
lahan atau kesalahan i’rab/bahasa. Kesalahan ini kalau benar adanya itu artinya

7
menunjukkan adanya kemungkinan kesalahan dalam penulisan Al-Qur’an yang kita
terima sekarang ini sebagai pedoman.

Pada masa Rasulullah SAW, Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup,
terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al-Quran yakni Zaid bin
Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang
lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan
yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau
daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Pada masa ini pengumpulan Al-
Quran ditempuh dengan dua cara:

1. Al Jam'u fis Sudur, Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali
Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan
mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turats
(peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan
media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
2. Al Jam'u fis Suthur, Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau
berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu
terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah.
SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu memberikannya kepada para
sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari
melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan
bercampur dengan Al-Quran, Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian menulis
sesuatu dariku kecuali Al-Quran barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain
Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya". Di samping itu banyak juga
sahabat- sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu
diturunkan.

Penulisan pada masa Rasulullah belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan
beberapa faktor, yakni; Pertama,tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan Al-
Qur'an menjadi satu mushaf mengingat Rasulullah masih hidup, di samping banyaknya
sahabat yang menghafal Al-Quran dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga

8
akan mengganggu kelestarian Al-Quran. Kedua, Al-Quran berangsur-angsur, maka suatu
hal yang logis bila dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi SAW wafat. Ketiga,
selama proses turunnya Al-Quran adanya ayat-ayat Al-Quraan mansukh. (Said Agil
Husin Al Munawar, 2002: 18)

Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq, pada waktu terjadi pertempuran di
Yamamah, yaitu "Perang Kemurtadan (riddah)". Perang ini terjadi pada tahun ke-12 H,
yakni perang antara kaum muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamatul-Kadzdzab
yang mengaku dirinya Nabi baru) dimana mengakibatkan 70 penghaf Al-Quran di
kalangan sahabat Nabi gugur. (Subhi As-Shalih, 1999:85)

Akibat banyaknya penghafal Al-Quran yang terbunuh, hal ini membuat Umar ibn al-
Khattab risau tentang masa depan Al-Quran. Sebab itu beliau mengusulkan kepada
Khalifah Abu Bakr untuk melakukan pengumpulan Al-Quran. Kendapatipun pada
mulanya Abu Bakr ragu-ragu untuk melakukan tugas itu, karena dia belum mendapat
wewenang dari Nabi Muhammad saw. Secara jelas, keraguan ini nampak ketika Abu
Bakar berdialog dengan Umar ibn al-Khattab, Abu Bakar berkata: "Bagaimana aku harus
memperkuat sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah s.a.w.?" sambil balik
bertanya. Demi Allah, kata Umar, "Inj adalah perbuatan yang sangat baik dan terpuji".
(Usman, 2009: 69). Hingga pada akhirnya beliau menyetujuinya. (W. Montgomery Watt,
1998: 35).

Kemudian beliau menugasi Zaid bin Tsabit (salah satu mantan juru tulis Nabi
Muhammad saw) untuk menuliskannya. Perlu diketahui juga bahwa metode yang
ditempuh Zaid bin Tsabit dalam pengumpulan Al-Quran terdiri dari empat prinsip:
Pertama, apa yang ditulis di hadapan Rasul. Kedua, apa yang dihafalkan oleh para
sahabat. Ketiga, tidak menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum disaksikan (disetujui)
oleh dua orang saksi, bahwa ia pernah ditulis di hadapan Rasul. Keempat, hendaknya
tidak menerima dari hafalan para sahabat kecuali apa yang telah mereka terima dari
Rasulullah saw. (Fahd Bin Abdurrahman Ar-Rumi, 1999: 117).

9
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, Pada masa pemerintahan khalifah ke-3
yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at)
yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari
daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil
kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang
Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang
kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga
saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar
yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman
berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa
depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

Naskah itu kemudian disempurnakan oleh dua orang pejabat Umayyah, dengan
bantuan Ibn Muqlah dan Ibn 'Isa pada 933 dengan bantuan Ibn Mujahid. Ibn Mujahid
mengenali adanya tujuh corak pembacaan Al-Quran, yang berkembang karena tidak
adanya huruf vokal dan tanda baca. (Philip K. Hitti, 2005: 155)

Kendatipun begitu, ada satu konsekuensi yang harus diterima oleh umat Islam akibat
kebijakan khalifah Utsman bin affan. Kalau dirunut ulang dari awal, bahwa sebelum
pembukuan Al-Quran , kita tidak bisa membayangkan betapa banyak ragam bacaan pada
saat itu. Al-Quran begitu sangat plural, kaya akan bacaan dan maknanya. Tetapi searah
dengan kebijakan politik khalifah Utsman, Al-Quran menjadi tampil dalam bentuk
tunggal, Al-Quran versi mushaf Utsmani. Inilah mushaf yang dianggap paling sah dan
benar sampai sekarang. Tentunya, sah dan benar dalam pandangan khalifah saat itu yang
memiliki inisiatif dan otoritas untuk membukukannya. Dari sudut pandang ini, tampilnya
mushaf versi Utsman sebagai mushaf resmi Umat Islam tidak lain adalah hasil dari
taksiran atas berbagai mushaf yang berkembang pada saat itu, yang didalamnya
melibatkan proses selektivitas, pembuangan dan penambahan. (Ignaz Goldziher, 2006:
X)

10
C. Nilai-nilai Al-Qur’an dalam Lingkungan Pendidikan, Keluarga, dan Pekerjaan
1. Lingkungan Pendidikan
Fungsi pendidikan dalam arti mikro ialah membantu secara sadar
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Sedangkan fungsi pendidikan
secara makro ialah sebagai alat pengembangan pribadi, warga negara,
kebudayaan, dan bangsa. Manusia ketika dilahirkan di dunia dalam keadaan
lemah. Tanpa pertolongan orang lain, terutama orang tuanya, ia tidak bisa berbuat
banyak. Di balik keadaannya yang lemah itu, ia memiliki potensi yang bersifat
jasmani maupun rohani.

Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan keluarga


pertama-tama anak memperoleh pengaruh sadar. Karena itu keluarga merupakan
lembaga pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati. Lahirnya keluarga
sebagai lembaga pendidikan semenjak manusia itu ada. Ayah dan ibu di dalam
keluarga sebagai pendidiknya, dan anak sebagai terdidiknya. Pendidikan keluarga
memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar, agama, dan kepercayaan, nilai
moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik untuk
dapat berperan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Dari lingkungan keluarga
harmonislah yang mampu memancarkan keteladanan kepada anak-anaknya, akan
lahir anak-anak yang memiliki kepribadian dan nilai moral yang baik.

Di samping pendidikan keluarga, anak juga memerlukan pendidikan formal


karena orang tua tidak mampu memberikan pendidikan selanjutnya dalam bentuk
berbagai kecakapan dan ilmu. Kita tidak dapat menggambarkan masyarakat tanpa
sekolah. Di dalam sekolah bekerja orang-orang yang khusus dididik untuk
keperluan mengajar. Tugas sekolah sangat penting dalam menyiapkan anak-anak
untuk kehidupan masyarakat. Sekolah bukan semata-mata sebagai konsumen,
tetapi ia juga sebagai produsen. Pendidikan formal ini berfungsi untuk
membangun manusia seutuhnya, yakni manusia sebagai makhluk individu, sosial,
susila, dan religius.

11
Nilai-nilai Qur’ani di atas sangat baik diajarkan pada usia sekolah dasar,
karena jiwa fitrah keagamaannya mulai bangun dan siap menerimanya. Itulah
sebabnya Nabi Muhammad SAW dalam hadinya mengatakan, bahwa jika anak
telah berumur tujuh tahun ajari dia shalat. Tapi bila ia telah berumur 10 tahun
belum juga ia mau sembahyang, agar diberi hukuman lecut.

Beberapa pengetahuan tentang nilai-nilai moral Qur’ani yang dapat disampaikan;

a. Oleh orang tua di rumah, sejak dini, melalui dongeng sebelum tidur, kemudian
melalui nasehat rutin, nasehat khusus sehubungan dengan event-event
penting, misalnya ketika akan berangkat sekolah, ketika dalam proses
memilih jodoh, memulai bekerja dan sebagainya.

b. Oleh guru di sekolah, berupa pelajaran moral atau budi pekerti, meski pada
umumnya lebih pada aspek kognitif, sedikit aspek afektif, tetapi disiplin
sekolah, cukup besar pengaruhnya dalam diri si murid, sekurang-kurangnya
masuk ke dalam alam bawah sadar.

c. Oleh ulama atau orang bijak seusai shalat atau dalam pengajian, atau dalam
pertemuan khusus,

d. Oleh cendekiawan melalui forum diskusi,

e. Melalui literatur yang terprogram, dan

f. Bisa juga diperoleh dari peristiwan yang mengesankan hatinya yang


kemudian dijadikan pelajaran.

Nasehat dan panutan. Al-Qur’an juga menggunakan kalimat-kalimat yang


menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide-ide yang
dikehendakinya. Namun, nasehat yang dikemukakannya itu tidak banyak
manfaatnya jika tidak disertai dengan contoh teladan dari pemberi atau
penyampai nasehat, dalam hal ini adalah pendidiknya.

12
Pembiasaan ini memiliki peranan yang sangat besar dalam kehidupan
manusia, karena dengan kebiasaan, seseorang mampu melakukan hal-hal penting
dan berguna tanpa menggunakan energi dan waktu yang banyak. Al-Qur’an
sendiri menggunakan ‘pembiasaan’ yang dalam prosesnya menjadi ‘kebiasaan’
sebagai salah satu cara yang menunjang tercapainya target yang diinginkan dalam
penyajian materi-materinya. Misalnya, dalam hal shalat, yang dimulai dengan
menanamkan rasa kebesaran Tuhan, kemudian dengan pelaksanaan shalat dua
kali sehari disertai dengan kebolehan bercakap-cakap, disusul kewajiban
melaksanakannya lima kali sehari dengan larangan bercakap-cakap.

Nilai dan sikap positif seperti kejujuran, kesabaran, kesederhanaan dan


kedermawanan sebenarnya juga diwariskan oleh genetika orang tuanya, oleh
karena itu setiap orang tua harus menyadari bahwa sikap orang tua, terutama
ketika anak sedang dalam kandungan, secara psikologis dapat menitis pada
anaknya.

2. Keluarga
Keluarga adalah ladang terbaik dalam penanaman nilai-nilai agama. Kunci
sukses membina keluarga islami adalah dengan selalu menghadirkan al-
Qur’an dalam kehidupan keluarga. Dengan demikian, orang tua sangat
dituntut untuk menjadi pendidik yang baik, yang mampu memberikan sikap
positif dan menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Adapun dalam
membina keluarga yang baik Allah SWT telah memberikan contoh salah satunya
termuat di dalam al-Qur’an yaitu surah al-Israa’ ayat 23-24.

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-

13
baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS. al-Israa’ ayat
23).

Nilai-nilai dan kandungan surah al-Israa’ ayat 23 adalah sebagai berikut;


a. Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
Sebagai seorang anak untuk selalu berbuat baik kepada kedua
orang tuanya dan menghormatinya karena keduanya telah menjadi
sebab seorang anak dapat hidup di dunia ini dan berbakti kepada
kedua orang tua menjadi kewajiban kedua setelah beribadah kepada
Allah.

Ketika kedua orang tua telah memasuki usia lanjut dan


membutuhkan perawatan dari seorang anak, sebagaimana seorang anak
ketika dahulu masih kecil dan masih membutuhkan bantuan kedua
orang tua, maka sudah seharusnya seorang anak dituntut untuk selalu
merawat dan menjaga kedua orang tuanya dengan sepenuh hati, penuh
kasih sayang dan ikhlas.

b. Larangan Mengucapkan “Uffin“ (“ah”)


Jika salah seorang dari kedua orang tua atau keduanya sampai
pada masa usia lanjut dalam pemeliharaan seorang anak, maka jangan
sekali-kali menyakiti kedua orang tua, misalnya dengan mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah”, yaitu perkataan yang mengandung
makna kemarahan, bosan maupun rasa jengkel tehadap kedua orang
tua.
c. Larangan Berbuat Kasar (Membentak/Menentang)
Sebagaimana bunyi ayat “wala tanharhuma” yang artinya dan
janganlah kamu membentak mereka, jangan membentak atau
menentang kedua orang tua dengan perbuatan buruk dan jangan

14
memukul keduanya. Di dalam ayat tersebut Allah memerintahkan anak
untuk tidak menunjukkan perilaku kasar dan selalu berperilaku sopan
santun terhadap kedua orang tua. Jangan membentak atau menentang
kedua orang tua jika mereka merepotkan.
d. Perintah Mengucapkan Perkataan Baik atau Mulia
Allah memerintahkan untuk senantiasa berbuat baik dan bertutur
kata baik atau mulia kepada keduanya. Sebagai anak sudah seharusnya
mengucapkan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, yaitu
perkataan yang baik dan sopan, yang mengandung penghormatan dan
rasa kasih sayang.

Surah al-Israa’ ayat 24

Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh


kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS. al-
Israa’ ayat 24).

Nilai-nilai dan kandungan surah al-Israa’ ayat 24 adalah sebagai berikut;

a. Bersikap Tawadhu’ Terhadap Kedua Orang Tua


Dalam ayat di atas Allah memerintahkan agar merendahkan diri
kepada kedua orang tua dengan penuh rasa kasih sayang. Maksud
dari merendahkan diri dalam ayat ini adalah menaati apa yang orang
tua perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syari'at Islam.

15
b. Perintah Untuk Mendoakan Kedua Orang Tua
Berbuat baik terhadap kedua orang tua setelah meninggal adalah
dengan berdoa kepada Allah untuk keselamatannya dan memohonkan
ampun bagi keduanya.

3. Lingkungan Pekerjaan
Menjalani kehidupan, terutama pada kegiatan ekonomi terdapat banyak
rambu-rambu dalam hal mencari, mengelola dan membagi harta pada dasarnya
banyak ayat dan hadis yang memerintahkan orang yang beriman untuk memiliki
etos kerja yang tinggi, berusaha dan berikhtiar mencari karunia Allah.

“...Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS.
al-Qashash (28): 76-77)

Ayat di atas mengisahkan perilaku Qarun bin Yashhab bin Qahisy, orang yang
dikenal sangat kaya raya di zaman Nabi Musa, akan tetapi Qarun dikenal
sombong, yang menyebabkan hartanya ludes ditelan bumi. Ayat berikut
mengingatkan semua manusia supaya memelihara prinsip keseimbangan hidup
dalam menggapai kehidupan dunia dan akhirat. Mengenai menyaksikan kekayaan
Qarun menyebabkan beberapa orang bijak memberikan nasehat kepada Qarun
paling sedikit ada lima nasehat yang disampaikan kepada Qarun dan yang
menyerupainya, yakni: larangan sombong; perintah mencari bekal untuk
kehidupan akhirat; larangan mengabaikan kehidupan dunia; perintah atau anjuran
berbuat baik kepada orang lain; dan larangan membuat kerusakan di muka bumi,
karena Alah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

16
Apabila ayat ini dibaca terpisah dengan ayat berikutnya mungkin timbul
anggapan bahwa manusia harus menjauhi kekayaan, bahkan seperti disimpulkan
oleh Murtadha Muthahhari bahwa pemilik kekayaan adalah sumber
pemberontakan manusia terhadap Allah. Maka ayat berikutnya Alquran
menghendaki semacam equilibrium antara aspek material dan aspek spiritual.

“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.” ( al-Jumuah (62): 10)

Ayat ini menganjurkan setiap muslim untuk bertebaran di bumi Allah mencari
nafkah setelah mereka menunaikan salat (usai memimpin atau mengikuti salat
jum’at), kemudian dipersilahkan untuk kembali melaksanakan aktivitas ekonomi
sebagaimana dilakukan sebelum masuk waktu salat jum’at. Wabtagū dalam ayat
di atas menunjukkan usaha serius untuk mencari dan mengambil sesuatu yang
sudah disediakan Allah untuk makhluknya. Ungkapan bertebaran di atas bumi
adalah berusaha sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing.
Oleh karena itu ayat ini menganjurkan setiap individu muslim untuk aktif
bekerja dan memproduktifkan segala aspek yang berguna untuk kebutuhan
masyarakat. Dan di saat-saat beraktivitas, sebaiknya tetap berzikir, yaitu dalam
bekerja selau mengingat Allah, sehingga usahanya tetap terjaga dijalan yang
dibenarkan Allah dan tidak merugikan orang lain. Jangan sampai urusan duniawi
menyebabkan lupa diri dari hal-hal yang memberikan manfaat buat kehidupan di
akhirat kelak.
Salah satu manfaat salat menerangkan fikiran dan memberikan kesempatan
kepada seseorang untuk mampu mengendalikan diri, dari mabuk kerja
(workaholic) yang mungkin dialami seseorang. Bahkan dengan ketenangan dan
perenungan nilai-nilai yang luhur bisa terjadi proses penjernihan fikiran,
kreativitas dan gagasan inovatif. Motivasi kerja dan optimisme untuk mencari
rezeki bisa timbul dengan mengingat firman Allah QS. Al-Mulk (67):15.

17
Ayat ini menginformasikan bahwa Allah SWT. menjadikan bumi untuk
manusia dengan maksud memberi kemudahan dalam melakukan aktivitas
(kemungkinan manusia memanfaatkan dan mendayagunakan bumi semaksimal
mungkin). Dan manusia dipersiapkan melakukan penelusuran diberbagai ruang
yang ada di bumi dan dipersilakan untuk memakan rezeki yang telah Allah
siapkan. Akan tetapi kehidupan dunia hanya sementara, karena itu manusia
diingatkan bahwa dirinya akan segera kembali menghadap Allah. (Rahardjo,
1996)

D. Cara berinteraksi dengan Al-Qur’an dan Adabnya


1. Berinteraksi dengan Al-Qur’an
a. Mendengarkan dan menyimak

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Qur’an, Maka dengarkanlah baik-baik, dan


perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204)

b. Membacanya dengan tartil

Artinya: “Dan bacalah Al Quran itu secara tartil” (QS. Muzzammil: 4)


“Dan tartil: memperjelas semua huruf dan memenuhi hak huruf”. Sinari rumahmu
dengan membaca Al Qur’an (HR. Baihaqi dari Anas)

c. Menjaga dan menghafalkan


"Orang yang tidak mempunyai hafalan Al Qur'an sedikit pun adalah seperti rumah
kumuh yang mau runtuh." (HR. Tirmidzi)

d. Belajar, mengajarkan dan mendakwahkan

18
“Tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena
kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”
(QS. Ali ‘Imron: 79)

e. Mengamalkan dalam kehidupan

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu


melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab
(Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)

f. Membela dan mensyiarkan

“Barang siapa mengagungkan syiar Allah, maka itu adalah bagian dari ketakwaan
dalam hati” (QS. Al Hajj: 32)

2. Adab berinteraksi dengan Al-Qur’an


a. Adab tilawah
- Dalam kondisi sempurna, paling baik dalam kondisi berwudhu, di Masjid.
- Memulai dengan istiadzah.
- Menghias dengan Suara yang Merdu

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-qur’an mempunyai fungsi antaralain adalah sebagai Al-Huda (petunjuk), Asy-
Syifa, Al-Furqon (pemisah) dan Al-Mu’izah (nasihat). Kandungan dalam Al-Qur’an
berisi Akidah, Ibadah dan Muamalah, Hukum, Sejarah, Akhlak dan Ilmu Pengetahuan.
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian transformasi dan pembukuannya menjadi teks dilakukan
pada masa Khalifah Abu Bakar dan selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin
Affan. Al-Qur’an juga mempunyai nilai-nilai penting dalam lingkungan pendidikan,
keluarga, dan pekerjaan.
Dalam membina keluarga yang baik Allah SWT. telah memberikan contoh salah
satunya termuat di dalam al-Qur’an yaitu surah al-Israa’ ayat 23-24. Ayat ini
mengajarkan kepada kita harus berbakti kepada kedua orang tua, tidak boleh melawan
serta membantahnya, bersikap tawadhu kepada keduanya serta selalu mendoakannya.
Dalam Al-Qur’an surah ( al-Jumuah (62): 10) ayat ini menganjurkan setiap individu
muslim untuk aktif bekerja dan memproduktifkan segala aspek yang berguna untuk
kebutuhan masyarakat. Dan di saat-saat beraktivitas, sebaiknya tetap berzikir, yaitu
dalam bekerja selau mengingat Allah, sehingga usahanya tetap terjaga dijalan yang
dibenarkan Allah dan tidak merugikan orang lain. Jangan sampai urusan duniawi
menyebabkan lupa diri dari hal-hal yang memberikan manfaat buat kehidupan di akhirat
kelak.
Untuk itu kita harus berinteraksi dengan Al-Qur’an, yang harus kita lakukan adalah
mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan, menghafalkan dan membacanya dengan
tartil, mendakwahkannya, mengamalkan dalam kehidupan serta membela dan
mensyiarkannya. Dengan itu kita insyaAllah mendapat jaminan keselamatan dan
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat melalui Al-Qur’an.

20
DAFTAR PUSTAKA

Khaeroni, Cahaya. 2017. SEJARAH AL-Quran (Uraian Analitis, Kronologis, dan


Naratif tentang Sejarah Kodifikasi Al-Quran) dalam Jurnal HISTORIA Volume 5,
Nomor 2, Tahun 2017, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728).

Ilhamni. 2017. Pembukuan al-Qur’an pada Masa Usman bin Affan dalam JURNAL
ULUNNUHA, Volume 6, Nomor 2, Desember 2017, hlm. 130-142.

http://repository.uinbanten.ac.id/1316/4/BAB%20II.pdf
https://kumparan.com/berita-hari-ini/isi-kandungan-alquran-sebagai-pedoman-bagi-
umat-islam-1v3o8R4TO5I/full
https://tafsirweb.com/4627-quran-surat-al-isra-ayat-23.html
https://tafsirweb.com/4628-quran-surat-al-isra-ayat-24.html
http://jurnal.unsyiah.ac.id/JPED/article/download/6550/5367

21

Anda mungkin juga menyukai