Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“KONSEP MA’RIFAT ILAHIYAH”


Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak tasawuf

Dosen Pengampu : Agung Setia, M.Pd

Disusun Oleh : Kelompok 4


E’S 1A
Gilang Maulana Bayu (210261028)
Supa Soraya (210261040)
Angelina (210261009)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


(STAI )
TULANG BAWANG
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT., atas curahan nikmat


danlimpahan rahmat-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul“ Pengertian Skripsi,Tujuan,Fungsi dan sifat skripsi
,sistematila penuliasan skripsi dan Tenkni penulisan Skripsi ini sebagai
salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila yang
diampu oleh Agung Setia, M.Pd
Terima kasih yang seluas-luasnya saya haturkan kepada rekan-rekan
serta berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun
makalah ini.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah  ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
Penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah Penulis buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna
bagi Penulis sendiri maupun orang yang membacanya.

Tulang Bawang Barat 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A.    Latar Belakang Penulisan Makalah............................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................1
C.     Tujuan Penulisan Makalah.......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 2
A.    Pengertian Ma’rifat...................................................................................... 2
B.    Alat untuk mencapai Ma’rifat...................................................................... 2
C. Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifat……………………………………3
D. Ma’rifat dalam pandangan Alqur;an dan hadist............................................ 2
  
BAB III PENUTUP .................................................................................... 8
A.    Kesimpulan ................................................................................................. 8
B.     Saran ................................................................................................... 8
DAFTAR RUJUKAN ................................................................................. 9
BAB I
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Ma’rifat


Dari segi bahasa Ma’rifah berasal dari kata ‘‫ عرفا‬, ‫يعرف‬, ‫عرف‬dan
ma’rifah yang artinya adalah pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifah juga
bisa berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang
lebih tinggi daripada ilmubiasa yang didapati oleh orang-orang pada
umumnya[1].Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-
halyang bersifat dzahir, tetapi lebih terhadap bathinnya dengan mengetahui
rahasianya.Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup
mengetahui hakikat ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang maujud
berasal dari yang satu.[2]
Definisi beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:
a.       Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pandapat Ulama Tasawuf
yang mengatakan
Hِ ‫صفًابِ َسائِ ِر ْال َك ُماَل‬
‫ت‬ ِ َّ‫ْرفَةُ َج ْز ُم ْالقَ ْلبِبِ ُوجُوْ ِد ْال َوا ِجبِ ْال َموْ جُوْ ِد ُمت‬
ِ ‫اَ ْل َمع‬
Artinya:
“Ma`rifah adalah suatu ketetapan hati (dalam mempercayai kahadirannya)
wujud yang wajib  adanya ( Allah) yang menggambarkan segala
kesempurnaannya.”
b.      Asy-Syekh  Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kurdiriy mengemukakan
pendapat Abu Ath-Thayib A-Samiriy yang mengatakan:
ِ ‫صلَ ِةاألَ ْن َو‬
‫ار‬ ِ ‫ْرفَةُطُلُوْ ع ُْال َحقِّ َوهُ َو ْالقَ ْلبُبِ ُم َوا‬
ِ ‫اَ ْل َمع‬
Artinya:
“Ma`rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) dalam keadaan
hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat mencapai
ketingkatan ma`rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma`rifah,
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun-Nun Al-
Mishri yang mengatakan: ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi
apabila sudah sampai kepada tingkatan Ma`rifah, antara lain:
a)      Selalu memancar cahaya ma`rifah padanya dalam segala sikap dan perilaku,
karena itu, sikap wara` selalu ada pada dirinya.
b)      Tidak selalu menjadikan kepada sesuatu yang berdasarkan fakta yang
bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata dalam ajaran Tasawuf belum tentu
benar.
c)      Tidak mengingkan ni`mat yang banyak kepada dirinya, kerana hal itu bisa
membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sini lah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah
SWT.sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa
ma`rifah yang dimiliki Sufi cukup dapat memberikan kebahagian bathin
kepadanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Selanjutnaya ma`rifah itu disamping merupakan anugerah dari
Allah, dapat pula dicapai melalui syari`at, menempuh thariqat dan
memperoleh Haqiqat. Apabila syari`at dan thariqat sudah dapat dikuasai,
maka timbullah haqiqat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan
ahwal. sedangkan tujuan terakhir ialah Ma`rifah yaitu mengenal Allah dan
mencintainya yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.
Dalam kitab “Syarhul Maqashid”  Taftazani menyatakan: “apabila
seseorang telah mencapai tujuan terakhir dalam perjalanan suluknya ilallah
dan fillah, pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan `irfan sehingga
zatnya selalu dalam  pengawasan zat Tuhan dan sifatnya selalu dalam
pengawasan sifat Tuhan. ketika itu lah orang tersebut fana dan lenyap 
dalam keadaan “maa siwallah” (segala yang lain daripada Allah) ia tidak
lagi melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah.
Orang yang mencapai maqam ma`rifah itu disebut `Arif billah. Dan
pada tingkat inilah ia dapat mengenal dan merasakan adanya Tuhan, bukan
sekedar mengetahui Tuhan itu ada.
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mendekati
Tuhan, merasa adanya Tuhan dari ma`rifatullah hanya dapat dicapai dengan
menempuh satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum Sufi.
Selanjutnya Al-Ghazali berkata: “barangsiapa mengalaminya, hanya
akan dapat mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tak dapat diterangkan,
indah, utama  dan jangan lagi bertanya”. Beliau berkata lagi: “Bahwa 
hatilah yang dapat mencapai haqiqat sebagaimana yang telah tertulis pada
Lauh Mahfudh, yaitu hati yang sudah bersih dan suci murni. Sehingga
tempat untuk mengenal dan melihat Allah adalah Hati.

B.   Alat untuk mencapai Ma’rifah


Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya
adalah Dzun al-Nun al-Mishri.[3] Ketika ditanya tentang bagaimana
Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab :
‫عرفت ربّى بربّى ولو ال ربّى لما عرفت ربّى‬
“Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena
Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku”.[4]

Dzun al-Nun al-Mishri adalah orang yang pertama sekali meletakkan


dasar ilmu tasawuf, karena setiap orang mengambil darinya dan dinisbahkan
kepadanya. Dia-lah orang yang pertama kali menafsirkan isyarat-isyarat sufi
dan membicarakan hal ini di jalan sufi. Pengarang kitab Tadzkirah seperti
yang dikutip oleh Dr. Ibrahim Basyuni dalam kitabnya,  Nas’ah at-Taswwuf
al-Islami, pernah mengemukakan ungkapan Dzun al-Nun dalam
membicarakan "afir dan ma’rifah” sekitar dua halaman.  Dia dikatakan
sebagai bapak paham ma’rifah merupakan orang pertama yang membawa
paham ma’rifah.  Reinold Nicholson mengatakan bahwa ia adalah orang
yang membedakan antara ma 'rifah dengan ilmu.  Ketika ia ditanya orang
tentang perbedaan orang yang alim dengan orang yang arif, dia berkata:
"orang yang alim itu ditauladani, sedangkan orang yang arif diminta
petunjuknya."
Ketika membicarakan ma’rifah Dzun al-Nun membagi tiga bentuk
ma’rifah.yaitu:
a. Ma’rifah tauhid, terdapat pada diri mu'min awam.
Ma’rifah tauhid yaitu pengetahuan awam mengenai keesaan Allah
melalui perantara syahadat tanpa disertai dengan logika.Ma’rifah jenis
pertama ini dimilki oleh mayoritas orang Islam.
b. Ma’rifah hujjah (alasan) dan uraian berupa pengetahuan yang
didapat melalui hasil pembuktian nalar. Ma’rifah jenis ini dimiliki oleh
orang khawash.
c. Ma’rifah sifatkeesaan Allah, bagi para wali dan kekasih Allah.
Dua bentuk ma’rifah pertama disebut sebagai ilmu (al-llm),
sementara bentuk terakhir disebut ma’rifah hakiki yaitu pengetahuan tentang
keesaan Tuhan dengan perentaraan hati sanubari. Ma’rifah ini hanya
terdapat pada kaum sufi.
Dalam ungkapannya yang lain Dzun-al-Nun mengatakan bahwa
ma’rifah hakiki terhadap Allah bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan yang
dipercayai semua orang mukmin dan bukan pula ilmu yang berdasarkan
pembuktian dan pengamatan para filosof serta mutakallimin, tetapi ini
adalah pengetahuan tentang sifat-sifat keesaan Allah yang diperoleh wali-
wali Allah tertentu karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah
melalui hatinya, sehingga Allah menyingkapkan kepada mereka sesuatu
yang tidak diperlihatkan Allah kepada hamba-hambanya yang lain.
Hal ini menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja,
tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil dari pemikiran
manusia tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan kepada sufi
yang sanggup menerimanya.
Adapun persoalan jalan yang harus ditempuh seseorang untuk
sampai kepada ma’rifah secara sistematis belum diketemukan keterangan
dari Dzun al-Nun. Namun menurut Imam al-Qusyairi, pokok
pembicaraannya tidak terlepas dari empat hal, yakni:
1.    Mengikuti wahyu.
2.  Menjauhkan diri dari takut berubah dan berpalingnya sesuatu darinya atau
disebut juga membenci kekikiran.
3.   Menganggap kecil dunia dan berpaling darinya.
4.   Mencintai Allah.
Pada tahap pertama sufi harus mentaati syari'at, yaitu Alquran dan
hadits. Hal ini sesuai dengan kecenderungan Dzun al-Nun mengaitkan
ma’rifah dengan syariat.Kedua, timbulnya rasa takut untuk melakukan
kejahatan, sebab semakin banyaknya dosa yang dilakukan, maka manusia
semakin terhijab untuk berhubungan dengan Allah.Ketiga, menganggap
kecil dunia, harta benda dan kehidupan dunia hanya sebagian kecil saja dari
yang sebenarnya. Maka pada tahap ini akan muncul sikap zuhud, qana’ah,
sabar dan tawkkal dan lain sebagainya. Keempat, kecintaan kepada Allah
bersemi dalam diri seseorang sufi. Di sinilah baru didapat Mahabbah dan
ma’rifah. Mahabbah menggambarkan mesranya hubungan seseorang sufi
dengan Tuhan. Sedangkan ma’rifah melukiskan hubungan yang erat dalam
bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Selain itu alat untuk memperoleh ma’rifah. Menurut Al-Qusyairi ada
tiga, yaitu :
1)  Qalbu ‫( القلب‬hati) fungsinya untuk dapat mengetahui siffat Tuhan.
2)  Ruh ‫( الرّوح‬roh) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3)  Sirrun ‫( ال ِّس ٌّر‬rahasia) fungsinya untuk melihat Tuhan.
Selain Dzun al-Nun, Imam al-Ghazali juga banyak berbicara tentang
ma’rifah. Al-Ghazali mengatakan bahwa ma’rifah itu adalah al-Nazru ila
wajh Allah, atau mengetahui Tuhan dengan mata hati. Ia melihat Tuhan
dengan mata hatinya, bukan dengan mata indranya. Oleh karena itu kata al-
Ghazali, orang arif atau yang sudah mencapai ma’rifah, tidak lagi menyeru
Tuhan dengan kalimat "ya allah", karena ucapan seperti itu menunjukkan
pengertian, bahwa Aliah masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang
arif tabir itu sudah tidak ada, maka tidak pernah lagi saling memanggil.
Menurut al-Ghazali inilah maqam tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi.  la
menolak faham ittihad  yang dibawa oleh Abu Yazid al-Bustami bahwa
tingkatan ma’rifah itu masih bisa dilampaui manusia.  Jadi menurut al-
Ghazali, bahwa ma’rifah tidak menyebabkan seseorang menjadi padu dan
bersatu dengan Tuhan.
Menurut al-Ghazali, jalan menuju ma'rifat antara lain dengan bentuk
latihan terhadap jiwa, yaitu menghilangkan sifat-sifat marah, dengki, kikir,
riya, sombong, dan sebagainya. Kemudian melalui tingkatan-tingkatan
seperti, taubat, zuhud, sabar, tawakkal, juga melalui hal, seperti, syukur,
rasa takut, rasa harap, hidup fakir, rendah hati, ikhlas dan
sebagainya.Menurut al-Ghazali "sarana ma’rifah seorang sufi adalah
kalbu".Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang dikenal terletak
bagian kiri pada seorang manusia, tapi adalah percikan rohaniah yang
merupakan hakekat realitas manusia.Lebih lanjut dia mengatakan bahwa
kalbu itu bagaikan cermin.Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas
yang terdapat di dalamnya. Jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak
dapat memantulkan realitas realitas ilmu. Menurut al-Ghazali lagi, yang
membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu
tubuh.Sementara"ketaatan" kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan
hawa nafsu itulah yang membuat kalbu berlinang dan cemerlang.
Menurut Dzunun Al-Misrilah (bapak paham Ma’rifat) bahwa
pengetahuan tentang Tuhan itu ada tiga macam:
a.  Pengetahuan Awam
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan
syahadat.
b.  Pengetahuan Utama
Member penjelsan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
c.  Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara hati
sanubari.
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama diatas belum dapat
memberikan pengetahuan haqiqi tentang Tuhan.Sehingga kedua
pengetahuan tersebut baru disebut “ilmu” belum dapat dikatakan sebagai
Ma’rifat. Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifat adalah
pengetahuan sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifat). Sehingga
ma’rifat hanya dapat diperoleh pada kaum sufi. Mereka mampu melihat
Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya. Disamping juga mereka
didalam hatinya penuh dengan cahaya.Ada perbedaan antara makna ma’rifat
versi al-Gazali dengan versi Dzunnun al-Misri.Menurut al-Gazali ma’rifat
dapat diperoleh dengan latihan dan metode tertentu, karena itu tingkatan
ma’rifat seseorang diukur dari latihan dan metodenya.Lain halnya dengan
al-Misri, yang mengatakan bahwa ma’rifat merupakan pemberian Allah dan
tidak bisa diusahakan.Ma’rifat datang dengan sendirinya ketika hal
seseorang telah mencapai keadaannya. Selain itu, al-Gazali menganggap
dalam urutan maqamat bahwa ma’rifat mendahului  mahabbah, sebaliknya
dengan Dzunnun.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma’rifat, bagaikan berada di muka cermin, dan yang dilihatnya
hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah
mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, puncak ma’rifat adalah keadaan
yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan
dengan Tuhan-nya, sehingga membawa pada kelupaan dirinya.[5]

C. Tokoh yang mengembangkan Ma’rifah


Dalam literature tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenal
paham Ma’rifat, yaitu Al-Ghazali dan Zun Al-Nun Al-Misri.
a)    Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
ibn Ahmad, yang karena kedudukan tingginya dalam lslam dia digelari
Hujjah al-Islam.Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja
sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini terkenal dengan al-
Ghazzali (yang memintal wol) dan juga terkenal dengan al-Ghazali (dengan
memakai satu huruf "z") dinisbahkan pada suatu kawasan yang disebut
Ghazalah.  Ia dilahirkan di Thus, kawasan Khurasan, tahun 450 H atau 451
H. Ia menerima pendidikan mistisnya di rumah seorang sufi sahabat
ayahnya, setelah ayahnya meninggal dunia. Pada masa kecilnya ia belajar
fiqih kapada Ahmad al-Radzkani di Thus, lalu belajar kepada Imam Abu
Nashr al-Isma'ili di Jurjan dan belajar kepada Abu al-Ma'ali al-Juwaini,
yaitu salah seorang teolog aliran Asy'ariyah yang bergelar Imam al-
Haramain di Nishapur.
Di bawah bimbingan gurunya inilah dia bersungguh-sungguh belajar
dan berijtihad sampai benar-benar menguasai mazhab-mazhab, perbedaan
pendapatnya, perbantahannya, teologinya, ushul fikihnya, logikanya, dan
membaca filsafat dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan itu.Dan dia terus
mendapingi gurunya, al-Juwaini, sampai gurunya meninggal dunia tahun
478 H.  Dia lalu meninggalkan Nishapur menuju al-Askar, di sana dia
bertemu dengan seorang menteri yang terkenal, Nizham al-Mulk dan dia
ditawarkan untuk mengajar di perguruannya, yaitu al-Nizhamiyah di
Baghdad. Maka al-Ghazali menyambut baik tawaran mengajar itu.Selama
kehidupannya al-Ghazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, dan
juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali untuk
menghilangkan keraguannya yang muncul sejak ia mengajar. Ternyata ilmu-
ilmu ini tidak memberinya ketenangan jiwa.Kegelisahan jiwanya malah
semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis,
yang diuraikannya dengan menarik dalam karyanya, al-Munqidz min al-
Dalal.Di antara ungkapannya adalah,"Lalu keadaan diriku pun kurenungi,
dan temyata aku telah tenggelam dalam ikatan-ikatan (yang bercorak
duniawi) yang meliputi diriku dari segala sudut.Amal-amalku pun
kurenungi, khususnya amalku yang terbaik, yaitu mengajar, dan temyata
aku hanya menerima ilmu-ilmu yang sepele dan tidak berguna.Akupun
memikirkan niatku dalam mengajar, dan tertyata niatku tidak ikhlas demi
Allah.Bahkan hanya didorong keinginan untuk menadapatkan jabatan serta
menjadi terkenal”.
Akibat keadaan krisis ini, al-Ghazali lalu meninggalkan
kedudukannya sebagai guru besar di al-Nizhamiyah dan kemudian hidup
menyendiri. Dalam penyendiriannya, ia menggeluti bidang tasawuf, tasawuf
yang dipilihnya adalah tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama'ah. Menurut Al-Ghazali Ma’rifah urutannya terlebih
dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari Ma’rifah.
b)    Dzun Al-Nun Al-Misri
Nama aslinya adalah Abul Faidh Dzun al-Nun Tsauban bin Ibrahim
al-Mishri (155 H-245H/859 M). Ayahnya adalah orang Naubi, luar biasa
kepandaiannya.Dia-lah satu satunya orang yang berilmu pada masanya,
bersikap wara’ dan hal serta serta berakhlak.Ia pun pernah dituduh
melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili
di hadapan Khalifah al-Mutawakkil[6]. Berasal dari Naubah, suatu negeri
yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak
yang mengetahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M.
Menurutnya Ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup
melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Baginya Ma’rifat tidak
diperbolehkan begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan.Ma’rifah
bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak dan
rahmat Tuhan.
D.   Ma’rifah dalam pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadits
       Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu
diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian
manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan
pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5)[7]. Ruh sebagai power untuk
menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima
ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa
mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti panca
indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa
mempertimbangkan penghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia
hanya hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha
kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas
anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang
menggerakkan.
َ ‫َوالَّذِي َني ُْؤ ِم ُنو َن ِب َماأ ُ ْن ِزإَل ِلَ ْي َك َو َماأ ُ ْن ِزلَ ِم ْن َق ْبلِ َك َو ِباآلخ َِر ِةهُمْ يُوقِ ُن‬
 ‫ون‬
.‫ُون‬َ ‫أُولَ ِئ َك َعلَى ُه ًدى ِم ْن َرب ِِّهمْ َوأُولَ ِئ َك ُهم ُْال ُم ْفلِح‬
َ ‫إِ َّنالَّذِي َن َك َفرُوا َس َوا ٌء َعلَي ِْه ْم َءأَ ْن َذرْ َتهُمْأ َ ْملَ ْم ُت ْنذِرْ ُه ْمالي ُْؤ ِم ُن‬
‫ون‬

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang


sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-
rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shalih; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya " (QS.Al
Bayyinah:4-6).
ۚ ‫م‬Hُْ‫ار ِه ْم َوهُ ْمأُلُوفٌ َح َذ َر ْال َموْ تِفَقَالَلَهُ ُماللَّهُ ُموتُواثُ َّمأَحْ يَاه‬
ِ َ‫أَلَ ْمت ََرإِلَىالَّ ِذينَ َخ َرجُوا ِم ْن ِدي‬
َ‫إِنَّاللَّهَلَ ُذوفَضْ لٍ َعلَىالنَّا ِس َو ٰلَ ِكنَّأ َ ْكثَ َرالنَّا ِساَل يَ ْش ُكرُون‬.
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi
manusia kebanyakan tidak bersyukur " (QS.Al Baqarah:243)
ۖ ‫بِ ْئ َس َماا ْشتَ َروْ ابِ ِهأ َ ْنفُ َسهُ ْمأ َ ْنيَ ْكفُرُوابِ َماأَ ْنزَاَل للَّهُبَ ْغيًاأَ ْنيُنَزِّاَل للَّهُ ِم ْنفَضْ لِ ِه َعلَ ٰى َم ْنيَ َشا ُء ِم ْن ِعبَا ِد ِه‬
ٌ ‫ب ۚ َولِ ْل َكافِ ِرينَ َع َذابٌ ُم ِه‬
‫ين‬ َ ‫ضبٍ َعلَ ٰىغ‬
Hٍ ‫َض‬ َ ‫فَبَا ُءوابِ َغ‬
“Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendakinya
diantara hamba-hamba Nya " (QS.Al Baqarah:90).
Allah telah menyediakan dan memberikan beberapa kelebihan untuk
manusia sehingga manusia yang asal mulanya sama diciptakan dari tanah
kemudian mempunyai tingkat kelebihan yang berbeda disisi Allah karena
ketaqwaan dan usaha mereka untuk mencapai kehadhirat-Nya. Kelebihan
Allah yang diberikan kepada manusia diluar adat kebisaan manusia biasa
(Khariqul Adat) dan diluar akal manusia, sehingga manusia yang mendapat
kelebihan dapat berbuat diluar adat dan akal manusia.
Dengan limpahan cahaya Allah itulah manusia dapat mengetahui
rahasia-rahasia yang ada pada-Nya.Dia lalu bisa mengetahui hal-hal yang
tidak diketahui oleh manusia biasa.Orang yang sudah mencapai ma’rifat
bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu yaitu Allah.Dengan hati
yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki antena parabola
yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Allah swt berfirman:
ۖ َ‫فَبَدَأَبِأَوْ ِعيَتِ ِه ْمقَ ْبلَ ِوعَا ِءأَ ِخي ِهثُ َّما ْست َْخ َر َجهَا ِم ْن ِوعَا ِءأَ ِخي ِه ۚ َك ٰ َذلِ َك ِك ْدنَالِيُوسُف‬
ِ ‫ ۚ نَرْ فَ ُع َد َر َجاتٍ َم ْننَ َشا ُء ۗ َوفَوْ قَ ُكلِّ ِذ‬Hُ ‫ َما َكانَلِيَأْ ُخ َذأَخَاهُفِي ِدينِ ْال َملِ ِكإِاَّل أَ ْنيَ َشا َءهَّللا‬.
ٌ‫يع ْل ٍم َعلِيم‬
Artinya :
”dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka
berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus : 76)
Ma’rifat yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-
Syarbasi menyebutkan ilmu Al Mauhubah (pemberian)[8], Al Syuhrawardi
menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina menyebutkan  al Fa’id
(limpahan). Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai
Futuh (pembuka), kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan
kalangan kebatinan menamakannya sebagai wangsit .
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah 
pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada
hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke
dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan
Nur (Cahaya Tuhan).Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43
kata “nur” dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.[9]Misalnya ayat
yang berbunyi:
‫ْضإِ َذاأَ ْخ َر‬ ُ ‫أَوْ َكظُلُ َماتٍفِيبَحْ ٍرلُ ِّجيٍّيَ ْغ َشاهُ َموْ ٌج ِم ْنفَوْ قِ ِه َموْ ٌج ِم ْنفَوْ قِ ِه َس َحابٌظُلُ َماتٌبَ ْع‬
ٍ ‫ضهَافَوْ قَبَع‬
ٍ‫َاو َم ْنلَ ْميَجْ عَاِل للَّهُلَهُنُورًافَ َمالَهُ ِم ْننُور‬
َ ‫َجيَ َدهُلَ ْميَ َك ْديَ َراه‬
Artinya :
”atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak,
yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat
melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh
Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. An Nur : 40)

Artinya :
” Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama
dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah
bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.mereka itu
dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Az Zumar : 22)
Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya
Tuhan.Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya
yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah
mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan
cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang
didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat
sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an .Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk.Oleh karena itu
Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka.Maka mereka mengenal Aku”.
[10]
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia.Caranya  dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini
menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
BAB II
KESIMPULAN

  Pengertian Ma’rifat
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-halyang
bersifat dzahir, tetapi lebih terhadap bathinnya dengan mengetahui
rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia
sanggup mengetahui hakikat ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang
maujud berasal dari yang satu.
  Alat untuk mencapai Ma’rifat
Alat yang dapat digunakan untuk mencapai ma’rifat telah ada
dalam diri manusia, yaitu qalb (hati). Selain sebagai alat untuk merasa, qalb
juga menjadi alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal
tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan,
sedangkan qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika
dilimpahi cahaya Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
  Faham Ma’rifat
Menurut Dzunun Al-Misrilah (bapak paham Ma’rifat) bahwa
pengetahuan tentang Tuhan itu ada tiga macam:

a.     Pengetahuan Awam


b.    Pengetahuan Utama
c.     Pengetahuan Sufi

  Jalan Ma’rifat
  Menurut Al-Qusyairi ada tiga, yaitu :

1)   Qalbu ‫( القلب‬hati)


2)   Ruh ‫روح‬
ّ ‫( ال‬roh)
3)   Sirrun ‫س ٌّر‬
ِّ ‫( ال‬rahasia)

  Tokoh yang mengembangkan Ma’rifat


c)    Al-Ghazali
d)   Dzun Al-Nun Al-Misri
  Ma’rifat dalam pandangan al-Qur’an dan al –Hadits
Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah
cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi
dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .Selanjutnya, simak
juga hadits qudsi berikut:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib),
Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk.Oleh
karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka.Maka mereka
mengenal Aku”.
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia.Caranya  dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini
menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Daftar pustaka

SUWITO, sejarah sosial pendidikan islam, Jakarta, Prenada Media, cet


ke-1, 2005

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf,


Surabaya,cet. Ke-3, 2013
http://belajarilmutasawuf.blogspot.com/2011/10/pengertian-marifat.html
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4,
2002
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1983
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, cet.
Ke-1, 1995
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf,
Surabaya,cet. Ke-3, 2013

[1]Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi Jilid 2, Dar al-Kitab, Beirut, 1979,


hlm. 72.
[2] Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jilid II. (Beirt: Dar al-Kitab 1979).Lihat
juga Abuddin Nata, Akhlak, 219-220.
[3]Tokoh sufi yang lahir di Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M,
“Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”.
[4]H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
[5]Ibid.
[6]Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H  / 861 M.
َ ْ‫ُثم ََّرد َْد َناهُأَسْ َفلَ َسافِلِي َنلَ َق ْد َخلَ ْق َنااإْل ِ ْن َسا َنفِيأَح‬
[7]               ‫س ِن َت ْق ِويم‬

[8]Al-Syarbasi,
Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978, hlm.
56
[9]Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-
Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987, hlm. 725-726
[10]Ibid

Anda mungkin juga menyukai