PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Sumber hukum pada masa Rasulullah hanyalah Al-Quran dan Hadits,
atau sering disebut sebagai wahyu yang menjadi dasar sumber hukum islam waktu
itu. Begitu juga dengan hadist Nabi, banyak yang memang merupakan wahyu dari
Allah SWT, namun juga terdapat hadits yang merupakan hasil ijtihad Nabi itu
sendiri. contohnya, mengenai kasus Umar yang mengatakan kepada Rasulullah
bahwa ia mencium istrinya sewaktu berpuasa. Kepada Umar, Nabi berkata,
Bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan air sewaktu
kamu sedang berpuasa? Umar menjawab tidak apa-apa, (tidak membatalkan
puasa). Nabi berkata lagi, Maka tetaplah berpuasa.1
Hadits ini menunjukan adanya pilihan Rasulullah dalam salah satu urusan
demi menjaga kemaslahatan umatnya. Seandainya beliau tidak memperbolehkan
ijtihad tentu ketetapan seperti itu akan muncul dari ucapannya. Menurut para
ulama, Rasulullah melakukan ijtihad berdasarkan pribadinya. Hanya saja, jika
ijtihad-nya salah, Allah SWT akan segera menurunkan wahyu dan menunjukkan
yang benar. Contohnya adalah tindakan beliau pada tawanan perang badr. Abu
bakar berpendapat supaya tawanan itu dibebaskan dengan membayar tebusan,
sedangkan Umar berpendapat supaya tawanan itu dibunuh saja karena mereka
telah mendustakan dan mengusir Nabi dari Makkah. Dari pendapat itu beliau
memilih pendapat Abu bakar, namun kemudian turun ayat yang tidak
1 Dr. H. Alaidin Koto, M.A., Ilmu fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hlm. 27
Page 1
membenarkan pilihan tersebut, yakni ayat 67 surah Al-Anfal yang artinya: Tidak
patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta duniawi sementara Allah
menghendaki akhirat, sebaliknya jika hasil ijtihad Nabi tersebut tidak turun
wahyu yang menyanggah keabsahannya, berarti ijtihad tersebut benar dan
termasuk ke dalam pengertian As-Sunah.2
Setelah masa Rasulullah, dimana islam sudah semakin luas dan banyak
pemeluk islam bukan hanya bangsa Arab saja, maka menimbulkan beberapa
perbedaan dalam bahasa arab, seperti mufrodat (kata-kata baru) dan ushul-ushul
(gaya bahasa). Keseluruhan bahasan-bahasan tentang penggunaan dalil dan
bataasan-batasan atau kaidah-kaidah bahasa itulah yang kemudian menjelma
menjadi Ilmu Ushul Fiqih.3
Perkembangan ilmu ushul fiqih tersebut ternyata menimbulkan banyak
perbedaan pendapat dan polemik-polemik ilmiah diantara para mujtahid, baik
yang mengenai hasil dari ijtihad, dalil-dalil yang digunakan, atau jalan yang
mereka tempuh dalam berijtihad. Hal ini menciptakan ide baru bagi para ulama
untuk menetapkan syarat-syarat sebagai panduan metedologis yang berkaitan
dengan dasar-dasar dan tujuan-tujuan syara menetapkan hukum. Namun tetap
saja lahir berbagai macam pandangan mengenai ilmu ushul fiqih ini.
II. Rumusan Masalah
2 Ibid. hlm. 28
3 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih, Raja Grafindo
Persada, Jakarta,2002, hlm. 11
Page 2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Ushul Fiqih
Para ulama besar dalam islam (pendiri madzhab) bahwa seluruh tindakan manusia
biasa, baik berupa ucapan atau perbuatan yang ada di dalam ibadah dan
muamallah, atau berupa pidana dan perdata yang terjadi dalam persoalan aqad
(contract) atau pengelolaan (al-Tasharruf), dalam syariat islam keseluruhannya itu
ada dalam lapangan hukum.4
4 Ibid, hlm. 1
Page 3
5 Ibid, hlm. 3
6 Dr. Taha Jabir al Alwani, Ushul al Fiqh al Islam, Imam ibn Saud Islamic University,
Riyadh, 1935, hlm. 1
Page 4
Secara detail, Abu Zahrah juga berpendapat bahwa ilmu ushul fiqih adalah ilmu
yang menjelaskan kepada mujtahid tentang jalan-jalan yang harus mereka tempuh
dalam mengambil hukum dari nash dan dari dalil-dalill yang disandarkan pada
nash itu sendiri, atau juga dapat disebut kumpulan metode yang menjelaskan
kepada ahli hukum islam tentang cara mengeluarkan dalil-dalil syara.7
2. Objek Ilmu Ushul Fiqih
Objek pembahasan ilmu ushul fiqih adalah dalil-dalil syara itu sendiri dari segi
bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali. Ulama menyepakati
bahwa dalil syara yang pertama adalah Al-Quran. Hukum-hukum dalam AlQuran hadir dalam beberapa bentuk, seperti kalimat perintah (shighat amr),
kalimat larangan (shighat nahy), kalimat yang bersifat umum, mutlak, dan
sebagainya.8
Susunan kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
Kaidah umum itu sebagai hasil susunan ulama ushul yang dijadikan pedoman oleh
ulama fiqih sebagai kaidah yang bisa diterima dan dijadikan pedoman dalam
7 Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Darul Fikri alArabyu, Mesir, 1958, dikutip oleh Dr. H.
Alaidin Koto, M.A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
hlm. 4
8 Dr. H. Alaidin Koto, M.A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hlm. 7
Page 5
menerapkan dalil-dalil
9 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih, Raja Grafindo
Persada, Jakarta,2002, hlm. 4
10 Prof. DR. H. Satria Effendi M.A., Ushul Fiqih, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 14
Page 6
A. Aliran Mutakallimin
Aliran ini didirikan oleh Imam SyafiI, dikenal juga dengan
sebutan aliran jumhur ulama karena merupakan aliran mayoritas para
ulama. Pengucapan mutakallimin sebagai nama aliran ini karena para
pakar dibidang ini setelah Imam SyafiI adalah kalangan Mutakallimin,
seperti Imam al-Juwaini, al-Imam al-Ghazali, dll.
Ciri aliran ini adalah bahwa pembahasan ushul fiqih disajikan
secara rasional, filosofis, teoritis tanpa disertai contoh, dan murni tanpa
mengacu kepada mazhab fiqih tertentu yang ada. Kaidah-kaidah ushul
fiqih dirumuskan tanpa peduli mazhab mana yang mereka anut dan
bertujuan untuk dijadikan timbangan bagi kebenaran mazhab yang ada.11
SyafiI dikatakan sebagai seorang usuli dalam arti epistimologi
dalam ilmu ushul fiqih. Kaidah-kaidah ushul SyafiI unggul dengan
keumuman, universalitas, kebebasan dan tidak ada keunggulan lainnya
kecuali ilmu pokok dari hukum. Ilmu ushul fiqih yang diajarkan SyafiI
menjadi kesatuan pengetahuan yang menghasilkan hukum islam, dan juga
menetapkan kaidah-kaidah dasar ushul fiqih atau hukum praktis yang
dapat dilakukan istinbat atau mengikuti prinsip-prinsip epistimologi
cabang.12
Terdapat keunikan dalam aliran mutakallimin ini, disebabkan
karena SyafiI sesungguhnya menentang ilmu kalam (teologi), namun para
pengikut aliran kalam Asyariyah menggunakan kaidah-kaidah ushul-nya,
11 Ibid, hlm. 24
12 Muhammad Jabal Barut, Ijtihad antara teks realitas dan kemaslahatan sosial,
Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 53
Page 7
13 Ibid. hlm. 54
14 Muhammad Jabal Barut, Loc. Cit.
15 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih, Raja
Grafindo Persada, Jakarta,2002, hlm. 25
Page 8
ketiga
yang
Page 9
Ilmu ushul fiqih memberi pengetahuan kepada umat islam tentang sistem hukum
dan metode pengambilan hukum itu sendiri. dengan ilmu ini diharapkan umat
islam terhindar dari taqlid, ikut pendapat orang lain tanpa mengetahui dasarnya.
Perkembangan teknologi dan pergaulan masyarakat menyebabkan sangat
pentingnya ilmu ini agar tidak terjadi pendapat baru yang mungkin sesat atau
menjaga masyarakat dari ekspansi barat dalam bidang agama. Terlepas dari segala
aliran yang ada baik dalam fiqih maupun aliran ushul fiqih, semuanya merupakan
keindahan dalam islam. Seperti contoh: orang yang bermazhab SyafiI kemudian
pergi ke Makkah untuk melaksanakan rukun slam yang ke 5, maka saat berada di
sana tidak akan terjadi keributan mengenai batalnya wudlu karena bersentuhan
dengan orang yang bukan muhrimnya. Namun hal ini ditutupi dengan mazhab
Hanafi yang mengatakan itu bukanlah hal yang membatalkan wudlu.
Mengembangkan pikiran untuk menjangkau hukum-hukum yang telah
terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunah merupakan tugas ilmu ushul fiqih,
sehingga islam bukan dianggap sebagai agama yang kuno dan tidak dapat
mengikuti perkembangan zaman. Namun semua itu meskipun didapati dengan
akal, wajib bagi siapapun jika menemukan kekhilafan dalam hasil ijtihad maupun
pemikiran ushul fiqih, harus kembali kepada kitabullah dan hadits seperti yang
telah diingatkan Nabi dalam Haji wada. Dimana beliau berpesan agar tetap
memegang teguh warisan yang telah dilahirkannya, yaitu Al-Quran dan AsSunah.
Page 10