Anda di halaman 1dari 59

MAKALAH

HADITS SHAHIH, HASAN, DAN DHAIF


Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Dr. H. M. Akib, M.Ag.

Disusun oleh Kelompok 5 Psikologi Islam B :


Zuliana Halimatus Sadiyah (933406914)
Putri Mahsunatul Qoiriah

(933407014)

Iva Nur Kiftiyah

(933407114)

Annisa Nuril Fadilla

(933407314)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2014
A. PENDAHULUAN
Pengkodifikasian hadits sudah dimulai sejak abad ke-2 H.
Pada masa ini belum ada klasifikasi antara hadits-hadits
marfu, mauquf dan maqthu. Setelah tersusun kitab-kitab
tadwin, para ulama hadits berdasarkan jumlah perawinya

membagi hadits menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad.


Hadits mutawatir bersifat qathiy ats-tsubut (absah secara
mutlak) yang wajib diterima dan diamalkan. Sedangkan
hadits ahad masih bersifat dhanniy (dugaan yang kuat akan
kebenarannya). Sehingga harus diteliti lagi baik sanad
maupun matannya.
Dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi menjadi tiga,
yaitu hadits shahih, hasan, dan dhaif. Pengklasifikasian ini
terjadi pada abad ke-3 H yang didasarkan atas penelitian
terhadap sanad dan matan hadits. Sebuah hadits harus
terbukti keotentikannya atau keshahihannya. Sebuah hadits
harus memiliki kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1)
Diriwayatkan

dengan

sanad

(jalur

transmisi)

yang

bersambung sampai Rasulullah saw; (2) Sanad tersebut


terdiri dari orang-orang yang bertakwa dan kuat ingatannya;
(3) Kandungan matan hadits tidak berlawanan dengan alQuran atau hadits lain yang diriwayatkan dengan sanad yang
kualitasnya lebih unggul; dan (4) Hadits tersebut tidak
mengandung

kecacatan.

Namun

demikian,

tetap

ada

golongan yang menolak otentisitas hadits, yakni kaum


orientalis.
Dari ulasan singkat sejarah hadits diatas, pemakalah
akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana penjabaran
substansi-substansi dari hadits shahih, hasan, dan dhaif.
Kemudian tentang bagaimana perbedaan pemikiran ulama
hadits klasik dengan ulama hadits kontemporer. Dan tentang
kontroversi orientalis dalam menilai otentisitas suatu hadits.

B. SETTING HISTORIS

1. Ulama Hadits Klasik


Pada mulanya, hadits berdasarkan jumlah perawinya
dibagi

menjadi

Sedangkan

hadits

hadits

mutawatir

ahad

dibagi

dan
lagi

hadits
menjadi

ahad.
dua

berdasarkan dari segi kehujjahannya, yaitu hadits maqbul


dan mardud. Menurut mayoritas ulama hadits maqbul
adalah hadits shahih dan hadits hasan, sedangkan hadits
mardud adalah hadits dhaif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hadits
tersebut salah satunya intelektualitas para perawi yang
berbeda-beda. Kemudian jalur periwayatan hadits yang
bervariasi

seperti

contohnya

riwayat

hadits

oleh

Bukhari,Muslim,Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah


dan lain-lain. Kemudian persambungan sanad mulai dari
awal sampai akhir. Disini tingkat kedhabitan perawi
sangat penting

agar mata rantai sanad dan matan

terjaga.
2. Ulama Hadits Kontemporer
Masa ulama hadits kontemporer

adalah

masa

pengembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan


kitab hadits. Setelah munculnya Kutub as-Sittah, alMuwaththa karya Imam Malik, serta al-Musnad karya
Ahmad ibn Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian
pada upaya menyusun kitab-kitab Jawami, kitab Syarah
Mukhtasar,

Tahrij,

kitab

Athraf

dan

Jawaid,

serta

menyusun kitab hadits secara tematis. Ulama yang masih


menyusun kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih
diantaranya Ibnu Hibban (w. 354 H), Ibnu Khuzaimah (w.
331 H), dan an-Naisaburiy.
Penyusunan kitab pada masa ini mengarah pada
usaha mengembangkan variasi pentadwinan terhadap

kitab-kitab

yang

telah

ada,

diantaranya

dengan

mengumpulkan isi kitab Shahih Bukhari dan Shahih


Muslim seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu
Abdillah al-Jauzaqi dan Ibnu al-Furat (w. 414 H). Mereka
pun mengumpulkan isi kitab yang sama, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu al-Kharrat (w. 583 H), al-Fairu azZabadi dan Ibnu al-Asir al-Jazari. Ada yang mengumpulkan
kitab-kitab

hadits

mengenai

hukum,

seperti

yang

dilakukan oleh ad-Daruquthni, al-Baihaqiy, Ibnu Daqiq alIed, Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dan Ibnu Qudamah.1
Masa ini juga merupakan masa penyaringan hadits.
Yaitu harus diketahui seluk-beluk para perawinya, silsilah
sanadnya, dan makna hadits secara tekstual karena
sering terjadi perubahan huruf dan syakal dalam kalimat
matan hadits.

C. SUBSTANSI DARI TERMINOLOGI


1. SHAHIH
a. Pengertian Hadits Shahih
1) Menurut Abu Amr ibn ash-Shalah


.
Hadits shahih adalah musnad yang sanadnya
muttashil melalui periwayatan orang yang adil lagi
dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula)
sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak muallal
(terkena illat).2
2) Menurut Imam Nawawiy
1 Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, CV Pstaka Setia, Bandung, 2012, hlm.
189.
2 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hlm. 276.


.
Hadits

shahih

adalah

hadits

yang

muttashil

sanadnya melalui (periwayatan) orang-orang yang


adil lagi dhabit tanpa syadz dan illat.3
Yang dimaksud muttashil disini adalah hadits
tersebut sanadnya bersambung sampai akhir, baik
marfu (sampai kepada Rasulullah saw.) maupun
mauquf yang berarti hadits tersebut diriwayatkan oleh
sahabat.

Sedangkan

termasuk

muttashil

hadits
karena

yang

maqthu

periwayatnya

tidak

terhenti

sampai tabiin saja.


Perawi yang adil lagi dhabit disebut perawi tsiqah.
Disini dapat kita simpulkan bahwa hadits shahih
adalah hadits yang muttashil sanadnya oleh perawi
tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sampai akhir,
dan tidak syadz dan tidak terkena illat.
b. Kriteria-kriteria Hadits Shahih
1) Persambungan sanad (muttashil)
Yakni setiap perawi dalam sanad bertemu dan
menerima periwayatan dari perawi sebelumnya


baik secara langsung (
) atau secara hukum

((

) dari awal sanad sampai akhirnya.
a) Pertemuan langsung (mubasyarah), seorang
bertatap muka langsung dengan syaikh yang
menyampaikan periwayatan.
b) Pertemuan secara hukum (hukmiy), seorang
meriwayatkan hadits dari seseorang yang hidup
semasanya

dengan

ungkapan

kata

yang

mungkin mendengar atau mungkin melihat.


3 Ibid.

2) Keadilan para perawi (adalah ar-ruwah)


Adil secara bahasa artinya seimbang atau
meletakkan sesuatu pada tempatnya. Orang yang
adil adalah orang yang lurus agamanya, baik
pekertinya serta bebas dari kefasikan. Fasik artinya
tidak patuh beragama (al-khurujan at-thaah),
mempermudah dosa besar atau melenggangkan
dosa kecil secara kontinu. Seorang perawi haruslah
menjaga muruah, artinya menjaga kehormatan,
menjalankan segala adab dan akhlak yang terpuji
dan menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut
umun dan tradisi.
3) Para perawi bersifat dhabit (dhabt ar-ruwah)
Dhabit berarti kuat dan sempurna hafalannya.
Maksudnya, para perawi itu benar-benar sadar dan
paham

ketika

meriwayatkan

hadits,

dan

menghafalnya sejak pertama menerima sampai


meriwayatkan suatu hadits. Daya ingat dan hafalan
kuat ini sangat diperlukan dalam rangka menjaga
otentisitas hadits.
4) Tidak terjadi kejanggalan (syadz)
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing,
atau menyalahi aturan, maksud syadz disini adalah
periwayatan

orang

yang

tsiqah

bertentangan

dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah.


5) Tidak terjadi illat
Dalam bahasa arti illat = penyakit, sebab,
alasan atau udzur. Sedang arti illat disini adalah
suatu sebab tersembunyi yang membuat cacat
suatu hadits padahal dhahirnya selamat dari cacat
tersebut.
c. Pembagian Hadits Shahih
Pembagian hadits shahih ada dua macam, yaitu:

1) Shahih li dzatihi (shahih dengan sendirinya), yaitu karena sudah


memenuhi 5 kriteria hadits shahih secara maksimal.
2) Shahih li ghairihi (shahih karena sebab lain), yaitu hadits shahih
yang kurang memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Seperti
rawinya adil tetapi kurang sempurna kedhabitannya, atau hadits
tersebut berkualitas hasan li dzatihi namun memiliki mutabi4
yang menguatkan hadits tersebut.
d. Istilah-istilah dalam Hadits Shahih
Ada beberapa istilah yang bisa digunakan oleh
ulama hadits dalam menunjuk hadits itu shahih,
misalnya sebagai berikut.5
= ini hadits shahih. Artinya hadits
1)





tersebut

telah

memenuhi

segala

persyaratan

hadits shahih baik sanad dan matannya.


= ini hadits tidak shahih.
2)





Artinya

hadits

tersebut

tidak

memenuhi

persyaratan hadits shahih baik persyaratan yang


menyangkut sanad atau matan.

3)


= hadits ini shahih




isnadnya. Berarti hanya shahih dalam sanad-nya
saja

sedang

matan-nya

belum

tentu

shahih

mungkin terjadi adanya kejanggalan (syadz) atau


adanya illat, perlu penelitian lebih lanjut. Berarti
mukharrij-nya baru menanggung 5 syarat hadits
shahih

yang

menyangkut

sanad

saja,

yaitu

muttashil, adil, dhabith, tidak adanya syadz dan


illat. Sedangkan syadz dan illat pada matan
belum

terselesaikan

penelitiannya.

Dengan

demikian hadits yang hanya shahih sanad-nya


4 Lihat halaman
5 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 156.

matan-nya

belum

tentu

shahih.

Namun,

jika

ungkapan tersebut datangnya dari seorang hafizh


yang dapat dipedomani (mutamad) dan tidak
menyebutkan

illat-nya,

maka

lahirnya

shahih

matan-nya, karena asalnya tidak ada syadz dan


tidak ada illat.


4)

hadits

shahih

= sanad yang paling shahih. Sanad


memiliki

tahap

tingkatan

yang

berbeda sesuai dengan kadar ke-dhabith-an dan


keilmuan para perawi hadits tersebut. Bentuk
ungkapan ini yang secara mutlak diperselisihkan di
kalangan para ulama kecuali dibatasi di kalangan
para sahabat saja.


= ini adalah yang paling
5)




shahih dalam bab. Maksudnya hadits paling unggul
dalam bab itu, tidak pasti meunjukkan hadits
shahih, bisa jadi haditsnya lemah atau hanya satu
hadits yang memenuhi persyaratan shahih dalam
bab tertentu.

= ( artinya
6) Perkataan al-Hakim:



para perawi pada sanad yang dinyatakan shahih
sesuai dengan persyaratan Al-Bukhari Muslim.
Imam Bukhari dan

Imam Muslim sendiri tidak

menjelaskan persyaratan tertentu secara eksplisit


dalam

kedua

kitabnnya

yang

melebihi

yang

disepakati para ulama. Namun, sebagian peneliti


menyimpulkan

adanya

syarat-syarat

tertentu.

Pendapat yang paling baik maksud persyaratan


Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah para
perawi sanad itu sesuai dengan yang dikeluarkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua

kitabnya

atau

salah

satunya

dengan

periwayatan yang sama pula.


7) Muttafaq
Alaih,
maksudnya

cara

disepakati

keshahihannya oleh kedua syaikhayn al-Bukhari


dan

Muslim

bukan

disepakati

para

ulama

semuanya. Tetapi Ibn ash-Shalah mengatakan,


bahwa kesepakatan umat melaziminya karena
mereka sepakat menerima apa yang disepakati
kedua ulama tersebut.
e. Tingkatan-tingkatan Hadits Shahih
Tujuh tingkatan hadits shahih mulai dari yang
tertinggi sampai sampai terendah, yaitu sebagai
berikut:6
1) Muttafaq Alaih, yakni disepakati keshahihannya
oleh

Imam

Bukhari

dan

Imam

Muslim,

akhrajuhu/awahu

al-Bukhari

wa

(diriwayatkan

Bukhari

Muslim)

oleh

dan

atau

Muslim
atau

akhrajuhu/rawahu asy-Syaykhab (diriwayatkan oleh


dua orang guru).
2) Diriwayatkan oleh Imam Bukhari saja.
3) Diriwayatkan oleh Imam Muslim saja.
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi
persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim.
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi
persyaratn Imam Bukhari saja.
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi
persyaratan Imam Muslim saja.
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits
selain Imam Bukhari dan Imam Muslim daan tidak
mengikuti

persyaratan

keduanya,

seperti

Ibnu

Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

6 Ibid., hlm. 158.

f. Ashahhul Asanid Hadits Shahih


Ashahhul asanid adalah sanad-sanad yang derajat
diterimanya tinggi sebab perawi-perawi di dalamnya
terdiri dari orang-orang terkenal dengan keilmuan,
kedhabitan dan keadilannya. Ada perbedaan pendapat
di kalangan ulama mengenai hai ini diantaranya7:
1) Riwayat Ibnu Syihab az-Zuhriy dari Salim ibn
Abdillah ibn Umar dari Ibnu Umar.
2) Riwayat Sulaiman al-Amasy dari Ibrahim anNakhaiy dari al-Qamah ibn Qais dari Abdullah ibn
Masud.
3) Imam Bukhari

dan

yang

lain

mengatakan,

ashahhul asanid adalah riwayat Imam Malik ibn


Anas dari Nafi Maula ibn Umar dari Ibn Umar. Dan
karena Imam Syafii merupakan orang yang paling
utama yang meriwayatkan dari Imam Malik, dan
Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama
yang meriwayatkan dari Imam Syafiiy, maka
sebagian ulama mutaakhirin cenderung menilai
bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam
Ahmad dari Imam Syafiiy dari Imam Malik dari
Nafi dari Ibn Umar. Inilah yang disebut dengan
Silsilah adz-Dzahab (rantai emas).
g. Kehujjahan Hadits Shahih
Menurut Imam Syafii riwayat hadits dapat dijadikan hujjah
apabila:8
1) Diriwayatkan oleh perawi yang dapat dipercaya.
Yaitu dalam hal amalan baik hadits yang telah
diriwayatkan, mengetahui perubahan arti hadits apabila telah
7 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hlm. 278.
8 Musthofa Hasan, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.
219.

terjadi pereubahan lafalnya, mampu meriwayatkan hadits secara


lafal dan hafalannya terpelihara, bunyi hadits yang diriwayatkan
sama dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh orang lain dan
terlepas dari tadlis (menyembunyikan cacat).
2) Rangkaian riwayatnya bersambung.
Keharusan dalam mengetahui hadits yang diriwayatkan,
mengetahui perubahan arti, dan meriwayatkan dengan lafal
dengan benar, sehingga kriteria tersebutdapat menunjukkan
keshahihan hadits.
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih
wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara sesuai dengan
ijma para ulama hadits. Ada beberapa pendapat para ulama
yang memperkuat kehujjahan hadits shahih ini, diantaranya
sebabagi berikut.9
a) Hadits shahih memberi faedah qhati (pasti kebenarannya)
jika terdapat di dalam kitab shahihayn (al-Bukhari dan
Muslim) sebagaimana pendapat yang dipilih Ibnu ashShalah.
b) Wajib menerima hadits shahih sekalipun tidak ada seorang
pun yang mengamalkannya, pendapat al-Qasimiy dalam
Qawaid at-Tahdits.
h. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Shahih
Karya yang mula-mula sampai kepada kita adalah
kitab al-Muwaththa karya Imam Malik (w. 179 H).
Namun dalam kitab ini tidak hanya memuat hadits
shahih saja karena masih bercampur dengan hadits
dhaif dan ungkapan-ungkapan hikmah.
Karya pertama yang memuat hadits shahih saja
adalah kitab-kitab karya Imam Bukhari (194-256 H).
Karya Imam Bukhari yang paling populer adalah alJami ash-Shahih atau yang lebih dikenal sebagai
9 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm.155-156.

10

Shahih Bukhari. Kemudian diikuti Imam Muslim (204261 H) dengan kitab karyanya Shahih Muslim.
Kedua kitab ini hanya memuat hadits shahih saja,
namun bukan berarti seluruh hadits shahih termuat
dalam kitab ini. Imam Bukhari mengatakan: Saya
tidak memasukkan dalam kitab al-Jami kecuali yang
shahih saja. Tetapi saya tinggalkan sebagian karena
khawatir terlalu panjang.10
Sedangkan Imam Muslim mengatakan: Tidak
semua hadits shahih yang ada pada saya, saya
letakkan
disepakati

di

sini.

Saya

hanya

keshahihannya.

meletakkan
Maksudnya,

yang
yang

memenuhi syarat-syarat disepakati.11


Karya-karya lain yang memuat hanya hadits
shahih ialah Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H),
Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H), dan al-Mustadrak Ala
ash-Shahihain karya Abu Abdullah al Hakim anNaisaburiy (321-405 H).
Selain itu terdapat Musnad Ahmad karya Imam
Ahmad Ibn Hanbal al-Syaibaniy (164-241 H) yang
merupakan kitab hadits terlengkap yang masih ada
dan sampai kepada kita. di dalamnya terdapat hadits
shahih, hasan dan dhaif, namun Imam Suyuthiy
mengatakan: Semua yang ada di dalam Musnad
Ahmad adalah maqbul. Karena hadits dhaif yang ada
di dalamnya mendekati kualitas hasan.12
10 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hlm. 285.
11 Ibid.
12 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hlm. 292.

11

Kemudian ada pula empat kitab Sunan yaitu


Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud as-Sijistani (202275 H), Sunan at-Tirmidziy karya Imam at-Tirmidziy
(209-279 H), Sunan an-Nasaiy karya Imam an-Nasaiy
(215-303 H), dan Sunan Ibn Majah karya Imam Ibn
Majah al-Quzwainiy (209-273 H). Empat kitab ini
memuat tidak mengkhususkan pada hadits shahih
saja, juga terdapat hadits hasan dan dhaif.
i. Perbedaan Antara Hadits Shahih Klasik dan
Kontemporer
Dalam perkembangan ilmu kritik hadits, pada
setiap zamannya selalu muncul para pemikir tertarik
untuk meneliti hadits. Kajian hadits tersebut pada umumnya lebih
banyak membicarakan apa yang seharusnya disebut hadits, bukan
apa yang dimaksud dari hadits tersebut. Disinilah letak perbedaan
pemikiran antara ulama hadits klasik dan kontemporer, pada
metodologinya dalam mengkaji hadits.
Ulama klasik mengkaji hadits menggunakan metode tahlili
(meneliti semua aspeknya: sanad dan matan), metode ijmali
(menafsirkan secara global), dan metode muqaran (membandingkan
dengan

al-Quran).

Memahaminya

pun

melalui

pendekatan

kebahasaan dan kesejarahan (historis). Sehingga yang dihasilkan


adalah makna asli dari hadits tersebut.
Sedangkan ulama kontemporer

mengkajinya

dengan

menggunakan metode maudhui (tematik) seperti yang dilakukan


para orientalis. Pemahamannya melalui pendekatan fenomenologi
(dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada manusia) dan
hermeneutika (penafsiran pada fenomenologi). Hasil kajiannya
bersifat aplikatif dan solutif.
2. HASAN
a. Pengertian Hadits Hasan

12

Hadits hasan adalah hadits yang telah memenuhi


syarat shahih seluruhnya namun seluruh perawinya
atau sebagian kurang kedhabitannya. Definisi hadits
hasan yang paling lengkap dikemukakan Ibn Hajar (w.
852 H) sebagai Khabar Ahad:13

Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil yang


kurang sedikit kedhabitannya, bersambung-sambung
sanadnya sampai Nabi saw dan tidak mempunyai illat
serta tidak syadz.
b. Kriteria-kriteria Hadits Hasan
Syarat-syarat hadits hasan14:
1) Sanadnya bersambung (muttashil)
2) Perawinya adil
3) Perawinya dhabit, tetapi berada dibawah perawi
hadits shahih.
4) Tidak ada kejanggalan (syadz)
5) Tidak ada illat
c. Pencetus Istilah Hasan
Menurut Ibnu Taimiyah, orang yang pertama kali
memperkenalkan pembagian hadits dari segi kualitas
kepada shahih, hasan dan dhaif adalah at-Tirmidziy.
Awalnya beliau hanya membaginya menjadi shahih
dan dhaif. Namun seringkali beliau menyebut suatu
hadits dengan sebutan hasan shahih. Barangkali
inilah yang kemudian oleh para ulama menjadi
klasifikasi tersendiri yakni hadits hasan. Menurut atTirmiziy hadits hasan adalah hadits yang berbilangan

13 Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm.


60.
14 Musthofa Hasan, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.228

13

jumlah sanad-nya dan tidak terdapat seorang perawi


yang tertuduh dusta dan ganjil (syadz).
d. Pembagian Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi
dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua
macam, yaitu hadits li dzatihi dan hasan li ghairihi:15
1) Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadits hadits li dzatihi adalah hadits hasan
dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala
kriteria

dan

persyaratan

yang

ditentukan

sebagaimana definisi dan penjelasan diatas.


2) Hadits Hasan Li Ghairihi
Hadits Hasan li ghairihi ada beberapa
pendapat diantaranya adalah:




Adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan
(sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa
hadits dhaif bisa naik menjadi hasan li ghairihi
dengan dua syarat, yaitu:
1) Harus ditemukan periwayat sanad lain yang
seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti
dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hapalan
yang kurang atau terputusnya sanad atau tidak
diketahui

dengan

jelas

(majhul)

identitas

perawi.
15 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 160.

14

e. Istilah-istilah dalam Hadits Hasan16


Istilah-istilah yang digunakan dalam hadits hasan:
1) Di antara gelar tadil para perawi yang digunakan
dalam hadits maqbul atau hasan sebagaimana
yang disebutkan dalam kitab al-Jarh wa at-Tadil.
Sebagian ulama mempersamakan dalam gelar
tadil para perawi hadits dalam kata al-jayyid =
bagus antara shahih dan hasan. Sebagian ulama
lain lebih berpendapat bahwa sekalipun gelar aljayyid

dengan

makna

shahih,

tetapi

para

muhadditsin senior tidak pindah dalam menilai


shahih menjadi al-jayyid tersebut kecuali ada
tujuan tertentu.

2) Perkataan mereka muhadditsin :





= ini hadits hasan sanadnya. Maknanya
hadits ini hanya hasan sanadnya saja sedang
matannya perlu penelitian lebih lanjut. Mukharrij
hadits tersebut tidak menanggung ke-hasan-an
matan mungkin ada syadz atau illat. Berarti ada
kesempatan luas bagi para peneliti belakangan
untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang
matan hadits tersebut apakah matannya juga
hasan atau tidak.
3) Ungkapan at-Tirmiziy dan yang lain :



= ini hadits hasan shahih. Makna ungkapan
ini ada beberapa pendapat, diantaranya:
a) Hadits tersebut memiliki dua sanad, yang
shahih dan hasan.
b) Terjadi perbedaan

dalam

penilaian

hadits

sebagian berpendapat shahih dan golongan


lain berpendapat hasan.
16 Ibid., hlm. 161.

15

c) Atau dinilai hasan li dzatihi dan shahih li


ghairihi.
f. Ashabul Asanid Hadits Hasan
Seperti hadits shahih yang mempunyai tingkatantingkatan

dalam

sanadnya,

para

ulama

juga

membagi sanad-sanad hadits hasan dalam tingkatan.


Imam adz-Dzahabiy mengatakan: Tingkat hasan
tertinggi

adalah

riwayat

Bahz

Ibn

Hukaim

dari

ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimiy dan


sanad

sejenis

yang

menurut

sebagian

ulama

dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan


derajat

shahih

terenda.

Kemudian

sanad

yang

diperselisihkan antara hasan dan dhaifnya, seperti


riwayat al-Harits ibn Abdillah, Ashim ibn Dhamrah,
Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.17
g. Kehujjahan Hadits Hasan
Hadits hasan baik li dzatihi maupun li ghairihi
dapat dijadikan hujjah dan diamalkan seperti hadits
shahih meskipun tingkatannya dibawah hadits shahih.
Bahkan sebagian ulama memasukkannya ke dalam
hadits shahih, seperti al-Hakim (w. 405 H), Ibnu Hibban
dan Ibn Khuzaimah. Namun akan tetap dimenangkan
hadits shahih apabila terjadi kontradiksi dengan hadits
hasan.
h. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Hasan
Para ulama belum menyusun kitab-kitab khusus yang hanya
memuat hadits-hadits hasan secara terpisah seperti penulisan hadits
shahih, tetapi hadits hasan banyak kita temui pada sebagian kitab,
diantaranya:
17Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hlm. 301.

16

1) Jami at-Tirmidziy, dikenal dengan Sunan at-Tirmidziy, yang


merupakan sumber untuk mengetahui hadits hasan.
2) Sunan Abu Dawud
3) Sunan ad-Daruquthni
3. DHAIF
a. Pengertian Hadits Dhaif18
Hadits dhaif adalah bagian dari hadits mardud.
Dari segi bahasa dhaif berarti lemah lawan dari alqawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini
karena sanad-nya dan matan-nya tidak memenuhi
kriteria hadits kuat yang diterima sebagai hujjah.
Dalam istilah hadits dhaif adalah:

Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits


hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak

terpenuhi.
Jadi hadits dhaif adalah hadits-hadits yang tidak
memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits
shahih atau hasan.
b. Kriteria-kriteria Hadits Dhaif
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits dhaif
adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits
shahih

dan

hasan.

Diantaranya:

(1)

sanadnya

terputus; (2) perawinya tidak adil; (3) perawinya tidak


dhabit; (4) mengandung syadz; (5) mengandung illat.
c. Pembagian Hadits Dhaif
1) Mursal
Definisi hadits mursal yang paling umum
digunakan mayoritas ulama adalah:

(
( .
18 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 163.

17

Hadits yang dimarfukan oleh seorang seorang


tabiiy kepada Rasul saw, baik berupa sabda,
perbuatan maupun taqrir, baik tabiiy itu kecil atau
besar.19
Dengan

demikian,

seorang

tabiiy

menyandarkan sebuah hadits langsung kepada


Rasulullah saw (marfu) tanpa menyebutkan nama
sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Untuk kehujjahannya, terdapat tiga pendapat
yang paling populer, yaitu:
a) Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara
mutlak. Ini merupakan pendapat Imam Abu
Hanifah,

Imam

Malik,

Imam

Ahmad

dan

sejumlah ahli fiqh, ahli hadits, dan ahli ushul.


b) Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal
secara mutlak. Ini diceritakan oleh Imam anNawawiy dari mayoritas ahli hadits, Imam
Syafiiy dan sejumlah besar ahli fiqh dan ahli
ushul. Imam Muslim dalam Muqaddimah ashShahih mengatakan: Riwayat yang mursal
menurut pendapat kami dan pendapat ahli
hadits tidak dapat menjadi hujjah.
c) Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang
menguatkannya. Misalnya dari jalur lain ia
diriwayatkan secara musnad ataupun mursal,
atau diamalkan oleh sebagian sahabat ataupun
oleh mayoritas ahli ilmu.
2) Muallaq
Hadits muallaq adalah hadits yang terdapat
satu perawi atau lebih yang gugur dari awal sanad.
Terputusnya sanad pada hadits muallaq terjadi
19 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hlm. 304.

18

pada sanad yang pertama, atau pada seluruh


sanad. Sehingga sanadnya tampak tidak berpijak
pada mukharrij hadits.
Mayoritas ulama hadits berpendapat, hadits
muallaq tidak bisa dijadikan hujjah, kecuali hadits
muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim. Alasan disebutkan secara
muallaq dalam kitab tersebut untuk keringkasan
dan menghindari pengulangan yang terlalu sering.
3) Munqathi
Munqathi berasal dari kata inqathaa yang
berarti berhenti, kering, patah, pecah atau putus.
Hadits

munqathi

adalah

hadits

yang

pada

sanadnya terdapat perawi yang gugur pada satu


tempat atau lebih secara berurutan.
Mayoritas ahli hadits berpendapat

hadits

munqathi tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak


diketahui

perawi

yang

dihilangkan

atau

disamarkan. Menurut Shubhi as-Shalih, ke-dhaifan


hadits ini karena tidak adanya kesinambungan
dalam sanad atau tidak muttashil.
4) Mudhal
Hadits mudhal adalah hadits yang di tengah
sanadnya terdapat dua perawi atau lebih yang
gugur

dalam

satu

tempat

atau

lebih

secara

berturut-turut. Hadits ini sama atau bahkan lebih


rendah daripada hadits mursal, sehingga tidak
dapat dijadikan hujjah.
5) Mudallas
Hadits
mudallas
diriwayatkan

adalah

periwayat

hadits
dengan

yang
cara

menyembunyikan cacat seorang perawi dalam


sanad hadits (tadlis), dan membaguskan perawi

19

secara dhahirnya. Para ulama sangat mengecam


tindakan tadlis ini. Perawi yang melakukannya
dinyatakan

pendusta

bahkan

hadits

diriwayatkannya dinilai maudhu.


6) Muallal
Jenis hadits ini pada lahiriahnya

yang

tampak

terhindar dari cacat, baik pada sanad maupun


matan.

Namun

terdapat

illat,

setelah
seperti

diteliti

lagi,

ternyata

menyambung
yang

mauquf,

yang

munqathi,

memarfu-kan

dan

sebagainya

yang mempengaruhi kemuttashilan

sanad dan menjadikannya tergolong hadits dhaif.


7) Mudhtharib
Dinamakan
demikian
karena
terdapat
idhthirab (kekacauan) di dalamnya. Hadits jenis ini
diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda-beda
dan

bertentangan,

yang

tidak

mungkin

mentarjihkan antara kedua bentuk hadits tersebut,


baik perawinya satu atau lebih. Karena seluruh
riwayat hadits tersebut sama kekuatannya. Hal ini
mengindikasikan ketidak-dhabitan perawi sehingga
tergolong hadits dhaif.
8) Maqlub
Secara tidak sengaja terjadi pemutarbalikan
penempatan kata yang salah atau kalimat pada
matannya

atau

perawi

yang

tertukar

pada

sanadnya oleh salah satu perawi. Sama seperti


hadits mudhtharib, hadits ini tergolong dhaif
karena ketidak-dhabitan perawi.
9) Syadz
Adalah Imam Syafiiy yang
memperkenalkan

hadits

jenis

ini,

mula-mula
yaitu

bila

diantara sekian perawi tsiqah ada diantara mereka

20

menyimpang dari yang lainnya. Kemudian generasi


selanjutnya bersepakat bahwa hadits syadz adalah
hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbul
dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang
lebih kuat darinya.
10)
Munkar
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi
dhaif

yang berbeda dengan perawi-perawi lain

yang tsiqah. Hadits jenis ini hampir sama dengan


hadits

syadz,

bedanya

pada

hadits

syadz

perawinya tsiqah atau shaduq.


Menurut sebagian ulama hadits gharib juga
merupakan

hadit

munkar,

seperti

kata

Imam

Ahmad: Janganlah kalian menulis hadits-hadits


gharib ini. Karena ia merupakan hadits-hadits
munkar, yang umumnya berasal dari perawiperawi dhaif.20
11)
Matruk dan Mathruh
Adalah hadits yang
melakukan

dusta

diketahui

sering

perawinya

(muttaham

bi

berdusta

tetuduh

al-kidzbi).
atau

Ia

terlihat

kefasikannya dalam perbuatan maupun perkataan,


atau perawi tersebut sering salah dan lupa. Hadits
ini merupakan hadits dhaif dengan tingkatan
terendah.
Sedangkan untuk hadits mathruh, al-Hafidz
adz-Dzahabiy menjadikannya sebagai jenis hadits
tersendiri.
berpendapat

Namun
hadits

Syeikh
ini

Thahir

sama

al-Jazairiy

dengan

hadits

20 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,


Jakarta, 2007, hlm. 327.

21

matruk. Tidak ada perbedaan secara etimologis


maupun terminologis.
12)
Mudraj
Yaitu hadits yang terdapat idraj baik pada
sanad

maupun

matannya.

Idraj

adalah

penambahan pada hadits yang padahal bukan


termasuk hadits itu. Idraj yang umum terjadi
adalah idraj pada matan, yaitu memasukkan suatu
pernyataan

perawi

sehingga

disalahpahami

sebagai sabda Nabi saw.


Mayoritas ulama sepakat bahwa melakukan
idraj

haram.

dengan

Apabila

tujuan

perawi

untuk

melakukan

menafsirkan

idraj
atau

memberikan penjelasan, hal ini masih bisa ditolerir.


Namun sebaiknya perawi pun menegaskan hal itu.
d. Tingkatan-tingkatan Hadits Dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang diamalkan adalah
tidak terlalu dhaif atau terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang
terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam
fadhail al-amal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang
terburuk adalah: Maudhu, Matruk, Munkar, Muallal, Mudraj,
Maqlub, kemudian Mudhtharib.21 Namun disini kami tidak
membahas hadits maudhu, karena menurut kami maudhu pada
hakikatnya bukanlah hadits sama sekali.
e. Kehujjahan Hadits Dhaif
Para
ulama
berbeda

pendapat

dalam

pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi


menjadi 3 pendapat:22
21 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 228.
22 Ibid., hlm. 165.

22

1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak


baik dalam keutamaan amal (fadhail al-amal) atau
dalam hukum sebagaimana yang diberitakan oleh
Ibnu Sayyid an-Nas dari Yahya bin Main. Pendapat
pertama ini adalah pendapat Abu Bakar ibn alArabi, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ibnu
Hazm.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik
dalam fadhail al-amal atau dalam masalah hukum
(ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad.
Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat
dari pada pendapat para ulama.
3) Hadits-hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail
al-amal,

mauizhah,

menggemarkan),

dan

targhib

(janji-janji

yang

tarhib

(ancaman

yang

menakutkan).
Pendapat pertama, dari tiga pendapat diatas lebih
selamat karena jika alasan pengamal hadits dhaif
dalam

fadhail

al-amal

tidak

dalam

ahkam

sebagaimana pendapat ketiga diatas.


Pendapat kedua, maksud Imam Ahmad dan Abu
Dawud tentang pengamalan hadits dhaif secara
mutlak adalah dhaif

dalam persepsi ulama klasik

yang masih bergabung dengan hadits shahih yang


pada waktu itu hadits hanya terbagi menjadi dua
macam yakni shahih dan dhaif belum timbul hadits
hasan.
Pendapat ketiga, sekalipun hadits dhaif telah
memenuhi

persyaratan

diatas,

maksudnya

untuk

memotivasi beramal dan masuk bab dalam kehatihatian akan kemungkinan hadits tersebut datang dari
Rasulullah, bukan menetapkan (itsbat) kebenarannya

23

semata, maka ia tidak kuat dijadikan sebagai sumber


hukum Islam atau keutamaan akhlak.
f. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Dhaif23
Diantara kitab-kitab yang tersusun secara khusus
tentang hadits dhaif adalah sebagai berikut.
1) Al-Marasil, karya Abu Dawud
2) Al-Ilal, karya ad-Daruquthni
3) Kitab-kitab yang banyak mengemukakan

para

perawi yang dhaif adalah seperti Adh-Dhuafa


karya Ibnu Hibban, Mizan Al-Itidal karya adzDzahabi.
g. Perawi yang Meriwayatkan Hadits Dhaif
Berikut ini adalah nama-nama perawi yang dinilai
dhaif berdasarkan apa yang dikatakan Imam alBukhari dalam kitabnya adh-Dhuafa ash-Shaghir dan
Imam an-Nasaiy dalam kitabnya adh-Dhuafa wa alMatrukin.
1) Al-Ashbagh ibn Nubatah -
2) Asad ibn Amru Abu al-Mundzir al-Bajaliy -


3) Asyats ibn Said Abu ar-Rabi as-Saman -


4) Ayyub ibn Utbah Abu Yahya -
5) Ayyub ibn Waqid Abu al-Hasan al-Kufi -

6)

Badzam, Abu Shalih al-Kalbi Maula Ummu Hani -


7) Bahr ibn Kaniz as-Saqa -
8) Basyir ibn Maimun, Abu Shaifiy al-Wasithiy -


9) Bazi
10) Bisyr ibn Umarah -
23 Ibid., hlm. 188.

24

11)

Bisyr ibn Harb, Abu Amru an-Nadabiy -

12)

Bisyr ibn Numair al-Qusyairiy al-Bashri -

13) Ibrahim ibn al-Fadhl -


14) Ibrahim ibn Ismail ibn Abi Habibah al-Madaniy al-Anshariy -

15)

Ibrahim ibn Ismail ibn Mujammi ibn Jariyah al-Anshariy -


16)

Ibrahim ibn Muhajir ibn Mismar al-Madaniy -


17)

Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Yahya -

18) Ibrahim ibn Muslim al-Hajariy -


19) Ishaq ibn Ibrahim ibn Nisthasi Abu Yaqub -


20)

Ismail ibn Ibrahim Abu Yahya at-Taimiy -

21)

Ismail ibn Qais ibn Sad ibn Zaid ibn Tsabit Abu Mushab

-
22) Ismail ibn Rafi -
23) Jafar ibn Abi Jafar al-Asyjaiy -
24) Jafar ibn al-Harits al-Wasithiy, Abu al-Asyhab -


25) Jafar ibn az-Zubair asy-Syamiy -
26) Jald ibn Ayub al-Bashri -
27) Jasr ibn Farqad -
h. Hukum Periwayatan Hadits Dhaif24
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits maudhu (hadits
palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya
yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapi
24 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 165.

25

adil dan jujur. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan


hadits dhaif dengan dua syarat, yaitu:
1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
2) Tidak menjelaskan hukum syara yang berkaitan dengan halal
dan haram, tetapi berkaitan dengan masalah mauizhah, attarghib wa at-tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji),
kisah-kisah dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadits dhaif jika tanpa sanad
sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni malum)
yang meyakinkan (jazm) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi
cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang
meragukan

(tamridh).

Misalnya

:.=

diriwayatkan.

Periwayatan dalam hadits dhaif dilakukan dengan hati-hati


berbeda dengan periwayatan hadits shahih.
4. FUNGSI MUTABI DAN SYAHID
Adanya mutabi dan syahid dalam suatu hadits, akan
memperkuat kehujjahan dalam hadits tersebut. Namun
jika tidak ditemukan mutabi dan syahid maka hadits
tersebut dihukumi sebagai hadits fard. Kegiatan untuk
mengetahui adanya mutabi, syahid dan fard dengan
meneliti jalur-jalur sanad dari kitab-kitab yang mungkin
memuatnya disebut itibar.
Dalam

itibar

yang

pertama

kali

dicari

adalah

keberadaan mutabi yaitu apabila: (1) seorang perawi


memiliki kawan dalam meriwayatkan hadits dari gurunya
dengan redaksi yang sama (lafdziy) ataupun mirip dengan
makna yang sama (maknawiy); (2) atau redaksi tersebut
sama

dengan

salah

seorang

gurunya

dalam

meriwayatkannya dari guru-gurunya.

26

Kebersamaan mutabi dalam meriwayatkan hadits ini


disebut mutabaah. Mutabaah dibagi menjadi dua, yaitu
mutabaah tammah, apabila terjadi dari guru perawi, dan
mutabaah qashirah apabila terjadi dari diatas guru
perawi.

Contoh

mutabaah

yaitu

Imam

Muslim

meriwayatkan dari Zuhair ibn Harb dari Sufyan dari Abu


az-Zanad dari al-Araj dari Abu Hurairah dari Nabi saw,
bahwa beliau bersabda:




.
Seandainya aku tidak (merasa) memberatkan umatku,
niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak
setiap kali (akan) shalat.25
Sejumlah

perawi

memperkuat

Zuhair

ibn

Harb

dengan mutabaah tammah yaitu Sufyan. Sebagian yang


lain memperkuatnya dengan mutabaah qashirah yaitu
dari Abu Salamah dari Abu Hurairah.
Apabila dalam itibar suatu hadits
mutabi,

maka

harus

dicari

apakah

tidak ditemukan
hadits

tersebut

diriwayatkan melalui jalur (sanad) lain yang berstatus


sahabat baik secara lafdziy maupun maknawiy. Dan inilah
yang disebut dengan syahid. Contohnya adalah hadits
yang diriwayatkan at-Tirmidziy dengan sanadnya sendiri
dari Salim ibn Abdullah ibn Umar dari ayahnya, bahwa ia
mendengar Rasulullah saw bersabda:

.
25 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hlm. 332.

27

Barangsiapa hendak melaksanakan shalat Jumat, maka


hendaklah ia mandi terlebih dahulu.26
Hadits ini memiliki syahid yang terdapat dalam
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim berupa hadits Abu
Said

al-Khudriy

dari

Rasulullah

saw

bahwa

beliau

bersabda:

.

Mandi pada hari Jumat hukumnya wajib atas setiap yang
mimpi basah.27
Hadits yang tidak terdapat mutabi dan syahid maka
dihukumi

sebagai

hadits

fard,

yaitu

hadits

yang

diriwayatkan seseorang secara menyendiri dari sekian


perawi yang ada.

5. HADITS MAQBUL DAN MARDUD


Para ulama membagi hadits ahad berdasarkan segi
kehujjahannya menjadi dua: maqbul dan mardud. Hadits
maqbul adalah hadits yang telah memenuhi syarat-syarat
diterimanya sebagai hujjah. Hadits maqbul dibagi menjadi
dua:
1) Mamul bih digunakan untuk mempertegakkan hukum.
Hadits ini yang bisa diamalkan.
a) Hadits muhkam; hadits ini tidak mempunyai lawan
sehingga dapat diamalkan secara pasti.
b) Hadits mukhtalif; yakni hadits yang bertentangan,
namun bisa dikompromikan.
26 Ibid., hlm. 332-333.
27 Ibid., hlm. 333.

28

c) Hadits nasikh; hadits yang datang di akhir dan


menghapus

ketentuan

hukum

pada

hsdit

sebelumnya.
d) Hadits rajih; hadits yang terkuat dari hadits-hadits
yang berlawanan.
2) Ghairu Mamul bih yaitu hadits yang tidak dapat
digunakan untuk mempertegakkan hukum. Hadits
yang tidak dapat diamalkan.
a) Hadits mutasyabih; hadits yang sukar dipahami
maksudnya.
b) Hadits mutawaqqaf fih; yakni dua hadits maqbul
yang tidak dapat dikompromikan.
c) Hadits marjuh yaitu hadits yang dilawani oleh yang
lebih kuat.
d) Hadits mansukh yaitu hadits yang sudah dihapus
hukumnya.
Kemudian hadits mardud adalah hadits yang tidak
menunjukkan keterangan yang kuat sehingga tertolak dan
tidak dapat dijadikan hujjah. diantaranya hadits matruk.
1) Hadits Matruk Anhu
Matruk adalah hadits yang tidak sampai kederajat
maudhu akan tetapi lebih baik dari maudhu.

(

Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi,
sedang dia tertuduh berdusta, baik kedustaannya itu
terhadap

hadits

atau

lainnya.

Atau

tertuduh

mengerjakan masiat atau mempunyai kelalaian, atau


banyak benar wahamnya.
Contoh

hadits

diriwayatkan oleh
diceritakan

oleh

matruk

yakni

Ibn Adiy, dia


Yaqub

ibn

hadits

yang

berkata:

Telah

Sufyan

ibn

Ashim,

29

diceritakan oleh Muhammad ibn Imran, diceritakan


oleh Isa ibn Ziyad, diceritakan oleh Abdur Rahim ibn
Zaid dari ayahnya dan ayahnya dari Said ibn alMusaiyab dari Umar ibn Khaththab, katanya Rasulullah
saw telah bersabda:


Sekiranya tak ada wanita di dunia ini, tentulah hamba
Allah menyembah Allah dengan sebenar-benarnya.
Menurut Ibn Adiy hadits ini matruk karena Abdur
Rahim dan ayahnya. Dan dua orang yang matruk ini
tidak boleh diambil haditsnya.

D. APLIKASI METODOLOGI
1. SHAHIH
a. Hadits Shahih Li Dzatihi
Contoh hadits shahih li dzatihi yang diriwayatkan
oleh

al-Bukhari

dalam

kitabnya

Jami

ash-Shahih

sebagai berikut.

: : , ,,
: : ,
, , , , .
Musaddad telah menceritakan kepada kami, telah
menceritakan kepada kami Mutamir, dia berkata, aku
mendengar ayahku berkata, aku mendengar Anas ibn
Malik ra berkata, Rasulullah saw berdoa, Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan,
kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan
saku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah

30

(ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepadaMu perlindungan dari adzab kubur.28
Hadits ini dikatakan shahih karena muttashil, tidak
syadz dan tidak mengandung illat, seluruh perawinya
adil dan dhabit yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Anas ibn Malik ra, beliau termasuk sahabat Nabi saw
dan semua sahabat menilainya tsiqah.
2) Sulaiman ibn Tharkhan (ayah Mutamir), dikenal
tsiqah lagi abid (ahli ibadah).
3) Mutamir, dia tsiqah.
4) Musaddad ibn Masruhad, dia tsiqah hafidz.
5) Al-Bukhari
dikenal
sebagai
jabal

al-hifdzi

(gunungnya hafalan) dan amir al-mukminin fi alhadits.


b. Hadits Shahih Li Ghairihi
Contoh hadits shahih li ghairihi yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dari Ubay ibn Abbas bin Sahal dari
ayahnya

(Abbas)

dari

neneknya

(Sahal)

sebagai

berikut.

.
Konon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh
dikandang kami yang diberi nama al-Luhaif.29
Hadits ini sebenarnya berderajat hasan li dzatihi
karena Ubay ibn Abbas oleh Imam Ahmad, Ibnu Main
dan an-Nasaiy dianggap perawi yang kurang baik
hafalannya. Namun hadits ini memiliki mutabi yang
diriwayatkan oleh Abdul Muhaimin, maka hadits ini naik
derajatnya menjadi shahih li ghairihi.
28 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan
Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 124.
29 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, PT Almarif,
Bandung, 1974, hlm. 124.

31

2. HASAN
a. Hadits Hasan Li Dzatihi
Contoh hadits hasan li dzatihi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abi Yala sebagai berikut.


: (
:
,.
Banyak-banyaklah

membaca

syahadat

sebelum

terhalangi kalian dengannya, dan talqinkanlah orangorang yang sedang menghadapi kematian (sakaratul
maut).30
Hadits ini termasuk hadits hasan karena terdapat
perawi Dhammam ibn Ismail. Ibnu Adiy mengatakan
bahwa Dhammam ibn Ismail merupakan seorang yang
abid, Imam Nasaiy mengatakan: la basa bih (tidak
apa-apa

dengannya),

adz-Dzahabiy

mengatakan:

shalih al-hadits, dan Ibnu Hajar menilainya shaduq


rubama akhtha (jujur tapi kemungkinan keliru).
b. Hadits Hasan Li Ghairihi
Contoh hadits hasan li ghairihi adalah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Majah dari al-Hakam ibn Abdul Malik
dari Qatadah dari Said ibn al-Musayyab dari Aisyah
sebagai berikut.

.
30 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan
Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 128.

32

Allah

melaknat

kalajengking,

janganlah

engkau

membiarkannya, baik keadaan shalat atau yang lain,


maka bunuhlah ia di tanah halal atau di tanah haram.31
Hadits ini dhaif karena al-Hakam ibn Abdul Malik
seorang

yang

dhaif.

Namun

dalam

riwayat

ibnu

Khuzaimah terdapat sanad lain yang berbeda perawi di


kalangan tabiin yang berfungsi sebagai mutabi melalui
Syubah

dari

Qatadah.

Sehingga

naik

derajatnya

menjadi hasan li ghairihi.


3. DHAIF
a. Mursal
Contoh

hadits

mursal

adalah

hadits

riwayat

Abdurrazaq dalam kitab al-Mushannaf sebagai berikut.

(
: ,


.
Dari Ibnu Juraij, dari Atha, bahwasannya Nabi saw
apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah
beliau

ke

orang-orang

lalu

mengucap,

Assalamualaikum.32
Atha ibn Rabah adalah seorang tabiiy besar.
Namun pada hadits ini beliau meriwayatkannya dengan
tidak menyebut nama sahabat periwayat hadits, dan
langsung menyandarkannya kepada Rasulullah saw.
b. Munqathi
Contoh hadits munqathi adalah hadits riwayat
Ibnu Majah dan at-Tirmidziy sebagai berikut.
31 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 181.
32 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan
Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 133-134.

33




( (


( .
Ali ibn Hajar bercerita kepada kami, katanya Ismail ibn
Ibrahim bercerita kepada kami dari Laits dari Abdullah
ibn Hasan dari ibunya Fathimah binti Husain dari
neneknya

Fathimah

al-Kubra

katanya,

Apabila

Rasulullah memasuki masjid, ia membaca shalawat bagi


Nabi Muhammad dan berdoa, Ya Tuhanku, ampunilah
dosaku dan bukalah pintu rahmat-Mu. Dan jika ia
keluar juga membaca shalawat untuk Muhammad dan
berdoa, Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan bukalah
pintu keutamaan-Mu.33
Fathimah binti Husain

tidak

pernah

bertemu

neneknya, Fathimah binti Rasulullah (biasa dikenal


Fathimah az-Zahra atau Fathimah al-Kubra). Seperti kita
ketahui bahwa Fathimah binti Rasulullah meninggal satu
bulan setelah wafatnya Rasulullah, sedangkan saat itu
Fathimah binti Husain belum lahir. Disini dapat diketahui
ada perawi yang gugur, sehingga hadits ini munqathi.
c. Mudhal
Contoh hadits mudhal adalah hadits riwayat Imam
Malik dalam kitabnya al-Muwaththa sebagai berikut.

: :

.

33 Dr. Idri, M.Ag., Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 187.

34

Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah besabda,Bagi


si

budak

mempunyai

pakaian.34
Beliau

hak,

meriwayatkannya

berupa

makanan

langsung

dari

dan
Abu

Hurairah padalah beliau termasuk tabiit-tabiiy. Dengan


demikian terdapat perawi yang gugur. Setelah diadakan
penelitian dengan membandingkan pada kitab lain,
ternyata didapati perawi yang gugur adalah Ajlan dan
bapaknya.
d. Muallaq
Contoh

hadits

muallaq

adalah

hadits

yang

diriwatkan al-Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari


sebagai berikut.

:


Nabi saw bersabda kepada penghuni kubur, Dahulu ia
tidak membersihkan kencingnya.35
Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari tanpa menyebut
semua sanadnya, dan hanya mengatakan Nabi saw
bersabda.
e. Mudallas
Contoh

hadits

mudallas

adalah

hadits

yang

diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud


sebagai berikut.


: ,

( : )
34 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan
Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 137.
35 Ibid., hlm. 138-139.

35

Dari Abu Ishaq, dari al-Barra ibn Azib, dia berkata,


Rasulullah bersabda, Tidaklah dua orang muslim yang
saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan Allah
akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum
mereka berpisah.36
Abu Ishaq al-Sabii adalah Amr ibn Abdullah.
Sebenarnya beliau tsiqah, hanya saja beliau dianggap
men-tadliskan perawi dalam hadits ini.
Pada hadits ini beliau meriwayatkan
ungkapan

yang

mendengar

mengandung

secara

dengan

kemungkinan

langsung,

yaitu

telah
dengan

menggunakan kata an. Padahal beliau tidak mendengar


langsung hadits ini dari al-Barra ibn Azib, tetapi dari
Abu Dawud al-Ama (Nafi ibn al-Harits). Sedangkan Nafi
ibn

al-Harits

ini

matruk

(tertolak

haditsnya)

dan

tertuduh berdusta.
f. Muallal
Contoh hadits muallal adalah hadits riwayat Ibnu
Majah sebagai berikut.




,

Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jumat
dan

shalat

lainnya,

maka

telah

mendapatkan

shalatnya.37
Oleh Abu Hatim ar-Razi, hadits yang diriwayatkan
Ibnu Majah ini sanad dan matannya salah. Yang benar

36 Ibid., hlm. 141.


37 Ibid., hlm. 140.

36

adalah riwayat az-Zuhriy dari Abu Salamah dari Abu


Hurairah, yang mana lafadz shalat Jumat tidak ada.
g. Mudhtharib
Contoh hadits mudhtharib adalah hadits yang
diriwayatkan al-Hakim an-Naisaburiy dalam kitabnya alMustadrak ala ash-Shahihain sebagai berikut.



(

( :
(

:
(

( :
.


Abu Amr Muhammad ibn Jafar ibn Muhammad ibn
Mathar

bercerita

kepadaku

dan

aku

bertanya

kepadanya, katanya Abu Muhammad Jafar ibn Ahmad


ibn Nashr al-Hafidz bercerita kepada kami, katanya Abu
Kuraib bercerita kepada kami, katanya Muawiyah ibn
Hisyam bercerita kepada kami dari Syaiban dari Abu
Ishaq dari Ikrimah dari Ibnu Abbas katanya, Abu Bakr
ash-Shiddiq ra berkata, Aku melihat Engkau tampak
muda. Rasulullah saw menjawab, Surah Hud, alWaqiah, Amma Yatasaa-alun, dan Wa Idza asy-Syams
Kuwwirat telah menyebabkanku tampak muda.38
Menurutnya, hadits tersebut berkualitas shahih
sesuai dengan syarat al-Bukhari. Sedangkan hadits
tersebut

dapat

diketahui

mudhtharib

berdasarkan

38 Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 232-233.

37

riwayat at-Tirmidziy yang beliau nyatakan sebagai


hadits hasan gharib sebagai berikut.

(

(:
( : :

.

Abu Kuraib bercerita kepada kami, katanya Muawiyah
ibn Hisyam bercerita kepada kami dari Syaiban dari Abu
Ishaq dari Ikrimah dari Ibnu Abbas katanya, Abu Bakr
ash-Shiddiq ra berkata, Wahai Rasulullah, Engkau
tampak muda. Rasulullah saw menjawab, Surah Hud,
al-Waqiah, al-Mursalat, Amma Yatasaa-alun, dan Wa
Idza asy-Syams Kuwwirat telah menyebabkanku tampak
muda.39
h. Maqlub
Contoh hadits maqlub adalah hadits riwayat Abu
Hurairah yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim
sebagai berikut.

...



.
Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada
hari

tiada

naungan

kecuali

naungan-Nya.

...

Dan

seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah, lalu


ia menyembunyikannya, sampai tangan kanannya tidak
mengetahui

apa

yang

dinafkahkan

oleh

tangan

kirinya.40

39 Ibid.

38

Jika melihat dalam kitab Shahih al-Bukhari, alMuwaththa, dan lainnya maka akan didapati bahwa
redaksi hadits diatas terbalik. Redaksi yang benar
adalah sebagai berikut.

... .
Sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
dinafkahkan oleh tangan kanannya.41
i. Syadz

( .
Jika salah seorang di antara kamu telah melakukan
shalat dua rakaat fajar maka hendaklah ia berbaring
pada lambung kanannya.42
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud dan
Imam Tirmidziy dari hadits Abdul Wahid ibn Ziyad dari
al-Amasy dari Abu Saleh dari Abu Hurairah secara
marfu. Dalam hal ini menurut al-Baihaqiy, Abdul Wahid
adalah mukhalafah (berbeda/melakukan penyimpangan)
dan tafarrud (melakukan penyendirian) dari sekian
murid al-Amasy.
j. Munkar
Contoh hadits

munkar

adalah

hadits

yang

diriwayatkan oleh an-Nasaiy dan Ibnu Majah dari


Aisyah secara marfu sebagai berikut.

40 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,


Jakarta, 2007, hlm. 311.
41 Ibid.
42 Ibid., hlm. 313.

39

: (

:

(
:

.

Muhammad ibn Umar ibn Ali ibn Atha ibn Miqdam
bercerita kepada kami katanya, Yahya ibn Muhammad
ibn Qais bercerita pada kami katanya, aku mendengar
Hisyam ibn Urwah menyebutkan (hadits) dari ayahnya
dari

Aisyah

Makanlah

katanya,

kurma

Rasulullah

yang masih

saw

muda.

bersabda,
Karena

jika

seseorang memakannya, maka setan akan marah dan


berkata, Seseorang telah hidup sampai makan ciptaan
yang baru43
Yahya ibn Muhammad ibn Qais dari Hisyam ibn
Urwah dari ayahnya dari Aisyah meriwayatkan secara
tafarrud. Juga maknanya kaku karena tidak sejalan
(inkar) dengan prinsip-prinsip syariah, karena setan
tidak akan marah hanya karena hidupnya seseorang,
tetapi karena hidup seorang Muslim yang taat kepada
Allah swt.
k. Matruk44
l. Mudraj
Contoh hadits mudraj adalah hadits riwayat az-Zuhriy
dari Aisyah ra sebagai berikut.

( (

( ----.
43 Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 209.
44 Lihat halaman

40

Nabi saw bertahannuts yaitu beribadahdi dalam Gua


Hira beberapa malam.45
Kalimat adalah pernyataan az-Zuhriy
sebagai penjelas istilah tahannuts.

E. KONTROVERSI ORIENTALIS TENTANG HADITS


Belum jelas kapan dan siapa orang Barat yang pertama
kali melakukan pengkajian terhadap Islam. Beberapa pakar
sejarah mengatakan bahwa kali pertama orang-orang Barat
mempelajari Islam adalah saat kekhalifahan Islam (pada saat
itu

Dinasti

Umayyah)

menguasai

Andalusia

(sekarang

Spanyol) pada tahun 93 H/711 M.


Setelah

penaklukan,

bangsa

Eropa

dengan

bebas

menimba ilmu dari Spanyol Islam. Diantaranya Jerbert de


Oraliac (938-1003 M), Adelard of Bath (1070-1135 M), Pierre
Le Venerable (1094-1156 M), Gerard de Gremona (1114-1187
M), Leonardi Fibonacci (1170-1241 M) dan lain-lain. 46 Mereka
pernah tinggal dan mempelajari Islam di Toledo, Granada,
Cordoba, dan kota-kota lain. Setelah itu mereka pulang ke
Eropa dan menyebarkan ilmunya.
Nama-nama diatas tercatat sebagai orang-orang Barat
yang melakukan pengkajian terhadap Islam pertama kali.
Yang selanjutnya disebut orientalisme. Orientalisme sendiri
adalah studi tentang dunia Timur menggunakan perspektif
bangsa Barat, yang dalam perkembangannya mengalami
45 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2007, hlm. 335-336.
46 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm.
7.

41

penyempitan menjadi studi tentang dunia Islam. Maka


orientalis

adalah

orang-orang

yang

mempelajari

Islam

menggunakan logika ontologis dan dan epistemologis Barat,


entah ia orang Barat atau bukan, muslim maupun nonmuslim.
1. Orientalis Mengkritik Otentisitas Hadits
Pada awal perkembangannya, kajian orientalis hanya
pada Islam yang bersifat umum. Namun selanjutnya
terjadi spesifikasi kajian seperti pada al-Quran, hadits,
hukum Islam, dan sejarah Islam.
Menurut Prof. Dr. M. M. Azami, orientalis yang
pertama kali melakukan kajian terhadap hadits adalah
Ignaz Goldziher (1850-1920 M) melalui karyanya yang
berjudul Muhammadanische Studien pada tahun 1890 M.
Buku ini menjadi menjadi kitab suci bagi kaum orientalis.
Dalam buku ini Goldziher berhasil menanamkan keraguan
terhadap otentisitas hadits.
Dalam Islam, ulama muslim sendiri telah melakukan
kritik terhadap otentisitas (keshahihan) hadits. Yaitu sejak
terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan pada tahun 36 H,
dimana mulai diberlakukannya Kritik Sanad Hadits yang
sebelumnya hanya berlaku Kritik Matan Hadits. Para
ulama sesudah generasi mereka menyusun kriteriakriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Sebuah hadits harus
diriwayatkan

dengan

sanad

(jalur

transmisi)

yang

bersambung sampai Rasulullah saw; (2) Sanad tersebut


terdiri

dari

ingatannya;

orang-orang
(3)

yang

Kandungan

bertakwa
matan

dan

hadits

kuat
tidak

berlawanan dengan al-Quran atau hadits lain yang


diriwayatkan

dengan

sanad

yang

kualitasnya

lebih

unggul; (4) Hadits tersebut tidak mengandung kecacatan.

42

Empat

kriteria

tersebut

telah

ditetapkan

dan

diterapkan sejak abad ke-3 sampai kira-kira abad ke 13


Hijriah tanpa ada yang mempersoalkannya. Baru pada
tahun 1890 M dunia kritik hadits dikejutkan dengan
gebrakan Ignaz Goldziher seperti yang telah disebutkan
diatas.
Kemudian muncul Joseph Schacht (1902-1969 M)
dengan

bukunya

Jurisprudence

pada

The
tahun

Origins
1950

of
M,

Muhammadan
yang

kemudian

dianggap sebagai kitab suci kedua bagi para orientalis.


Jika Goldziher berhasil menanamkan keraguan terhadap
otentisitas hadits, maka Schacht berkesimpulan bahwa
tidak ada satu pun hadits yang otentik.
Tradisi orientalisme menyebar di hampir seluruh
wilayah Eropa, yaitu meliputi: Jerman, Inggris, Perancis,
Belanda, Hongaria, Italia, Spanyol, dan bahkan kini
Amerika. Sejatinya orientalisme ini bertujuan melemahkan
Islam, baok dari segi agama, politik, maupun ekonomi.
2. Teori Orientalis Tentang Hadits
Meskipun orientalisme pada

umumnya

terkesan

menyudutkan Islam, namun ada juga yang benar dan


murni mempelajari Islam sebagai ilmu pengetahuan. Ada
pula

yang

lebih

tendesius

menggunakan

pendekatan

teologis. Berikut tokoh-tokoh dan penjelasannya.


a) Ignaz Goldziher
Ignaz
Goldziher
adalah
seorang
orientalis
berkebangsaan Hungaria yang dilahirkan dari keluarga
Yahudi pada tahun 1850 M. Ia belajar di Budapest,
Berlin dan Leipzig. Ia juga berangkat ke Timur Tengah
yaitu Syiria pada tahun 1873 M untuk mempelajari
Islam kepada Syeikh Thahir al-Jazairiy. Ia juga pergi ke

43

Palestina, kemudian ke Mesir untuk belajar kepada


sejumlah ulama di al-Azhar selama setahun.
Sepulangnya dari al-Azhar dia diangkat menjadi
guru

besar

di

Universitas

Budapest.

Karya-karya

ilmiahnya banyak dipublikasikan ke dalam bahasa


Jerman, Inggris dan Perancis. Karyanya yang paling
berpengaruh

dan

menjadi

master

piece

adalah

Muhammadanische Studien. Buku ini dianggap sebagai


kitab suci dan menjadi sumber rujukan utama dalam
penelitian hadits oleh kaum orientalis.
Goldziher mengatakan, Bagian

terbesar

dari

hadits tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada


abad

pertama

dan

kedua,

baik

dalam

bidang

keagamaan, politik, maupun sosial. Tidaklah benar


pendapat yang mengatakan bahwa hadits merupakan
dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa
pertumbuhan),

melainkan

adalah

pengaruh

perkembangan Islam pada masa kematangan.47


Bagi Goldziher, hadits Nabawiy adalah hasil tradisi
masyarakat Arab. Hadits bukanlah sumber terpercaya
bagi Islam di abad pertama, namun hanya sebagai
sumber yang bernilai tinggi bagi dogma, konflik dan
perhatian para Muslim abad kedua dan ketiga yang
telah membuat dan menyebarkan hadits. Ia tidak
menolak kemungkinan bahwa sahabat telah berusaha
menyimpan kata-kata dan perbuatan Nabi saw dalam
bentuk shahifah. Namun Goldziher mempertahankan
pendapatnya bahwa shahifah-shahifah tersebut adalah

47 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm.
9.

44

hasil karangan generasi Islam abad kedua dan ketiga


Hijriah.
Sasaran utamanya adalah az-Zuhriy (w. 123 H),
yang ia anggap sebagai pemalsu hadits pertama kali.
Goldziher

merubah

teks-teks

sejarah

untuk

memperkuat argumennya tersebut. Menurutnya, azZuhriy mengatakan, Inna haula`i al-umara akrahuna
ala kitabah ahadits (Sesungguhnya para pejabat itu
telah memaksa kami untuk menulis hadits). Kata
ahadits dalam bahasa Arab berarti hadits-hadits yang
belum

pernah

ada.

Padahal

pada

teks

aslinya

seharusnya berbunyi al-ahadits seperti yang tertulis


pada kitab Ibnu Saad dan Ibnu Asakir yang berarti
menunjukkan pada hadits-hadits Nabawiy. Hal ini ia
lakukan agar seolah-olah az-Zuhriy mengakui memang
memalsukan hadits.
Goldziher juga menjelaskan alasan kenapa azZuhriy memalsukan hadits, yaitu karena polemik politik
di

masanya.

Hadits

tersebut

berbunyi,

Tidak

diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid


al-Haram,

Masjid

Nabawiy,

dan

Masjid

al-Aqsha.

Menurut Goldziher, hadits ini dibuat atas perintah


Khalifah Abd al-Malik ibn Marwan (Dinasti Umayyah di
Damaskus) yang merasa khawatir apabila masyarakat
Syam (Syiria) setelah pergi ke Mekkah berbaiat kepada
Abdullah ibn al-Zubair yang memproklamirkan dirinya
sebagai khalifah di Mekkah. Dengan adanya hadits
tersebut, maka masyarakat Syam tidak perlu lagi pergi
ke Mekkah dan cukup pergi ke Qubbah as-Sakhra di alQuds yang saat itu menjadi wilayah Syam.

45

Hadits diatas adalah hadits yang terdapat dalam


kitab Shahih Bukhari. Dimana otentisitasnya kitab
tersebut diakui oleh umat Islam, bahkan dianggap
sebagai kitab paling otentik setelah al-Quran. Hal ini
terus berlangsung sejak abad 3 H (Imam Bukhari wafat
256 H) hingga tahun abad 14 H (tahun 1890 M saat
terbitnya buku Muhammadanische Studien).
b) Joseph Schacht
Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie, Jerman pada
15 Maret 1902. Sejak saat masih muda, belajar filologi
klasik, semitik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di
Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ketika
berumur 21 tahun, ia telah mencapai gelar doktor
dengan predikat summa cumlaude dari Universitas
Berslauw.
Karya

terbesarnya

adalah

The

Origins

of

Muhammadan Jurisprudence yang terbit tahun 1950,


kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang
terbit tahun 1960. Karyanya ini memperoleh reputasi
yang luar biasa, hingga

di berbagai universitas

melarang

mengkritik

mahasiswanya

buku-buku

Schacht. Dalam dua bukunya ini, Schacht berpendapat


bahwa

hadits

Nabawiy,

terutama

yang

berkaitan

dengan hukum Islam, adalah buatan para ulama abad


kedua dan abad ketiga. Ia berargumen dengan teorinya
yang terkenal yaitu Projecting Back.
Sumbangan pemikiran terbesar Schacht adalah
orientasi hadits terhadap Hukum Islam. Asumsi-asumsi
Schacht tentang Hukum Islam adalah48:

48 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, UIN-Maliki Press, Malang,


2010, hlm. 172.

46

1) Hukum Islam bukanlah seperangkat norma yang


diwahyukan, melainkan sebagai fenomena historis
yang memiliki kaitan yang demikian erat dengan
realitas sosial.
2) Jika Hukum Islam merupakan realitas historis, maka
sumberya (hadits) juga merupakan akibat dari
proses perkembangan historis.
3) Adopsi tradisi non-Islam semakin berkembang ketika
teritorial Islam mencapai wilayah di luar jazirah
Arab,

sejak

era

Khulafa

ar-Rasyidin

dan

era

Umayyah.
4) Pengangkatan hakim-hakim era Umayyah ditengarai
mendorong

upaya

penyandaran

keputusan

berdasarkan landasan-landasan yang lebih otoritatif,


yakni sunnah dari Nabi saw.
5) Munculnya kelompok ahli hadits ternyata jutru
menjadi justifikasi bagi berkembangnya aliran fiqh,
yang disandarkan kepada generasi masa lalu.
Dari sini timbullah teori Projecting Back (proyeksi
ke belakang). Ia melakukan penelitian pada kitab alMuwaththa karya Imam Malik, kitab al-Muwaththa
karya Imam Syaibaniy, serta kitab al-Umm dan arRisalah karya Imam Syafiiy. Padahal kitab-kitab ini lebih
layak disebut kitab-kitab fiqh daripada kitab-kitab
hadits, sehingga hasil penelitian Schacht tidak tepat. Ia
mengatakan, Bagian terbesar dari sanad hadits adalah
palsu. Semua orang mengetahui bahwa sanad pada
mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana,
kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada
paruh kedua dari abad ketiga Hijriah.49
49 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm.
9.

47

Ia

menjelaskan

rekonstruksi

bagaimana

terbentuknya sanad hadits. Menurutnya, Hukum Islam


baru muncul setelah setelah adanya pengangkatan
qadhi (hakim agama) tepatnya setelah masa asy-Syabi
(w. 104 H) pada era kekhalifahan Umayyah.
Pada awal abad ke-2 Hijriah, para fuqaha (ahli fiqh)
yang merupakan benih-benih calon qadhi semakin
bertambah. Hal ini menyebabkan munculnya Aliran
Fiqh

Klasik.

Disini

keputusan-keputusan

qadhi

memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki


otoritas tinggi. Mereka menisbahkan keputusan hukum
mereka

pada

tokoh-tokoh

sebelumnya

(memproyeksikan ke belakang) hingga sampai kepada


Nabi Muhammad saw.
Contohnya para

qadhi

di

Iraq

menisbahkan

keputusan hukumnya kepada Ibrahim an-Nakhaiy (w.


95 H), kemudian kepada Masruq ibn al-Ajda (w. 63 H),
kemudian kepada Abdullah ibn Masud (w. 32 H), dan
yang terakhir kepada Nabi Muhammad saw sebagai
pemegang otoritas tertinggi.
Sebagai konsekuensi adanya Aliran Fiqh Klasik ini,
muncullah Kelompok Oposisi yang terdiri dari ahli-ahli
hadits. Kelompok ini ditengarai sebagai pembuat haditshadits palsu yang diharapkan bisa mengalahkan aturanaturan yang dibuat oleh para fuqaha klasik tadi.
Kelompok Oposisi ini mengklaim telah menerima haditshadits

tersebut

secara

lisan

dengan

sanad

yang

bersambung dari perawi-perawi yang terpercaya.


Kesimpulannya adalah baik kelompok Aliran Fiqh
Klasik

maupun

melakukan

Kelompok

pemalsuan

hadits.

Oposisi

sama-sama

Sehingga

Schacht

mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan satu

48

hadits pun yang berkaitan dengan Hukum Islam yang


dapat dianggap otentik.
3. Bantahan Ulama Muslim
Kritik dari para orientalis banyak mendapatkan kritikan
dan koreksi dari para ulama kontemporer. Ini sebagai
usaha dalam menjaga keutuhan dan eksistensi Islam dari
serangan skeptis orientalis. Mereka diantaranya adalah
Mushthafa as-Sibai, Muhammad Ajaj al-Khatib, Shubhi
ash-Shalih, dan Muhammad Mushthafa al-Azami.
Mushthafa as-Sibai berasal dari Syiria, lahir pada
tahun 1915 dan meninggal pada tahun 1964. Beliau
menangkal teori-teori Goldziher dalam bukunya as-Sunnah
wa Maknatuha fi at-Tasyri al-Islamiy yang diterbitkan pada
tahun 1949. Beliau menganggap Goldziher sama sekali
tidak menggunakan integritas ilmiah dalm meneliti hadits
Nabawiy. Goldziher menuduh az-Zuhriy memalsukan hadits
untuk

kepentingan

Abd

al-Malik

ibn

Marwan

yang

beroposisi dengan Abdullah ibn Zubair. Padahal az-Zuhriy


tidak pernah bertemu dengan Abd al-Malik kecuali setelah
tujuh tahun dari wafatnya Abdullah ibn Zubair. Dalam hal
ini Goldziher telah meniggalkan prinsip-prinsip ilmiah.
Tokoh lain yang juga mengkritik pandangan Goldziher
tentang hadits adalah Muhammad Ajaj al-Khatib. Beliau
lahir pada tahun 1932. Meskipun satu masa dengan
Muhammad

as-Sibai,

beliau

melakukan

kritik

secara

terpisah terhadap orientalis, dalam bukunya as-Sunnah


Qabla at-Tadwin yang diterbitkan pada tahun 1964.
Kemudian Subhi ash-Shalih yang lahir pada tahun
1953 di Damaskus. Beliau mengoreksi tuduhan orientalis
tentang tidak adanya peninggalan hadits secara tertulis.
Orientalis beranggapan bahwa Nabi saw benar-benar

49

melarang penulisan, padahal tidak demikian. Shubhi ashShalih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut
disampaikan secara umum pada masa awal turunnya
wahyu al-Quran karena Nabi saw khawatir hadits akan
tercampur dengan al-Quran.
Setelah sebagian besar al-Quran telah diturunkan,
Nabi saw memberikan izin kepada sejumlah sahabat untuk
menulis

hadits.

Hal

ini

diperkuat

dengan

bukti

ditemukannya catatan-catatan hadits pada masa Nabi saw


, misalnya catatan Saad ibn Ubadah, Samrah ibn Jundub
(w. 60 H), Jabir ibn Abdullah (w. 78 H), Abdullah ibn Umar
ibn Ash (w. 65 H), dan Abdullah ibn Abbas (w. 69 H).
Sedangkan Muhammad Mushthafa al-Azami, beliau
dianggap sebagai pakar Muslim pertama yang melakukan
penghancuran besar-besaran terhadap teori-teori orientalis
dalam kajian hadits. Terutama terhadap Ignaz Golziher dan
Joseph

Schacht

yang

merupakan

orientalis

paling

berpengaruh dalam hal ini. Beliau melakukan kritik dan


koreksi

terhadap

orientalis-orientalis

tersebut

dalam

bukunya Studies in Early Hadith Literature with a Critical


Edition of Some Early Texts yang diterbitkan pada tahun
1890. Di tahun yang sama disaat beliau dianugerahi King
Faisal International Prize.
Dalam studinya di Universitas Cambridge, beliau
beruntung karena diizinkan mengkritik Schacht oleh pihak
universitas. Tidak seperti rekannya Muhammad Amin alMishri. Sehingga beliau dapat meneliti kajian Schacht
secara

lebih

mendalam.

Diantara

kritik-kritik

dan

penjelasan M. M. al-Azami terhadap tuduhan orientalis


adalah sebagai berikut.
1) Rekayasa sanad dan matan hadits

50

Menurut para orientalis, sanad dan matan hadits


adalah buatan ulama Islam pada abad kedua dan
ketiga

Hijriah. Bantahan al-Azami adalah sebagai

berikut.
a) Sejarah membuktikan bahwa sanad telah dipakai
sejak masa Nabi saw, dimana beliau menganjurkan
kepada sahabat yang datang di majelis untuk
menyampaikan pengajaran beliau kepada yang
tidak datang dalam majelis.
b) Mayoritas pemalsuan hadits terjadi pada tahun ke40 Hijriah yang dipicu karena polemik politik.
c) Hasil penelitian orientalis tentang sanad tidak dapat
diterima karena yang mereka teliti adalah kitabkitab fiqh dan sirah, bukan kitab-kitab hadits.
d) Teori Projecting Back otomatis gugur karena
banyaknya jalan periwayatan suatu hadits.
e) Dalam perkembangannya, tidak pernah ada sanad
yang

mengalami

perbaikan.
f) Tuduhan sanad

pengembangan

yang

dipakai

maupun

hanya

untuk

memperkuat argumen suatu pendapat ataupun


madzhab tidaklah terbukti dan tidak sesuai realitas
sejarah.
2) Az-Zuhriy memalsu hadits
Ignaz Goldziher menuduh
hadits

yang

berbunyi,

Tidak

az-Zuhriy

membuat

diperintahkan

pergi

kecuali menuju tiga masjid, Masjid al-Haram, Masjid


Nabawiy, dan Masjid al-Aqsha untuk kepentingan
politik. Berikut penjelasan al-Azami.
a) Hadits tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad
termasuk az-Zuhriy.
b) Az-Zuhriy tidak pernah bertemu dengan Abd alMalik ibn Marwan sebelum 81 H.

51

c) Pada tahun 68 H, pada saat polemik politik itu


dimulai,

Palestina

belum

termasuk

wilayah

kekuasaan Dinasti Umayyah.


d) Pembangunan Qubbah as-Sakhrah baru dimulai
tahun 69 H (az-Zuhriy kira-kira berumur 10-18
tahun) dan baru selesai tahun 72 H yang mana
mustahil az-Zuhriy membuat hadits palsu pada
umur sekian.
3) Untaian sanad emas (adz-dzahab)
Untaian sanad emas yaitu Malik Nafi Ibnu
Umar. Schacht meragukan otentisitas hadist yang
diriwayatkan dari jalur tersebut karena waktu itu umur
Malik masih diperdebatkan. Selain itu, Nafi pernah
menjadi hamba sahaya Ibnu Umar. Schacht juga
menganggap bahwa Malik menyembunyikan perawiperawi yang lemah dari sanad tersebut. Penjelasan alAzami dari tuduhan ini adalah sebagai berikut.
a) Umur Malik telah mencapai 24 tahun ketika Nafi
wafat

sehingga

sangat

dimungkinkan

bertemu,

apalagi mereka berdomisili di wilayah yang sama


yaitu Madinah.
b) Meskipun pernah menjadi

hamba

sahaya

Ibnu

Umar, namun Nafi adalah orang yang paling


dipercaya Ibnu Umar dalam meriwayatkan hadits.
c) Terdapat sejumlah orang yang meriwayatkan hadits
yang sama, secara lafdziy maupun maknawiy.
4) Teori Projecting Back
Projecting Back adalah teori dimana sanad hadits
digunakan untuk menguatkan suatu keputusan hukum.
Keputusan hukum tersebut dinisbahkan pada tokohtokoh sebelumnya (memproyeksikan ke belakang) yang
memiliki otoritas yang semakin tinggi hingga sampai

52

kepada Nabi Muhammad saw. Penjelasan al-Azami


sebagai berikut.
a) Penggunaan sanad dalam transmisi hadits telah
dimulai sejak setelah pembunuhan Khalifah Utsman
pada tahun 35 H (abad 1 H), bukan seperti
pendapat Schacht dimana sanad adalah buatan
ulama Muslim adab kedua dan ketiga Hijriah.
b) Orang-orang dalam sanad hadits hadits

yang

dicontohkan Schacht untuk memperkuat teori ini


adalah

benar

adanya

yang hidup dalam satu

generasi dan satu wilayah kota dalam kurun waktu


30 sampai 40 tahun.
c) Teori ini tidak logis karena terdapat beberapa
riwayat

hadits

yang

sama

secara

lafdziy

dan

maknawiy dalam berbagai literatur muhadditsin dari


berbagai aliran yang berbeda-beda yang terpecahpecah mulai sekitar 30 tahun setelah Rasulullah saw
wafat.
Menurut

al-Azami,

kesalahan

Schacht

dalam

meneliti hadits ini adalah karena sikapnya yang tidak


konsisten dalam berteori dan menggunakan sumber
rujukan, serta menerapkan metodologi yang tidak
ilmiah. Schacht juga salah memahami istilah-istilah
khas yang digunakan ulama dan sejumlah fakta yang
berkaitan dengan hadits.
Schacht juga dinilai kurang paham akan kondisi
politik dan kondisi geografis yang dikaji, dan seringnya
ia menggunakan penarikan kesimpulan berdasarkan
argumentum e silentio (alasan ketiadaan bukti).

F. ANALISIS
1. Otentisitas Hadits

53

Hadits adalah otentik dari Nabi saw. Ulama muslim


sendiri telah melakukan kritik terhadap otentisitas hadits.
Yaitu sejak terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan pada
tahun 36 H, dimana mulai diberlakukannya Kritik Sanad
Hadits yang sebelumnya hanya berlaku Kritik Matan Hadits.
Para ulama sesudah generasi mereka menyusun kriteriakriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Sebuah hadits harus
diriwayatkan

dengan

sanad

(jalur

transmisi)

yang

bersambung sampai Rasulullah saw; (2) Sanad tersebut


terdiri

dari

orang-orang

yang

bertakwa

dan

kuat

ingatannya; (3) Kandungan matan hadits tidak berlawanan


dengan al-Quran atau hadits lain yang diriwayatkan
dengan sanad yang kualitasnya lebih unggul; (4) Hadits
tersebut tidak mengandung kecacatan.
Bukti lain dari keotentikan hadits adalah bahwa sanad
telah dipakai sejak zaman Nabi saw dan adanya tradisi
tulis-menulis

hadits

(dalam

bentuk

shahifah)

sebagai

bentuk pemeliharaan hadits. Kemudian terdapat beberapa


riwayat hadits yang sama secara lafdziy dan maknawiy
dalam berbagai literatur muhadditsin dari berbagai aliran
yang berbeda-beda yang terpecah-pecah mulai sekitar 30
tahun setelah Rasulullah saw wafat. Tidak mungkin jika
mereka

yang

berbeda-beda

aliran

berkompromi membuat hadits yang sama.


2. Intelektualitas Perawi
Salah satu faktor yang membuat

dan

wilayah,

keberagaman

kualitas hadits adalah intelektualitas(dhabit) para perawi di


dalam sanadnya. Tingkat kedhabitan masing-masing perwi
hadis

bebeda.

Contohnya

dalam

kalangan

sahabat,

penguasaan hadis tersebut bergantung pada kesempatan


mereka bertemu dengan rasulullah, kesungguhan mereka

54

bertanya dengan sahabat lain, perbedaan waktu masuk


islam dan jarak tempat tinggal mereka.
Tingkat Dhabit dalam hadist shahih itu kuat dan
sempurna hafalannya. Para perawi itu dalam keadaan
sadar

dan

paham

menghafalnya

ketika

sejak

meriwayatkan

pertama

hadits,

menerima

dan

sampai

meriwayatkan suatu hadits. Daya ingat dan hafalan kuat ini


sangat
hadits.

diperlukan

dalam

Sedangkan

rangka

didalam

menjaga

hadist

otentisitas

hasan

tingkat

kedhabitannya lemah dan hanya ditemukan beberapa


perawi yang kuat hafalannya. Akan tetapi didalam hadist
hasan ini tidak ditemukan kejanggalan atau kecacatan
hadist. Lain halnya dengan hadis dhoif tingkat kedhabitan
perawinya sangat lemah dan terdapat kecacatan dan
kedustaan hadis.

G. KESIMPULAN
Dari segi kualitasnya, hadits dibagi menjadi tiga: shahih,
hasan,

dan

dhaif.

Hadits

shahih

adalah

hadits

yang

memenuhi kriteria-kriteria keotentikan hadits, yang dapat


dijadikan

hujjah

dan

wajib

diterima

serta

diamalkan.

Kemudian hadits hasan adalah hadits yang telah memenuhi


syarat-syarat hadits shahih namun perawinya kurang dhabit.
Hadits ini dapat dijadikan hujjah namun kekuatannya masih
dibawah hadits shahih. Sedangkan hadits dhaif adalah hadits
yang lemah dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena
tidak memenuhi kriteria-kriteria hadits shahih maupun hasan.
Perbedaan ulama hadits klasik dan kontemporer adalah
terletak pada metodologinya dam mengkaji hadits. Dimana
ulama hadits klasik menggunakan metode tahlili, ijmali, dan

55

muqaran.

Sedangkan

ulama

hadits

kontemporer

menggunakan metode maudhui seperti yang dilakukan para


orientalis.
Orientalis mulai melakukan kajian terhadap hadits pada
abad 19 M/13 H. Mereka menyatakan hadits tidaklah otentik
dari

Nabi

Muhammad

saw.

Tokoh-tokoh

orientalis

ini

diantaranya Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan G. H. A.


Juynboll. Kemudian tokoh ulama Muslim yang mengkritik dan
mengoreksi pandangan orientalis tentang hadits adalah
Mustafa as-Sibai, Muhammad Ajaj al-Khatib, Shubhi ashShalih, dan Muhammad Mustafa al-Azami.

56

DAFTAR PUSTAKA

Ajaj al-Khatib, Muhammad. (2007). Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya


Media Pratama.
Ali Fayyad, Mahmud. (1998). Metode Penetapan Keshahihan
Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia.
Anwar, Mohammad. (1981). Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya:
Al-Ikhlas.
Anwar, Rosihon. (2012). Pengantar Ulumul Quran. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. (1987). Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits I.
Jakarta: Bulan Bintang.
Gufron, Mohammad, & Rahmawati. (2013). Ulumul Hadits:
Praktis dan Mudah. Yogyakarta: Teras.
Hasan, Mustofa. (2012). Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Idri. (2010). Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Khon, Abdul Majid. (2012). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Rahman,

Fatchur.

(1974).

Ikhtishar

Mushthalahul

Hadits.

Bandung: PT Almaarif.
Sulaiman, M. Noor. (2008). Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung
Persada Press.

57

Sumbulah, Umi. (2010). Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UINMaliki Press.
Suryadilaga, Alfatih, dkk. (2010). Ulumul Hadits. Yogyakarta:
Teras.
Yaqub, Ali Mustafa. (2000). Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Dwi Handoko. Nama-nama Perawi yang Dinilai Dhaif. Diakses


dari

http://huda-sarungan.blogspot.com/2012/07/281-nama-

nama-perawi-yang-dinilai-dhaif.html, 28 November 2014.


Suryadilaga.

Metodologi

Syarah

Hadits.

Diakses

dari

http://suryadilaga.wordpress.com/2012/06/06/metodologi-syarahhadis/, 4 Desember 2014.


Mufdil. Hadits Maqbul dan Hadits Mardud. Diakses dari
http://mufdil.wordpress.com/2009/08/06/hadits-maqbul-danhadits-mardud/, 8 Desember
Zakaria.

Pemikiran

Hadis

Kontemporer.

Diakses

dari

http://zakarialombok.blogspot.com/2011/01/pemikiran-hadiskontemporer.html, 4 Desember 2014.

58

Anda mungkin juga menyukai