BAB II Pembahasan
2.1 Pembagian Hadist dari segi Kuantitas
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadist yang ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi
yang menjadi sumber berita. Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadist
mutawatir, masyhur, dan ahad, dan ada juga yamg membaginya menjadi dua, yakni hadist mutawatir dan
ahad. Ulama golongan pertama, yang menjadikan hadist masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian
dari hadist ahad dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jashshah (305-370 H).
Adapun ulama kalam. Menurut mereka, hadist masyhur bukan merupakan hadist yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan bagian dari hadist ahad. Itulah sebabnya mereka membagi hadist menjadi dua bagian, yaitu
mutawatir dan ahad.
1. Hadist Mutawatir
a. Pengertian Hadist Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa bararti mutatabi, yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yang beriring-
iringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya. Adapun pengetian hadist mutawatir menurut istilah,
sebagai berikut:
ِ ع َل ْال َك ِذ
ب ُ عضن َج ْم ٍع تَحِ ْى ُل ْالعا َ َدة ُ ت ََوا
َ طؤُ ُه ْم ْ ما َ َر َوا َج ْم ٌع
Artinya : “Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat
terlebih dahulu untuk berdusta.”. [1]
2. Hadist Ahad
a. Pengertian Hadist Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khabar ahad, atau khabar wahid berarti
yang disampaikan oleh satu orang. Adapun yang dimaksud dengn hadist ahad menurut istilah yaitu sebagai
berikut :
غي َْر ٰذ لِكَ مِ نَ األَعضدَادِالَّتىِل الَ ت َ ْشعُ ُر بأَنَّ ْال َخبَ َر َد َخ َل َ س َوا ٌء َكانَ ْال ُم ْخبِ ُر َواحِ ًدا ْأواِثْنَي ِْن أَوثَالَثا ً ا َ ْوأ َ ْربَعَةً أَوخ َْم
َ سةً ا َ ْو َ ما َ لَ ْم تَ ْبلُ ُغ نَ ْقلُتُهُ ف ْالكَثْ َرةِ َم ْبلَ َغ ْال َخبَ ِر ْال ُمت ََوات ِِر
فى َخبَ ِر ْال ُمت ََوات ِِر
ِ َ بِها
Artinya : “Khabar yang jumlah perawinya tidak sebanyak junlah perawi hadist mutawatir, baik perawinya itu
satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memeberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak
mencapai jumlah perawi hadist mutawatir”.
Contoh hadis ahad yaitu sebagai berikut :
ُ َّاس أ َ ْخبَ َرهُ أَنَّ أ َ َبا
َس ْفيَانَ بْن ٍ عب َ َّعتْبَةَ ب ِْن َم ْسعُو ٍد أَن
ِ َّ ع ْب َد
َ ََّللا بْن ُ َّللا ب ِْن َ َُّللا بْن
ِ َّ ع ْب ِد ُ الز ْه ِري ِ قَا َل أ َ ْخبَ َرنِي
ِ َّ عبَ ْي ُد ُّ ع ْن ُ ان ْال َح َك ُم بْنُ نَاف ٍِع قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا
َ ٌشعَيْب ِ َح َّدثَنَا أَبُو ْاليَ َم
ُب أ َ ْخبَ َره
ٍ َح ْر
Artinya : “BUKHARI - 6) Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Al Hakam bin Nafi' dia berkata, telah
mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin
'Utbah bin Mas'ud bahwa Abdullah bin 'Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Abu Sufyan bin Harb
telah mengabarkan kepadanya; bahwa Heraclius”
Para ulama membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan gairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur
terbagi lagi menjadi dua, yaitu aziz dan gharib.
1. Hadist Masyhur
a. Pengertian Hadist Masyhur Menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang sudah tersebar dan
populer). Menurut istilah hadist masyhur adalah :
َّ ع َد دٌل الَيَ ْبلُ ُغ َح َّد التَّ َوات ُ ِر ث ُ َّم ت ََوات ُ َر َب ْع َد ال
صحاَبَ ِة َو َم ْن بَ ْع َد ُه ْم َّ ما َ َر َواهُ مِ نَ ال
َ صابَ ِة
Artinya : “Hadist yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilang mytawatir,
kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”. [2]
b. Contoh Hadist Masyhur : َّللا ب ِْن ِ َّ ع ْب ِدَ ع ْن َّ ع ْن ال
َ ِ ش ْع ِبي َ سف َِر َوإِ ْس َماعِي َل ب ِْن أَ ِبي خَالِد
َّ َّللا ب ِْن أَبِي ال
ِ َّ ع ْب ِد ُ َح َّدثَنَا آ َد ُم بْنُ أَبِي إِيَاس قَا َل َح َّدثَنَا
َ ش ْعبَةُ َع ْن
ْ
َ سل َِم ال ُم ْس ِل ُمونَ مِ ْن يَ ِده َِو ِل
سانِ ِه ْ َّ
َ سل َم قَا َل ال ُم ْس ِل ُم َم ْن َ علَ ْي ِه َو
َ َّللا
ُ َّ صلى َّ َ ع ْن ُه َما
َ ِ ع ْن النَّ ِبي َ َّللا
ُ َّ يَ ض
ِ ع ْمرو َر َ
Artinya : “Seorang muslim adalah seorang menyelamatkan muslim lainnya dari tangannya dan lisannnya”. [3]
2. Hadist Ghairu Masyhur
Para ulama ahli hadis menggolongkan hadis gairu masyhur menjadi aziz dan gharib.
a. Hadis Aziz
Kata aziz berasal dari azza-ya’izzu berarti la yakadu yajadu atau qalla wanandar (sedikit atau jarang adanya)
atau berasal dari azza-ya’azzu berarti qawiya (kuat). Adapun kata aziz menurut istilah yaitu, hadis yang
perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad. Contoh hadis aziz adalah sebagai berikut :
سلَّ َم َال يُؤْ مِ نُ أ َ َح ُد ُك ْم َحتَّى يُحِ بَّ ِِلَخِ ي ِه َما يُحِ بُّ ِلنَ ْف ِس ِه
َ علَ ْي ِه َو ُ َّ صلَّى
َ َّللا ِ َّ ع ْن أَنَس قَا َل قَا َل َرسُو ُل
َ َّللا ُ َارونَ أ َ ْخبَ َرنَا
َ ُش ْعبَة
َ َ ع ْن قَت َا َدة ُ أ َ ْخبَ َرنَا يَ ِزي ُد بْنُ ه
Artinya : (DARIMI - 2623) : Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun telah mengabarkan kepada kami
Syu'bah dari Qatadah dari Anas ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sempurna
iman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.
b. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id an aqaribihi (jauh dari kerabatnya). Ada
juga yang menyatakan bahwa hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang
menyendiri dalam periwayatannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkan. [4] Contoh hadis gharib adalah
sebagai berikut :
علَ ْي ِه ُ َّ ص َّلى
َ َّللا َ ي َ ع ْنهُ قَا َل
َّ سمِ ْعتُ النَّ ِب َ َّللا
ُ َّ ي
َ ض ِ ع َم َر َر ُ ُع ْلقَ َمةَ ب ِْن َوقَّاص قَا َل َسمِ ْعت َ ع ْن َ ِيمَ ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإب َْراه َ س َّد ٌد َح َّدثَنَا َح َّما ٌد ه َُو ابْنُ زَ يْد
َ ع ْن يَحْ يَى َ َح َّدثَنَا ُم
َّللا َو َرسُو ِل ِه فَ ِهجْ َرتُهُ ِإلَىِ َّ ُصيبُ َها أ َ ْو ْام َرأَة يَت َزَ َّو ُج َها فَ ِهجْ َرتُهُ ِإلَى َما هَا َج َر ِإلَ ْي ِه َو َم ْن كَانَتْ هِجْ َرتُهُ ِإلَى
ِ سلَّ َم يَقُو ُل ْاِل َ ْع َما ُل ِبال ِنيَّ ِة فَ َم ْن كَانَتْ هِجْ َرتُهُ ِإلَى ُد ْنيَا ي
َ َو
َّللا َو َرسُو ِل ِهِ َّ
Artinya : (BUKHARI - 3609) : Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami
Hammad, putra dari Zaid, dari Yahya dari Muhammad bin Ibrahim dari 'Alqamah bin Waqash berkata, aku
mendengar 'Umar radliallahu 'anhu berkata, aku mendengar Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:;
"Setiap amal tergantung dengan niat. Maka siapa yang hijrahnya untuk dunia uang ingin didapatkannya atau
untuk seorang wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan, dan barangsiapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya". [5]
2. Hadist Hasan
a. Pengertian Hadist Hasan
غي ُْر شاَذ َوالَ ُمعَلَّل ُ ض ْب
َ ُ طه َ َف َ سنَ ُدهُ ِبنَ ْق ِل
َّ عدْل خ َ َّ ْث الَّذِى اِت
َ ص َل ُ سنُ ه َُوال َح ِدي ُ ال َح ِد ي
َ ْث ال َح
Artinya : “Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawiyang adil, yang rendah
tingkat kekeuatan daya hafalnya, tidak rancu dan tidak bercacat”.
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih,
hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi.
Pada hadist shahih, ingatan atau daya hafalannya harus sempurna, sedangkan pada hadist hasan, ingatan
atau daya hafalannya kurang sempurna. Dengan kata lain bahwa syarat-syarat hadist hasan dapat dirinci
sebagai berikut :
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabit, tetapi ke dhabit-tanyaa di bawah ke dhabitan perawi hadist hasan
d. tidak terdapat kejanggalan (syadz)
e. tidak ada illat (illat) [8]
3. Hadist Dhaif
a. Pengertian Hadist
Dhaif Kata dhaif menurut bahasa bararti lemah, sebagai lawan dari kata kuat. Maka sebutan hadist dhaif dari
segi bahasa berarti hadist yang lemah atau hadist yang tidak kuat. Secara istilah, diantara para ulama terdapat
perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadist dhaif ini. Akan tetapi, pada dasarnya, ini isi dan maksudnya
adalah sama.
َ ط ْالح
س ِن ُ ص َّح ِة َوالَ ش ُُر ْو ُ ما َ ل ْم ى ُْو َج ْد ِف ْى ِه ش ُُر ْو
َّ ط ال
Artinya : “hadist yang didalamya tidak terdapat syarat-syarat hadist shahih dan syarat-syarat hadist hasan”.
[10]
b. Contoh hadist dhaif :
َ ع ْقلُهُ فَُلَ يَلُ ْو َمنَّ اِالَّ نَ ْف
ُ سه َ ََم ْن نا َ َم بَ ْع َداْلعَص ِْر فَآجْ تَل
َ س
Artinya : “Barangsiapa tidur sesudah ashar kemudian akalnya terganngu maka jamgan menyalakan siapa-
siapa kecuali dirinya sendiri”. [11]
Hadis ini merupakan hadis dha’if. Karena perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan ada kejanggalan dalam
matan.
3.1 Simpulan .
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas sanadnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan
hadits ahad. Sedangkan hadis bila di tinjau dari kualitas sanadnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hadits
shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
3.2 . Saran
Setelah penulis menguraikan kesimpulan diatas maka penulis sangat membutuhkan saran-saran dari
pembaca, yang mana dari saran tersebut dapat membantu adanya perbaikan makalah ini. Dan disarankan
kepada semua pembaca untuk mencari informasi-informasi mengenai pembagian hadits baik dari segi
kuantitas maupun kualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Mudasir.Ilmu Hadist.Bandung:CV Pustaka Setia.1999
Dr.Nuruddin ‘Itr.Ulumul Hads.Bandung.PT Remaja Rosdakarya.2012
M.Nashiruddin Al-Albani.Silsilah Hadts Dhaif dan Maudhu’.Jakarta:Gema Insani.1995
http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html
http://muslimdaf.blogspot.com/2012/03/contoh-macam-hadist-ahad.html
________________________________________
1) Drs.H.Mudasur.Ilmu Hadist.Bandung: CV Pustaka Setia.1999.hal 113
2) Drs.H.Mudasir.Ilmu Hadis.Bandung:CV.Pustaka Setia.1999.Hal127
3) Blog academia.edu.Pembagian hadis berdasarkan sanadnya.
4) Dr.H.Mudasir.Ilmu Hadis.Bandung:CV.Pustka Setia.1999 hal 127
5) http://muslimdaf.blogspot.com/2012/03/contoh-macam-hadist-ahad.html
6) Ibid hal 144
7) http://mugnisulaeman.blogspot.com/2013/03/makalah-hadits-shahih-hasan-dan-dhaif.html
8) Dr.Nuruddin ‘Itr.Ulumul Hadis.Bandung:PT.RemajaRosdakarya.2012.hal 266
9) Blog academia.edu.Pembagian Hadis dari segi kuantitas dan kualitas sanad
10) Drs.H.Mudasir.Ilmu Hadis.Bandung:CV.Pustaka Setia.1999 Hal 156
11) M.Nashiruddin al-Albani.Silsilah Hadts Dhaif dan Maudhu’.Jakarta:Gema Insani.1995 hal 57