Anda di halaman 1dari 4

1.

Ruang Lingkup Naskh


Naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas
maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau
nahi (larangan). Jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus
kepada zat Allah, sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, dan hari kemudian, serta tidak
berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
Hal ini karena semua syariat illahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah
pokok (ushul) semua syari’at adalah sama. Naskh tidak terjadi dalam berita, khabar yang jelas-
jelas tidak bermakna tholab (tuntutan; perintah atau larangan ), seperti janji (al-wa’d) dan
ancaman (al-wa’id).
2. Pembagian Naskh
Naskh ada 4 bagian :
1) Naskh al-qur’an dengan al-qur’an.
Bagian ini disepakati kebolehannya oleh ulama’ dan telah terjadi dalam pandangan mereka
yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang iddah 4 bulan 10 hari.
2) Naskh al-qur’an dengan as-sunnah.
Naskh ini ada 2 macam :
 Naskh Al Qur’an dengan hadis ahad.
Jumhur berpendapat Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadis ahad sebab Qur’an adalah
mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni (bersifat dugaan). Disamping
tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan maznun
(diduga).
 Naskh Qur’an dengan hadis mutawatir.
Naskh demikian diperbolehkan oleh imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu
riwayat sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Namun dalam suatu riwayat lain, as
Syafi’i, Ahli Zahir, dan Ahmad menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah QS. Al
Baqarah: 106
‫ماننسخ من اية اوننسهانأت بخيرمنهااومثلها‬
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”
Sedang hadis tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al Qur’an.
3) Naskh Sunnah dengan Al Qur’an.
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang
ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Al Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
4) Naskh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk:
1) Naskh mutawatir dengan mutawatir
2) Naskh ahad dengan ahad
3) Naskh ahad dengan mutawatir
4) Naskh mutawatir dengan ahad

Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang dalam bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti
halnya naskh Qur’an dengan hadis ahad, yang tidak diperbolehkan oleh jumhur.
3. Macam-Macam Naskh dalam Al Qur’an
 Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al Qur’an dibagi menjadi empat macam:
1) Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Misalnya ayat tentang perang pada QS. An Nahl: 65 yang mengharuskan satu
muslim melawan sepuluh kafir.
Ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang
kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama.
2) Naskh dzimmi, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak
dikompromikan. Serta keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, keduanya
diketahui waktu turunnya, dan ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang
terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang
akan mati, yag terdapat dalam QS. Al baqarah: 180.
Ayat ini menurut pendukung naskh di-naskh oleh hadis la washiyyah li waris (tidak ada
wasiat bagi ahli waris).
3) Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya,
ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari pada QS. Al Baqarah: 234 di naskh oleh
ketentuan iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4) Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan
hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersfat
mutlaq dengan hukum yang muqoyyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An Nur ayat 4, dihapus oleh
ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah jika si penuduh suami yang
tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
 Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh tiga macam:
1) Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) sekaligus, yaitu bacaan dan
tulisan ayatnya pun tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan diganti
dengan hukum yang baru. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca
dan diamalkan. Misalnya, penghapusan ayat tentang keharaman kawin dengan saudara
satu susuan karena sama-sama menyusu kepada seorang ibu dengan 10 kali susuan dengan
5 kali susuan saja.
2) Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedang bacaannya tetap ada. Yaitu tulisan dan
bacaannya tetap ada dan boleh dibaca, sedangkan isi hukumnya sudah dihapus atau tidak
boleh diamalkan. Misalnya, pada surat Al Baqarah ayat 240 tentang istri-istri yang dicerai
suaminya harus beriddah 1 tahun dan masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal
selama iddah. Kemudian dihapus ayat 234 surat Al Baqarah, sehingga keharusan iddah 1
tahun tidak berlaku lagi.
3) Penghapusan terhadap bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Sebagaimaa
hadits Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab:
“Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan
pasti sebagai siksaan dari Allah.....”
4. Contoh-contoh Naskh
As suyuti menyebutkan dalam al Itqan sebanyak 21 ayat yang dipandang terdapat naskh,
diantaranya:
a. Firman Allah:
‫وهلل المشرق والمغرب فاين ماتولوافثموجهاهلل‬
“Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah ” (QS. Al Baqarah: 115)
Dinasakh oleh:
‫فولوجهك شطرالمسجدالحرام‬
“maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”(Al Baqarah: 144)
b. Firman Allah:
‫كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين واالقربين‬
“Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia menunggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk bapak ibu dan karib kerabatnya.....”(QS.
Al Baqarah: 180)
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan oleh hadis ke: “Sesungguhnya
Allah telah memberikan pada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada
wasiat bagi ahli waris.”
c. Firman Allah:
‫وعلى الذين يطيقونه فدية‬
“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah......”(Al Baqarah:184)
Ayat ini dinaskh oleh:
‫فمن شهدمنكم الشهرفاليصمه‬
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan ramadhan, hendaklah ia berpuasa....”(Al
Baqarah:185)
5. Pendapat tentang Naskh
1) Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya naskh mengandung
konsep al bada’, yakni nampak jelas setelah kabur (tidak jelas). Naskh itu adakalanya tanpa
hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya
tidak nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan dan ini
pun mustahil bagi-Nya.
2) Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya.
Mereka memandang konsep al bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah.
Dengan demikian, posisi mereka sangat kontradiktif dengan orang Yahudi.
3) Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh
dalam Al Qur’an, dengan pengertian bahwa hukum-hukum Qur’an tidak akan dibatalkan untuk
selama-lamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh semuanya ia takhsiskan.
4) Jumhur ulama’. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan
telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a. Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Dia boleh saja memerintahkan
sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah
yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b. Nash-nash Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antara lain:
 QS. An Nahl: 101
‫ماننسخ من اية اوننسهانأت بخيرمنهااومثلها‬
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”
 Dalam sebuah hadis Shahih, dari Ibn Abbas , Umar ra berkata: “yang paling paham dan
paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun
meninggalkan sebagian perkataanya, karena ia mengatakan: ‘aku tidak akan
meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw.’
Padahal Allah telah berfirman: apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya.... ”.
6. Hikmah Keberadaan Naskh
1) Memelihara kepentingan hamba.
2) Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan
perkembangan dakwah dan kondidsi umat manusia.
3) Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4) Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih
berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala. Dan jika beralih ke hal yang lebih ringan
maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

Anda mungkin juga menyukai