Anda di halaman 1dari 22

STUDI SUNAH

SUNAH TASYRI’RIYAH DAN SUNAH GHOIRU


TASYRI’RIYAH
Dosen : Dr. Oneng Nurul Bariyah, M.Ag

Disusun oleh :

Ade Kurnia (2019920036)


Ade Anuriansyah (20200520100004)

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2020

1
KATA PENGANTAR

Allhamdulillahirobbil‟alamin segala puji serta syukur senantiasasaya


panjatkan kepada Allah, Tuhan semesta alamyang telah memberikan kita begitu
banyak nikmat terutama adalah nikat Iman, Islam, dan sehat wal afiat, sehingga
saya dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah mengenai manajemen
pondok pesantren sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas perkuliahan
Sejarah Pendidikan Islam.

Akhir kata pada kesempatan ini saya sebagai penyusun makalah ingin
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua terutama kepada Dosen,
Sejarah Pendidikan Islam, yaitu Bapak Prof. Dr. Armai Arief, MA dan mudah-
mudahan makalah ini dapat bermanfaat khusus bagi saya sebagai penyusun dan
untuk para pembaca pada umumnya. Dan saya mengharapkan kritik dan saran dari
teman-teman semua dan dosen pembimbing untuk masukkan kepada saya agar
makalah ini menjadi lebih baik lagi karena saya sadari bahwa makalah yang saya
buat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangatlah membantu
saya.

Jakarta, 13 Oktober 2020

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4


A. Latar Belakang ............................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
C. Tujuan ........................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 6


A. Pengertian Sunah ......................................................................................... 6
B. Munculnya Sunnah Tasyri‟riyah dan Ghoiru Tasyri‟riyah ......................... 8
C. Sunah Tasyri‟riyah .................................................................................... 10
D. Sunah Ghoiru Tasyri‟riyah ........................................................................ 13
E. Bagaimana kriteria Sunah Tasyri‟riyah .................................................... 15
F. Bagaimana kriteria Sunah Ghoiru Tasyri‟riyah ........................................ 17

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 21


A. Kesimpulan ............................................................................................... 21
B. Saran ......................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul yang membawa
risalah dari Allah SWT kepada manusia. Sebagai seorang Nabi dan Rasul
beliau merupakan Uswatun Hasanah. Beliau wajib untuk dita‟ati sehingga apa
yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh hati.
Sebagai salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar beriman dan mencintai
Allah adalah dengan cara mentaati dan mengikuti perintah Rasulullah SAW
dan menjauhi larangannya..

Dalam praktiknya, sunnah merupakan tafsir Al-Qur‟an dan suri teladan


bagi umat Islam. Pengertian ini telah diketahui oleh ummul mukminin Siti
Aisyah r.a. berdasarkan ilmu fikih yang dikuasainya dan pandangan hatinya
yang terang, serta pergaulannya sebagai istri Rasulullah SAW, sehingga dapat
mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat yang fasih dan sarat makna.

Rasulullah SAW adalah orang yang menjelaskan makna Al-Qur‟an dan


memperagakan Islam melalui ucapan dan perbuatannya serta semua
tindakannya, baik secara individu maupun berkelompok, berada di tempat
maupun dalam perjalanan, atau dalam keadaan bangun maupun tidur.Begitu
pula mengenai hubungannya dengan Allah dan manusia, seperti hubungan
dengan kaum kerabat, orang lain, orang-orang yang dikasihinya dan musuh-
musuhnya, baik dalam keadaan damai maupun perang, dan keadaan suka
maupun duka.Itulah akhlak beliau yang merupakan teladan bagi kita semua.

Disamping itu Nabi Muhammad SAW juga sebagai manusia biasa


sebagaimana manusia yang lain sebagaimana banyak sekali ayat-ayat Al
Qur‟an yang menjelaskannya. Beliau juga memiliki kebutuhan jasmani dan
ruhani, memiliki keinginan dan selera dan memiliki kebiasaan-kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari beliau. Ketetapan beliau dalam kapasitas beliau sebagai

4
Rasul merupakan sumber syariat yang tidak diperdebatkan, namun apakah
segala yang datang dari beliau sebagai manusia biasa dalam konteks bahwa
sebagian perbuatan dan perkataan beliau yang muncul dari sifat
kemanusiannya (Jibillatul Basyariyah)juga merupakan sumber syari'at yang
mengikat? Banyak umat Islam, yang tidak memahami secara utuh tentang
perbuatan Rasulullah SAW.Mereka menganggap bahwa setiap yang dikerjakan
oleh Rasulullah SAW wajib atau disunnahkan untuk diikuti. Padahal kalau kita
kaji secara seksama masalah tersebut, ternyata para ulama merincinya dan
sampai pada kesimpulan bahwa tidak setiap apa yang dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, kita serta harus mengikutinya, baik yang bersifat wajib
maupun sunnah.

B. RUMUSAN MAKALAH
1. Apa pengertian sunah ?
2. Apa pengertian sunah Tasyri‟‟riyah ?
3. Apa pengertian sunah Ghoiru Tasyri‟riyah ?
4. Bagaimana kriteria sunah Tasyri‟‟riyah ?
5. Bagaimana kriteria sunah Ghoiru Tasyri‟riyah ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian sunah
2. Untuk mengetahui pengertian sunah Tasyri‟‟riyah
3. Untuk mengetahui pengertian sunah Ghoiru Tasyri‟riyah
4. Untuk memahami kriteria sunah Tasyri‟‟riyah
5. Untuk memahami kriteria sunah Ghoiru Tasyri‟riyah

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sunah
Kata Sunah berasal dari kata ‫ سٌة‬yang berasal dari kata ‫ سي‬, Secara
etimologis beararti cara yang bisa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik
atau buruk. Kata sunah dalam periode awal islam dikenal dengan dalam artian
“ cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang biasa dilakukan dalam
pengamalan agama. 1
Secara terminologi, para ulama berbeda pendapat tentang definisi sunnah.
Sunnah menurut terminologi muhaddisin (ulama hadis) adalah segala sesuatu
yang ditransfer dari Rasulullah Saw., baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan, sifat, moralitas, maupun perjalanan hidup beliau, yang demikian itu
dilakukan sebelum dan sesudah diformalkan (diutus) menjadi Rasulullah.2
Menurut para ahli hadist sunnah sama dengan hadist, yaitu sesuatu yang
dinisbahkan kepada Rasulullah , baik perkataan, perbuatan maupun sikap
beliau mengenai suatu peristiwa.3
Menurut terminologi ushuliyyin, sunnah yaitu segala sesuatu yang timbul
dari Nabi Saw., selain Alquran, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
penetapan (pengakuan) yang berkaitan dengan hukum syar‟I,4 melalui definisi
tersebut ulama ushul fikih membatasi pengertian sunnah pada sesuatu yang
berasal dari Rasul Saw selain Alquran yang dapat dijadikan dalil dalam
penetapan hukum syara‟. Ulama ushul fikih memandang Rasul Saw sebagai
Syari‟ yaitu yang merumuskan hukum dan yang menjelaskan kepada umat
manusia tentang peraturan-peraturan (hukum-hukum) dalam kehidupan ini, dan
memberikan kaidah-kaidah hukum untuk dipergunakan dan dipedomani kelak
oleh para mujtahid dalam merumuskan hukum setelah beliau tiada.5

1
Prof.Dr.H.Amir Syarifudin,Ushul Fiqh jilid I,hlm.86 (2008. Jakarta: kencana)
2
Maimun, “Ontologi Sunnah Dan Hadis: Implikasinya Terhadap Perkembangan Pemikiran
Hukum Islam”, dalam ASAS, Volume 7, Nomor 1, Januari 2015, hlm. 12.
3
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh,hlm.131 (2010. Jakarta: amzah)
5
Nawir Yuslem, 2001, Ulumul Hadis, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, hlm . 42.

6
Menurut Ilmu Fiqh, pengertian Sunnah menurut ahli Fiqh hampir sama
dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqh. Akan tetapi
istilah Sunnah dalam Fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi,
yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapat pahala bila dikerjakan dan
tidak berdosa bila ditinggalkan. Perspektif ini muncul karena mereka
memandang Nabi saw. sebagai seorang yang menunjukkan perbuatan-
perbuatannya yang berdasarkan hukum syariat. Sedangkan hukum yang
terdapat dalam perbuatan hamba tersebut, terpola dalam lima bentuk; wujūb
(diwajibkan), sunnah (dianjurkan), hurmah (dilarang), makrūh (dibenci), dan
ibāhah (dibolehkan).16 Khallaf mengatakan bahwa sunnah menurut istilah
syara‟ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah saw., baik itu ucapan,
perbuatan atau pengakuan (taqrir).6
As-sunah juga dapat dimaksudkan dengan sesuatu yang dilakukan oleh
para sahabat, baik hal itu terdapat dalam Al-Qur‟an atau sunnah atau tidak pada
keduanya, karena para sahabat mengikuti sunnah dengan nyata, hanya saja
tidak diriwayatkan sampai kepada kita atau sebagai ijtihad yang disepakati
mereka atau penerus mereka, sebagaimana mereka lakukan dalam
pengumpulan mushaf dan pengumpulan buku-buku yang semisal.7
Pengertian sunnah menurut rumusan dafinisi itu adalah mencakup semua
riwayat yang bersumber dari Rasulullah saw selain al-Qur‟an, yang wujudnya
berupa perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) beliau yang dapat dijadikan
dalil hukum syar‟i. Dengan demikian pengertian sunnah yang dirumuskan oleh
para ulama‟ Ushul Fiqh cakupannya lebih sempit dibandingkan dengan
pengertian yang disampaikan oleh para ulama‟ hadis sebagaimana telah
diuraikan di atas. Sebab ulama‟ Ushul Fiqh ternyata hanya merujuk pengertian
sunnah pada riwayat-riwayat dari Rasulullah saw yang berisikan hukum syar‟i
semata. Ha demikian ini berarti bahwa riwayat-riwayat dari Rasulullah saw
yang sama sekali tidak berkaitan dengan hukum syar‟i, misalnya riwayat yang

6
Abdul Wahhab Khallaf, 1996, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Cet. ke-6, hlm. 47.
7
Syaikh Muhammad Al-Khudari Biek,Usgul Fiqh,hlm 475

7
menjelaskan masalah-masalah akidah, tidaklah termasuk ke dalam kategori
pengertian sunnah. Sedangkan hadis oleh ulama‟ Ushul Fiqh hanya
dipergunakan untuk pengertian yang lebih sempit yakni hanya merujuk sunnah
qauliyah (sunnah berupa perkataan), tidak kepada lainnya. Jadi pengertian
hadis di sini memiliki cakupan lebih sempit dibandingkan dengan sunnah.
Berbeda dengan ulama‟ hadis dan ulama‟ Ushul Fiqh, ahli fiqih atau fuqaha‟
mempergunakan istilah sunnah untuk menunjuk salah satu bentuk atau sifat
dari hukum Islam, yakni suatu perbuatan yang hukumnya boleh ditinggalkan
namun lebih utama dilaksanakan. Bagi ulama‟ fiqih, sunnah adalah “semua
perbuatan yang ditetapkan Rasulullah saw namun hukum pelaksanaannya tidak
sampai ke tingkat wajib atau fardlu”.8

B. Munculnya Istilah Sunnah Tasyri‟iyah dan Ghairu Tasyri‟iyah


Sumber materi pokok hukum Islam adalah al-Qur‟an dan Sunnah. Otoritas
keduanya tidak berubah dalam setiap waktu dan keadaan. Tidak dapat
disangkal, dalam kehidupan orang muslim, al-Qur‟an dan Sunnah merupakan
dua sumber ajaran agama yang mengatur banyak hal dan harus dipedomani
dalam hidup. Allah berfirman:
“Dan Kami turunkan al-Qur‟an kepadamu supaya engkau menjelaskan
kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka
berpikir” (QS. an-Nahl: 44).
Al-Qur‟an tidak hanya berisikan persoalan aqidah dan ibadah, tetapi
mencakup berbagai persoalan etika, moral, hukum dan sistem kehidupan
lainnya. Ajarannya berlaku sepanjang masa dan bersifat universal untuk semua
umat manusia. Ilmu pengetahuan modern membuktikan sekian banyak isyarat
ilmiah dalam al-Qur‟an, bahkan juga Sunnah, dan sejalan dengan penemuan
ilmiah para ahli.
Adapun Sunnah Nabawiyah, dari dahulu telah menjadi sasaran musuh-
musuh Islam mulai dari orientalis dan misionaris, tatapi sunnah tetap eksis
karena keimanan, kesakralan, cinta dan teladan yang telah terpatri dalam diri

8
„Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits „Ulumuh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), 19.

8
selorang mukmin. Adapun problem kontemporer yang banyak muncul adalah
meragukan (tasykik) sunnah dari kalangan umat Islam sendiri. Barangkali tidak
berlebihan, jika dikatakan bahwa di balik usaha-usaha tasykik itu adalah para
orientalis, misionaris, kolonialis dan invader budaya dari luar. Kebebasan
individual dalam berekspresi dan menyatakan pendapat dalam aqidah dan
agama kini disalahpahami dan diekploitasi sedemikan rupa, untuk
menjustifikasi intervensi dalam agama, hukum-hukum syari‟ah dan bahkan
Sunnah Nabi Saw.9
Beginilah problematika yang dihadapi leteratur klasik Islam (al-Turats al-
Islamy) dan syari‟ah. Ada segelintir orang memberikan panutannya hak untuk
ber-ijtihad lalu mereka mengikutinya, tanpa peduli lagi dengan
pendapatpendapat sahabat Nabi dan para ulama, meskipun panutaan mereka itu
hanya berbekal ilmu yang minim atau hanya individu-individu dengan tangan
kosong, tidak tahu prinsip-prinsip syari‟ah lalu ia berkata, “kita juga
mengambil hukum syari‟ah dari al-Qur‟an dan Sunnah”. Atau, seorang
ilmuwan yang spesialisasinya dalam bidang sains, lalu ia menganggap dirinya
mampu mengkaji al-Qur‟an dan Sunnah serta istimbat hukumnya. Padahal
mereka tidak punya instrumen dasar untuk memhami pokok dan kaedah
syari‟ah. Ataupun mereka yang punya kepentingan politik dan maksud
terselubung yang meneriakkan bahwa pintu ijtihad telah terbuka lebar,
sehingga setiap mereka yang punya gelar pemikir Islam berhak untuk ber-
ijtihad dalam syari‟ah. Sedangkan mereka hanya berbekal mushaf, kitab-kitab
hadis, mereka tidak hafal ayat-ayat al-Qur‟an, tidak hafal walaupun lima hadis,
dan tidak bisa membedakan mana hadis yang shahih dan yang dhaif.
Menurut Musa Syahin, pencetus dari pemetaan Sunnah tasyri‟iyah dan
ghairu tasyri‟iyah adalah Syaikh Muhammad Syaltut. Beliau membahas
permasalahan ini secara khusus sehingga menjadi rujukan para ulama dan
pemikir setelahnya. Syaltut adalah orang pertama yang membuat distingsi
Sunnah tasyri‟iyah dan ghairu tasyri‟iyah ini.20 Statemen Syahin ini juga

9
Muhammad Aniq Imam, “Sunnah Rasul antara Tasyri‟iyah dan Ghairu Tasyri‟iyah”, dalam
Jurnal Hermeneutik. 8, No.I (2012), 130.

9
diamini oleh Syekh Yusuf al-Qardhawi yang mengatakan bahwa Syaltut adalah
rujukan para ulama kontemporer, yang menulis tentang Sunnah dan
klasifikasinya ke dalam tasyri‟iyah dan ghairu tasyri‟iyah.
Namun, kalau dirunut lebih jauh lagi, sebenarnya sebelum Mahmud Saltut,
banyak ulama yang menyinggung permasalahan ini seperti al-Qarafi (w. 684
H), Syah Wilayyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H) dalam Hujjah alBalighah,
Muhammad Rasyid Redha dalam tafsir al-Manar. Kemudian diikuti oleh ulama
dan pemikir kontemporer yang ikut membahas tentang terminologi Sunnah
Gharu Tasyri‟iyah. Di samping itu, sikap umum umat Islam memandang hadis
yang terumuskan dari Sunnah yang hidup saat itu mempunyai harga mati yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi, dan para ulama salaf pun kurang memiliki
perhatian khusus dalam kajian tentang Sunnah Tasyri‟iyah dan Ghairu
Tasyri‟iyah. Mereka cenderung memandang semua Sunnah sebagai syari‟at
yang berketetapan hukum (al-Sunnah Kulluha Tasyri‟). Mereka cenderung
pada generalisasi Sunnah sebagai syari‟at atau kebenaran mutlak dan sebagai
produk jadi (taken for granted).
Dengan demikian, pada gilirannya agak sulit membedakan mana Sunnah
yang bersifat mutlak, terutama yang berkaitan dengan „aqidah dan ibadah yang
terbatas dari ikatan ruang dan waktu, dan mana pula Sunnah yang bersifat nisbi
terkait mu‟amalah, pengalaman pribadi dan tradisi (kultur) lokal Arab yang
terkait oleh ruang waktu.10
C. Sunnah tasyri‟iyyah
Sunnah Tasyri‟iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah kenabian
sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk menerimanya. Dalam
pendapat lain dikatakan bahwa sunnahTasyri‟iyah adalah sunnah yang muncul
dari kapasitas Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai risalah.11

10
Kaizal bay, kriteria sunnah Tasyri‟riyah yang mesti diikuti, dalam Jurnal Ushuluddin Vol. 23
No. 1, Juni 2015
11
Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tasyri‟iyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi, (Jokjakarta:
Ar Ruzz Media, 2011), hlm. 15

10
Pada umumnya Sunnah Rasul itu terdiri dari ucapan, perbuatan dan
ketetapannya yang mempunyai hukum yang mesti diikuti (Sunnah
Tasyri‟iyah). Umpamanya, perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk
penyampaian risalah dan penjelasannya terhadap Al-Qur‟an tentang beberapa
masalah ibadah yang bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan
bentuk dan tata cara shalat dan lainnya. Karena itu, apa yang datang dari beliau
hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang
dianggap beriman pada Rasul SAW dan apa yang beliau larang haruslah
dihindari.
Sunnah pada dasarnya berarti perilaku teladan dari seseorang tertentu.
Dalam konteks Islam, ia merujuk kepada model perilaku Islam, ia merujuk
kepada model perilaku Rasul. Konsep Islam tentang sunnah bersumber dari apa
diutusnya Rasul, karena Al-Quran memerintahkan kepada kaum muslimin
untuk mencontoh perilaku rasul, dinyatakan sebagai teladan dan agung, maka
perilaku Rasul lalu menjadi “ideal” bagi kaum muslimin dan muslimat dengan
dasar wahyu. Otoritas pokok bagi umat Islam adalah Al-Quran. Meskipun
demikian, Al-Quran juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah penafsir ayat-
ayat Al-Quran.12
Sunnah Tasyri‟iyah adalah Sunnah yang mengandung unsur pensyariatan
bersifat abadi, dan berlaku untuk semua ruang dan waktu („am) serta tidak
terpengaruh dengan perubahan zaman.13
Dengan demikian menurut penulis yang seperti di terangkan ustad kami,
ustad munjin, menyatakan bahwasaannya sunnah Tasyri‟iyah adalah Apa saja
yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah SAW yang
bertugas menyampaikan risalah kenabiannya yang bersifat religious kepada
hamba Allah yang ada di muka bumi ini bukan halnya sebagai insan biasa.
1. Sunnah tasyri'iyyah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Sunnah yang datang dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai utusan
Allah, yaitu menyampaikan risalah ilahi, seperti sunnah-sunnah yang
12
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung:Pustaka, 1984), hal. 44
13
http://www. ulumulhadits.com. diakses pada selasa, 24 Januari 2016.

11
menjelaskan keglobalan al-Qur'an, mentakhsis keumuman al-Qur'an,
membatasi kemutlakan al-Qur'an dan sunnahsunnah yang menjelaskan
persoalan ibadah, halal-haram, akidah, ahklak dan sejenisnya. Sunnah
tasyri'iyyah semacam ini berlaku umum kepada seluruh umat manusia
sampai hari kiamat. Artinya seluruh umat Islam dimanapun dan sampai
kapanpun wajib mengikuti perintah al-Sunnah tasyri‟iyyah ini dan
wajib menjauhi larangannya.
b. Sunnah yang datang dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai imam dan
pemimpin umat Islam, seperti mengutus pasukan untuk melakukan
jihad, mendistribusikan harta negara dengan tepat sasaran,
mengumpulkan dan mengelola harta negara, membagi harta rampasan
perang, mengadakan penjanjian damai atau perang dengan warga atau
negara non muslim dan kebijakan-kebijakan lain yang dimaksudkan
untuk menciptakan kemaslahatan umum. Sunnah tasyri'iyyah model
ini, sekalipun sebagai ketentuan hukum yang mengikat, namun tidak
berlaku universal. Maka tidak semua umat Islam berkewajiban
melakukannya. Bahkan sebaliknya, umat Islam tidak boleh melakukan
sunnahsunnah ini kecuali atas izin imam, kholifah atau pemimpin
negara.
c. Sunnah yang datang dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai hakim atau
qodhiy dalam menyelesaikan persengketaan antar warga negara,
menghadirkan bukti-bukti dalam persidangan dan lain-lain. Sunnah
tasyri'iyyah kategori ini sekalipun sebagai ketentuan hukum yang
mengikat, namun tidak berlaku universal. Artinya, tidak semua umat
Islam wajib mengikuti ketentuan ini. Hanya orang-orang yang
berkapasitas sebagai qodhiy atau hakim yang boleh mengikuti sunnah
tasyri‟iyyah kategori ini

D. sunnah ghoiru tasyri‟iyyah

12
Al-Qaradhawi mendefinisikan Sunnah Ghairu Tasyri‟iyah adalah Sunnah
yang tidak ada maksud untuk diteladani.14 Sunnah Ghairu Tasyri‟iyah adalah
sunnah yang tidak mengandung unsur syariat karena terikat dengan situasi,
kondisi dan konteks saat di mana NabiMuhammad SAW mengeluarkan sabda
tersebut (ghairu Tasyri‟iyah) bersifat temporal (khas) dan situasional
(hal mu‟ayyan).
Sunnah Ghairu Tasyri‟iyah, yaitu Sunnah yang tidak mesti diikuti dan
tidak mengikat.Misalnya ucapan atau perbuatan
Nabi Muhammad SAW yang timbul dari hajat insani dalam
kehidupan keseharian beliau, seperti makan, cara berpakaian, urusan pertanian
dan lainnya. Kalau perbuatan tersebut memberi suatu petunjuk tentang tata cara
makan dan minum, berpakaian dan lainnya, maka menurut pendapat
jumhur ulama hukum mengikutinya adalah sunnat.
Nabi Muhammad Saw. adalah seorangRasul yang membawa risalah
universal (rahmatanli al-„Alamin) dari Allah SWT. sebagai Nabi danRasul,
beliau merupakan teladan (uswatunhasanah). Sebagai Rasul beliau juga wajib
untuk ditaati, sehingga apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan
keta‟atan sepenuh hati sebagai bukti seorang dianggap beriman, dan apa yang
beliau larang haruslah dihindari. Namun, selain sebagai seorang Nabi dan
Rasul, beliau juga adalah manusia sebagaimaana manusia lainya seperti
dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Karena itu, beliau juga memiliki
kebutuhan jasmani dan rohani, memiliki keinginan dan selera serta
mempunyaii kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun ketetapan beliau dalam kapasitasnya sebagai Rasul merupakan
sumber syari‟at yang tidak diperdebatkan, namun apakah segala yang datang
dari beliau sebagai manusia biasa dalam konteks bahwa sebagian perbuatan
dan perkataan beliau yang muncul dari sifat kemanusiaannya (jabillah
Basyariyyah) juga merupakan sumber syarai‟at yang mengikat Pertanyaan
inilah yang memunculkan istilah “sunnah ghairu tasyri‟iyah”. Istilah sunnah

14
Tarmizi M. Jakfar, otoritas…, hlm. 421.

13
ghairu tasyri‟iyah memang masih diperdebatkan, ada yang pro yang
memberikan beberapa definisi dan ada yang kontra yang menganggap istilah
sunnah ghairu
Tasyri‟iyah itu tidak dikenal pada masa salaf alsalih dan ia hanya rekayasa
kaum modernis dan rasionalis. Namun, setelah dilakukan kajian
mendalam maka ada beberapa ulama yangMenurut Musa Syahin, pencetus
dari pemetaan Sunnah Tasyri‟iyyah dan ghairu tasyri‟iyyah adalah Syaikh
Muhammad Syaltut. Beliau membahas permasalahan ini secara khusus
sehingga menjadi rujukan ulama dan pemikir setelahnya. Syaltut adalah orang
pertama yang membuat diskusi tasyri‟iyyah dan ghairu tasri‟iyyah ini.15
Menurut Dr. Tarmizi M. Ja'far, dalam memahami pendapat Abdul Wahhab
Khallaf tentang hadis atau sunnah nabi yang tidak termasuk kedalam katagori
sunnah Ghairu Tasyri‟iyah yang wajib untuk di ikuti adalah sebagai berikut:
1. Apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW yang berasal dari tabi'at
kemanusiaan, seperti duduk, berjalan, tidur, makan, minum, semua itu
bukan merupakan Tasyri‟iyah. Kenapa? Karena ia berasal dari sumber
kemanusiaannya bukan risalah. Namun apabila ia datang dari sifat
kemanusiaan dan ada dalil yang menunjukkan sebagai teladan, ia berubah
menjadi Tasyri‟iyah disebabkan adanya dalil ini.
2. Apa yang datang dari nabi yang berupa pengetahuan (alkhibrah al-
insaniyyah), keahlian, dan eksperimen dalam urusan keduniawian,
misalnya adalah perdagangan, pertanian, pengaturan pasukan tentara dan
peperangan, pemberian resep obat-obatan tertentu bagi orang sakit dan
sejenisnya, semua itu juga bukan Tasyri‟iyah, karena ia berasal dari bukan
ruang lingkup risalah, melainkan hasil dari pengetahuan keduniawian dan
penilaian Nabi Muhammad SAW yang bersifat pribadi.

15
Musa Syahin Lasyin, Assunnah Kulluha Tasyri’, (Qatar:Qatar University, t. Th), hlm. 38.

14
3. Apa yang berasal dari Nabi dan ada dalil syari'at yang menunjukkan bahwa
itu khusus berlaku baginya, maka itu bukan tasyri'iyyah umum.16

E. kriteria sunnah tasyri‟iyyah

Banyak sekali hadits atau sunnahTasyri‟iyah yang ditemukan dalam


hadis. Yang termasuk sunnah Tasyri‟iyah adalah Apa saja yang berasal dari
Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan risalah
kenabiannya, seperti penjelasan beliau terhadap maksud al-Qur‟an, tentang
hukum halal dan haram, tentang aqidah dan ahlak atau hal-hal yang berkaitan
dengannya. Sunnah Nabi yang demikian ini mengikat secara umum kepada
setiap individu muslim sampai hari qiyamat:17

‫ئ ُه ْس ِل ٍن َي ْْش ََد ُ ََ ْى الَ ََََِِ ِِالَّ هللاُ َوََ ًِّي‬


ٍ ‫ الَ َي ِحلُّدَ ُم ا ْه ِر‬: ‫س ْو ُل هللاِ ملسو هيلع هللا ىلص‬
ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ي هللاُ َع ٌَْ ُ قَال‬ ِ ‫َع ِي اب ِْي َه ْسعُ ْو ٍد َر‬
َ ‫ض‬
َ ‫ار ُق َِ ْل ََ َوا‬
‫ع ِة ررواٍ بحر‬ ِ َ‫اركُ َِ ِد ْيٌِ َِ ْاَ ُوف‬
ِ َّ ‫س بِاٌََّ ْف ِس َواَت‬ َّ ‫ اَثَّيِّب‬: ‫ث‬
ُ ‫ َواٌََّ ْف‬،‫ُاَزاًِي‬ ٍ َ‫س ْو ُل هللاِ ِِالَّ بِإِحْ دَى ثَال‬
ُ ‫َر‬
‫ )وهسلن‬Artinya: Dari Ibnu Mas‟ud radiallahuanhu dia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak
ada ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah) adalah utusan Allah kecuali
dengan tiga sebab: Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan
sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya. (Riwayat
Bukhori dan Muslim).18

Sunnah Tasyri‟iyah (Sunnah yang berdaya hukum) yakni Sunnah yang


mesti diikuti atau mengikat untuk di ikuti. Adapun Sunnah Tasyri‟iyah itu
dengan kriteria sebagai berikut:

1. Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi, dalam bentuk penyampaian
risalah dan penjelasan terhadap al-Qur‟an, seperti menjelaskan apa-apa
yang dalam al-Qur‟an masih bersifat belum jelas, membatasi yang umum,

16
Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non Tasyri'iyyah Menurut Yusuf Al-Qardhawi,(Jokjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 122. Lihat juga, Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar
al-Qalam, 1978), hlm. 43-44.
17
Mahmud Saltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Dar al-Qalam, l966), hlm. 508-509
18
Imam An-Nawawi, Matn-Arba'in, Jakarta: Cahaya Ummat: 2008

15
memberi qayid yang masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadah,
halal dan haram, „aqidah dan akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam
kapasitasnya sebagai seorang Rasul, termasuk Sunnah berdaya hukum
yang wajin di ikuti. Sebagai salah satu bukti bahwa seseorang benar-benar
mentaati dan mengikuti Rasulullah Saw. maka apa yang datang dari beliau
yang terkait berbagai masalah agama adalah mutlak untuk diikuti, dan apa
yang bukan dari Rasul terkait masalah agama adalah tertolak.
2. Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi, dalam kedudukannya
sebagai imam dan pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk
jihad, membagi harta rampasan, menggunakan bait al-mal, mengikat
perjanjian dan tindakan lain dalam sifatnya sebagai pemimpin. Namun,
Sunnah Tasyr‟i dalam bentuk ini, tidaklah berlaku secara umum untuk
semua orang, dan dalam pelaksanaannya tergantung kepada izin atau
persetujuan imam atau pemimpin.
3. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim (qadhi)
yang menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Adapun daya
hukum dalam bentuk ini, tidak bersifat umum dan hanya dapat dilakukan
oleh perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa.19

Sunnah Tasyri‟iyah (Sunnah berdaya hukum) yang mesti untuk diikuti


sebagaimana tersebut di atas, secara garis besar mengandung berbagai bidang
sebagai berikut:

1. „Aqidah
Bidang „aqidah ini dibatasi oleh Islam, dalam hal perbedaan antara
iman dan kafir, yang berhubungan dengan Allah dan sifatsifat-Nya, para
Rasul dan hari kiamat. Sunnah tidak dapat menetapkan dasar „aqidah
karena „aqidah ini menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu
adalah keyakinan yang pasti. Tidak ada yang mungkin menghasilkan
keyakinan yang pasti itu, kecuali yang pasti pula. Sunnah yang pasti
(qath‟i) ialah Sunnah yang baik dari segi lafaznya, wurud-nya maupun dari

19
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld. I, Cet. III (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 83

16
segi dalalah-nya adalah qath‟i atau pasti. Sunnah yang pasti hanyalah
Sunnah menurut persyaratan mutawatir yang jumlah sangat terbatas.
2. Akhlak
Dalam Sunnah atau Hadis, banyak sekali disampaikan Nabi
mengenai hikmah- hikmah, adap sopan santun dalam pergaulan ataupun
nasehat, baik secara langsung maupun dalam bentuk pujian tentang
keadilan, kebenaran dan menepati janji, dan atau celaan terhadap
perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat. Sunnah tersebut
menuntut munculnya manusia yang sempurna. Semua yang muncul dari
Sunnah dalam bentuk akhlak ini, pada umumnya mempunyai dasar dan
rujukan dalam al-Qur‟an, Sedangkan Sunnah yang datang kemudian,
hanya bersifat menjelaskan atau merincinya.
3. Hukum-Hukum Amaliah
Hukum amaliah berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk
ibadah, pengaturan mu‟amalah antar manusia, memisahkan hakhak dan
kewajiban, menyelesaikan persengketaan di antara umat secara bijak dan
adil. Maka hukum-hukum yang diperoleh dari sunnah dalam bentuk inilah
yang disebut “Fiqh Sunnah”, sedangkan hadisnya sendiri disebut “Hadis
Ahkam”. Karena itu, Sunnah (hadis) dalam bentuk inilah yang dijadikan
Sumber hukum oleh para ahli ushul dan fiqh sesudah al-Qur‟an.

F. Kriteria sunah ghoiru Tasyri‟riyah

Berangkat dari perkataan Nabi “‫” ًَتن َعلن بأهر دًيكن‬, (kalian lebih
mengetahui dengan urusan dunia kalian), mengindikasikan bahwa hanya
persoalan dunia saja yang termasuk sunnahGhairu Tasyri‟iyah.
Menurut Tarmizi M. Jakfar sebagaimana hasil telaah dari buku Al-
Qardhawi bahwasanya ada 5 (lima) kriteria yang termasuk kedalam
sunnah Ghairu Tasyri‟iyah, yaitu:

a. Perbuatan dan perkataan Nabi berdasarkan keahlian eksperimental dan


aspek-aspek teknisnya. Kriteria ini sebagaimana yang terdapat dalam hadis

17
tentang penyerbukan kurma diatas. Nabi menjelaskan kepada penduduk
Madinah mengenai pendapatnya yang bersifat dugaan tidak perlu
menyerbuki kurma yang beliau tidak memiliki pengalaman tentangnya,
yang kemudian menyebabkan kualitas hasil kurma penduduk madinah
menjadi rendah, karena mengikuti anjuran Rasul yang mereka anggap
sebagai agama dan hokum syari'at yang harus mereka ikuti. Karena itu,
Nabi bersabda, "Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian".20
Jadi yang termasuk ke dalam persoalan eksperimental ini,
misalnya pertanian, industri, kedokteran, persoalan perang dan penemuan-
penemuan lain yang bersifat teknis dan tergolong kedalam urusan dunia,
bukan persoalan religius.
b. Perbuatan dan perkataan Nabi sebagai kepala Negara dan hakim
Kriteria untuk membedakan sunnah yang lahir dari Nabi Muhammad
sebagai seorang penyampai risalah dan sunnah yang muncul dari beliau
sendiri sebagai pemimpin Negara hanya dengan memahami konteks dan
konsideran yang melatarbelakangi lahirnya sunnah tersebut. Di samping
itu, topik masalah dalam sunnah itu merupakan kemaslahatan yang
berkaitan dengan dengan urusan politik, ekonomi, militer, administrasi dan
sebagainya. Diantara bukti yang menunjukkan suatu pesan hadis
merupakan keputusan seorang kepala Negara adalah adanya sebuah teks
(nash) lain, atau beberapa teks lain yang bertentangan dengan teks yang ada
karena perbedaan tempat, waktu atau keadaan yang menunjukkan bahwa
hal itu dilakukan untuk menjaga kemaslahatan parsial dan temporer yang
sifatnya kondisional, tidak dimaksudkan sebagai hukum syari'ah yang abadi
dan berlaku umum.
c. Perintah dan larangan Nabi yang bersifat Anjuran
Perintah atau larangan tersebut harus berkaitan dengan
kemaslahatan atau kemanfaatan duniawi.Hal ini dapat dilihat dimana para
sahabat tidak merasa keberatan meninggalkan sebagian perintah Nabi

20
Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas..., hlm. 278-279.

18
manakala perintah atau larangan tersebut menurut mereka hanya bersifat
anjuran atau penyuluhan untuk mencari kemaslahatan atau kebaikan
duniawi. Seperti: perintah nabi untuk menyemir uban.21
d. Perbuatan Murni Nabi (al-fi'l al-mujarrad)
Perbuatan murni Nabi yang dimaksudkan disini adalah perbuatan yang
tidak ada indikasi ibadahnya, seperti masalah makan, Nabi makan dengan
tangan kanan dan tidak menggunakan sendok, makan pun dengan
menggunakan tiga jari serta duduk lesehan di lantai, maka jika tidak ada
sunnah qauliyah yang menegaskan harus makan demikian, berarti ia
tergolong sebagai perbuatan murni dan bukan syari'at yang harus diikuti
(Ghairu Tasyri‟iyah).22
Maka dalam hal ini bukanlah bid'ah (melawan sunnah) jika kita makan
dengan sendok dan duduk di meja makan. Akan tetapi makan dan minum
dengan tangan kanan itu adalah syari'at yang harus di ikuti karena ada hadis
qauliyah mengenai hal ini, yaitu Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila
seseorang di antara kalian makan hendaknya ia makan dengan tangan
kanan dan minum hendaknya ia minum dengan tangan kanan, karena
sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya dan minum dengan
tangan kirinya." Riwayat Muslim.
e. Perbuatan Nabi sebagai Manusia (al-fi'l al-jibillyy)
Beberapa contoh perbuatan Nabi sebagai manusia yang disebutkan
oleh al-Qardhawi sebagai mana yang disebutkan oleh Dr. Tarmizi M. Ja'far
adalah adanya riwayat shahih bahwa beliau senang makan sampil kamping
dan suka kepada sayur dubba' (sejenis sayuran buah labu).
Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra.:
"Seorang penjahit mengundang Rasulullah SAW. untuk menghadiri
suatu jamuan makan. Kata Anas: Aku berangkat bersama Rasulullah SAW.
21
Ibid., hlm. 258.
22
Ibid., hlm. 286-287.

19
menghadiri jamuan makan tersebut. Kepada Rasulullah SAW. tuan rumah
menghidangkan roti dari gandum serta kuah berisi labu dan dendeng. Anas
berkata: Aku melihat Rasulullah SAW. Mencari labu dari seputar mangkuk
kuah itu. (Shahih Muslim No.3803)
Dengan demikian lanndasan utama dari adanya sunnahGhairu
Tasyri‟iyah ini adalah sunnah Nabi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya
adalah manusia biasa dan alasan pendukung adalah amalan atau praktik
para sahabat, kebolehan Nabi untuk berijtihad sunnah nabi sebagai Ijtihad
atau sunnah atau hadis nabi yang bukan berasal dari wahyu.

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kata Sunah berasal dari kata ‫سٌة‬ yang berasal dari kata ‫ سي‬, Secara
etimologis beararti cara yang bisa dilakukan, Secara terminologi, para ulama
berbeda pendapat tentang definisi sunnah.
Sunnah Tasyri‟iyah adalah Sunnah yang mengandung unsur pensyariatan
bersifat abadi, dan berlaku untuk semua ruang dan waktu („am) serta tidak
terpengaruh dengan perubahan zaman.
Dengan demikian menurut penulis yang seperti di terangkan ustad kami,
ustad munjin, menyatakan bahwasaannya sunnah Tasyri‟iyah adalah Apa saja
yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah SAW yang
bertugas menyampaikan risalah kenabiannya yang bersifat religious kepada
hamba Allah yang ada di muka bumi ini bukan halnya sebagai insan biasa.
Sunnah Ghairu Tasyri‟iyah adalah sunnah yang tidak mengandung unsur
syariat karena terikat dengan situasi, kondisi dan konteks saat di mana
NabiMuhammad SAW mengeluarkan sabda tersebut (ghairu Tasyri‟iyah)
bersifat temporal (khas) dan situasional (hal mu‟ayyan).

B. Saran
Melalui makalah ini saya berharap semoga pembahasan mengenai
Pertumbuhan Madrasah Pada Masa Awal sedikit banyaknya dapat dipahami
oleh pembaca, selain itu saya sebagai penulis mohon ma‟af apabila masih
terdapat kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu saya
mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca, untuk kesempurnaan dari
makalah saya ini.

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Ajjaj. Ushul al-Hadits „Ulumuh wa Musthalahuh. Beirut: Dar al-Fikr,


1975.

Biek, Syaikh Muhammad Al-Khudari. ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2004.

Dahlan,.Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: amzah. 2010

Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutu. Bandung:Pustaka. 1984.

Jakfar, Tarmizi, M. Otoritas Sunnah non Tasyri‟iyah Menurut Yusuf Al-


Qardhawi. Jokjakarta: Ar Ruzz Media. 2011.

Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada. 1996.

Maimun, “Ontologi Sunnah Dan Hadis: Implikasinya Terhadap Perkembangan


Pemikiran Hukum Islam”, dalam ASAS, Volume 7, Nomor 1, Januari 2015.

Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh jilid I. Jakarta: kencana. 2008.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. 2001

e.journal.iainkudus.com di akses pukul 17.51.

http://www. ulumulhadits.com. diakses pada selasa, 24 Januari 2016.

Kaizal bay, kriteria sunnah Tasyri‟riyah yang mesti diikuti, dalam Jurnal
Ushuluddin Vol. 23 No. 1, Juni 2015

22

Anda mungkin juga menyukai