Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Ilmu Ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan
kepada faqih (ahli hukum islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari
dalil-dalil syara,dalam mengelompokan lafaz atau kata dari segi pemakaiannya
ilmu ushul fiqh membagi kedalam dua macam: hakikat (denotatif) dan majaz
(konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi
keberadaannya dalam Al-quran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan
dalam Al-quran. Adapun makna majzi, keberadaannya dalam Al-quran masih
debetable di kalangan para ulama.
Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran. Namun, segolongan ulama seperti mazhab ahiriyyah, Ibnu Qis dari
Syafiiyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak
mengakui keberadaannya dalam Al-quran. secara sederhana, hakikat dan sharih
adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang
mendorong untuk menggunakan makna majaz, kinyah, atau tasybh (yang tidah
jelas).
Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya
pendahuluan (taqdm) dan pengakhiran (takhr) dalam susunannya.
Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian hakikat
dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz, ketentuan
yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya hakikat/majaz
serta pengertian shari/kinayah.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian haqiqah dan majazi
2. Macam-macam majazi
3. Ketentuan yang berkenaan dengan haqiqah dan majazi
4. Sharih dan kinyah
Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 1

BAB II
PEMBAHASAN
A. HAQIQAH DAN MAJAZI
1. PENGERTIAN HAQIQAH DAN MAJAZI
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata ) haqqa( yang berarti
tetap. Ia bisa bermakna subjek (fil); sehingga memiliki arti yang tetap atau
objek (mafl),yang,berartiditetapkan1. Secara terminology haqiqah ulama
ushul fiqh memberikan definisi sebagai berikut:2
Menurut Ibnu Subhi haqiqat adalah :

lafadz yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan
Ibnu Kudamah memberikan definisi:

lafadz yang digunakan untuk sasarannya semula.
Menurut Al-Sarkhisi

setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang
tertentu.
Seluruh pengertian di atas mengandung pengertian tentang haqiqah, yaitu :
suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu .
maksudnya, lafazh digunkan oleh perumus bahsa untuk itu . contohnya seperti
kata kursi. Yang menurut asalnya memang digunkan untuk tempat tertentu
yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kursi itu sering juga
digunkan untuk pengertian kekuasaan tapi pada dasarnya kursi memang untuk
tempat duduk.

1 Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, )Jakatra: Kencana, 2008, Jilit 2, Cet. V, h. 26-39.
2 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 2

Sedangkan penggunaan kata untuyk sasaran( pengertian) lai dinamai


majaz.
Dari segi ketetapanya sebagai haqiqah, para ulama membagi haqiqah itu
kepada beberapa bentuk.3
1)

Haqiqah lughawiyah( ( yang ditetapkan oleh bahasa itu

sendiri,
yaitu : lafal yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa.
Contohnya, kata manusia untuk semua hewan yang berakal.
2)

Haqiqah syariyyah) ) ( yang ditetapkan oleh syari

(pembuat hukum sendiri) yaitu :

lafadz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara.

Umpamanya lafaz shalat untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari


perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan
salam.
3)

Haqiqah urfiyah khashshah) ( yang ditetapkan oleh

kebiasaan suatu lingkungan tertentu, yaitu :



lafadz yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa
digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya.
Umpamanya istilah ijma yang berlaku di kalangan ahli fiqih.4

3 Ibid,
4 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 3

4)

Haqiqah urfiyah ammah) (yang yang ditetapkan oleh

kebiasaan yang berlaku secara umum, yaitu :

lafadz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam


kebiasaan umum.
Umpamanya penggunaan kata dabbah) (dalam bahasa arab untuk hewan
ternak yang berkaki empat.
Lafaz majaz adalah bahagian dari pengunanaan lafaz itu sendiri sehingga
oleh para ulama berbeda pula dalam menafsirkan tentang pengertian lafaz itu
sendiri. Walaupun berbeda dalam penafsiran namun tujuan adalah sama,
mungkin letak perbedaan dalam menafsirkan arti majaz tersebut adalah cara
pandang mereka yang berbeda. Diantara nya adalah

1. Menurut al-Sarkhisyi beliau menyebutkan yang dimaksud dengan majaz


adalah

Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar
apa yang ditentukan.
2. Ibnu Qudamah memberikan pengertian lafaz majaz adalah

Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
digunakan.
3. Sedangkan majaz menurut Ibnu Subki adalah
Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 4


Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya
keterkaitan.
Dari beberapa contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafadz
majaz tersebut, yaitu :5
a. Lafadz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang
dikehendaki oleh suatu bahasa.
b.

Lafadz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk


digunakan dalam memberi arti kepada arti yang dimaksud.

c. Antara sasaran dari arti lafadz yang digunakan dengan sasaran yang
dipinjam dari arti lafadz itu memang ada kaitannya.
Umpanya kata kursi dipinjam untuk arti kekuasaan Lafaz kursi pada
dasrnya diartikan untuk tempat duduk. Lafaz itu dipinjam untuk arti kekuasaan
antara tempat duduk dan kekuasaan memang ada kaitanya, bahwah memang
kekuasaan memang dilaksakan dari kursi, sering disimbolkan dengn singgasana.
Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan Lafaz untuk arti
menurut hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk
tidak menggunakan haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Di antara hal yang
mendorong kearah itu adalah sebagai berikut :6
a) Karena berat mengucapkan suatu lafadz menurut haqiqahnya. Oleh
karenanya ia beralih kepada majaz. Umpamanaya lafazh (bahaya
besar menimpah seseorang ) karna berat lebih suka mengucapkan
(maut)
b) Karena buruknya kata haqiqah itu bila digunakan. Sama halnya dalam
menggunakan kata majaz tersebut karena tidak etisnya sutu kata

5 Ibid,
6 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 5

haqiqah kalau digunkan depan orang banyak.(bersetubuh dengan


bergaul)
c) Karena kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang
kata haqiqah. Yaitu jima dengan bersetubuh
d) Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghahnya). Yaitu
kata singa
2.

Macam-Macam Majaz

Adapun bentuk-bentuk majaz adalah sebagai berikut :


a) Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya.
Seandainya dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi
arti hakikatnya. Umpamanya tambahan kata yang berarti seperti yang
terdapat dalam firman Allah, surat al-syura (42) : 11 :

tidak ada seperti semisal sesuatu pun.
Seandainya ada (seperti) itu tidak ada, sebenarnya tidak akan mengurangi
artinya. Adanya tambahan ini menempatkannya sebagai majaz, karena
berlebihan dari hakikatnya.
b) Adanya kekurangan dalam suatu susunan suatu kata dari yang sebenarnya.
Kebenaran maksud dari lafadz itu terletak pada yang kurang itu.
Umpamanya firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82 :

Tanyalah kampung itu
Pengertian dalam bentuk hakikatnya adalah tanyalah penduduk kampung
itu. Adanya kekurangan kata penduduk dalam kata kampung di atas,
menjadikannya sebagai majaz.
c) Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian menukat
kedudukan suatu kata. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Nisa
(4) : 11 :

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 6

Sesudah mengeluarkan wasiatnya dan membayarkan hutangnya


Maksud

sebenarnya

adalah

sesuatu

membayarkan

hutang

dan

mengeluarkan wasiatnya
d) Meminjam kata lain atau istiarah(( yaitu menamakan sesuatu
dengan menggunakan (meminjam kata lain). Seperti memberi nama si A
yang pemberi dengan singa.
Istiarah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari
penggunaan lafadz majaz.7
3. Cara Mengetahui Haqiqah Dan Majaz
Untuk mengetahui lafadz haqiqah adalah secara simai

yaitu dari

pendengaran terhadap apa yang biasa dilakukan orang-orang dalam berbahasa.


Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain dari itu. Juga tidak dapat
diketahui melalui anlogi. Sebagaimana keadaan hukum syara yang tidak dapat
diketahui kecuali melalui nash syara itu sendiri.
Cara untuk mengetahui lafadz majaz adalah melalui usaha mengikuti
kebiasaan orang Arab dalam penggunaan istiarah (peminjaman kata). Adapun
cara orang Arab menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah
adanya kaiatan antara maksud kedua kata itu baik dalam bentuk maupun dalam
arti.
Beberapa hal yang dapat dijadikan penunjuk dalam membedakan antara
haqiqah dengan majaz, diantara adalah sebagai berikut :8
1) Salah satu diantara kedua lafadz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman
dibanding dengan yang lain. Itulah yang haqiqah sedangkan yang agak
lambat menyentuh pemahaman adalah majaz.
2) Salah satu diantara kedua lafadz itu dapat dikembangkan atau ditasyrifkan
ke dalam beberapa lafadz.
4. Ketentuan Yang Berkenaan Dengan Haqiqah Dan Majaz
Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah
dan majaz adalah sebagai berikut :9
7 Ibid,
8 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 7

1) Bila suatu lafadz digunakan antara haqiqah atau majaz, maka lafadz itu
ditetapkan sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafadz
atau kata adalah untuk haqiqahnya. Lafadz itu pun bukan mujmal kecuali
bila ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah majaz.
Dengan menjadikan setiap lafadz yang memungkinkan untuk dijadikan majaz.
Sebagai mujmal, maka akan tercapai yang dimaksud yaitu pemahaman.
2) Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu dari lafadz yang digunakan, baik
dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu
pula pada majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafadz yang
lainnya, baik dalam bentuk umum maupun khusus. Dan antara 2 bentuk
lafadz itu tidak terdapat pertentangan, karena majaz itu pengganti haqiqah.
3) Haqiqah dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafadz dalam
keadaan yang sama. Artinya, masing-masing harus mengikuti tujuan sendirisendiri, karena haqiqah adalah asalnya sedangkan majaz hanya kata yang
dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu lafadz.
Di kalangan ulama Hanafiah ada yang berpendapat antara haqiqah dan
majaz, keduanya bertemu dalam dua tempat yang berbeda, dengan syarat, majaz
itu tidak akan sampai mendesak haqiqah. 10
Dalam al-quran, surat al-Nisa (4) : 23, Allah berfirman :

Diharamkan atasmu ibu-ibu mu dan anak-anak mu.


Kata ibu-ibu

dalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat

digunakan nenek, namun penggunaan untuk nenek adalah dalam bentuk


majaz. Begitu pula kata anak-anak ( ) dapat digunakan untuk cucu,
namun penggunaan untuk cucu adalah dalam bentuk majaz, sedangkan
haqiqahnya adalah untuk anak kandung.11
Penyebab tidak berlakunya haqiqah

9 Ibid,
10 Ibid,
11 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 8

Pada dasarnya adalam setiap menggunakan lafadz harus dalam bentuk


haqiqahnya dan tidak boleh beralih kepada yang lain kecuali bila ada qarinah.
Namun dalam beberapa hal tidak digunakan haqiqahnya, yaitu dalam keadaan
sebagai berikut :12
i. Adanya petunjuk penggunaan secara urfi (kebiasaan) dalam penggunaan
lafadz.
Dalam hal haqiqah lafadz lafadz ditinggalkan, maka yang diamalkan
(dipegang) adalah apa yang mudah dipahami dari lafadz tersebut. Alasannya
adalah karena suatu kalimat (ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah
terbiasa orang menggunakan suatu lafadz untuk maksud tertentu maka
pengggunaan lafadz itu sudah menempati kedudukan haqiqah. Umpamanya
lafaz shalat ; menurut haqiqah penggunaannya adalah untuk doa. Tetapi
karena sudah diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah suatu
bentuk tertentu dari perbuatan ibadat, maka pengertian shalat yang arti
hakikatnya adalah doa itu tidak lagi digunakan. Firman Allah yang menyuruh
shalat dalam surat Thaha (20) : 14 :

Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku
ii. Adanya petunjuk lafadz.
Dalam hal ini suatu lafadz memberi petunjuk kepada sesuatu secara
haqiqah, namun yang dimaksud bukan untuk itu.
Contohnya, bila seseorang berkata, Demi Allah saya tidak makan daging.
Ternyata kemudian ia makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak
melanggar sumpah; karena pengertian daging berlaku untuk segala macam
daging secara hakikatnya. Namun pengertian menurut haqiqah ini tidak lagi
digunakan karena petunjuk lafaz menghendaki daging itu selain dari ikan dan
belalang yang keduanya tidak disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya
yang digunakan, maka orang yang bersumpah itu melanggar sumpahnya.
iii. Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.

12 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 9

Dalam mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun


diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk haqiqah, harus
dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar haqiqah.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Kahfi (18) : 29 :


Barang siapa yang mau, berimanlah, dan barang siapa yang mau,
kafirlah, sesungguhnya kami menyediakan neraka bagi orang yang zhalim.
iv. Adanya petunjuk dari sifat pembicara
Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti
menuntut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui
bahwa ia tidak menginginkan sesutau menurut yang diucapkan. Dalam hal ini,
maka haqiqah yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Isra (17) : 64 :

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan
ajakanmu.
v. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Berdasarkan haqiqah penggunaan lafadz, lafadz itu harus dipahami menurut
apa adanya, namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk
memahami lafadz itu menurut haqiqahnya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Fathir (35) : 19 :

Tidak sama orang buta dengan orang yang melihat
Keberadaan majaz dalam ucapan
Pembicaran tentang haqiqah dan majaz, berlaku dalam lafadz (ucapan).
Namun dalam hal apakah majaz itu ada (terjadi) dalam ucapan (lafadz) yang
bersifat syari, terdapat beda pendapat di kalangan ulama.13
a. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam
ucapan, baik dalam ucapan syari (pembuat hukum) dalam al-quran dan

13 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 10

sunnah, sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang


digunakan.
Keberadaan majaz itu terlihat dalam beberapa ayat al-quran dan hadist Nabi
seperti penggunaan lafaz mulamasah yang berarti saling bersentuhan dalam alquran, surat al-Nisa (4) : 34, sebagai ganti dari ucapan jima tau bersetubuh
yang berkaitan dengan hukum batalnya wudhu.
b. Abu Ishak Al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian
majaz. Apa yang selama ini dianggap majaz itu sebenarnya adalah
haqiqah, karena ada petunjuk yang menjelaskannya.
c. Golongan ulama Zhahiri menolak adanya majaz dalam al-quran dan
hadist Nabi. Seandaianya menemukan firman Allah Swt. yang
mengggunakan bahasa untuk digunakan dalam artian syari , maka hal itu
bukan berarti majaz, tetapi konteks penggunaannya sudah secara haqiqah
syari. Alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam al-quran dan
hadist adalah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya) berarti
dusta, sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari dusta.

B. Sharih dan Kinayah


Secara arti kata, sharih dari kata sharaha berarti terang ; ia menjelaskan apa
yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang
mungkin.14
Dalam pengertian istilah hukum, sharih berarti :

Setiap lafadz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk
haqiqah atau majaz.
Maksud yang dikehendaki oleh pembicara dapat diketahui dari lafadz yang
digunakan tanpa memerlukan penjelasan lain. Umpamanya pada waktu
seseorang ingin menceraikan isterinya, ia berkata kepada isterinya, engkau saya
ceraikan.

14 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 11

Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang secara arti kata berarti mengatakan
sesuatu untuk menunjukan arti lain.15

Dalam pengertian istilah hukum, kinayah adalah :



Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan
oleh dalil.
Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak dari
lafadz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah, karena masih
memerlukan penjelasan.
Penggunaan nama seseorang dengan memakai kata ganti-nama termasuk
kinayah. Kalau dikatakan Si Ahmad sedang sholat dengan tekun, akan mudah
orang memahaminya. Tetapi kalau dikatakan, ia sedang shalat dengan tekun,
orang akan bertanya, siapa yang sedang shalat itu?.
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud, termasuk
kinayah. Umpamanya seseorang mengatakan kepada isterinya, pulanglah kau
ke rumah ibu mu,. Ungkapan ini mengandung beberapa maksud : dapat berarti
cerai dan dapat pula berarti pulang sementara. Bila seseorang menggunakan
ucapan tersebut kepada isterinya dan yang dimaksud dengan ucapannya itu
untuk cerai, bearti ia menggunakan lafaz kinayah untuk cerai.
Dari segi apa yang diucapkan seseorang, kalau suatu lafaz bukan
menunjukan pada arti yang sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan majaz.
Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu :16
Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud oleh lafaz
sebenarnya dengan lafaz lain yang dipinjam untuk itu. Umpamanya orang
pemberani disebut singa. Tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa
keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya menamai
seseorang dengan menggunakan nama anaknya meskipun kebetulan sifat orang
15 Ibid,
16 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 12

itu berbeda dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anaknya
pemberani dinamai dengan suja secara kinayah si ayah akan dinamai Abu Suja.
Padahal si ayah sendiri seorang penakut. Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada
keterkaitan antar lafadz yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya. 17
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz sharih dalam ucapan adalah
berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya, tanpa
memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula menggunakan
ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz cerai untuk memutuskan
hubungan antara suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz itu diucapkan,
maka berlangsunglah perceraian, seperti : saya ceraikan engkau, hai, cerai,
kita bercerai, atau kata lain yang sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang
berlaku terhadap lafaz kinayah adalah bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang
diinginkan dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam
hati ; atau cara lain yang sama artinya dengan itu. 18

17 Ibid,
18 Ibid,

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 13

BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Haqiqah dan majaz adalah 2 kata dalam bentuk mutadhayyifan atau relative
term, dalam arti sebagai 2 kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan
masuk ke dalam salah satu diantaranya.Adapun pengertian hakikat yaitu lafadz
yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan. Sedangkan majaz mempunyai
pengertian lafadz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk
digunakan dalam memberi arti kepada arti yang dimaksud.
Untuk Sharih sendiri mempunyai pengertian yaitu Setiap lafadz yang
terbuka

makna

dan

maksudnya,

baik

dalam

bentuk

haqiqah

atau

majaz.Sedangkan kinayah mempunyai pengertian yang berkebalikan dari


sharihApa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai
dijelaskan oleh dalil.

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 14

2. Referensi
Karim, A.Syafii. 1995. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Setia.
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN
Pekalongan Press.
Syarifudinn, Amir. 2001. Ushul Fiqih. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 15

Anda mungkin juga menyukai