PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Ilmu Ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan
kepada faqih (ahli hukum islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari
dalil-dalil syara,dalam mengelompokan lafaz atau kata dari segi pemakaiannya
ilmu ushul fiqh membagi kedalam dua macam: hakikat (denotatif) dan majaz
(konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi
keberadaannya dalam Al-quran. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan
dalam Al-quran. Adapun makna majzi, keberadaannya dalam Al-quran masih
debetable di kalangan para ulama.
Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Alquran. Namun, segolongan ulama seperti mazhab ahiriyyah, Ibnu Qis dari
Syafiiyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak
mengakui keberadaannya dalam Al-quran. secara sederhana, hakikat dan sharih
adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang
mendorong untuk menggunakan makna majaz, kinyah, atau tasybh (yang tidah
jelas).
Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya
pendahuluan (taqdm) dan pengakhiran (takhr) dalam susunannya.
Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian hakikat
dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz, ketentuan
yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya hakikat/majaz
serta pengertian shari/kinayah.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian haqiqah dan majazi
2. Macam-macam majazi
3. Ketentuan yang berkenaan dengan haqiqah dan majazi
4. Sharih dan kinyah
Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAQIQAH DAN MAJAZI
1. PENGERTIAN HAQIQAH DAN MAJAZI
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata ) haqqa( yang berarti
tetap. Ia bisa bermakna subjek (fil); sehingga memiliki arti yang tetap atau
objek (mafl),yang,berartiditetapkan1. Secara terminology haqiqah ulama
ushul fiqh memberikan definisi sebagai berikut:2
Menurut Ibnu Subhi haqiqat adalah :
lafadz yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan
Ibnu Kudamah memberikan definisi:
lafadz yang digunakan untuk sasarannya semula.
Menurut Al-Sarkhisi
setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang
tertentu.
Seluruh pengertian di atas mengandung pengertian tentang haqiqah, yaitu :
suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu .
maksudnya, lafazh digunkan oleh perumus bahsa untuk itu . contohnya seperti
kata kursi. Yang menurut asalnya memang digunkan untuk tempat tertentu
yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kursi itu sering juga
digunkan untuk pengertian kekuasaan tapi pada dasarnya kursi memang untuk
tempat duduk.
1 Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, )Jakatra: Kencana, 2008, Jilit 2, Cet. V, h. 26-39.
2 Ibid,
sendiri,
yaitu : lafal yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa.
Contohnya, kata manusia untuk semua hewan yang berakal.
2)
lafadz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara.
3 Ibid,
4 Ibid,
4)
Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar
apa yang ditentukan.
2. Ibnu Qudamah memberikan pengertian lafaz majaz adalah
Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
digunakan.
3. Sedangkan majaz menurut Ibnu Subki adalah
Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 4
Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya
keterkaitan.
Dari beberapa contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafadz
majaz tersebut, yaitu :5
a. Lafadz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang
dikehendaki oleh suatu bahasa.
b.
c. Antara sasaran dari arti lafadz yang digunakan dengan sasaran yang
dipinjam dari arti lafadz itu memang ada kaitannya.
Umpanya kata kursi dipinjam untuk arti kekuasaan Lafaz kursi pada
dasrnya diartikan untuk tempat duduk. Lafaz itu dipinjam untuk arti kekuasaan
antara tempat duduk dan kekuasaan memang ada kaitanya, bahwah memang
kekuasaan memang dilaksakan dari kursi, sering disimbolkan dengn singgasana.
Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan Lafaz untuk arti
menurut hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk
tidak menggunakan haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Di antara hal yang
mendorong kearah itu adalah sebagai berikut :6
a) Karena berat mengucapkan suatu lafadz menurut haqiqahnya. Oleh
karenanya ia beralih kepada majaz. Umpamanaya lafazh (bahaya
besar menimpah seseorang ) karna berat lebih suka mengucapkan
(maut)
b) Karena buruknya kata haqiqah itu bila digunakan. Sama halnya dalam
menggunakan kata majaz tersebut karena tidak etisnya sutu kata
5 Ibid,
6 Ibid,
Macam-Macam Majaz
sebenarnya
adalah
sesuatu
membayarkan
hutang
dan
mengeluarkan wasiatnya
d) Meminjam kata lain atau istiarah(( yaitu menamakan sesuatu
dengan menggunakan (meminjam kata lain). Seperti memberi nama si A
yang pemberi dengan singa.
Istiarah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari
penggunaan lafadz majaz.7
3. Cara Mengetahui Haqiqah Dan Majaz
Untuk mengetahui lafadz haqiqah adalah secara simai
yaitu dari
1) Bila suatu lafadz digunakan antara haqiqah atau majaz, maka lafadz itu
ditetapkan sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafadz
atau kata adalah untuk haqiqahnya. Lafadz itu pun bukan mujmal kecuali
bila ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah majaz.
Dengan menjadikan setiap lafadz yang memungkinkan untuk dijadikan majaz.
Sebagai mujmal, maka akan tercapai yang dimaksud yaitu pemahaman.
2) Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu dari lafadz yang digunakan, baik
dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu
pula pada majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafadz yang
lainnya, baik dalam bentuk umum maupun khusus. Dan antara 2 bentuk
lafadz itu tidak terdapat pertentangan, karena majaz itu pengganti haqiqah.
3) Haqiqah dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafadz dalam
keadaan yang sama. Artinya, masing-masing harus mengikuti tujuan sendirisendiri, karena haqiqah adalah asalnya sedangkan majaz hanya kata yang
dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu lafadz.
Di kalangan ulama Hanafiah ada yang berpendapat antara haqiqah dan
majaz, keduanya bertemu dalam dua tempat yang berbeda, dengan syarat, majaz
itu tidak akan sampai mendesak haqiqah. 10
Dalam al-quran, surat al-Nisa (4) : 23, Allah berfirman :
9 Ibid,
10 Ibid,
11 Ibid,
12 Ibid,
Barang siapa yang mau, berimanlah, dan barang siapa yang mau,
kafirlah, sesungguhnya kami menyediakan neraka bagi orang yang zhalim.
iv. Adanya petunjuk dari sifat pembicara
Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti
menuntut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui
bahwa ia tidak menginginkan sesutau menurut yang diucapkan. Dalam hal ini,
maka haqiqah yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Isra (17) : 64 :
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan
ajakanmu.
v. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Berdasarkan haqiqah penggunaan lafadz, lafadz itu harus dipahami menurut
apa adanya, namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk
memahami lafadz itu menurut haqiqahnya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Fathir (35) : 19 :
Tidak sama orang buta dengan orang yang melihat
Keberadaan majaz dalam ucapan
Pembicaran tentang haqiqah dan majaz, berlaku dalam lafadz (ucapan).
Namun dalam hal apakah majaz itu ada (terjadi) dalam ucapan (lafadz) yang
bersifat syari, terdapat beda pendapat di kalangan ulama.13
a. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam
ucapan, baik dalam ucapan syari (pembuat hukum) dalam al-quran dan
13 Ibid,
14 Ibid,
Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang secara arti kata berarti mengatakan
sesuatu untuk menunjukan arti lain.15
itu berbeda dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anaknya
pemberani dinamai dengan suja secara kinayah si ayah akan dinamai Abu Suja.
Padahal si ayah sendiri seorang penakut. Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada
keterkaitan antar lafadz yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya. 17
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz sharih dalam ucapan adalah
berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya, tanpa
memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula menggunakan
ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz cerai untuk memutuskan
hubungan antara suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz itu diucapkan,
maka berlangsunglah perceraian, seperti : saya ceraikan engkau, hai, cerai,
kita bercerai, atau kata lain yang sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang
berlaku terhadap lafaz kinayah adalah bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang
diinginkan dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam
hati ; atau cara lain yang sama artinya dengan itu. 18
17 Ibid,
18 Ibid,
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Haqiqah dan majaz adalah 2 kata dalam bentuk mutadhayyifan atau relative
term, dalam arti sebagai 2 kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan
masuk ke dalam salah satu diantaranya.Adapun pengertian hakikat yaitu lafadz
yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan. Sedangkan majaz mempunyai
pengertian lafadz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk
digunakan dalam memberi arti kepada arti yang dimaksud.
Untuk Sharih sendiri mempunyai pengertian yaitu Setiap lafadz yang
terbuka
makna
dan
maksudnya,
baik
dalam
bentuk
haqiqah
atau
2. Referensi
Karim, A.Syafii. 1995. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Setia.
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN
Pekalongan Press.
Syarifudinn, Amir. 2001. Ushul Fiqih. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.