Secara garis besar metode penemuan hukum Islam itu terdiri atas dua macam, yakni
metode yang menkhususkan kajiannya kepada faktor kebahasaan (lughawiyah) atau disebut
juga metode lafzhiah. Yang kedua adalah yang memfokuskan kajiannya pada pada tujuan
syariat dalam menetapkan hukum, atau biasa juga disebut dengan metode maqashid atau
maknawiyah.
Metode lafzhiah atau lughawiyah tersebut didasarkan pada pandangan bahwa sumber
utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua sumber ini berbentuk teks atau
nash yang berbahasa Arab. Oleh karena itu untuk memahami pesan-pesan al-Qur’an dan
Hadits secara baik dan benar haruslah berpedoman kepada aturan-aturan bahasa Arab yang
ada. Rasulullah sebagai penerima wahyu memberi pedoman kebahasaan yang bersifat khusus
untuk memahami teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan hukum syara’.
Pada dasarnya, bahasa Arab menggunakan berbagai bentuk, cara, cakupan, dan
tingkatan kejelasan redaksi dalam menyampaikan pesan. Dalam konteks memahami teks-teks
al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan hukum, redaksi/lafal bahasa Arab dapat dilihat
dari lima segi utama, yaitu segi bentuk-bentuk perintah dan larangan, segi tingkat kejelasan
maknanya, segi cakupan maknanya, segi tunjukan maknanya, dan segi penggunaannya.
Didalam makalah ini penulis mencoba untuk membahas lafal ditinjau dari segi
penggunaannya, yaitu berupa haqiqah dan majaz. Dan juga yang sekaitan dengannya yaitu
sharih dan kinayah, dan bagaimana pemikiran ulama mazhab dalam memahami lafaz dari
segi penggunaannya tersebut.
B. Pembahasan
Ulama ushul fiqih membagi suatu lafazh bila ditinjau dari segi penggunaan atau
pemakaiannya menjadi dua macam yaitu hakikat dan majaz. Sedangkan ditinjau dari segi
kejelasan maknanya untuk menyampaikan tujuan penggunaan maknanya maka masing-
masing lafal hakikat dan majaz dapat dibagi pula kepada sharih dan kinayah.
Haqîqah dan majâz adalah dua kata dalam bentuk mutadhayyifan atau relative term,
dalam arti sebagai dua kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan masuk ke dalam
salah satu di antaranya. Para ulama memberikan arti yang berbeda terhadap kata haqîqah
dan majâz. Perbedaan itu hanya dalam perumusan saja sedangkan pengertiannya berdekatan.
Ada beberapa rumusan tentang pengertian istilah “haqîqah”:
● Menurut Al-Sarkhisi:
كل لفظ هو موضوع فاالصل لشيء معلوم
(Setiap lafaz yang ia ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu)
Seluruh definisi tersebut mengandung pengertian tentang haqîqah, yaitu: “Suatu lafaz yang
digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu”. Maksudnya, lafaz itu digunakan oleh
perumus bahasa memang untuk itu. Contohnya seperti kata “kursi” menurut asalnya memang
digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kata
“kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan semula kata
“kursi” bukan untuk itu tetapi “tempat duduk”. Sedangkan penggunaan suatu kata untuk
sasaran (pengertian) lain dinamai “majâz”.
Dari segi ketetapannya sebagai haqîqah, para ulama membagi “haqîqah” itu kepada
beberapa bentuk :
4. Haqîqah ‘Urfiyah Ammah yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara umum,
yaitu:
هو اللفظ المستعمل فى معنى عرف عام
Lafaz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum.
Umpamanya penggunaan kata dâbbah dalam bahasa Arab untuk hewan ternak yang berkaki
empat.
Para ulama Ushul juga memberikan definisi yang beragam tentang majâz. Tetapi
semuanya berdekatan artinya dan saling melengkapi, yaitu :
1. Al-Sarkhisi memberikan definisi:
اسم لكل لفظ هو مستعار لشيء غير ما وضع له
Nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang
ditentukan.
Dari beberapa contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafaz majâz
tersebut, yaitu:
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki
oleh suatu bahasa;
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam
memberi arti kepada apa yang dimaksud;
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti
lafaz itu memang ada kaitannya.
Umpamanya kata “kursi” dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Lafaz “kursi” menurut hakikatnya
digunakan untuk “tempat duduk”. Lafaz itu dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Antara “tempat
duduk” dengan “kekuasaan” itu memang ada kaitannya, yaitu bahwa kekuasaan itu
dilaksanakan dari “kursi” (tempat duduk) dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana.
Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafaz untuk arti menurut
hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak menggunakan
haqîqah itu dengan menggunakan majâz. Di antara hal yang mendorong ke arah itu adalah
sebagai berikut:
b. Karena buruknya kata haqîqah itu bila digunakan; seperti kata dalam bahasa Arab
yang menurut haqîqah-nya berarti “tempat berak”. Karena buruk dan joroknya kata itu maka
digunakan kata lain, yaitu yang artinya: “tempat yang tenang di belakang rumah”. Dalam
bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan pergi untuk “buang berak”, diganti dengan pergi “ke
belakang” karena keduanya ada kaitan, yaitu sama-sama tempatnya di belakang. Sama halnya
dalam hal alasan menggunakan kata majâz tersebut adalah karena tidak etisnya suatu kata
haqîqah kalau digunakan di tengah orang banyak, seperti kata “bersetubuh” diganti dengan
kata lain yang lebih enak didengar yaitu, “bergaul”.
c. Karena kata majâz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqîqah.
Umpamanya kata jima’ dalam arti “hubungan kelamin” kurang dipahami oleh orang banyak,
diganti dengan kata lain yang lebih populer yaitu “bersetubuh”.
d. Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghahnya) seperti menggunakan
kata “singa” untuk seorang pemberani lebih indah dari segi sastra ketimbang kata
“pemberani”.
B. Macam-macam Majaz
Semua penggunaan kata yang ditujukan bukan untuk maksud sebenarnya disebut
majâz. Adapun bentuk-bentuk majâz adalah sebagai berikut:
1. Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seandainya
dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengu rangi arti hakikatnya. Umpamanya
tambahan kata (kaf) yang berarti “seperti” yang terdapat dalam firman Allah, surat al-Syura
(42): 11:
ليس كمثله شيء
Tidak ada seperti semisal sesuatu pun.
Seandainya kata (seperti) itu tidak ada, sebenarnya tidak akan mengurangi artinya. Adanya
tambahan ini menempatkannya sebagai majaz, karena berlebihan dari hakikatnya.
2. Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya. Kebenaran
maksud dari lafaz itu terletak pada yang kurang itu. Umpamanya firman Allah dalam surat
Yusuf (12): 82:
وسئل القرية
Tanyalah kampung itu.
Pengertian dalam bentuk hakikatnya adalah “tanyalah penduduk kampung itu”. Adanya
kekurangan kata “penduduk” dalam kata “kampung” di atas, menjadikannya sebagai majâz.
4. Meminjam kata lain atau isti‘arah, yaitu menamakan sesuatu dengan menggunakan
(meminjam) kata lain, seperti memberi nama si A yang “pemberani” dengan “singa”.
Isti‘arah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan lafaz
majâz.
Contoh keterkaitan dalam makna umpamanya penggunaan kata “singa” oleh orang
Arab dalam bahasa Arab terhadap orang yang “pemberani” karena ada persamaan di antara
kedua kata itu dalam hal kekuatan dan keberanian. Beberapa hal yang dapat dijadikan
penunjuk dalam membedakan antara haqiqah dengan majaz, dintaranya adalah sebagai
berikut:
a. Salah satu di antara kedua lafaz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman dibanding
dengan yang lain. Itulah yang haqîqah. Sedangkan yang agak lambat menyentuh pemahaman
adalah majâz.
b. Salah satu di antara kedua lafaz itu dapat dikembangkan atau ditasrif-kan ke dalam
beberapa lafaz; seperti kata “amar” yang berarti “perintah”, digunakan untuk “ucapan” adalah
menurut hakikatnya karena lafaz a-ma-ra itu dapat dikembangkan
kepada bentuk kata amara-ya’muru. Kalau tidak dapat dikembangkan sedemikian rupa
dinamai majâz” seperti peng gunaan “amru” untuk arti “sesuatu keadaan” secara majaz
karena tidak dapat dikem bangkan seperti di atas.
Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqîqah dan
majâz adalah sebagai berikut:
a. Bila suatu lafaz digunakan antara haqîqah atau majaz, maka lafaz itu ditetapkan
sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafaz atau kata adalah untuk
haqiqah-nya. Lafaz itupun bukan mujmal kecuali bila ada dalil yang menun jukkan bahwa
yang dimaksudkan adalah majaz. Dengan menjadikan setiap lafaz yang memungkinkan untuk
dijadikan majaz sebagai mujmal, maka akan tercapai yang dimaksud, yaitu pemahaman.
b. Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu dari lafaz yang digunakan, baik dalam
bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula pada majâz,
juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafaz yang lainnya, baik dalam bentuk umum
maupun khusus. Dan antara dua bentuk lafaz itu tidak terdapat pertentangan; karena majâz itu
adalah pengganti haqîqah. Dalam hal ini terdapat kaidah: “Asal penggunaan lafaz adalah
haqîqah dan tidak beralih kepada majâz kecuali ada hajat atau darurat”.
c. Haqîqah dan majâz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafaz dalam keadaan yang
sama. Artinya, masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-sendiri; karena haqîqah adalah
asalnya sedangkan majâz hanya kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam
satu lafaz. Bila yang dimaksud suatu lafaz adalah haqiqah, maka majaz tidak diperlukan.
Sebaliknya, bila yang dimaksud suatu lafaz adalah majâz, maka haqîqah-nya tidak diperlukan
lagi.
Di kalangan ulama Hanafiyah ada yang berpendapat bahwa antara haqiqah dan majâz,
keduanya dapat bertemu dalam dua tempat yang berbeda, dengan syarat, majâz itu tidak akan
sampai mendesak haqîqah.
Dalam Al-Qur’an, surat an-Nisa (4): 23, Allah berfirman:
حرمت عليكم امهاتكم وبناتكم
Kata “Ibu-ibu” ( ) امهاتكمdalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat digunakan
terhadap “nenek”, namun penggunaan untuk “nenek” adalah dalam bentuk majâz. Begitu
pula kata “anak-anak” dapat digunakan untuk “cucu”, namun penggunaan untuk “cucu”
adalah dalam bentuk majâz; sedangkan haqîqah-nya adalah untuk anak kandung.
Pada dasarnya dalam setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqiqah-nya dan
tidak boleh beralih kepada yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal
tidak digunakan haqiqah-nya, yaitu dalam keadaan sebagai berikut:
Secara haqîqah ungkapan ayat ini memberi pilihan kepada orang untuk beriman atau untuk
kafir. Namun karena di ujung ayat ada ancaman bagi orang zalim yang kafir, maka ayat ini
tidak dipahami menurut haqîqah-nya, tetapi dengan arti lain, yaitu keharusan beriman dan
dalam hal ini tidak ada pilihan.
Meskipun pada ayat di atas, haqîqah-nya mengandung “perintah”, namun setiap orang
mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang menyangkal bahwa
Allah tidak menyuruh untuk kafir. Jelaslah yang dimaksud di sini adalah memberi
kemungkinan dan kemampuan untuk berbuat.
Ketidaksamaan dalam ayat ini menurut haqîqah-nya secara umum ber laku untuk segala hal.
Namun kalau kita memerhatikan arah pembicaraan ayat di atas, tentu hanya berlaku untuk
hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti tidak untuk menurut tuntutan
haqîqah lafaz.
1. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa majâz itu memang terjadi dalam ucapan, baik
dalam ucapan Syari’ (Pembuat Hukum) dalam Al-Qur’an dan Sunah; sebagaimana terjadi
dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang digunakannya. Keberadaan majâz itu terlihat
dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi seperti penggunaan lafaz “mulamasah”( )
yang berarti sa ring bersentuhan dalam Al-Quran, surat an-Nisa’ (4): 34,sebagai ganti dari
ucapan “jima” atau bersetubuh yang berkaitan dengan hukum batalnya wudhu’.
2. Abu Ishak al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian majâz. Apa
yang selama ini dianggap majâz itu sebenarnya adalah haqîqah. karena ada petunjuk yang
menjelaskannya. Umpamanya ucapan, “Saya melihat singa memanah.” Adanya kata
“memanah” menjadi petunjuk apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “singa” itu.
3. Golongan ulama Zhahiri menolak adanya majâz dalam AlQur’an dan Hadis Nabi.
Seandainya menemukan firman Allah SWT. yang meng gunakan bahasa untuk digunakan
dalam artian syari’, maka hal itu bukan berarti menggunkan majaz, tetapi konteks
penggunaannya sudah secara haqîqah syar‘i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz
dalam Al-Qur’an dan hadits ialah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebe narnya) berarti
dusta; sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari dusta.