Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

LAFADZ DARI SEGI PENGGUNAAN


“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh II dipresentasikan di Kelas PSA”

DOSEN PENGAMPU :
Rozikal Nanda Putra, M.Sy.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
FADMA NUR AFIFAH (3222.005)
SINDI PUTRI NAMI (3222.035)
NIVA AGUSTIA LESTRAI (3222.039)

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN SJECH M.DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
TAHUN AJARAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat,karunia dan hidayah – Nya kepada kita semua sehingga kita bisa melakukan aktivitas
kita dengan baik, sehat wal‘afiat khususnya kepada penulis sehingga makalah yang berjudul
“Lafadz Dari Segi Penggunaan” ini bisa diselesaikan dengan baik. Tidak lupa pula kami
ucapkan terima kasih kepada Bapak “Rozikal Nanda Putra, M.Sy.” selaku dosen
pembimbing dalam mata kuliah Ushul Fiqih II yang telah membimbing dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kemudian makalah
kami ini dapat kami perbaiki dan menjadi lebih baik lagi. Penulis menyadari bahwa makalah
ini belum baik dan masih jauh dari kesempurnanan. Sehingga penulis meminta kritik dan saran
dari pembaca. Agar penulisan selanjutnya bisa lebih baik lagi.

Bukittinggi, 28 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan Pembahasan ............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2
A. Penggunaan Lafadz Dari Segi Haqiqat dan Majaz ........................................... 2
B. Penggunaan Lafadz Dari Segi Sharih dan Kinayah .......................................... 5
C. Penggunaan Lafadz Dari Segi Ta’wil ................................................................. 6

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 9


A. Kesimpulan ............................................................................................................ 9
B. Saran ...................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam usaha untuk mencari hukum Islam melalui analisa ayat-ayat Alquran dan
hadist diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang seluk beluk kaidah- kaidah
ushul fiqh tertentu. Sebuah kata atau kalimat dalam sebuah ayat dalam al quran, dapat
dianalisa dan harus dianalisa terlebih dahulu apa cakupan maknanya, tingkat kejelasan
artinya, dan lain sebagainya. Dalam kesempatan kali ini, penulis akan membahas
tentang salah satu bab dari pembahasan Ushul Fiqh tersebut dengan konsentrasi pada
lafaz jika ditinjau dari segi penggunaanya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalahnya :
1) Bagaimana penggunaan lafadz dari segi hakikat dan majaz
2) Bagaimana penggunaan lafadz dari segi sharih dan kinayah
3) Bagaimana penggunaan lafadz dari segi ta’wil
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan pembahasan :
1) Untuk mengetahui penggunaan lafadz dari segi hakikat dan majaz
2) Untuk mengetahui penggunaan lafadz dari segi sharih dan kinayah
3) Untuk mengetahui penggunaan lafadz dari segi ta’wil

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penggunaan Lafadz Dari Segi Haqiqat dan Majaz
Lafadz adalah kata atau istilah yang digunakan dalam bahasa Arab untuk merujuk
pada kata-kata tertentu atau istilah-istilah khusus. Lafadz dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu lafadz haqiqi dan lafadz majazi. Pada dasarnya seluruh definsi tersebut
menyatakan sesuatu yang sama yaitu “Suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya
untuk maksud tertentu”. Maksudnya adalah bahwa sebuah kalimat yang haqiqah berarti
makna yang terkandung didalamnya adalah sesuai dengan makna aslinya. Misalnya
adalah kata “kursi”. Kata “kursi” menurut asalnya adalah sebuah barang yang dijadikan
tempat duduk. Ini adalah arti haqiqinya. Walaupun terkadang kursi juga diartikan
sebagau sebuah jabatan, maka dalam hal ini kursi menggunakan makna majazi. Para
ulama memberikan arti yang berbeda terhadap kata haqîqah dan majâz. Perbedaan itu
hanya dalam perumusan saja sedangkan pengertiannya berdekatan. Ada beberapa
rumusan tentang pengertian istilah “haqîqah”:
a) Menurut Ibnu Subki: Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada
mulanya.

Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya.
b) Ibnu Kudamah memberikan definisi: Lafaz yang digunakan untuk sasarannya
semula.

Lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula.


c) Menurut Al-Sarkhisi: Setiap lafaz yang ia ditentukan menurut asalnya untuk
sesuatu yang tertentu.

Setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.

Istilah haqiqah dan majaz adalah tinjauan kata dari segi penggunaanya. Dalam
bahasa Arab, kedua hal tersebut disebut sebagai bentuk mutadhayyifan atau sepasang

2
istilah yang selalu berdampingan dan setiap kata dalam bahasa Arab akan masuk
kedalam sala.1
Salah satu kategori tersebut. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing
istilah.
1. Haqiqah
Berikut adalah pendapat para ulama ushul fiqih tentang makna dari haqiqah:
a. Lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya.
(Ibnu Subkhi)
b. Lafaz yang digunakan untuk sasaran semulanya. (Ibnu Kudamah)
c. Setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang
tertentu
Ada beberapa macam haqiqah :
a. Haqiqah Lafdhiyyah
Yaitu lafaz yang digunakan menurut pengertian awal dari lafaz tersebut.
Misalnya adalah kata bayi, yang berarti manusia yang baru saja lahir.
b. Haqiqah Syariyyah
Yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan oleh syara’.
Contohnya kata “sholat” yang berarti ibadah yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam.
c. Haqiqah Urfiyyah Khasshah
Yaitu lafaz yang digunakan untuk artu yang menurut kebiasaan tertentu
biasa digunakan oleh suatu kelompok.
Umpanya istilah “ijma” yang digunakan oleh para ahli fiqh.
d. Haqiqah Urfiyyah Ammah
Yaitu lafaz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam
kebiasaan umum.
Seperti misalnya kata “dabbah” yang dalam ahasa Arab biasa diartikan
sebagai hewan berkaki empat.

1
Jennifer Brier and lia dwi jayanti, ‘LAFAZ DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA (‘ÂM’, 21.1 (2020), 1–9
<http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203>.

3
2. Majaz
Jika makna dari haqiqah adalah penggunaan kata sesuai dengan makna aslinya,
maka pengertian dari majaz adalah sebaliknya. Yaitu pengunaan makna untuk
sasaran yang lain yang tidak sesuai dengan makna aslinya. Dalam bahasa Indonesia
istilah majaz disebut sebagai kata yang bermakna konotatif. Namun dalam bahasa
Arab, macam-macam dari makna konotatif dari suatu kata dapat dibentuk dengan
banyak cara yang disebutkan dibawah ini:
a. Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya.
b. Adanya susunan kata dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya.
c. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian “menukar
kedudukan suatu kata”
d. Meminjam kata lain dengan isti’aroh

3. Cara Mengetahui Haqiqah dan Majaz


Suata kata dapat diketahui apakah itu haqiqah atau majaz dengan cara berikut
ini:
a) Untuk mengetahui jika suatu lafaz itu adalah haqiqah atau bukan adalah
dengan cara sima’i, yaitu dari pendengaran terhadap apa yang biasa
dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk
mengetahuinya selain dengan cara ini. Qiyas atau analogi juga tidak dapat
digunakan dalam hal ini.
b) Untuk mengetahui lafaz majaz dapat dilakukan dengan mengikuti kebiasaan
orang arab dalam penggunaan isti’aroh (peminjaman kata). Orang arab
dalam melakukan istiaroh mendasarkan kepada 2 hal yaitu kaitan antara
maksud kedua kata tersebut dalam hal bentuk maupun arti Perbedaan Antara
Haqiqi dan Majazi
c) Salah satu diantara kedua lafaz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman
dibanding dengan yang lain. Maka itulah makna haqiqah, sedangkan yang
agak lambat menyentuh pemahaman adalah majaz.
d) Bila suatu kata dapat ditashrifkan atau dikembangkan maka kata tersebut
adalah bermakna haqiqi. 2

2
Ahmad Badawi, ‘Lafaz Ditinjau Dari Segi Hakikat Dan Majaz (Wacana Pengantar Studi)’, Al-Fikru: Jurnal
Ilmiah, 13.1 (2019), 50–60 <http://jurnal.staiserdanglubukpakam.ac.id/index.php/alfikru/article/view/27>.

4
4. Ketentuan yang Berkenaan dengan Haqiqah dan Majaz
a. Apabila dalam suatu lafaz digunakan antara haqiqi dan majaz, maka lafaz itu
ditetapkan sebagai haqiqi. Karena pada dasarnya, penggunaan suatu lafaz
adalah untuk haqiqah nya
b. Pada haqiqah dan majaz harus ada sasaran atau maudlu untuk kalimat tersebut,
baik dalam bentuk perintah atau larangan atau dalam bentuk khusus maupun
umum.
c. Asal penggunaan lafaz adalah haqiqah dan tidak beralih kepada majaz kecuali
ada hajat atau keadaan darurat (qorinah)
d. Haqiqah dan majaz tidak dapat berkumpul dalam satu lafaz.
e. Bila yang dimaksud adalah arti haqiqahnya maka arti majaz nya tidak lagi
digunakan dan begitu pula sebaliknya. 3

B. Penggunaan Lafadz Dari Segi Sharih dan Kinayah


1. Sharih
Sharih secara bahasa berarti terang. Sedangkan dalam istilah ushul fiqh, sharih
bermakna setiap lafaz yang digunakan tanpa memerlukan penejelasan yang lain.
Contohnya adalah apabila seorang suami berkata “aku ceraikan engkau” maka
kalimat tersebut termasuk sharih karena sudah jelas dan tidak memerlukan penjelas
lain agar dapat mengerti maksud kalimat tersebut.
Ketentuan dari penggunaan lafaz sharih ini adalah tidak dibutuhkannya niat dalam
hati untuk perbuatan itu. Bila seseorang berucap “aku menceraikanmu” maka tidak
lagi diperlukan niat dan perceraianpun dapat langsung terjadi.
2. Kinayah
Sedangkan kinayah adalah ;afaz yang pemahaman artinya harus melalui lafaz
lain dan tidak hanya melalui lafaz itu saja.
Contohnya adalah ketika seseorang berkata “Ia sedang berpuasa”. Kalimat ini
adalah kinayah karena agar orang lain bias memahami maksud dari kata “ia” orang
akan memerlukan kalimat atau petunjuk lain. Kinayah juga dapat berbentuk sebagai
sebuah lafaz yang mengandung keragaman makna. Misalnya ketika seorang suami
berkata “pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”, lafaz tersebut memiliki banyak

3
Fakultas Ilmu and others, ‘Fikih Usul Fikih’, 2017.

5
kemungkinan maksud, bias bermaksud untuk menyuruh pulang untuk sementara,
bisa pula bermakna cerai.
Dalam jenis yang kedua ini dimana kinayah memiliki keragaman kemungkinan
maka, walaupun terlihat seperti majaz namun sebenarnya keduanya adalah berbeda.
Perbedaannya ada pada kaitan antara dua maksud yang memungkinkkan dimaksud
lafaz tersebut. Jika lafaz tersebut adalah majaz, maka maksud atau arti dari kata
yang dipinjam itu harus memiliki sifat atau bentuk yang sama. Misalnya
peminjaman kata “singa” untuk mengungkapkan sifat “berani”. Kedua kata tersebut
memiliki hubungan makna yang sama.
Sedangkan dalam kinayah, persyaratan seperti itu adalah bukan merupakan
suatu kewajiban. Misalnya dalam istilah bahasa Arab, orang yang memperoleh
banyak keberuntungan mereka dikatakan sebagai orang yang makan tangan. Kedua
lafaz tersebut jelas tidak memiliki hubungan kesamaan sifat atau bentuk.
Ketentuan penggunaan lafaz kinayah yaitu disyaratkannya niat pada ucapan
kinayah itu baik dalam hati maupun dalam bentuk lain.
Dalam hal pembirian sanksi hukum, sharih dan kinayah juga berbeda reaksinya.
Pada sebuah pernyataan yang sharih misalnya kata “saya berzina dengan dia”,
maka hukuman dapat langsung dijatuhkan kepadanya karena penggunaan makna
sharih tadi. Sedangkan lafaz yang bermakan kinayah tidak dapat mengakitbatkan
dampak hukum.
Contohnya adalah pernyataan “saya bergaul dengan dia”. Seseorang yang
berucap seperti itu tidak dapat langsung dijatuhi hukuman berzina, karena dalam
pemberian hukuman haruslah ada kepastian bahwa orang itu benar-benar berzina.
Sedangkan dalam kalimat diatas, kata “bergaul” memiliki arti yang tidak dapat
langsung diartikan sebagai sebuah perzinaan.4

C. Penggunaan Lafadz Dari Segi Ta’wil


Dalam pembahasan ushul fiqh istilah ta’wil sangat sering diucapkan dan
dibahas. Terkadang banyak orang yang menyamakannya dengan tafsir. Namun secara
istilah, ta’wil memang memiliki suatu pengertian tersendiri yang sedikit berbeda
dengan tafsir. Secara istilah pengertian dari ta’wil adalah “memalingkan lafaz dari arti
yang lahir kepada arti yang lain yang mungkin dijangkau oleh dalil”.

4
Rusdaya Basri, Ushul Fikih 1, 2019.

6
Menurut Ar-Raghib, tafsir lebih umum penggunaanya daripada ta’wil dan lebih banyak
digunakan dalam lafaz (kalimat), dan mufradat lafaz, sedangkan ta’wil lebih banyak
digunakan dalam makna (arti). Menurut banyak ulama tafsir membahas penyingkapan
makna al quran dan menjelaskan maksud didalamnya.
1. Syarat Ta’wil
Untuk melakukan ta’wil terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Adapun
syarat tersebut adalah:
a. Bentuk lafaz tersebut memiliki kemungkinan untuk dita’wil. Yaitu lafaz
yang berbentuk zohir atau nash, bukan mufassar atau muhkam.
b. Memiliki kemungkinan untuk dita’wil dan tidak asing dengan pengalihan
makna tersebut.
c. Memiliki sandaran kepada suatu dalil dan tidak bertentangan dengan dalil
yang telah ada.

2. Hal-hal yang Mendorong Penta’wilan


Selain daripada itu, ada juga beberapa hal yang dapat mendoromg suatu lafaz
untuk dita’wilkan. Antara lain adalah:
a. Bentuk lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku atau berlawanan
dengan dalil yang lain yang lebih tinggi.
Contohnya adalah apabila ada pertentangan antara satu hadist dengan hadist
yang lain yang lebih kuat, maka apabila terdapat kemungkinan untuk dapat
dita’wil maka hendaknya dita’wilkan saja untuk menghindari pertentangan.
b. Apabila lafaz itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya (kekuatan
untuk dijadikan hukumnya).
Contohnya adalah apabila ada suatu lafaz yang dalam bentuk zohir
diperuntukkan untuk suatu objek, tetapi makna dalam bentuk nash
menghendaki yang lain.
c. Apabila lafaz tersebut berbentuk nash namun bertentangan dengan makna
mufassar.
Apabila keadaan itu ditemui dalam suatu lafaz maka sudah seharusnyalah lafaz
tersebut dita’wilkan.

7
3. Bentuk-bentuk Ta’wil
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wîl.
Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya.
1. Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wîl, ada dua bentuk ta’wîl, yaitu:
a. Ta’wîl maqbul ( ) atau ta’wîl yang diterima, yaitu ta’wîl
yang telah memenuhi persyaratan di atas. Ta’wîl dalam bentuk ini
diterima keberadaannya oleh ulama Ushul.
b. Ta’wîl ghair al-maqbûl ( ) atau ta’wîl yang ditolak,
yaitu ta’wîl yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongan lain dan
tidak terpenuhi syarat yang ditentukan.
2. Dan segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang dita’wîl dari makna
zhahimya, ta’wîl dibagi kepada dua bentuk:
a. Ta’wil qarib ( ), yaitu ta’wîl yang tidak jauh beranjak dari arti
zhâhir-nya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami
maksudnya. Ta’wîl qarîb ini termasuk ke dalam bentuk ta’wîl yang
maqbul seperti diuraikan di atas.
b. Ta’wîl ba‘id ( ), yaitu pengalihan dari makna lahir suatu
lafaz yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil
yang sederhana

Ulama syafi’I berpendapat bahwa hanya ta’wil qarib saja yang diterima,
sedangkan menurut ulama hanafiyah, asalkan tidak bertentangan dengan syara’ maka
dapat diterima.5

5
MIf Rohim, Ushul Fiqh (Metode Perbandingan Al-Ahnaf Dengan Al-Mutakallim Dalam Istidlal Dan Istinbat),
Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 2020.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lafadz adalah kata atau istilah yang digunakan dalam bahasa Arab untuk
merujuk pada kata-kata tertentu atau istilah-istilah khusus. Lafadz dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu lafadz haqiqi dan lafadz majazi. Lafadz haqiqi adalah kata yang
digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu, sedangkan lafadz majazi adalah
penggunaan makna untuk sasaran yang lain yang tidak sesuai dengan makna aslinya.
Dalam bahasa Arab, kedua hal tersebut disebut sebagai bentuk mutadhayyifan atau
sepasang istilah yang selalu berdampingan dan setiap kata dalam bahasa Arab akan
masuk kedalam salah satu kategori tersebut. Para ulama memberikan beberapa definisi
tentang istilah haqiqah, di antaranya lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu
ditentukan pada mulanya, lafaz yang digunakan untuk sasaran semulanya, dan setiap
lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu. Untuk mengetahui
apakah suatu kata adalah haqiqah atau majaz, dapat dilakukan dengan cara sima’i, yaitu
dari pendengaran atau melihat bentuk kata dan arti yang digunakan pada saat itu.

B. Saran
Adapun saran-saran dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Kami sebagai penulis hanya mendapatkan beberapa referensi untuk membuat
makalah ini, sehingga masih banyak kekurangan dari makalah ini. Kami
berharap pembaca dapat menemukan referensi lain agar dapat melengkapi apa
yang telah didapat dari makalah ini.
2. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dari kami akan penulisan
makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran dari pemkalah yang sifatnya
membangun dan dapat memperbaiki makalah pada selanjutnya.
3. Dari makalah yang kami tulis, kami sebagai penulis berharap agar materi
mengenai lafadz dari segi penggunaan dapat di mengerti oleh pembaca.

9
DAFTAR PUSTAKA

Badawi, Ahmad, ‘Lafaz Ditinjau Dari Segi Hakikat Dan Majaz (Wacana Pengantar Studi)’,
Al-Fikru: Jurnal Ilmiah, 13.1 (2019), 50–60
<http://jurnal.staiserdanglubukpakam.ac.id/index.php/alfikru/article/view/27>
Basri, Rusdaya, Ushul Fikih 1, 2019
Brier, Jennifer, and lia dwi jayanti, ‘LAFAZ DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA
(‘ÂM’, 21.1 (2020), 1–9 <http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203>
Ilmu, Fakultas, Tarbiyah Dan, Universitas Islam Negeri, and Sumatera Utara, ‘Fikih Usul
Fikih’, 2017
Rohim, MIf, Ushul Fiqh (Metode Perbandingan Al-Ahnaf Dengan Al-Mutakallim Dalam
Istidlal Dan Istinbat), Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 2020

Anda mungkin juga menyukai