Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT., yang telah memberikan
berkah, rahmat, hidayah, serta petunjuk-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan lancar dan selesai tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul “Perbedaan
Penafsiran” ini dibuat untuk menyelesaikan salah satu tugas dalam mata kuliah Pengantar Ilmu
Al-Qur’an pada program studi Akidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Muslih
M.Ag selaku Dosen Pengampu pada mata kuliah Pengantar Ilmu Al-Qur’an yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk membuat makalah ini. Kami juga mengucapkan
terimakasih kepada orang tua dan juga teman-teman kami yang selalu bersedia membantu serta
mendoakan kami dalam pembuatan makalah ini. Kami sangat berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat serta menambah pengetahuan bagi pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman serta pengetahuan yang kami miliki. Maka dari itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Atas
perhatiannya, kami ucapkan terimakasih.

Ciputat, September 2023

Penyusun,
Kelompok 12

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 2
A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Ikhtilaf al-Mufassirin ................................... 2
B. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Penafsiran .............................................. 3
C. Sikap dalam Menghadapi Perbedaan Penafsiran ............................................ 8
D. Dampak Positif dan Negatif Adanya Perbedaan Penafsiran .......................... 9
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 10
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman Nabi masih hidup, penafsiran terhadap al-Qur’an belum dibutuhkan. Hal
tersebut terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya adalah pada saat itu para sahabat
merupakan generasi yang dianggap paling memahami isi kandungan al-Qur’an, sebab
mereka yang merupakan asli orang Arab tulen yang terbiasa dengan asal-usul dan dialek
Arab sehingga mereka bisa memahami isi dari al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa
Arab, mereka juga merasa bahwa keberadaan Nabi di tengah mereka mempermudah
mereka bertanya secara langsung apabila terjadi perselisihan, kemudian Nabi menjadi
penengah perselisihan tersebut dengan sangat gamblang. Selain itu, para sahabat di
samping mereka senatiasa berpegang teguh pada apa yang telah diajarkan oleh Nabi,
mereka merasa cukup dengan apa yang mereka dapatkan dari Nabi. Bahkan dalam beberapa
hal, para sahabat merasa cukup dengan apa yang ada dan tidak mau berijtihad lebih jauh
demi menghindarkan diri dari dosa karena berijtihad di luar contoh yang ada pada diri Nabi.

Namun seiring berkembangnya zaman, banyak muncul generasi-generasi setelah


sahabat yang hadir dengan begitu banyak upaya dan faktor yang mendorong untuk
menafsirkan al-Qur’an. Mereka ingin mengetahui maksud dan isi dari ayat al-Qur’an
tersebut. Dari banyaknya penafsiran inilah muncul perbedaan-perbedaan dalam penafsiran.
Padahal al-Qur’an yang mereka tafsir adalah al-Qur’an yang sama. Di sinilah mulai
terdapat perbedaan dalam penafsiran al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ikhtilaf al-mufassirin?
2. Apa saja sebab-sebab terjadinya perbedaan penafsiran?
3. Bagaimana sikap kita dalam menghadapi adanya perbedaan penafsiran?
4. Apa dampak positif dan negatif adanya perbedaan penafsiran?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari ikhtilaf al-mufassirin.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan penafsiran.
3. Untuk mengetahui sikap kita dalam menghadapi adanya perbedaan penafsiran.
4. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif adanya perbedaan penafsiran.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Bentuk-bentuk Ikhtilaf al-Mufassirin

Secara etimologis, kata ikhtilaf berasal dari kata ikhtalafa yang berarti berselisih atau
tidak sependapat. Dalam Misbah al-Munir, kata ini disebutkan dengan arti menyelisih suatu
kaum yang tidak sependapat dengan mereka. Atau seseorang yang menyelisih pendapat
yang lainnya. Sedangkan kata al-Mufassirin merupakan bentuk jamak dari kata al-Mufassir
yang berarti orang yang menafsirkan.

Menurut Manna al-Qattan, kata tafsir secara bahasa mengikuti wazan taf’il yang berasal
dari kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak. Dalam Lisan al-‘Arab dinyatakan bahwa al-fasr beratri
menyingkap maksud dari suatu lafal yang musykil, pelik dalam al-Qur’an. Sedangkan,
secara istilah, al-Zarkasyi mendefinisikan al-tafsir sebagai berikut:

Artinya: “Ilmu yang berfungsi untuk mengetahui kandungan al-Qur’an yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW., dengan cara mengambil penjelasan maknanya,
hukumnya, serta hikmanhya yang terkandung dalam al-Qur’an.”

Dari uraian di atas, setidaknya kita dapat memberi pemahaman bahwa ikhtilaf al-
mufassirin adalah perselisihan yang terjadi di kalangan para mufassir, dalam melakukan
kegiatan penafsiran terhadap al-Qur’an untuk menyingkap makna-maknanya serta
menjelaskan maksud dari ayat yang musykil maupun yang zahir sesuai dengan kemampuan
manusia, sehingga dari penafsiran ini didapatkan petunjuk-petunjuk dari al-Qur’an, makna
yang terkandung, dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

Ahmad Syarqawi memaparkan bahwa ada dua bentuk ihktilaf al-mufassirin dalam
penafsiran al-Qur’an. Muhammad al-Syayi’ juga mengatakan hal yang sama dalam
karyanya yang berjudul Asbab ikhtilaf al-Mufassirin. Kedua bentuk itu adalah ikhtilaf
tanawwu’ dan ikhtilaf taddad.

a. Ikhtilaf Tanawwu’

Ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan mengenai pendapat namun semuanya masih tertuju
kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan
dengan yang lainnya. Ibn Taimiyah menjelaskan terkait definisi ikhtilaf tanawwu’ yang ia

2
bagi menjadi tiga macam. Pertama, kondisi di mana memungkinkan penerapan makna-
makna yang berbeda ke dalam ayat yang di maksud, dan ini hanya berlaku untuk yang
maknanya shahih saja. Kedua, makna-makna yang berbeda sebenarnya itu semakna satu
sama lain, hanya saja diungkapkan dengan cara yang berbeda. Ketiga, makna itu terkadang
berbeda, tapi tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.

b. Ikhtilaf Taddad

Ikhtilaf taddad merupakan suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang


bertentangan, dimana masing-masing pendapat yang berselisih itu saling bertentangan
dengan yang lainnya. Dengan kata lain, pendapat-pendapat tersebut tidak mungkin bisa
diterapkan secara bersamaan. Bila kita menggunakan pendapat yang satu, maka pendapat
yang lain harus ditinggalkan.1

B. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Penafsiran

Dalam penafsiran, para mufassir sering kali tidak sependapat dalam menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an.2 Masing-masing mufassir memiliki sifat dan corak tersendiri dalam
menafsir al-Qur’an. Misal, dalam penafsirannya ada yang memiliki kelebihan dari segi
bahasanya (al-Maraghi), dari segi sejarahnya (tafsir al-Thabari), dari segi politiknya (Fi
Dzilal al-Qur’an), dari segi pembaharuannya (al-Manar), dari segi filsafatnya (al-
Zamakhsyari), dan dari segi telaah atas kitab tafsir tesebut (al-Qasimi).3

Dalam buku kaidah tafsir karya Quraish Shihab, dikatakan bahwa Ushul Fiqh
merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam konteks
memahami al-Qur’an. Disebutkan ada beberapa masalah pokok ushul fiqih yang hal
tersebut memungkinkan menjadi beberapa penyebab terjadinya perbedaan dalam
penafsiran, di antaranya adalah: Qath’iy dan Zhanny, Manthuq dan Mafhum, ‘Am dan
Khash, serta Muthlaq dan Muqayyad. 4

a. Qath’iy dan Zhanny

1 Eko Zulfikar dan Ahmad Zainal Abidin, Ikhtilaf al-Mufassirin: Memahami Sebab-sebab Perbedaan Dalam
Penafsiran al-Qur’an, Jurnal At-Tibyan. Vol 4 No. 2, Desember 2019, hal 287-290.
2 Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah dalam Memahami Firman Tuhan, 2013, hal 156.
3 Salman Harun, Mutiara al-Qur’an: Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan, 1999, hal 205.
4 Millati, Dewasa dalam Bingkai Otoritas Teks: Sebuah Wacana dalam Mengatasi Perbedaan Penafsiran al-

Qur’an, Journal of Islamic Studies and Humanietes, Vol. 2 No.1, Juni 2017, hal 9-10.

3
Qath’iy adalah sesuatu yang pasti, yang meyakinkan sehingga tidak ada kemungkinan
lain untuknya kecuali yang sudah dipilih dan sudah ditetapkan. Sedangkan Zhanny adalah
sesuatu yang masih diragukan karena mengandung dua kemungkinan atau lebih. 5 Seorang
penafsir yang mengatakan sebuah kalimat atau kata dalam al-Qur’an itu bersifat qath’iy
akan berbeda pendapat dengan penafsir yang mengatakan kalimat atau kata tersebut bersifat
zhanny.6

b. Manthuq dan Mafhum

Manthuq berasal dari kata “nathaqa” yang berarti berucap. Manthuq merupakan makna
yang terkandung pada kata yang diucapkan. Sedangkan Mafhum diambil dari kata “faham”
yang artinya memahami. Mafhum merupakan pemahamannya, yakni makna yang tidak
terucapkan yang terdapat pada lafadz dan dipahami oleh manthuq itu. Dengan kata lain,
makna pada manthuq terucapkan. Pada manthuq tidak perlu sesuatu selain mendengar
lafadznya untuk memahaminya, sedangkan pada mafhum makna yang ditarik tidak
terucapkan, tetapi ditarik dari satu dan lain sebab. 7 Hal ini yang akan menjadi perbedaan
pada mufassir dalam mengambil kesimpulan, apakah pemahaman kepada sebuah ayat itu
dapat diketahui secara mathuq atau melelui mafhum. 8

c. ‘Am dan Khash

‘Am dan khash merupakan perbedaan dalam memandang keumuman sebuah lafal
dalam al-Qur’an, apakah lafal tersebut bersifat umum atau khusus. Dalam buku kaidah
tafsir karya Quraish Shihab, ‘Am memiliki arti menyeluruh. Dalam pandangan ulama ushul
fiqh, yang dimaksud menyeluruh disini adalah kata yang memuat seluruh bagian dari
kandungan lafaz, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa adanya pengecualian oleh
kata lain. Sedangkan khash adlah lawan kata dari ‘Am, yang mana khash itu memiliki arti
khusus. Khash itu tidak dapat diikutsertakan dengan satuan lain. 9

d. Muthlaq dan Muqayyad

5 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-ayat al-Qur’an, 2013, hal 156.
6 Millati, Dewasa dalam Bingkai Otoritas Teks: Sebuah Wacana dalam Mengatasi Perbedaan Penafsiran al-

Qur’an, Journal of Islamic Studies and Humanietes, Vol. 2 No. 1, Juni 2017, hal 10.
7 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami

Ayat-ayat al-Qur’an, 2013, hal 168.


8 Millati, Dewasa dalam Bidang Otoritas Teks: Sebuah Wacana dalam Mengatasi Perbedaan Penafsiran al-

Qur’an, Journal of Islamic and Humanities, Vol. 2 No. 1, Juni 2017, hal 10.
9 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami

Ayat-ayat al-Qur’an, 2013, hal 179-183.

4
Muthlaq yaitu lafadz yang berdiri sendiri, tidak terikat dengan apapun, dan dapat
diketahui substansinya. Sedangkan muqayyad adalah lafadz yang merujuk pada satu yang
terikat terhadap lafadz diluar darinya, sehingga maknanya tidak seluas sebelum ia ada
lafadz di sekitarnya.10 Nah, persoalan ini yang menjadi perbedaan para mufassir dalam
menafasirkan ayat al-Qur’an, apakah kata dalam ayat tersenut terikat dengan kata lain atau
tidak. Nah selain hal di atas, ada penyebab lain para mufassir mengalami perbedaan dalam
menafsirkan al-Qur’an, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan dalam qira’at (bacaan)

Adanya perbedaan qira’at memicu munculnya perbedaan dalam memahami isi


kandungan dari al-Qur’an. Perbedaan qira’at ini terjadi karena setiap mufassir memberikan
tafsir sesuai dengan qira’at yang mereka gunakan. Contohnya dapat kita lihat dalam surat
al-Hijr ayat (15):15 sebagai berikut:

ُ ‫ن َق ْومَ َم ْس ُح‬
ََ‫ورون‬ َْ َ‫ارنَا ب‬
َُ ْ‫ل نَح‬ ُ ‫ص‬َ ‫ت أَ ْب‬ ُ ‫لَقَالُوا إِّنَّ َما‬
َْ ‫س ِّك َر‬
Artinya: “ Tentulah mereka berkata: “Sesungguhnya pandangan kamilah yang di kaburkan,
bahkan kami adalah orang yang kena sihir.”

Pada ayat ini , makna dari lafal sukkirat selain dapat dibaca tasydid pada huruf ‘kaf’
bisa juga dibaca tanpa tasydid. Bila dibaca dengan tasydid maka maknanya itu adalah
‘terhalangi atau tertutupi’, namun jika dibaca tanpa tasydid maka maknanya itu adalah
‘ringan atau lemah’. Dalam konteks ini terjadi perbedaan antara Ibn ‘Abbas dengan
Qatadan, di mana Ibnu ‘Abbas menjelaskan bahwa makna sukirat (tanpa adanya tasydid)
itu maknanya menjadi ‘tersihir’, sementara penjelasan dari Qatadan apabila dibaca dengan
tasydid, maka maknanya menjadi ‘penghalang’. Dengan demikian, kedua makna ini
sebenarnya tidak jauh berbeda, sebab keduanya memiliki ‘hubungan-dampak’, yakni
seorang yang tersihir akan tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. 11

2. Perbedaan Metode

Dalam tafsir ada 4 metode yang digunakan, yaitu metode tahlily (analisis), metode
ijmali (global), metode muqarin (perbandingan), dan metode maudhu’i (tematik).

10Ibid, hal 188.


11Eko Zulfikar dan Ahmad Zainal Abidin, Ikhtilaf al-Mufassirin: Memahami Sebab-sebab Perbedaan Ulama
dalam Penafsiran al-Qur’an, Jurnal at-Tibyan:Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 4 No. 2, Desember 2019,
hal 291-292.

5
Perbedaan dalam metode ini terjadi mungkin karena setiap metode memilki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Contoh, metode tahlily (analisis) memiliki kelebihan
dimana dalam metode ini mufassir dapat membawa pembaca pada pemahaman yang
mendalam, sebab metode ini berusaha untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
dari berbagai segi yang dihidangkan secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam
mushaf. Namun metode ini juga memiliki kekurangan, yaitu kurangnya rambu-rambu
metodologis yang harus diindahkan oleh mufassir ketika menarik makna dan pesan dari
ayat-ayat al-Qur’an, bahkan ketika menyodorkan hidangannya. Terlihat bahwa apa yang
ada di benak penulisnya semua ingin ditulis, ingin dikeluarkan, sehingga itu menyebabkan
kejenuhan bagi pembacanya, padahal apa yang ditulis itu biasanya hampir tidak pernah
tuntas. Selanjutnya ada metode ijmali (global). Kelebihan metode ini adalah hanya
menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh ayat yang ditafsirkan, namun sang
penafsir diharapkan dapat menghilangkan makna-makna dalam bingkai suasana
Qur’ani.metode ini juga tidak perlu menyinggung Asbab an-Nuzul atau Munasabah,
apalagi makna-makna kosakata dan juga segi-segi keindahan bahasa al-Qur’an. Metode ini
sangat praktis tanpa berbelit-belit, langsung menjelaskan kandungan ayat secara umum
atau hukum dan hikmah yang dapat ditarik. Namun kekurangan metode ini adalah petunjuk
al-Qur’an menjadi tidak utuh karena penafsirannya ringkas dan pendek membuat pesan dari
al-Qur’an tersebut menjadi terpecah-pecah. Selanjutnya metode muqarin (perbandingan).
Yang menjadi bahasan dalam metode ini adalah perbandingan penafsiran antara mufassir
satu dengan mufassir lain. Di sini yang dibahas bukan hanya perbedaannya saja, tetapi juga
argumentasi dari masing-masing mufassir. Kelebihan metode ini adalah mencoba mencari
tahu apa yang melatar belakangi terjadinya perbedaan dalam penafsiran tersebut dan
berusaha menemukan sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing penafsiran.
Kekurangan metode ini adalah sulit dimengerti bagi orang yang awwam. Yang terakhir
adalah metode maudhu’i. Metode ini mengarahkan pandangan pada satu tema tertentu, lalu
mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat
yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu
menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus,
yang muthlaq dikaitkan dengan muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian
dengan hadis-hadis yang berkaitan untuk disimpulkan dalam satu tulisan pandangan
menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu. Metode ini memiliki kelebihan
dapat mengetahui masalah lebih mendalam dan terbuka, namun kekurangannya adalah
metode ini tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung ayat, tetapi hanya menafsirkan
6
salah satu aspek yang dijadikan topik pembahasan saja. Inilah yang menjadikan perbedaan
penggunaan metode menjadi perbedaan para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu
karena kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing metode.12

3. Perbedaan dalam Memposisikan Nasikh dan Mansukh

Nasikh menurut bahasa berarti menghilangkan. Kata nasikh juga bermakna


memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. Menurut istilah kata nasikh
bemiliki arti m engangkat atau menghapus hukum syara’ dengan hukum syara’ yang
lain.sedangkan mansukh memiliki arti diganti. Secara terminologi mansukh adalah hukum
syara’ yang menempati posisi awal yang belum diganti dengan hukum yang datang
kemudian.13

Para mufassir sering menemukan perbedaan yang muncul mengenai apakah hukum
pada ayat dalam al-Qur’an tersebut masih berlaku atau sudah tergantikan hukumnya.
Sebagian dari mufassir masih menggunakan, namun sebagian yang lain menanggap bahwa
sudah di mansukh. Contohnya dalam surah al-Baqarah (2): 219 berikut.

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang
lebih dari keperluan. “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya
kamu berpikir”.

Terkait ayar di atas, al-Kalbi memberi penjelasan bahwa ketika ayat ini turun ada
seorang laki-laki yang kebetulah mempunyai emas dan perak atau hasil tanaman, laki-laki
tersebut bersedekan dengan harta yang dimilikinya tersebut. Kemudian, turunlah ayat
tentang kewajiban zakat yang me-nasakh ayat tersebut. Sementara maksud kata “al-afw”
pada ayat tersebut ditafsirkan oleh Mujahid dengan arti zakat yang telah ditetapkan
hukumnya. Berbeda dengan Mujtahid, Tawus bin Kisan memaknai kata “al-afw” dengan
memaknai kemudahan terhadap semua kesulitan. Disinilah yang dimaksud perbedaan
mufassir dalam memposisikan nasikh-mansukh.

4. Perbedaan dalam Memposisikan Akal sebagai Sumber Hukum

Kedudukan akal sebagai salah satu sumber hukum, seringkali menimbulkan perbedaan,
khususnya bagi para mufassir. Seorang mufassir dari kalangan Ahlussunnah tentu akan

12 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami
Ayat-ayat al-Qur’an, 2013, hal 378-382.
13 Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an: Mabahits fi Ulum Qur’an, Terj. Aunur Rafiq el-Mazni

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hal 285.

7
sangat berbeda dengan seorang mufassir dari kalangan mu’tazilah. Karena Mu’tazilah itu
lebih mendahulukan akal sebagai instrumen awal dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an,
sedangkan bagi kalangan Ahlussunnah akal digunakan sebagai pilihan alternatif kedua
setelah ketentuan syariat ketika muncul perselisihan. 14

5. Ikhtilaf al-Mazhabi

Fanatisme terhadap mazhab tertentu merupakan salah satu penyebab terjadinya


perbedaan dalam penafsiran. Akibat dari fanatisme ini sering kali para mufassir
menafsirkan al-Qur’an sesuai pada kecenderungan imam atau mazhab mereka. Contohnya
dalam masalah wali dalam pernikahan. Para ulama telah sepakat bahwa adanhya wali dalam
pernikahan adalah rukun nikah. Namun, al-Jasas dalam kitab tafsirnya Ahkam al-Qur’an
memiliki pandangan yang berbeda. Ia begitu fanatik mengedepankan mazhab yang ia anut,
yakni mazhab Hanafi.15

Berbagai faktor di atas itulah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam


penafsiran dalam kesimpulan kajiannya. Karena itulah kita tidak bisa menentukan
bagaimana supaya bisa mencapai puncak kebenaran sejati. Jadi Tidak heran jika sebuah
penafsiran atas al-Qur’an mengalami perbedaan dalam penafsiran antara mufassir satu
dengan mufassir lainnya. Hal tersebut terjadi karena baik itu dari al-Qur’an itu sendiri, dari
pengkaji al-Qur’an, dari metode, atau dari perbedaan lainnya, semua itu yang berpotensi
pada terjadinya perbedaan dari hasil penafsiran. 16

C. Sikap dalam Menghadapi Perbedaan Penafsiran

Dalam menghadapi sebuah perbedaan tentu kita harus mempunyai sikap untuk
menghadapi perbedaan tersebut. Beberapa sikap yang dapat kita lakukan adalah sebagai
berikut.

1. Dalam menghadapi perbedaan, kita tidak boleh mengklaim kebenaran (sesuatu yang
kita anggap benar) secara sepihak dengan mengabaikan kebenaran yang diyakini oleh
orang lain. kita harus benar-benar mengkaji isi serta makna dari al-Qur’an secara
benar dan mendalam.

14 Eko Zulfikar dan Ahmad Zainal Abidin, Ikhtilaf al-Mufassirin, Memahami Sebab-sebab Perbedaan dalam
Ulama dalam Menafsirkan al-Qur’an , Jurnal at-Tibyan: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Vol 4 No. 2,
Desember 2019, hal 297-298.
15
Ibid, hal 303
16
Millati, Dewasa dalam Bingkai Otoritas Teks: Sebuah Wahana dalam Mengatasi Perbedaan Penafsiran al-
Qur’an, Jurnal of Islamic Humanities, Vol 2 No. 1, Juni 2017, hal 12.

8
2. Kita tidak boleh menjadikan adanya perbedaan untuk saling tidak menyalahkan satu
sama lain.17
3. Membekali diri dengan ilmu, iman, amal, dan akhlak. Karena dengan itu semua kita
dapat menghadapi adanya ikhtilaf.
4. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui, serta menerimanya sebagai salah satu
bagian dari rahmat Allah Swt.
5. Mengikuti pendapat ulama dengan mengetahui dalilnya atau kita bisa memilih
pendapat mana yang lebih kuat, tentunya setelah kita mengkaji dan membandingkan
berdasarkan metodologi ilmiah yang diakui.
D. Dampak Positif dan Negatif Adanya Perbedaan

Dampak positif:

1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih luas.


2. Dapat lebih mempelajari isi dan makna dari al-Qur’an karena adanya perbedaan
mengenai penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
3. Dapat mengasah otak untuk berpikir luas.

Dampak negatif:

1. Biasanya adanya perbedaan dapat menimbulkan pertikaian.


2. Bagi orang yang masih belum paham akan sulit untuk memahaminya karena terlalu
banyak perbedaan.
3. Menyebabkan kebingungan dalam diri mengenai pendapat mana yang harus kita
pakai atau kita percaya. 18

17
http://iainkendari.ac.id/content/detail/fuad_hadirkan_pakar_tafsir_untuk_menyikapi_perbedaan
Andi Muhammad Hidayat, “Sebab-sebab Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ahli Hukum”, amanahgontory.sch.id,
18

November 2016, http://amanahgontory.sch.id/sebab-sebab-perbedaan-pendapat-ikhtilaf-ahli-hukum/

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ikhtilaf al-Mufassirin adalah perbedaan yang terjadi pada para mufassir dalam hal
penafsiran. perselisihan yang terjadi di kalangan para mufassir, dalam melakukan kegiatan
penafsiran. Para mufassir mengalami perbedaan dalam hal menyikap makna-makna dan
menjelaskan maksud dari ayat al-Qur’an yang musykil maupun yang zahir. Ikhtilaf al-
Mufassirin terbagi menjadi dua bentuk, yaitu ikhtilaf tanawwu’ dan iktilaf taddad. Ikhtilaf
tanawwu’ merupakan perbedaan mengenai pendapat, tapi pendapat itu masih dalam makna
yang sama, dimana suatu pendapat tidak dapat dikatakan dengan pendapat yang lain.
Sedangkan ikhtilaf taddad adalah perbedaan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan
di mana masing-masing saling berselisih satu dengan yang lain.

Perbedaan-perbedaan pendapat dalam penafsiran ini tidak muncul begitu saja, namun
dilatarbelakangi oleh adanya sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab terjadinya perbedaan
dalam penafsiran ini antara lain adalah perbedaan dalam qath’iy dan zhanny, manthuq dan
mafhum, ‘Am dan khash, muthlaq dan muqayyad, perbedaan dalam qira’at, perbedaan
dalam penggunaan metode, perbedaan dalam memposisikan nasikh mansukh, perbedaan
dalam memposisikan akal sebagai sumber hukum, serta perbedaan mazhab.

Sikap yang harus kita hadapai dalam terjadinya ikhtilaf al-mufassirin ini adalah tidak
boleh mengklaim secara sepihak dengan mengabaikan kebenaran yang diyakinio orang
lain, tidak boleh menjadikan perbedaan untuk saling menyalahkan satu sama lain,
membekali diri dengan ilmu, iman, amal, dan akhlak, memahami ikhtilaf dengan benar,
mengakui, serta menerimanya sebagai salah satu dari rahmat Allah, mengikuti pendapat
ulama dengan mengetahui dalilnya atau kita dapat memilih pendapat yang lebih kuat
tentunya setelah kita mengkaji dan membandingkannya terlebih dahulu.

Namun ikhtilaf al-mufassirin juga memiliki dampak positif dan negatif bagi kita.
Beberapa dampak positifnya adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih
luas, dapat lebih mempelajari isi dan makna dari al-Qur’an karena adanya perbedaan
mengenai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, dapat mengasah otak untuk berpikir luas.
sedangkan dampak negatifnya adalah dapat menimbulkan pertikaian atau konflik, bagi

10
orang yang masih awwam akan sulit untuk memahami karena terlalu banyak perbedaan,
menyebabkan kebingungan dalam diri mengenai pendapat mana yang harus kita pakai atau
kita percaya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna. (2006). Pengangtar Studi Ilmu al-Qur’an, Mabahits fi Ulum


Qur’an, Terj. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Anshori. (2013). Ulumul Qur’an, Kaidah-kaidah dalam Memahami Firman Tuhan.


Jakarta: Rajawali Pers.

Harun, Salman. (1999). Mutiara al-Qur’an, Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam


Kehidupan. Tanggerang: PT Logos Wacana Ilmu.

Millati. (2017). Dewasa dalam Bidang Otoritas Teks, Sebuah Wahana dalam
Mengatasi Perbedaan Penafsiran al-Qur’an. Jurnal of Islamic Humanities.
(2)1, 12.

Shihab, Quraish. (2013). Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. Tanggerang: lentera
Hati.

Zulfikar, Eko dan Ahmad Zainal Abidin. (2019). Ikhtilaf al-Mufassirin, Memahami
Sebab-sebab Perbedaan Ulama dalam Penafsiran al-Qur’an. Jurnal at-Tibyan.
(4)2, 287.

http://amanahgontory.sch.id/sebab-sebab-perbedaan-pendapat-ikhtilaf-ahli-hukum/

http://iainkendari.ac.id/content/detail/fuad_hadirkan_pakar_tafsir_untuk_menyikapi_perbedaa
n

12

Anda mungkin juga menyukai