Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

TAFSIR, TA’WIL, DAN TARJAMAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Studi Al-Qur’an

Dosen Pengampu:
Dr. Miswari, M. Ag.

Oleh:
Kelompok 7
Meylin Cahya Maulida 2108056045
Latifatul Hana 2108056058

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA

2022
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur kami
panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas hidayah dan inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Tafsir, Ta‟wil, dan Tarjamah” ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
sholawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
mengantarkan umatnya dari zaman jahiliyah sampai pada zaman terangnya kebenaran dan ilmu
pengetahuan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Dr.
Miswari, M. Ag. pada mata kuliah Studi Al-Quran. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagikan
sebagian pengetahuannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah yang berjudul “Tafsir, Ta‟wil, dan Tarjamah”
mata kuliah Studi Al-Quran ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Semarang, 06 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah .................................................................... 3

2.2 Perbedaan antara Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah ........................................................ 6

2.3 Klasifikasi Tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ar-Ra’yi ............................................................ 8

2.4 Metode dan Corak Tafsir ............................................................................................. 15

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 23

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 23

3.2 Saran .............................................................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur‟an merupakan kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Malaikat Jibril yang digunakan sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi seluruh
umat manusia. Oleh karena itu, Al-Qur‟an menjadi sangat penting bagi kita dan bagi siapa
yang membacanya merupakan ibadah. Untuk berpegang teguh pada firman tersebut, yang
dibutuhkan pertama kali tentu ialah memahami kandungannya serta mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Sejak dini, seorang muslim dituntut mengaplikasikan Al-Qur‟an bukan
hanya sekadar pesan dari Allah SWT saja, tetapi juga pemahaman yang diperlukan untuk
mengaplikasikannya, yaitu melalui tiga (3) tahapan. Tahapan-tahapan tersebut yaitu (1)
Menerima pesan Al-Qur‟an setelah mendengar dan membacanya, (2) Memahami pesan Al-
Qur‟an setelah merefleksikan dan mengkaji maknanya, dan (3) Mengaplikasikan pesan Al-
Qur‟an sebagai sumber pedoman kehidupan manusia.
Al-Qur‟an itulah sumber tasyri‟ pertama bagi umat Islam. Karena itulah umat Islam harus
memahami artinya, mengetahui rahasianya, dan mengamalkan isi Al-Qur‟an itu untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Tidak semua orang itu dapat memahami
lafadz-lafadz dan ibarat-ibarat, disamping menjelaskan keterangan ayat-ayatnya itu. Cara dan
kemampuan berpikir orang itu berbeda-beda mengenai suatu hal. Pada umumnya, orang itu
hanya memikirkan arti-artinya yang kelihatan saja memikirkan ayat-ayat Al-Qur‟an itu hanya
secara global. Oleh karena itu, maka Al-Qur‟an tersebut harus dipelajari dengan mendalam.
Untuk mempelajari makna Al-Qur‟an secara mendalam, tidak cukup hanya dengan
mengandalkan Al-Qur‟an terjemahan saja. Pada faktanya, banyak orang telah menghabiskan
waktu hidupnya untuk mengkaji Al-Qur‟an guna memahami maknanya.
Untuk memahami maknanya, ada beberapa ilmu yang digunakan dalam mempelajari
pengkajian Al-Qur‟an secara mendalam, diantaranya ilmu Tafsir, Ta‟wil, dan Tarjamah.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis perlu untuk merumuskan masalah
mengenai “Tafsir, Ta‟wil, dan Tarjamah” sebagai berikut.
a. Apakah pengertian dari Tafsir, Ta‟wil, dan Tarjamah?
b. Apa perbedaan antara Tafsir, Ta‟wil, dan Tarjamah?
c. Bagaimana klasifikasi Tafsir Bil Ma‟tsur dan Bil Ar-Ra‟yi?
d. Bagaimana metode dan corak tafsir?

1.3 Tujuan Penulisan


Sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui pengertian Tafsir, Ta‟wil, dan Tarjamah.
b. Untuk mengetahui perbedaan Tafsir, Ta‟wil, dan Tarjamah.
c. Untuk mengetahui klasifikasi Tafsir Bil Ma‟tsur dan Bil Ar-Ra‟yi.
d. Untuk mengetahui metode dan corak tafsir.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah


a. Pengertian Tafsir
Secara etimologi, kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang
berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata “tafsir” menurut
pengertian bahasa adalah “Al-Kasf wa Al-izhhar” yang artinya menyingkap (membuka)
dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian “tafsir” berdasarkan bahasa tidak akan lepas
dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan), Al-bayan (menerangkan), Al-kasyf
(mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan).1 Sedangkan
menurut terminologi, tafsir ialah menyingkapkan maksud dari lafadz-lafadz yang sulit
dan bisa juga didefinisikan semacam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal Al-
Qur‟an dan kandungannya, hukumnya yang berkenaan dengan perorangan dan
kemasyarakatan, dan pengertiannya yang dilingkupi oleh susunan lafalnya. 2 Dalam Al-
Qur‟an dikatakan:

‫سيَ ر َ ْف ِسي ًْشا‬ ِ ّ ‫َو ََل َيأْر ُ ْىً ََك ِث َوث َ ٍل ا اَِل ِجئْ ٌٰ َك ِث ْبل َح‬
َ ‫ك َواَ ْح‬
Artinya: “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil melainkan kami
datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya” (Q.S. Al-Furqan
[25]: 33)

Adapun mengenai pengertian pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama


mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda-beda.3
a. Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil
Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur‟an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan
apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuannya.
b. Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahih At-Taujih

1
Dr.Rosihon Anwar. M.Ag, Ilmu Tafsir, cetakan 3, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm 139.
2
Mana‟ul Quthan, Mahabits fi „Ulumil Qur‟an, cetakan 2, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm 164.
3
Dr.Rosihon Anwar. M.Ag, Ilmu Tafsir, cetakan 3, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm 141.
3
Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh
pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya,
atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut.
c. Menurut Abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur‟an serta cara
mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang
terkandung didalamnya.
d. Menurut Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-
makna kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad SAW, serta
menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dikemukakan para ulama tersebut, dapat
ditarik satu kesimpulan bahwa pada dasarnya, tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan,
penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di
dalam Al-Qur‟an.

b. Pengertian Ta’wil
Ta‟wil menurut lughat adalah kembali ke asal. Diambil dari kata “awwala-yu‟awwilu-
takwilan”. Takwil dalam istilah mempunyai dua pengertian.
Pertama, takwil mentakwilkan kalam (kata-kata). Sesuatu makna yang kepadanya
mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataanya, atau suatu makna
yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Kata-kata itu dikembalikan dan dipulangkan
hanya kepada hakikatnya, yaitu apa yang dimaksud.
Kedua, takwilul kalam dalam arti menafsirkan dan menerangkan artinya. Pengertian
inilah yang dimaksud oleh Ibn Jarir at-Tabari dalam tafsirnya dengan kata-kata:
“pendapat tentang „takwil‟ firman Allah ini begini dan begitu…” dan kata-kata: “Ahli
‟takwil‟ berbeda pendapat tentang ayat ini”. Jadi yang dimaksud dengan kata “takwil” di
sini adalah tafsir. Inilah arti takwil menurut ulama salaf.4

4
Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, Pustaka Litera Antarnusa, Bogor, 2009, hlm 457-
460
4
Takwil menurut pengertian mutakhir yaitu memutar lafadz dari anti yang kuat kepada
arti yang dikuatkan dengan dalil yang dikaitkan kepadanya. Istilah ini tidak disepakati.
Ringkasnya, pengertian takwil dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk
memahami lafadz-lafadz (ayat-ayat) Al-Qur‟an melalui pendekatan memahami arti atau
maksud sebagai kandungan dari lafadz itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan
lafadz dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriahnya,
bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikan dengan tafsir.
Sasaran takwil pada lazimya menyangkut ayat yang mutasyabihat atau ayat-ayat yang
mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang dikandungnya. Dalam Al-Akhlak wal
Wajibat, Al-Maghraby mengemukakan: “Adapun takwil ialah bahwa ayat mempunyai
sejumlah kemungkinan makna yang dikandungnya. Maka ketika engkau sebutkan makna
demi makna kepada pendengar, ia menjadi ragu-ragu tidak tahu mana yang harus
dipilihnya. Karena itu takwil lebih banyak digunakan untuk ayat-ayat mutasyabihat”.
Ta‟wil menurut golongan mutaakhirin adalah memalingkan makna lafadz yang kuat
(rajih) kepada makna yang lemah karena ada dalil menghendakinya. Takwil semacam ini
banyak digunakan oleh kebanyakan ulama mutaakhirin, dengan tujuan untuk lebih
memahasucikan Allah SWT keserupaaannya dengan makhluk seperti yang mereka
sangka. Dugaan ini sungguh bathil karena dapat menjatuhkan mereka dalam
kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu.
Misalnya aliran mu‟tazilah yang menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa
Tuhan bersifat jasmani secara teoritis. Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Qur‟an yang
menggambarkan bahwa Tuhan bersifat jasmani diberi takwil oleh muktazilah dengan
pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah. Seperti, kata „istawa‟ dalam
surat Thaha ayat 5 ditakwilkan dengan al-istila wa al-ghalabah (menguasai dan
mengalahkan), kata aini ditakwilkan dalam surat Thaha ayat 39 ditakwilkan dengan „ilmi‟
(pengetahuan). Kata yad dalam surah shad ayat 75 ditakwilkan dengan al quwwah atau al
qudrah. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat di
atas adalah ayat 103 surah Al-An‟am dan ayat 23 surah Al-Qiyamah. Hal semacam ini
mengandung kontradiktif, seperti kata yad ditakwilkan dengan kekuasaan, karena

5
memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang
mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhlukpun mempunyai kekuasaan.

c. Pengertian Tarjamah
Tarjamah berasal dari bahasa Arab yang artinya “salinan dari sesuatu bahasa ke
bahasa lain” atau berarti mengganti, menyalin dan memindahkan kalimat dari suatu
bahasa ke bahasa lain.5 Kata Tarjamah, yang dalam bahasa Indonesianya biasa kita sebut
dengan Terjemah, secara etimologi mempunyai beberapa arti sebagai berikut.
1) Menyampaikan suatu ungkapan pada orang yang tidak tahu
2) Menafsirkan sebuah ucapan dengan ungkapan dari bahasa yang sama
3) Menafsirkan ungkapan dengan bahasa lain
4) Memindah atau mengganti suatu ungkapan dalam suatu bahasa ke dalam bahasa yang
lain
Adapun yang dimaksud dengan tarjamah Al-Qur‟an adalah seperti yang dikemukakan
oleh Ash-Shabuni: “Memindahkan Al-Qur‟an kepada bahasa lain yang bukan bahasa
Arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar dibaca orang yang tidak
mengerti bahasa Arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah SWT dengan perantara
terjemahan ini.”

2.2 Perbedaan antara Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah


a. Perbedaan Tafsir dan Tarjamah
1) Bahasa tafsir dalam praktiknya selalu terdapat keterkaitan dengan bahasa aslinya.
Selain itu, dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam
terjemah. Pada terjemah yang terjadi atau dilakukan adalah peralihan bahasa, yakni
dari bahasa pertama atau yang asli ke bahasa kedua atau terjemah.
2) Dalam tafsir yang diutamakan adalah menyampaikan penjelasan dan pesan dari
bahasa aslinya yang pertama. Sedangkan pada terjemah tidak terdapat istithrad, yakni
memperluas uraian melebihi kadar mencari padanan kata. Dalam terjemah terutama
harfiah, makna yang diungkap tidak lebih dari sekedar mengganti bahasa.

5
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag., Ulum Al-qur‟an, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm 212
6
3) Dalam bahasa tafsir yang menjadi pokok perhatian adalah tercapainya penjelasan tepat
sasaran baik secara global maupun secara terinci. Tidak demikian halnya dengan
terjemah. Ia pada lazimnya mengandung tuntutan terpenuhinya semua makna yang
dikehendaki oleh bahasa pertama.
Dengan memperhatikan pemyataan-pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa
antara tafsir dengan terjemah (baik tafsiriyah maupun harfiyah) terdapat perbedaan yang
cukup jelas. Khusus dalam hubungannya dengan upaya pemahaman terhadap kandungan
Al-Qur'an, keterangan melalui terjemahnya tentu tidak akan dapat memberikan kejelasan
yang memadai.

b. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil


Mengenai perbedaan tafsir dan ta'wil dapat dilihat sebagai berikut.
1) Tafsir:
a) Pemakaiannya banyak terdapat pada lafal-lafal dan leksikologi (mufrodat).
b) Jelas diterangkan dalam Al-Qur'an dan hadits-hadits shahih.
c) Banyak berhubungan dengan riwayat.
d) Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas, terang).
e) Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
2) Ta'wil:
a) Penggunaannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat.
b) Kebanyakan diistimbatkan oleh para „ulama.
c) Lebih banyak berhubungan dengan diroyah (nalar, aqliy).
d) Digunakan dalam ayat-ayat musytasybihat (samar, samar tidak jelas).
e) Menerangkan hakikat yang dikehendaki.

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa:


a) Tafsir: menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar, lengkap
dengan penjelasan hukum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan
sering disertai dengan kesimpulan dari ayat-ayat tersebut.

7
b) Ta‟wil: mengalihkan lafadz-lafadz ayat Al-Qur'an dari arti yang lahir dan rajih kepada
arti lain yang samar dan marjuh.
c) Terjemah: hanya mengubah kata-kata dari bahasa Arab ke dalam bahasa lain tanpa
memberikan penjelasan tentang kandungan secara panjang lebar dan tidak
menyimpulkan dari isi kandungannya.

2.3 Klasifikasi Tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ar-Ra’yi


a. Tafsir Bil Ma’tsur
1) Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur
Istilah tafsir bi al-ma‟sur merupakan gabungan dari tiga buah kata, yaitu tafsir, bi,
dan al-ma‟sur. “Tafsir” secara leksikal berarti “mengungkap” atau “menyingkap”,
“bi” secara leksikal berarti “dengan”, dan al-ma‟sur secara leksikal berarti
menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama).
Kata al-ma‟sur merupakan bentuk isim maf‟ul (objek) dari kata a‟sara-ya‟siru au
ya‟suru-a‟saran-wa-a‟saratan. Dengan demikian, secara etimologi tafsir bi al-ma‟sur
berarti menyingkap isi kandungan Al-Qur‟an dengan penjelasan yang dinukil khalaf
dari salaf.
Kata al-ma‟sur juga dikenal dengan al-riwayah, al-naql atau al-manqul, namun
pada hakikatnya istilah-istilah tersebut mengacu pada makna yang sama, yaitu
mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu
sehingga tinggal mewarisi dan meneruskan apa adanya.
Sedangkan secara harfiah atau terminologi, ulama memberikan pengertian yang
berbeda-beda. Menurut Muhammad „Ali Al-Sabuni, tafsir bi al-riwayah atau tafsir bi
al-ma‟sur ialah menafsirkan Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, menafsirkan Al-Qur‟an
dengan al-sunnah al-nabawiyyah atau menafsirkan Al-Qur‟an dengan yang dikutip
dari pendapat sahabat. Menurut Muhammad Husain Al-Zahabi, tafsir bi al-ma‟sur
adalah apa saja yang datang mengenai teks-teks Al-Qur‟an Al-Karim itu sendiri
berupa penjelasan dan penjabaran sebagian ayat-ayatnya yang dinukil dari Nabi, para
sahabat, atau dari tabi‟in sesuai kehendak Allah SWT.

8
2) Klasifikasi Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir bil ma‟tsur dapat dibedakan menjadi empat (4) bentuk, yaitu sebagai
berikut.
a) Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
1. Firman Allah SWT (Q.S. At-Thariq: 1)

‫ق‬
ِ ‫بس‬ ‫س َو ۤب ِء َو ا‬
ِ ‫الط‬ ‫َوال ا‬
Artinya: “Demi langit dan yang datang pada malam hari”.

Kata “Ath-Thariq” dijelaskan dengan firman-Nya lebih lanjut pada surat itu
pula, yaitu (QS. Ath-Thariq: 3):

ُ ِ‫الٌا ْج ُن الثابل‬
‫ت‬
Artinya: “(yaitu) bintang yang bersinar tajam,”

2. Firman Allah SWT (Q.S. Al-Maidah: 1)

َ ‫اَل ًْ َع ِبم ا اَِل َهب يُزْ ٰلى‬


‫علَ ْي ُك ْن َغي َْش‬ ْ ‫ٰيٰٓبَيُّ َهب الا ِزيْيَ ٰا َهٌُ ْٰٓىا ا َ ْوفُ ْىا ِث ْبلعُمُ ْى ِد ا ُ ِحلا‬
َ ْ ُ‫ذ لَ ُك ْن ثَ ِه ْي َوخ‬
ُ‫ّٰللا َي ْح ُك ُن َهب ي ُِش ْيذ‬
َ ‫ص ْي ِذ َوا َ ًْز ُ ْن ُح ُشم ا اِى ه‬ ‫ُه ِح ِلّى ال ا‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak
dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya
Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.”

Ayat ini diperjelas oleh ayat selanjutnya dalam (QS. Al-Maidah: 3):
ُ‫ّٰللا ِث ٖه َو ْال ُو ٌْ َخ ٌِمَخ‬
ِ ‫علَ ْي ُك ُن ْال َو ْيزَخُ َوالذا ُم َولَ ْح ُن ْال ِخ ٌْ ِضي ِْش َو َهب ٰٓ ا ُ ِه ال ِلغَي ِْش ه‬ ْ ‫ُح ِ ّش َه‬
َ ‫ذ‬
‫ت‬
ِ ‫ص‬ ُ ٌُّ‫علَى ال‬ ‫َو ْال َو ْىلُ ْىرَح ُ َو ْال ُوز َ َش ِدّ َيخُ َوالٌا ِط ْي َحخُ َو َهب ٰٓ ا َ َك َل ال ا‬
َ ‫سجُ ُع ا اَِل َهب رَ اك ْيز ُ ْن َو َهب ر ُ ِث َح‬
‫س الا ِزيْيَ َكفَ ُش ْوا ِه ْي ِد ْيٌِ ُك ْن فَ ََل رَ ْخش َْى ُه ْن‬ َ ‫َوا َ ْى ر َ ْسز َ ْم ِس ُو ْىا ِث ْبَلَ ْص ََل ِم ٰر ِل ُك ْن فِسْك ا َ ْل َي ْى َم َي ِٕى‬
ِ ْ ‫ضيْذُ لَ ُك ُن‬
‫اَلس ََْل َم ِد ْيًٌب‬ َ ُ‫اخش َْى ِى ا َ ْليَ ْى َم ا َ ْك َو ْلذُ لَ ُك ْن ِد ْي ٌَ ُك ْن َواَرْ َو ْوذ‬
ِ ‫علَ ْي ُك ْن ًِ ْع َو ِز ْي َو َس‬ ْ ‫َو‬
‫غفُ ْىس اس ِحيْن‬ ‫غي َْش ُهز َ َجبًِفٍ ِّ َِلثْ ٍن فَب اِى ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ َ ‫ص ٍخ‬ َ ‫ط اش فِ ْي َه ْخ َو‬ ُ ‫ض‬ ْ ‫فَ َو ِي ا‬
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging)
hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
9
jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu
sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan
pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik.
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab
itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini
telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku
bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa
karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.”

3. Firman Allah SWT (Q.S. Al-Baqarah: 37)

‫الش ِح ْي ُن‬
‫اة ا‬ُ ‫علَ ْي ِه اًِاهٗ ُه َى الز ا اى‬
َ ‫بة‬ ٍ ٰ‫فَزَلَمٰٓهى ٰادَ ُم ِه ْي اس ِثّ ٖه َكلِو‬
َ َ ‫ذ فَز‬
Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhan Nya, maka Allah
menerima taubatnya, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”

Kalimat yang diterima Adam ditafsirkan dengan ayat:

َ‫سٌَب َوا ِْى لا ْن رَ ْغ ِف ْش لٌََب َورَ ْش َح ْوٌَب لَ ٌَ ُك ْىً اَي ِهيَ ْال ٰخس ِِشيْي‬
َ ُ‫ظلَ ْوٌَب ٰٓ ا َ ًْف‬
َ ‫لَ َبَل َسثاٌَب‬
Artinya: “Keduanya berkata (Adam dan Hawa), ”Wahai Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami, andai kata Kau tidak memaafkan dan mengasihi kami, niscaya
kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al-A‟raf: 23)

b) Tafsir Al-Qur’an dengan As-Sunnah


1. Rasulullah menafsirkan shalat wustha dalam firman Allah:

َ‫ص ٰلىحِ ْال ُىس ْٰطى َولُ ْى ُه ْىا ِ هّلِلِ ٰلٌِزِيْي‬ ِ ‫صلَ ٰى‬
‫د َوال ا‬ ‫علَى ال ا‬ ُ ِ‫َحبف‬
َ ‫ظ ْىا‬
Artinya: “Peliharalah segala shalat (peliharalah) shalat wustha.” (QS. Al-Baqarah:
238)
Rasulullah manafsirkannya dengan shalat “Ashar”.

2. Rasulullah menafsirkan lafadz dalam Q.S. Al-Fatihah: 7, yaitu:

ࣖ َ‫ع َل ْي ِه ْن َو ََل الض ۤاب ِلّيْي‬


َ ‫ة‬ ُ ‫علَ ْي ِه ْن ە َغي ِْش ْال َو ْغ‬
ِ ‫ض ْى‬ َ ‫ط الا ِزيْيَ ا َ ًْ َع ْو‬
َ ‫ذ‬ َ ‫ص َشا‬
ِ
Dengan makna “Yahudi dan Nasrani”

3. Penjelasan Nabi Muhammad tentang “quwwah” dengan panah dalam firman


Allah (QS. Al- Anfal: 60):

10
‫عذ اُو ُك ْن‬
َ ‫ّٰللاِ َو‬
‫عذ اُو ه‬َ ‫بط ْال َخ ْي ِل ر ُ ْش ِهج ُْىىَ ِث ٖه‬
ِ ‫ط ْعز ُ ْن ِ ّه ْي لُ اىحٍ او ِه ْي ِ ّس َث‬ َ َ ‫َوا َ ِعذ ُّْوا لَ ُه ْن اهب ا ْسز‬
‫ّٰللا‬
ِ ‫س ِج ْي ِل ه‬َ ‫ش ْيءٍ فِ ْي‬ ‫َو ٰاخ َِشيْيَ ِه ْي د ُْو ًِ ِه ْۚ ْن ََل ر َ ْع َل ُو ْىًَ ُه ْۚ ْن َ ه‬
َ ‫ّٰللاُ َي ْع َل ُو ُه ْن َو َهب ر ُ ٌْ ِفمُ ْىا ِه ْي‬
ْ ُ ‫ف اِلَ ْي ُك ْن َوا َ ًْز ُ ْن ََل ر‬
َ‫ظلَ ُو ْىى‬ ‫ي َُى ا‬
Artinya: “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka
dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat
menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di
jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dizalimi (dirugikan).”

c) Tafsir Sahabat
Sahabat Umar ibn al-Khattab pernah bertaya tentang arti takhawwuf dalam
firman Allah (QS. An-Nahl: 47):

َ ‫ا َ ْو َيأ ْ ُخزَ ُه ْن‬


‫ع ٰلى رَخ َُّىفٍ فَب اِى َسثا ُك ْن لَ َش ُء ْوف اس ِحيْن‬
kepada seorang Arab dari Kabilah Huzail, dia menjelaskan bahwa artinya adalah
“pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan
syair praIslam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-
syair tersebut dalam rangka mamahami Al-Qur‟an.
Sahabat yang terkemuka dalam bidang tafsir adalah: Abu Bakar As-Shiddiq,
Umar alFaruq, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‟ud,
Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-„Asy‟ari dan
Abdullah bin Zubair.

d) Tafsir Tabi’in
Sebagai bahan rujukan dalam penulisan Al-Qur‟an, penjelasan tabi‟in tetap
diperhitungkan untuk dapat menafsirkan Al-Qur‟an. Sekalipun mereka bukan
generasi sahabat yang langsung mendapat penafsiran dari Nabi, tetapi mereka
memperoleh penjelasan dari para sahabat. Sebagai contoh diantara tabi‟in ada
yang mengambil seluruh tafsir dari sahabat. Mujahid menceritakan, “Saya
membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali, dari pembukaan

11
(Fatihah) sampai dengan penutupan. Saya berhenti pada setiap ayat untuk
menanyakan kepadanya hal-hal yang berkaitan dengannya.”
Tabi‟in yang termasyhur adalah murid-murid Ibnu Abbas dan murid-murid
Ibnu Mas‟ud. Yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas antara lain: Mujahid Ibnu
Jabir, „Atha bin Rabah dan Ikrimah Maula ibnu Abbas. Sedangkan dari golongan
murid Ibnu Mas‟ud adalah „Alqamah an-Nakh‟y, Masyruq ibn al-Ajda‟, Al-
Hamadany, Ubaidah ibn Amr as-Silmany dan al-Aswad ibn Yazid an-Nakha‟y.

b. Tafsir Bil Ar-Ra’yi


1) Pengertian Tafsir Bil Ar-Ra’yi
Istilah tafsir bi al-ra‟yi merupakan gabungan dari tiga buah kata, yakni tafsir, bi,
dan al-ra‟yi. Kata ra‟yun memiliki sinonim dengan kata dirayah yang berasal dari
kata ra‟a-yar‟i-ra‟yan-wa-ru‟yatan (yang berarti melihat (basara), mengerti (adraka),
menyangka, mengira, atau menduga (hasiba). Sedangkan kata dirayah berasal dari
kata dara-yadri-daryan-wadiryatan-wadirayatan yang artinya mengerti, mengetahui,
dan memahami.
Secara bahasa, al-ra‟yi berarti al-i‟tiqadu (keyakinan) dan „aqlu (akal) dan al-
tadbiru (perenungan). Ahli fikih yang sering berijtihad biasa disebut sebagai ashab al-
ra‟yi. Karena itu, tafsir bi al-ra‟yi disebut juga sebagai tafsir bi al-„aqli dan tafsir bi
al-ijtihadi. Adapun secara istilah, tafsir bi al-ra‟yi adalah upaya untuk memahami nas
Al-Qur‟an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufasir) yang memahami betul bahasa
Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti
syair-syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul asbab al-nuzul, mengerti
nasikh dan mansukh di dalam Al-Qur‟an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang
dibutuhkan seorang mufassir.

2) Klasifikasi Tafsir Bil Ar-Ra’yi


Tafsir bi al-ra‟yi lebih menekankan sumber penafsirannya pada kekuatan bahasa
dan akal pikiran mufasir. Pada awalnya, seluruh tafsir bi al-ra‟yi adalah tercela. Hal
ini karena adanya hadis yang melarang penafsiran Al-Qur‟an dengan al-ra‟yi. Namun
12
karena kebutuhan dan tuntutan zaman, pada abad ke-5 terjadi kampanye di kalangan
ulama yang membentuk opini bahwa tidak semua tafsir bi al-ra‟yi itu tercela, ada juga
yang terpuji, yaitu tafsir bi al-ra‟yi yang berdasarkan dalil. Dan kampanye ini
tergolong berhasil. Oleh karenanya, para ahli tafsir membedakan tafsir bi al-ra‟yi ke
dalam dua macam, yaitu tafsir bi al-ra‟yi al-mahmud (yang terpuji) dan tafsir bi al-
ra‟yi al-mazmum (yang tercela). Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut.
a. Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (terpuji)
Menurut Anshori LAL, tafsir bi al-ra‟yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir
yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah SWT),
2. Jauh dari kebodohan dan kesesatan,
3. Sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab,
4. Berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nas Al-
Qur‟an,
5. Memperhatikan kaidah-kaidah penafsiran yang sangat penting seperti
memperhatikan asbab al-nuzul, „ilmu munasabah, dan sarana-sarana lain yang
dibutuhkan mufasir.
Tafsir bi al-ra‟yi al-mahmud juga dijuluki dengan al-tafsir al-masyru‟ (tafsir
yang disyariatkan). Dengan demikian, menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan bahasa
dan nilai-nilai syariat hukumnya boleh. Banyak sahabat yang menafsirkan Al-
Qur‟an dengan kemampuan mereka, seperti „Abdullah ibn „Abbas yang banyak
menafsirkan Al-Qur‟an dengan alat bantu syair-syair Arab, karena tidak semua
ayat Al-Qur‟an Nabi SAW secara mendetail. Beberapa keterangan yang bisa
dinukil dari Nabi hanya bersifat kifayah.
Contoh tafsir bi al-ra‟yi al-mahmud adalah menafsirkan kata zarrah dalam
surat Al-Zalzalah [99]: 7 dan 8 dengan benda-benda terkecil misalnya atom,
newton, dan energi yang oleh ulama-ulama klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji
gandum, semut gatal, dan lain-lain. Demikian juga dengan kata al-qalam dalam
surat Al-Qalam [68]: 1 yang oleh ulama klasik dan kontemporer diartikan dengan
pena, tidak salah jika bila ditafsirkan dengan alat-alat tulis lain seperti pensil,
13
pulpen, spidol, mesin ketik, komputer, bahkan laptop agar bisa
dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang. Karena jika pengertian pena untuk
kata al-qalam tetap dipertahankan hingga sekarang, maka seolah-olah hanya
menggambarkan keterbatasan dan kejumudan dunia ilmu pengetahuan dan
teknologi.

b. Tafsir bi al-ra’yi al-mazmum (tercela)


Tafsir bi al-ra‟yi dianggap tercela bila:
1. Menafsirkan Al-Qur‟an menurut selera penafsir sendiri, yakni tanpa
didasarkan pada dalil yang sahih,
2. Tidak mengetahui kaidah bahasa dan prinsip-prinsip hukum,
3. Membawa firman Allah SWT kepada mazhabnya yang menyimpang atau
rusak, atau bid‟ah dalalah,
4. Mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya, tetapi tidak mengetahui
kaidah bahasa Arab,
5. Menggunakan hawa nafsunya.
Tafsir bi al-ra‟yi al-mazmum muncul seiring dengan bermunculnya
mazhab-madzhab dalam Islam. Tafsir ini dengan ra‟yu mereka gunakan untuk
membela mazhab yang diikuti. Mereka mencari-cari sejumlah ayat Al-Qur‟an
dan memaksakan agar dapat digunakan untuk menguatkan mazhab yang
diikuti. Demikian ini mengakibatkan Al-Qur‟an ditafsirkan dengan ijtihad
yang menyimpang dan hukum tafsir bi al-ra‟yi seperti yang terkesan
dipaksakan ini hukumnya haram.
Contoh tafsir bi al-ra‟yi yang tergolong al-mazmum (tercela) adalah
penyalahgunaan penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an untuk tujuan kampanye
menjelang pemilihan umum (PEMILU) yang digencarkan oleh oknum juru
kampanye. Seperti menerjemahkan kata syajarah (dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:
35 dengan “pohon beringin”, dengan maksud mendiskriditkan partai
Golongan Karya (GOLKAR) supaya tidak dipilih. Demikian juga dengan
pengharaman mencoblos tanda gambar Ka‟bah (gambar Partai Persatuan
14
Pembangunan) oleh oknum jurkam lain dengan merujuk kepada Q.S. Ali
Imran [3]: 96, sebagai dalih karena Ka‟bah merupakan benda suci yang harus
dihormati (disakralkan) termasuk memuliakan gambar fotokopinya. Dalam
ayat ini, kata “bait” yang berarti Ka‟bah (rumah ibadah yang pertama kali
dibangun untuk manusia di muka bumi) disangkut-pautkan dengan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang berlambang Ka‟bah.

2.4 Metode dan Corak Tafsir


a. Macam-macam Metode Tafsir
Para ulama ahli Ulum Al-Qur'an telah membuat klasifikasi tafsir berdasarkan metode
penafsirannya menjadi empat macam metode yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Metode Tahlily (Metode Analisis)
Metode tafsir tahlily juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran yang
berusaha menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur‟an dengan berbagai seginya, berdasarkan
urutan ayat dan surat dalam Al-Qur‟an mushaf Utsmani dengan menonjolkan
pengertian dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-
sebab nuzulnya, hadits-hadits Nabi SAW yang ada kaitannya dengan ayat-ayat yang
ditafsirkan itu, serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama lainnya.
Dalam melakukan penafsiran, mufasir (penafsir) memberikan perhatian
sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya
dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat, sehingga
terlihat seperti pembahasan yang parsial dari tiap-tiap ayat yang ditafsirkan oleh para
mufasir. Metode tahlily kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan
pertengahan. Di antara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang
lebar (ithnab), sebagian mengikuti pola singkat (ijaz), dan sebagian mengikuti pola
secukupnya (musawah). Mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur‟an dengan metode
tahlily, namun dengan corak yang berbeda-beda.
Di antara contoh-contoh kitab tafsir yang menggunakan metode tahlily ialah
sebagai berikut.
1. Al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an, karangan Syaikh Imam al-Qurtubi
15
2. Jami‟ al-Bayan „an Takwil Ayyi Al-Qur‟an, karangan Ibn Jarir al Thabariy
3. Tafsir Al-Qur‟an al-„Aẓīm, karangan al-Hafidz Imad al-Din Abi alFida‟ Ismail bin
Katsir al-Quraisyi al-Danasyqi.
4. Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur‟an, karangan al-„Allamah al-Sayyid Muhammad
Husyan al-Thabataba‟i.

2) Metode Ijmaly (Metode Global)


Metode ijmaly adalah menafsirkan Al-Qur‟an dengan cara menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur‟an dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian
atau penjelasan yang panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja.
Menurut Asy-Syibarsyi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Badri Khaeruman,
mendefinisikan bahwa metode tafsir ijmaly adalah sebagai cara menafsirkan Al-
Qur‟an dengan mengetengahkan beberapa persoalan, maksud dan tujuan yang menjadi
kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an. Dengan metode ini, mufasir tetap menempuh jalan
sebagaimana metode tahlily, yaitu terikat kepada susunan-susunan yang ada di dalam
mushaf Ustmani. Hanya saja dalam metode ini, mufasir mengambil beberapa maksud
dan tujuan dari ayat-ayat yang ada secara global.
Dengan metode ini, mufasir menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur‟an secara garis
besar. Sistematika mengikuti urutan surah-surah Al-Qur‟an dalam mushaf Ustmani,
sehingga makna-makna dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna
ini, mufasir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari Al-Qur‟an sendiri
dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga memberi
kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya. Dengan kata lain, makna
yang diungkapkan itu biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut
pola-pola yang diakui jumhur ulama‟, dan mudah dipahami orang. Dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur‟an dengan metode ini, mufasir juga meneliti, mengkaji, dan
menyajikan asbab al-nuzul atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat,
dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali ialah sebagai berikut.
1. Tafsir al-Jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuti dan Jalal al-Din al-Mahally
16
2. al-Tafsir al-Mukhtasar, karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi Urusan
Ummat Islam)
3. safwah al-Bayan li Ma‟aniy Al-Qur‟an, karya Husnain Muhammad Makhmut
4. Tafsir Al-Qur‟an, karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady

3) Metode Muqaran (Metode Komparasi atau Perbandingan)


Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an yang
membahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau
antarayat dengan hadis, baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-
pendapat para ulama‟ tafsir dengan menonojolkan segi perbedaan tertentu dari obyek
yang dibandingkan.
1. Macam-macam Metode Muqaran
Dari pemaparan di atas, metode muqaran ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu
sebagai berikut.
a) Perbandingan ayat Al-Qur‟an dengan ayat lain
Yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih
masalah atau kasus yang berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi
berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Pertentangan makna di
antara ayat-ayat Al-Qur‟an dibahas dalam „ilm al-nasikh wa al-mansukh.
Dalam mengadakan perbandingan ayat dengan ayat yang berbeda, redaksi
di atas ditempuh beberapa langkah, yaitu: (1) Menginventarisasi ayat-ayat Al-
Qur‟an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang
sama dalam kasus berbeda; (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan
persamaan dan perbedaan redaksi; (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut
dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat
bersangkutan; dan (4) Melakukan perbandingan.
Perbedaan-perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya nuansa
perbedaan makna seringkali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat
dan konteks turunnya ayat bersangkutan. Karena itu, „ilm al- munasabah dan
„ilm asbab al-nuzul sangat membantu melakukan al-tafsir al-muqaran dalam
17
hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain. Namun, esensi nilainya pada
dasarnya tidak berbeda.
b) Perbandingan ayat Al-Qur‟an dengan Hadits
Dalam melakukan perbandingan ayat Al-Qur‟an dengan hadits yang
terkesan berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh
adalah menentukan nilai hadits yang akan diperbandingkan dengan ayat Al-
Qur‟an. Hadits itu haruslah shahih. Hadits dhaif tidak diperbandingkan, karena
disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin bertolak. Setelah itu
mufasir melakukan analisis terhadap latar belakang terjadinya perbedaan atau
pertentangan antara keduanya.
c) Perbandingan penafsiran mufasir dengan mufasir lain
Mufasir membandingkan penafsiran ulama‟ tafsir, baik ulama‟ salaf
maupun khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, baik yang bersifat
manqul (pengutipan) maupun yang bersifat ra‟yu (pemikiran).
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an tertentu, ditemukan adanya
perbedaan di antara ulama‟ tafsir. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan hasil
ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-masing.
Sedangkan dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang
lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu
di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
2. Contoh-contoh Kitab Tafsir yang Menggunakan Metode Muqaran
a. Durrat al-Tanzil wa Qurrat al-Takwil (Mutiara Al-Qur‟an dan Kesejukan al-
TakwIl), karya al-Khatib al-Iskafi
b. Al-Burhan fi Tajwih Mutasyabih Al-Qur‟an (Bukti Kebenaran dalam
Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih Al-Qur‟an), karangan Taj al-Qara‟ al-
Kirmani

18
4) Metode Maudhu'i (Metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufasir untuk menjelaskan konsep Al-
Qur‟an tentang suatu masalah atau tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh
ayat Al-Qur‟an yang membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat
tersebut dikaji secara komprehensif, mendalam, dan tuntas dari berbagai aspek
kajiannya. Baik dari segi asbabun nuzulnya, munasabahnya, makna kosa katanya,
pendapat para mufassir tentang makna masing-masing ayat secara parsial, serta aspek-
aspek lainnya yang dipandang penting.
Ciri utama metode ini adalah terfokusnya perhatian pada tema (maudhu'), baik
tema yang ada dalam Al-Qur‟an itu sendiri, maupun tema-tema yang muncul di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Contohnya seperti:
 Al-Insan Fi Al-Qur‟an dan Al-Mar'ah Fi Al-Qur'an, karya Abbas Mahmud Al-
'Aqqad, dan
 Al-Riba Fi Al-Qur'an, karya Abu Al-A'la Al-Maududi.

b. Macam-macam Corak Tafsir


Tafsir merupakan karya manusia yang selalu diwarnai pikiran, madzhab, dan disiplin
ilmu yang ditekuni oleh mufasir-nya. Oleh karena itu, buku-buku tafsir mempunyai
berbagai corak pemikiran dan madzhab. Di antara corak tafsir yaitu sebagai berikut.
1. Corak Sufi
Penafsiran yang dilakukan oleh para sufi pada umumnya diungkapkan dengan
bahasa mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali orang-orang
sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran taṣawuf. Corak ini ada dua
macam, yaitu sebagai berikut.
a. Tasawuf Teoritis
Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji Al-Qur‟an berdasarkan teori-teori
mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran orang-orang sufi. Penafsir berusaha
maksimal untuk menemukan ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut dan faktor-faktor yang
mendukung teori, sehingga tampak berlebihan dan keluar dari dhahir yang
dimaksudkan syara‟ dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran demikian ditolak
19
dan sangat sedikit jumlahnya. Karya-karya corak ini terdapat pada ayat-ayat Al-
Qur‟an secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi dalam kitab al-futuhat
makkiyah dan al-Fushuh.
b. Tasawuf Praktis
Yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah tasawuf yang mempraktikkan
gaya hidup sengsara, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah
SWT. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari,
yaitu menta‟wilkan ayat-ayat, berbeda dengan arti dhahir-nya berdasar isyarat-
isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk, namun
tetap dapat dikompromikan dengan arti dhahir yang dimaksudkan. Di antara kitab
tafsir tasawuf praktis ini adalah Tafsir al-Qur‟anul Karim oleh Tusturi dan Haqiq
al-Tafsir oleh al-Sulami.
2. Corak Falsafi
Tafsir falsafi adalah cara penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an dengan menggunakan
teori-teori filsafat. Penafsiran ini berupaya mengompromikan atau mencari titik temu
antara filsafat dan agama, serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan di antara
keduanya. Di antara ulama yang gigih menolak para filosof adalah Hujjah al-Islam
Imam Abu Hamid Al-Ghazali yang mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain
untuk menolak paham mereka. Tokoh yang juga menolask filsafat adalah Imam Fakhr
Ad-Din Ar-Razi, yang menulis sebuah kitab tafsir untuk menolak paham mereka
kemudian diberi judul Mafatih al-Gaib.
Kedua, kelompok yang menerima filsafat bahkan mengaguminya. Menurut
mereka, selama filsafat tidak bertentangan dengan agama Islam, maka tidak ada
larangan untuk menerimanya. Ulama yang membela pemikiran filsafat adalah Ibn
Rusyd yang menulis pembelaannya terhadap filsafat dalam bukunya at-Tahafut at-
Tahafut, sebagai sanggahan terhadap karya Imam al-Ghazali yang berjudul Tahafut
al-Falasifah.
3. Corak Fiqih atau Hukum
Akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, setiap
golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
20
penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Salah satu kitab tafsir fiqhi adalah kitab
Ahkam Al-Qur‟an karangan al-Jasshash.
4. Corak Sastra
Corak tafsir sastra adalah tafsir yang di dalamnya menggunakan kaidah-kaidah
linguistik. Corak ini timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama
Islam serta akibat kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra yang membutuhkan
penjelasan terhadap arti kandungan Al-Qur‟an di bidang ini. Corak tafsir ini pada
masa klasik diwakili oleh Zamakhsyari dengan tafsirnya al-Kasyaf.
5. Corak ‘Ilmiy
Tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu
pengetahuan umum dari temuan-temuan ilmiah yang didasarkan pada Al-Qur‟an.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur‟an memuat seluruh ilmu
pengetahuan secara global. Salah satu contoh kitab tafsir yang bercorak „Ilmiy adalah
kitab Tafsir al-Jawahir, karya Tantawi Jauhari.
6. Corak al-Adab al-Ijtima’i
Tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir becorak al-Adab al-Ijtima‟i
ini termasuk tafsir bi al-Ra‟yi. Namun, ada juga sebagian ulama yang
mengkategorikannya sebagai tafsir campuran, karena presentase atsar dan akat
sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang. Salah satu contoh tafsir yang
bercorak demikian ini adalah Tafsir al-Manar, buah pikiran Syeikh Muhammad
Abduh yang dibukukan oleh Muhammad Rasyid Ridha.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Untuk memahami makna Al-Qur‟an, ada beberapa ilmu yang digunakan dalam
mempelajari pengkajian Al-Qur‟an tersebut secara mendalam, diantaranya ilmu Tafsir,
Ta‟wil, dan Tarjamah. Tafsir merupakan suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, dan
ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam Al-Qur‟an.
Adapun ta‟wil ialah suatu usaha untuk memahami lafadz-lafadz (ayat-ayat) Al-Qur‟an
melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafadz itu.
Sedangkan tarjamah yaitu memindahkan Al-Qur‟an kepada bahasa lain yang bukan
bahasa Arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar dibaca orang yang
tidak mengerti bahasa Arab, sehingga ia dapat memahami kitab Allah SWT dengan
perantara terjemahan ini.
Terdapat perbedaan di antara tafsir, ta‟wil, dan tarjamah. Tafsir lebih menjelaskan
makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan penjelasan
hukum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan sering disertai dengan
kesimpulan dari ayat-ayat tersebut. Sedangkan ta‟wil mengalihkan lafadz-lafadz ayat Al-
Qur'an dari arti yang lahir dan rajih kepada arti lain yang samar dan marjuh. Adapun
tarjemah hanya mengubah kata-kata dari bahasa Arab ke dalam bahasa lain tanpa
memberikan penjelasan tentang kandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan
dari isi kandungannya.
Menurut sumbernya, tafsir dibedakan menjadi tafsir bi al-ma‟sur dan tafsir bi al-ra‟yi.
Muhammad Husain Al-Zahabi mendefinisikan tafsir bi al-ma‟sur sebagai apa saja yang
datang mengenai teks-teks Al-Qur‟an Al-Karim itu sendiri berupa penjelasan dan
penjabaran sebagian ayat-ayatnya yang dinukil dari Nabi, para sahabat, atau dari tabi‟in
sesuai kehendak Allah SWT. Tafsir bil ma‟tsur dapat dibedakan menjadi empat (4)
bentuk, yaitu tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an, tafsir Al-Qur‟an dengan As-Sunnah,
tafsir sahabat, dan tafsir tabi‟in.

22
Tafsir bi al-ra‟yi ialah upaya untuk memahami nas Al-Qur‟an atas dasar ijtihad
seorang ahli tafsir (mufasir) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya,
mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair-syair Arab sebagai dasar
pemaknaan, mengetahui betul asbab al-nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam Al-
Qur‟an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir. Para ahli
tafsir membedakan tafsir bi al-ra‟yi ke dalam dua macam, yaitu tafsir bi al-ra‟yi al-
mahmud (yang terpuji) dan tafsir bi al-ra‟yi al-mazmum (yang tercela).
Tidak hanya itu, para ulama ahli Ulum Al-Qur'an telah membuat klasifikasi tafsir
berdasarkan metode penafsirannya menjadi empat macam metode, yaitu metode ijmaly,
metode tahlily, metode muqaran, dan metode maudhu‟i. Selain itu, buku-buku tafsir juga
mempunyai berbagai corak pemikiran dan madzhab. Di antara corak tafsir tersebut yaitu
corak sufi, corak falsafi, corak fiqih atau hukum, corak sastra, corak ilmiy, dan corak al-
Adab al-Ijtima‟i.

3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini, dapat menambah pengetahuan baru bagi
pembaca tentang tafsir, ta‟wil, dan tarjamah, khususnya mengenai apa itu tafsir, ta‟wil,
dan tarjamah; perbedaan tafsir, ta‟wil, dan tarjamah; klasifikasi Tafsir Bil Ma‟tsur dan Bil
Ar-Ra‟yi; serta macam-macam metode dan corak tafsir. Sebagai pembaca yang baik,
hendaknya juga mengetahui dan memahami pentingnya menguasai tafsir, ta‟wil, dan
tarjamah sebagai suatu ilmu yang digunakan dalam mempelajari pengkajian Al-Qur‟an
secara mendalam.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mawardi. (2011). Ulum Al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anwar, Rosihon. (2005). Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.

Anwar, Rosihon. (2007). Ulum Al-Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia.

Azra, Azyumardi. (2013). Sejarah dan Ulum Al-Qur‟an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Hamdani. (2015). Pengantar Studi Al-Qur‟an. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.

Hitami, Mundzir. (2012). Pengantar Studi Al-Qur‟an Teori dan Pendekatan. Yogyakarta: LkiS.

Ichwan, Muhammad Nor. (2004). Tafsir „Ilmiy Memahami Al-Qur‟an Melalui Pendekatan Sains
Modern. Yogyakarta: Menara Kudus.

Khaeruman, Badri. (2004). Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia.

Khalil Al-Qattan, Manna‟. (2009). Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.

Khuli, Amin Al dan Zayd, Abu Nashr. Metode Tafsir Sastra (Terj. Khairan Nahdiyyin).
Yogyakarta: Adab Press.

LAL, Anshori. (2010). Tafsir bi al-Ra‟yi, Menafsirkan Al-Qur‟an dengan Ijtihad. Jakarta: Gaung
Persada Press.

Munawar, Said Agil Husin Al. (2005). Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Ciputat: PT Ciputat Press.

Rohimin. (2007). Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Sabuni, Muhammad Ali Al. (1981). Al-Tibyan fi Ulum Al-Qur‟an. Dimasyq: Maktabah Al-
Ghazali.

24
Sadr, Muhammad Baqir as. (1992). Madrasah Al-Qur‟aniyyah (terj. Hidayaturakhman). Jakarta:
Risalah Masa.

Samsurrohman. (2014). Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: AMZAH.

Shihab, Muhammad Quraish. (1999). Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan.

Suma, Muhammad Amin. (2013). Ulum Al-Qur‟an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Qaththan, Syaikh Manna al. (2005). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an. Jakarta: Maktabah Wahbah
Kairo

Quthan, Mana‟ul. (1995). Mahabits fi „Ulumil Qur‟an. Jakarta: PT. Rineka.

25

Anda mungkin juga menyukai