Anda di halaman 1dari 17

Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah

Diajukan untuk memenuhi nilai mata kuliah :

“Ulumul Quran”
Dosen Pengampu :

Bpk. Ahmad Sahnan

Disusun Oleh :

Annisa Faurizki

Chaoro Luthfia

Muhammad Izzul Islam 214110404073

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS


TARBIYYAH DAN ILMU KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI PROF. KH. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hirabbil alamin. Dengan rahmat dan hidayah dari yang Maha Kuasa penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tafsir, Ta’wil, dan Tarjamah” ini. Makalah ini
penulis buat dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan dalam
nilai mata kuliah Ulumul Quran dengan harapan tidak untuk orang lain, tidak untuk pembaca
sekalian akan tetapi untuk diri penulis sendiri untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman, dan
pengalaman kedepannya. Penulis sadar bahwa apa yang tertulis disini jauh dari kata sempurna.
Maka, bila terdapat kekurangan dan kesalahan. Penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Lalu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun agar
penulis dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi di masa mendatang.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
I.1 Pendahuluan.................................................................................................................. 1
I.2 Rumusan masalah ......................................................................................................... 1
I.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 1
BAB II ISI ................................................................................................................................... 2
II.1 Tafsir ............................................................................................................................. 2
II.2 Ta’wil............................................................................................................................ 6
II.3 Tarjamah ..................................................................................................................... 11
BAB III Kesimpulan ................................................................................................................. 12
III.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 12
III.2 Saran ........................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka ............................................................................................................................... 14

iii
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sumber dari hukum islam. Sangat diperlukan kehati-hatian dalam
memahami apa yang disampaikan Allah SWT melalui Nabi SAW. Adapun hukum yang jelaskan
didalam Al-Quran mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari beribadah, tingkah laku,
bermasyarakat, dan seterusnya. Selain itu Al-Quran juga berperan sebgai petunjuk (al-hudaa) bagi
umat menusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dr. Dzakir Naik pernah berkata bahwa
“yang bisa menyelesaikan permasalahan manusia tentunya yang menciptakan manusia itu sendiri”.
Maka dengan mempelajari memahami dan mengakrabkan diri dengan Al-Quran sangat diperlukan
oleh umat manusia.

Untuk memahami isi al-Qur’an diperlukan penguasaan ilmu-ilmu yang bersakutan denganya
yaitu ilmu ilmu Al-Quran atau yang biasa disebut Ulumul Quran. Dalam penulisan makalah ini
menyangkut poin dimana materi pembahasannya berpusat pada metode-metode dalam memahami
Al-Quran. Terdapat 3 cara yang digunakan yaitu tafsir, ta’wil, dan terjemah.

I.2 Rumusan masalah


1. Apa konteks dari ilmu tafsir, ta’wil, dan tarjamah?
2. Apa perbedaan dari ilmu tafsir, ta’wil, dan tarjamah?
3. Apa fungsi dari ilmu tafsir, ta’wil, dan tarjamah di masa modern ini?

I.3 Tujuan Penulisan


1. Mengulas Ilmu tafsir, ta’wil, dan tarjamah.
2. Memberikan pemahaman terhadap teman-teman mahasiswa terkait pembahasan
ilmu tafsir, ta’wil, dan tarjamah.

1
BAB II ISI

II.1 Tafsir
1. Pengertian Tafsir

Terdapat dua perbedaan dalam pemahaman tentang kata “tafsir”. pertama Tafsir adalah
mashdar dari fi’il, atau bentuk aktif (mazid satu huruf bab al-taf’il) fassara, yufassiru, tafsiran.
Secara bahasa, kata itu berarti interpretasi; penjelasan; komentar; dan keterangan (Muhammad,
2018; Wahyuni, 2016). Kedua, (Maulana, 2020) mengutip dari Imam as-Suyuthi dalam Al-Itqan
mengatakan kata tafsir terbentuk dari pola "taf’il" dari kata al-fasr yang berarti penjelasan (al-
bayan) dan pengungkapan (al-kasyf) atau at-tafsirah yang berarti urine sebagai indikator diagnosa
penyakit.

Tafsir yang secara bahasa berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran, berarti
menampakkan dan menjelaskan, sebagaimana dalam kalimat fasara as-Syaia’ bayyanahu wa
awdhahahu (Ali Akbar Quraisyi) dan firman Allah SWT di bawah ini:

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya” (QS. Al-
Furqan 25: 33).

Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat al-qur’an, keadaan kisah dan sebab
turunya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada makna zahir. Adapun pengertian
tafsir menurut beberapa ahli:

1. Husain Alawi Mihr mendefinisikan tafsir ialah ilmu yang menjelaskan pemahaman kata-
kata dan firman Tuhan.
2. Muhammad Husain Thabathaba’i dalam muqadimah tafsirnya mengatakan bahwa tafsir
ialah ilmu yang menjelaskan makna-makna ayat Al-Quran dan menyingkap maksud-
maksud tujuannya.
3. Ath-Thabarsi mendefinisikan tafsir ialah menyingkap makna lafad serta menampakannya.

2
4. Menurut Az-Zarkasyi tafsir ialah suatu pengetahuan yang dengan pengetahuan itu kita
dapat memahami kitabbullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, menjelaskan
maksud-maksudnya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya.
5. Ar-Raghib Al-Isfhani mendefinisikan tafsir ialah menampakan makna sehingga dapat
dipahami.
6. Menurut Syeikh Tharir, tafsir ialah mensyarahkan lafad yang sukar dipahami oleh
pendengar, dengan uraian yang menjelaskan maksud dengan menyebut muradhif-nya.
7. Abdurrasul al-Ghifar mengatakan tafsir adalah menjelaskan makna-makna ayat Al-Qur’an
dan menyingkap maksud-maksud serta petunjuk-petunjuknya.
8. Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keadaannya, kisahnya, dan sebab
yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya dengan jelas
sekali.
9. Menurut Syeikh Thorir, tafsir ialah mensyarahkan lafad yang sukar difahamkan oleh
pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud dengan menyebut muradhifnya atau
yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melaui suatu jalan.

Secara umum, tafsir menurut (Wahyuni, 2016) dikutip dari Adib Shalih adalah bagian dari
bayan. 4 Bayan dibaginya menjadi lima:

1. Bayan al-Taqrir. Bayan bentuk ini berarti suatu kata/lafal yang berfungsi sebagai
penguat (ta'kid). Sebagai contoh:

Kata "ajma'un" menjadi bayan taqrir terhadap kata sebelumnya

2. Bayan al-Tafsir. Bayan ini bertugas menghilangkan ketidak jelasan dari suatu nash,
seperti lafal musytarak (Menyerupai).
3. Bayan al-Taghyir, yakni suatu penjelasan yang merobah makna lain.
4. Bayan al-Tabdil, yaitu naskh atau penghapusan nash terdahulu oleh nash
terkemudian.
5. Bayan al-Darurat yakni dalalat ghair al-lafdhiyyat, termasuk taqriq Nabi.

Bila dicermati penjelasan tentang posisi tafsir tersebut, tampaknya tafsir itu mencakup segala
upaya penjelasan dari nash khafi (samar), musykil (tidak dapat difahami), dan mujmal (umum). Di

3
sisi lain, tafsir diartikan sebagai penjelasan berdasar dalil qath’iy (tetap), seperti yang
dikemukakan oleh Ali Hasballah: Definisi ini tampaknya membatasi otoritas pemberi tafsir itu
hanya kepada Syari’ sebagai pembuat; syariat; dan ini terkait dengan lafal mujmal. Dari beberapa
penjelsan tersebut dapat diungkapkan bahwa tafsir dalam kajian metodologi hukum Islam
tampaknya hanya diartikan sebagai langkah mendeskripsikan sesuatu; sedangkan tafsir secara
umum berarti penjelasan terhadap nash yang tidak jelas, baik disebabkan oleh khafi, musykil,
maupun mujmal, yang berarti ada tafsir zhanni (mengira-ngira) dan ada pula tafsir qath’iy atau
tafsir tasyri’iy (penafsiran terhadap hukum syariat). Tafsir zhanniy berarti tafsir hasil ijtihad;
sedangkan tafsir qath’iy berarti tafsir yang berasal dari Syari’ sendiri, seperti tafsiran Rasul
terhadap nash-nash mujmal yang ada dalam Alquran (Wahyuni, 2016).

Dari beragam pendapat yang ada dapat kita tarik sebuah kesimpulan, tafsir ialah
menampakkan, menjelaskan, menyingkap kandungan makna yang terdapat di dalam teks,
sehingga pembaca dan pendengar mampu mendapatkan pemahaman dan pelajaran terutama dari
Al-Qur’an.

2. Metode dalam Ilmu Tafsir

Adapun menurut (Maulana, 2020) Metode dalam ilmu tafsir ada: 4 yaitu:

a. Metode Tahlili

Metode tahlili yaitu metode penaafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
menjelaskan ayat Al-Qur’an dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang terkandung di
dalamnya sehingga kegiatan mufasir hanya menjelaskan per ayat surat persurat, makna lafal
tertentu, susunan kalimat, persesuaian kalimat satu dengan kalimat lain, asbabun nuzul yang
berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan.

Metode tahlili disebut juga metode tafzi’i atau (parsial) yang banyak dilakukan oleh para
mufasir salaf dan metode ini oleh sebagian penganut dinyatakan sebagai metode yang gagal
mengingat cara penafsirannya yang parsial juga tidak dapat menemukan substansi Al-Qur’an
secara integral, dan ada kecenderungan masuknya pendapat mufasir sendiri mengingatkan
pemaknaan ayat tidak dikaitkan dengan ayat lain yang membahas topik yang sama.

4
Hampir semua penafsiran Al-Qur’an menggunakan tafsir tahlili, mengingat tafsir ini tidak
banyak melibatkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan penafsiran bahkan praktis dilakukan,
diantara modal tafsir tahlili adalah: Tafsir Al-Maraghi, oleh Musthafa al-Maraghi (wafat 1952 H);
dan Tafsir Al-Qur’an, oleh Abu Fida Ibnu Katsir (wafat 774 H).

b. Metode Tafsir Ijmali

Metode tafsir ijmali yaitu metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
menjelaskan maksud Al-Qur’an secara global tidak terperinci seperti tafsir tahlili, hanya saja
penjelasannya disebutkan secara global (ijmal). Metode ini diterapkan agar orang awam mudah
menerima maksud kandungan Al-Qur’an tanpa berbelit-belit, sehingga dengan sedikit
penjelasannya seseorang dapat mengerti penjelasan hasil tafsir ini. Kitab tafsir yang tergolong
menggunakan metode ijmal adalah: Tafsir Qur’an Al-Karim, oleh Muhammad Farid Wajdi; dan
Tafsir Al-Wasith, yang dikeluarkan oleh Majma’ul Buhuts Islamiah.

c. Metode Muqarin

Metode muqarin yaitu metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
perbandingan (komparatif), dengan menemukan dan mengkaji perbedaan-perbedaan antara unsur-
unsur yang diperbandingkan, baik dengan menemukan unsur yang benar di antara yang kurang
benar, atau untuk tujuan memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang
dibahas dengan jalan penggabungan (sintesis), unsur-unsur yang berbeda itu. Tafsir muqarin
dilakukan dengan membanding-bandingkan ayat satu dengan yang lain, yaitu dengan ayat-ayat
yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang berbeda atau lebih, atau
yang memiliki redaksi yang berbeda untuk kasus yang sama atau yang diduga sama, atau
membandingkan ayat dengan hadist yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat
ulama tafsir menyangkut penafsiran Al- Qur’an.

d. Metode Maudlu’i

Keempat,metode maudhu’i yaitu metode penafsiran Al-qur’an-yang dilakukan dengan cara


memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasanya dalam Al-qur’an yang berhubungan
dengan topic ini, lalu dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat
menjelaskan, kemudian ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat

5
yang saling terkait itu. Contoh metode madhu’i (tematik) adalah seperti penyelesaian kusus riba
yang dilakukan oleh Ali al-shabuni dalam “tafsir ayat ahkam” yang secara hierarki menentukan
urutan ayat. contohnya

1. petama,qs.ar-Rum ayat 39 yng menjelaskan kebencian Allah kepaada riba walaupun


belum di haramkan.
2. Kedua, QS. An-Nisa ayat 130 yang menjelaskan keharaman riba tersirat (ta’wil)
belum tersurat (tashrih).
3. Ketiga, QS Ali Imran ayat 30 yang menjelaskan keharaman riba dengan jelas, namun
yang diharamkan sebagian bukan keseluruhan.
4. Keempat, QS. Al-Baqarah ayat 287 yang menjelaskan keharaman riba secara mutlak.
3. Fungsi tafsir
a. Alat atau sarana untuk memahami al-quran
b. Pemberdayaan masyarakat agar daerahnya menjadi qoryah thayyi-bah dan
baladanaminnan
c. Berguna bagi kaum muslimin untuk melahirkan berbagai penafsiran yang benar dan baik
d. Menghindarkan diri mereka dari kemungkinan terjebak dalam penafsiran-penafsiran yang
salah, buruk, dan bahkan susah-menyesatkan.Fungsi Ta’wil e.Untuk menerangkan makna
ayat-ayat al-Qur’an
e. Menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafaz ayat, dari yang kuat
kepada arti yang kurang kuat, karena adanya alas an yang mendorongnya.

II.2 Ta’wil
Kata ta’wīl berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali (ar-rujǔ’) atau dari kata alma’ǎl yang
artinya tempat kembali (al-mashīr) dan al-aqībah yang berarti kesudahan. Ada yang menduga
bahwa kata ini berasal dari kata al-iyǎlah yang berarti mengatur (al-siyasah). Secara istilah, ta’wil
berarti memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada makna yang tidak zahir yang juga
dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan al-kitab dan sunnah.

Ada yang berpendapat ta'wil berasal dari kata iydlah yang berarti mengatur, seorang mu‘awwil
(penta'wil) seakan-akan sedang mengatur perkataan dan meletakkan makna sesuai dengan
tempatnya.””Menta'wil kalam berarti menjelaskan dan mengembalikan kepada maksud yang
diharapkan." Ibnu Manzhir mendefinisikan ta'wil secara etimologi berarti ruju' (kembali) seperti

6
bunyi hadis man shouma ad-dahr fala shoma wald dla (barang siapa yang puasa selamanya maka
sebenarnya dia tidak puasa dan tidak kembali kepada kebaikan).

Abu Ubaidah Ma'mar ibn al-Mutsanna dan at-Thabari mengartikan ta'wil adalah tafsir, marja'
dan al-mashir. Secara terminologi, ta'wil menurut ulama salaf dapat berarti:

1. Menjelaskan kalam dan menerangkan maknanya. Dalam hal ini antara tafsir dan
ta'wil tidak ada perbedaan. Inilah yang dimaksud oleh Mujahid dan Ibn Jarir at-
Thabari ketika menggunakan lafazh ta'wil.
2. Makna yang dimaksudkan dalam sebuah perkataan. Jika perkataannya bernada talab
(perintah) maka ta'wilnya adalah pekerjaan yang diminta. Nampak para ulama salaf
memahami ta'wil sinonim dengan tafsir dan tak jauh dari pengertian ta'wil secara
bahasa. Hadis yang diriwayatkan Aisyah r.a. membuktikan hal ini. Ia berkata: Nabi
SAW dalam ruku dan sujudnya sering memperbanyak membaca "Subhanaka
Allahumma wabihamdika" menta'wil al-Qur'an yaitu firman Allah : "Fasabbih
bihamdi rabbika waastaghfirhu". Jadi ta'wil adalah melaksanakan apa yang
diperintahkan dan mencegah apa yang dilarang dalam sebuah teks.

Sufyan ibn 'Uyainah mengatakan "As-sunnah ta'wil al-amr dan an-nahy.” Imam Ghazali
mengatakan: Ta'wil adalah suatu ungkapan mengenai ihtimdl (kemungkinan) makna yang
didukung oleh dalil yang menunjukan kepada makna zhahir. Khalid Abdurrahman al-’Akk,
membagi pengertian ta'wil ke dalam dua kelompok. Pertama, ulama salaf mengartikan ta’wil
seperti yang dikemukakan di atas. Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh para pakar ilmu
kalam dan filosof berpendapat bahwa ta'wil adalah memalingkan makna dari makna aslinya ke
makna yang lebih kuat. Menurutnya, pada zaman sahabat dan tabi'in tidak terjadi perbedaan dalam
memahami lafazh ta'wil kecuali ketika filsafat memasuki ranah keilmuan Islam. Ath-Thabari,
imam para mufassir menamai kitabnya dengan Jami’ al-Bayan ‘an Ta'wil Ay Al-Qur'an dalam
setiap penjelasannya terhadap ayat al-Qur'an sering memulainya dengan "“al-qaul fi ta'wil qaulihi
ta’ala kadzd...". Lebih lanjut dalam muqaddimah tafsirnya, beliau menjelaskan bahwa ta'wil ayat
al-Qur'an terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu : Pertama, ta'wil yang tidak bisa diketahui oleh siapa
pun kecuali Allah SWT. Kedua, ta'wil yang hanya diketahui oleh Nabi Muhammad SAW dengan
izin ilmu Allah seperti ta'wil ayat-ayat hukum dan faraid dan yang lainnya yang tidak mungkin
diketahui kecuali dengan penjelasan dari Rasulullah. Untuk bagian ini, seseorang tidak dibolehkan

7
melakukan ta'wil kecuali dengan dalil dari Nabi. Ketiga, ta'wil yang diketahui oleh mereka yang
memiliki otoritas dan ilmu pengetahuan tentang ayat al-Qur' an. Sedangkan menurut ulama
mutaakhirin baik dari kalangan fuqaha, mutakallimin, ahli hadis dan ahli sufi berpendapat bahwa
ta'wil adalah memalingkan lafazh dari makna yang zhahir kepada makna yang lebih kuat
kemungkinannya disertai dengan dalil-dalil.

Dalam hal ini, tugas ta'wil terbagi menjadi dua yaitu menjelaskan kemungkinan makna lafazh
dan menjelaskan dalil yang bisa memalingkan dari maknanya yang asli. Ad- Dzahabi setelah
memaparkan pengertian ta'wil menurut para ulama, lebih memilih kepada pengertian bahwa ta'wil
berkaitan dengan aspek dirayah yang berpegang kepada perangkat ijtihad dengan mengetahui
karakteristik bahasa Arab.”

Dari berbagai bahasan tentang definisi ta'wil, kita dapat menyimpulkan dua makna ta'wil yaitu:
pertama, takwil adalah mengalihkan makna dari yang meragukan atau membingungkan pada
makna yang meyakinkan dan mententramkan. Dalam pengertian ini, ta'wil hanya berhubungan
dengan ayat-ayat mutasyabihat. Kedua, ta'wil adalah selain makna lahiriah juga termasuk makna
bathiniyah. Ta'wil dalam arti ini berhubungan dengan semua ayat al-Qur’an.

1. Perbedaan Ulama Tafsir dan Ta’wil

Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara tafsir dan ta'wil. Perbedaan inilah yang
meresahkan Abi al-Qasim Muhammad bin Naisabiri seperti yang dikutip az-Zarkasyi dalam a/-
Burhdn : "Pada masa sekarang, muncul mufassir yang andaikata ditanya perbedaan antara tafsir
dan ta’wil, mereka tidak dapat menjelaskannya dengan benar. Mereka tidak pandai membaca Al-
Qur'an, mereka pun tidak mengetahui arti surat atau ayat. Yang menjadi sasaran mereka adalah
membuat fitnah dan membual di kalangan awam untuk mendapatkan harta duniawi. Mereka sama
sekali tidak mau bekerja keras. Mereka tidak mau hatinya bersusah payah berpikir karena mereka
dikerumuni orang-orang bodoh. Mereka tidak dapat bersikap bijaksana menanggapi pertanyaan
Masyarakat."

Ar-Raghib al-Ishfahani menganggap tafsir lebih umum daripada ta'wil dan biasanya tafsir lebih
banyak digunakan dalam lafazh dan mufradatnya dan ta'wil lebih dititik beratkan kepada makna
dan kalimat serta sering dikenakan kepada kitab-kitab suci, berbeda halnya dengan tafsir yang
digunakan pada selain kitab suci. Perbedaan ini tidak terlepas dari ruang lingkup tafsir dan ta'wil

8
yang bekerja pada dua sisi makna al-Qur'an yaitu makna zhahir dan makna bathin. Dikotomi zhahir
dan bathin sebagai dua sisi makna al-Qur'an dipertemukan dengan pembedaan tafsir dan ta'wil
sebagai dua metode pendekatan. Ta'wil difahami sebagai kaedah-kaedah penafsiran berdasarkan
akal terhadap ayat- ayat allegoris yang bertujuan menyingkap sebanyak mungkin makna yang
terkandung di dalam suatu teks serta memilih yang paling tepat. Sedangkan tafsir difahami sebagai
penjelasan yang semata-mata bersumberkan dari khabar benar yang diriwayatkan secara
mutawatir oleh para perawi yang adil dan dhabith hingga kepada para sahabat dan Nabi SAW.
Tafsir diartikan juga dengan kegiatan mengurai untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks,
sedangkan ta'wil berarti menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal yang terbungkus dalam teks.
Di sini, tafsir dan ta’wil saling terkait, meskipun karakteristik ta'wil lebih liberal dan imajinatif.

Melihat beberapa pengertian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa ta'wil adalah suatu bentuk
intensif dari tafsir. Ta'wil bukanlah interpretasi alegoris, sebab interpretasi alegoris menolak semua
pertimbangan-pertimbangan linguistik atau semantik atau mengesampingkan keduanya sehingga
tidak bisa sama dengan interpretasi ta'wil. Ta'wil adalah penafsiran bathin dan bersifat lebih
mendalam (tafsir bathin) seperti yang dikemukakan oleh Aba Thalib at-Tsa'labi sebagaimana yang
dikutip as-Suyithi, namun syarat penafsiran bathin adalah kesesuaiannya dengan penafsiran lahir
yang lebih nyata. Para ulama sejak dahulu menganggap ta'wil sebagai tafsir dalam bentuk yang
khusus, artinya tafsir lebih umum dari pada ta'wil seperti pendapat al-Isfahani di atas.

2. Macam-Macam Ta’wil

1. Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak
mempunyai dalil yang terendah sekalipun.

2. Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta
diduga sebagai makna yang benar. Syarat-syarat dan kaedah dalam Dalam masalah aturan
dan syarat-syarat sahnya ta’wil, para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah ta’wil selain
yang disebutkan di atas, di antaranya sebagai berikut :

1) Lafazh yang ingin dita’wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita’wil. Oleh karena itu
lafazh mufassar dan lafazh muhkam tidak bisa di ta’wil karena keduanya telah
memiliki makna yang jelas. Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat
dikhususkan (ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid),

9
atau lafazh bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna metaforis (majazi),
dan sebagainya. Maka, jika ta’wil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum),
tidak diterima
2) Ta’wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus
berdasarkan pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari
pada makna zhahir.
3) Ta’wil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar’i,
atau makna urf (kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS.
AlBaqarah: 228) dengan arti haid atau suci adalah ta’wil sahih, karena sesuai
dengan makna bahasa Arab untuk quru`. Ta’wil yang tidak sesuai makna bahasa,
syar’i, atau urf, tidak diterima,dan jika memang tidak ditemukan salah satu dari
tanda yang tiga tersebut, maka diharuskan untuk mempergunakan lafazh dari segi
kosakata dan rangkaianya yang sesuai dengan maknananya yang zhahir, dan tidak
diperbolehkan mengira-ngirakan adanya lafazh yang dibuang (mahdzuf ), atau
majaz, atau saling mendahulukan dan mengakhirkan (taqdimta’khir), atau yang
mengkhususkan yang umum, atau bentuk-bentuk lain yang keluar dari makna
hakikat kebahasaan, hanya karena alasan prasangka ta’wil. Sebab hal tersebut akan
melampaui batas makna yang ditunjukkan lafazh zhahir.
4) Adanya pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka
yang diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta’wil. Seperti antara QS.An-Nisa’:
2 dan ayat 6. Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan
harta anak yatim (mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum
usia baligh. Akan tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang kedua yang
bermakna perintah untuk memberikan harta anak yatim ketika sudah usia baligh.
Maka, kata yatim pada ayat pertama harus dita’wil dengan mengalihkan maknanya
dari makna hakiki kepada makna majazi.
5) Ta’wil tidak boleh menggugurkan nash syar’i lainnya, karena ta’wil merupakan
salah satu metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni
tidak bisa mengalahkan nash yang bersifat qath’iy. Seperti QS. AlMaidah:
(kemudian dibaca kasrah oleh) kalangan Syi’ah, mereka memilih kasrah bukan
fathah dengan alasan athaf. Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat,

10
bolehnya (cukupnya) mengusap kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan
berdampak negative kepada dua hal; pertama, menggugurkan hadith-hadith shahih
yang memerintahkan untuk membasuh kaki. Kedua, lazimnya mengusap kaki
hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid) pada mata kaki menjadi
tidak berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah mustahil terjadi.

II.3 Tarjamah
Kata terjemah berasal dari bahasa arab “tarjama” yang berarti menafsirkan dan menerangkan
dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisanin akhar), kemudian kemasukan “ta’
marbutah” menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan atau penyalinan dari suatu bahasa ke
bahasa lain. Pengertian Terjemah Menurut Istilah:

1. Terjamah Harfiyah : memindahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan
bahasa yang lain yang susunan kata yag diterjemahkan sesui dengan kata-kata yang
menerjemahkan, dengan syarat tertib bahasanya.
2. Terjemah Tafsiriah atau Maknawiyah : menjelaskan maksud kaliamat (pembicaraan)
dengan bahasa yang lain tanpa keterikatan dengan tertib kalimat aslinya atau tanpa
memerhatikan susunannya.

Macam-Macam Terjemah

1. Terjemah Interbahasa Terjemah ini juga disebut dengan mengungkapkan kalimat


dengan redaksi yang berbeda. Yaitu menjelaskan kata-kata dalam suatu bahasa dengan
kata-kata berbeda dalam bahasa yang sama.
2. Terjemah Antarbahasa Terjemah semacam ini lazim disebut dengan terjemah hakiki.
Yaitu menjelaskan kata-kata atau simbol-simbol dengan simbol lain dari bahasa yang
berbeda.
3. Terjemah antar simbol atau transferensi Yaitu menerjamahkan simbol bahasa yang
berupa kata-kata dengan simbol lain. Seperti menerjemah kata ‘kepala’ atau kata
‘pedang’ dengan gambar kepala atau pedang.

Sementara Izzuddin Muhammad Najib menyuguhkan beberapa model terjemahan, yakni :

1. Terjemah Setia atau Harfiyah Yaitu penerjemahan dengan menyalin teks asli (bahasa
sumber) secara linier kata demi kata tanpa perubahan struktur kalimat dan tanpa
memperhatikan makna-makna istilah yang ada dalam bahasa sumber. Contoh :Berkata
Kami: “Turunlah kalian semua dari jannah, yaitu dari sorga secara semua. Mengulang-
ulang Allah, pada kata ihbitu supaya diathafkan kepada kata”.
2. Terjemah dengan Perubahan, Terjemah model ini sering pula disebut dengan
penyaduran. Dalam penerjamahan ini, teks bahasa asal disalin secara kalimat demi

11
kalimat. Contoh :"Al-Quran al-Adzim adalah simbol agung bagi kaum muslim dalam
dunia seni tinggi, di dalam al-Quran terkandung himah zaman dan filsafat wujud”.
3. Terjemah Bebas atau Terjemah Kreatif Terjemah ini juga disebut dengan penerjemahan
makna tanpa meninggalkan teks harfiyah. Dalam terjemah model ini, penerjemah lebih
memntingkan isi atau makna teks bahasa sumber, kemudian berusaha menyuguhkan
dalam gaya dan suasana bahasa target; baik istilah, estetika dan bahkan ada upaya
pembuangan/penyempitan, penambahan satu-dua kata atau lebih. Contoh :“Aku
berjalan mondar mandir di beranda, surat itu kugenggam dalam tanganku”.

BAB III Kesimpulan

III.1 Kesimpulan
Adapun persamaan dan perbedaan tafsir,ta’wil, dan tarjamah adalah:

a. Ketiganya menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’an


b. Ketiganya sebagai sarana untuk memahami al-Qur’an

Perbedaan :

a. Tafsir : menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar, lengkap
dengan penjelasan hokum-hukum dan hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan
seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat tersebut.
b. Ta’wil : mengalihkan lafadz-lafadz ayat al-Qur’an dari arti yang lahir dan rajih kepada
arti lain yangsamar dan marjuh.
c. Terjemah : hanya mengubah kata-kata dari bahasa arab kedalam bahasa lain tanpa
memberikan penjelasan arti kiandungan secara panjang lebar dan tidak menyimpulkan
dari isi kandungannya. Hubungan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
d. Kitab Ta'rifatnya menyatakan tentang hubungan tafsir dan ta'wil sebagi berikut : Ta'wil
secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara' ia bermakna memalingkan Lafadz
dari maknanya yang dhohir kepada makna yang mungkin terkandung didalamnya, apabila
makna yang mungkin itu sesuai dengan Kitab Allah dan SunnahRasulullah.Contohnya
seperti firman Allah swt "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati " (al-Anbiya': 95),
apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah
tafsir. Tetapi apabila yang dimaksud disitu adalah mengeluarkan orang yang berilmu dari
orang yang bodoh, maka itulah ta'wil.Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa ta'wil lebih
dalam dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna dhohir lafadz harfiyah ayat-
ayat Al-Qur'an

III.2 Saran
Proses pentafsiran, penta’wilan, dan penerjemahan mempermudah pemahaman terhadap Al-
Quran dan menghindari kesalah pahaman. Al-quran sebagai dasar hukum syariat perlu berhati-hati
memahaminya. Diperlukan penguasaan terhadap cabang-cabang ilmu pendukung dalam ulum Al-
Qur’an. Sebagai pemahaman yang menyeluruh dan sebaik mungkin dengan isi dari Al-Quran.
12
13
Daftar Pustaka
Maulana. (2020). Memahami Tafsir, Ta’wil Dan Tarjamah Al-Qur’an. Cross-Border, 3(1), 203–215.

Zuhdi, M. (1982). Pengantar Ulumul Qur’an.

Yuhanar, I. (2013). ulumul quran (Yunahar Ilyas). In Kuliah Ulumul Qur’an: Vols. I–III (pp. 1–299).

Muhammad, M. (2018). Dinamika Terjemah Al-Qur’an (Studi Perbandingan Terjemah Al-Qur’an


Kemenerian Agama RI dan Muhammad Thalib). Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, 17(1),
1. https://doi.org/10.14421/qh.2016.1701-01

Wahid, A., & Zaini, M. (2016). Pengantar ‘ulumul qur’an & ‘ulumul hadis. www.tokobukupena.com

Wahyuni, A. (2016). Teori Tafsir Dalam Perspektif Kebahasaan: Terminologi Tafsir, Ta’wil Dan Ta’lil.
Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun (UIKA) BOGOR, 4(2), 225–252.

14

Anda mungkin juga menyukai