Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN TAFSIR DARI

SEGI SUMBER PENAFSIRAN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas

mata kuliah Studi kitab tafsir-1

Oleh:

Muhammad Uzairon Salim : 210601067


Rizka Hidayatul Hasanah : 210601081
Intan Rahmawati Putri : 210601069

PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Tafsir dari Segi Sumber
Penafsiran” ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula kita haturkan shalawat serta
salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga syafaatnya
mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas


pada mata kuliah “Studi Kitab Tafsir-1”. Dan menambah wawasan
tentang “Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Tafsir dari Segi Sumber
Penafsiran” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak DR. H. Bustami Saladin,


M.A selaku dosen mata kuliah “Studi Kitab Tafsir-1” yang telah memberikan
tugas ini dan kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi


penulis dan pembaca. Dan mampu memberi sumbangan pemikiran, baik berupa
konsep teoritas maupun praktis.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki banyak


kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami bersedia
menerima kritik dan saran dari pembaca.

Mataram, 27 Februari 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB 1................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
BAB 2................................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................3
A. Tafsir Al-Qur’an.....................................................................................................3
B. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Tafsir Al-Qur’an...................................4
C. Sumber Penafsiran..................................................................................................8
BAB 3..............................................................................................................................14
PENUTUP.......................................................................................................................14
Kesimpulan..................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. untuk menjadi pedoman umat manusia. Namun tidak
semua umat manusia memahami makna yang terkandung didalamnya,
yang jadi persoalan todak semua isi al-qur’an mudah dicerna begitu saja.
Sebagian ayat memang cukup tampak jelas ketika menjelaskan sesuatu, tak
sedikit pula ayat al-qur’an yang sulit dipahami. Karena itu, diperlukan
sebuah penafsiran untuk mengungkapkan al-qur’an secara jelas.1

Terdapat dua hal yang sangat penting dalam memandang al-


Qur’an. Pertama, al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia dalam
menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi. Kedua, bahwa al-
Qur’an itu merupakan bahasa Allah, karena al-Qur’an itu sendiri berasal
dari Allah, meskipun itu dinyatakan dalam bahasa manusia (bahasa Arab).
Supaya umat manusia bisa menjadikan alqur’an sebagai pedoman, maka
manusia harus lebih berusaha untuk bisa memahami dan mengkaji pesan-
pesan Al-qur’an dan merupakan sebuah keharusan karena al-quran sumber
ajaran islam yang utama.2

Pemahaman al-qur’an hanya terbatas pada ruang dan waktu ketika


al-qur’an itu turun atau paling tidak sampai waktu ulama-ulama terdahulu.
Oleh karena itu, diperlukan upaya mengembangkan tafsirdengan
menggunakan metodologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi

1
Hamdan Hidayat, “Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an”, Al-Munir. Vol: 2, No:
1 , Juni 2020, hlm. 31
2
Ahmad Soleh Sakni, “MODEL PENDEKATAN TAFSIR DALAM KAJIAN ISLAM”,
JIA, No:2, Desember 2013, hlm.61-62

1
sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban
manusia.3

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu tafsir al-qur’an?
2. Bagaimana Sejarah perkembangan dan pertumbuhan tafsir ?
3. Apa saja sumber penafsiran yang digunakan dalam menafsirkan al-qur’an?

3
Syarif Idris , “SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR”, Tajdid: Jurnal
Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan Vol. 3 No. 2 Oktober 2019, hlm.175

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Tafsir Al-Qur’an
Secara etimologi, kata tafsir mengikuti bentuk taf’il, berasal dari
kata al-fasr yang berarti “menjelaskan, menyingkap, menerangkan atau
menampakkan makna yang abstrak”. Kata al-tafsir berarti menyingkapkan
maksud suatu lafadz yang musykil (agak sulit dipahami).4 Dalam al-qur’an,
kata tafsir diungkapkan dalam surah al-furqan ayat 33:

‫ۗ َو اَل َي ْأُتْو َن َك ِبَم َث ٍل ِااَّل ِج ْئ ٰن َك ِباْلَح ِّق َو َاْح َس َن َت ْف ِس ْيًر ا‬

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang padamu (membawa) sesuatu yang


ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan paling
baik penjelasannya (ahsana tafsira).” (QS. Al-Furqan: 33)

Maksudnya adalah yang paling baik bentuk penjelasan dan


perinciannya. Ibn ‘abbas mengartikan dengan “lebih baik perinciannya”.
Adapun tafsir secara terminologi ialah ilmu yang membahas tentang cara
pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-
hukumnya, makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta
hal-hak kain yang melengkapinya.5 Dapat dipahami bahwa tafsir adalah
sebuah ilmu yang memuat pembahasan mengenai penjelasan terhadap makna
ayat-ayat al-qur’an.

Sedangkan tafsir menurut istilah para ulama memberikan rumusan


yang berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, namun
dalam segi arah dan tujuannya sama. adapun definisi tafsir menurut para
ulama sebagai berikut:6
4
Amroeni Drajat, 2017. “Ulumul Quran: Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Quran”, (Depok:
KENCANA), hlm.123
5
Ibid…, hlm.123-124
6
Ibid…, hlm.124

3
1. Menurut Syaikh Thohir Al-Jazairy, dalam At-Taujih : “Tafsir pada
hakikatnya ialah menerangkan (maksud) lafadz yang sukar dipahami
oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud
baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang
mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan (uraian) yang
mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah”. Dapat
diperhatikan dalam rumusan tersebut bahwa lafadz yang sulit
dipahami, yang terdapat dalam rangkaian ayat al-Qur’an.

2. Menurut Az-Zarkasy sebagai berikut : “Tafsir ialah ilmu


(pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., menerangkan makna-
maknanya, mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta
ilmu-ilmu (hikmah) yang ada di dalamnya.” Dapat diperhatikan
bahwa rumusan Az-Zarkasy tersebut ialah kitabullah (al-Qur‟an) yang
diturunkan kepada Nabi yang di dalamnya terdapat ayat yang
mengandung hukum-hukum dan ilmu Allah untuk manusia.

3. Menurut Abdul Azhim Az-Zarqani: “Tafsir ialah ilmu yang di


dalamnya dibahas tentang al-Qur‟anul Karim, dari segi dalalahnya
(yang berkenaan dengan pemahaman makna) menurut yang
dikehendaki Allah Swt., sesuai dengan kadar kemampuan manusia
biasa.” Dari beberapa pengertian di atas, dapat dilihat bahwa
rumusan-rumusan itu satu dengan yang lainnya berbeda dalam titik
perhatiannya yakni “menjelaskan”. Ada yang titik perhatiannya pada
lafadz, ada yang pada ayat dan ada pula yang langsung pada al-
Qur’an.

B. Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Tafsir Al-Qur’an


Tafsir adalah salah satu cara untuk memahami isi kandungan al-
Qur’an. Ilmu tafsir tumbuh sejak zaman Rasulullah beserta para sahabatnya

4
mentradisikan, menguraikan dan menafsirkan al-Qur’an setelah turunnya.
Sejak itu perkembangan dan pertumbuhan tafsir meningkat seiring dengan
keragaman yang mufassir miliki hingga pada bentuk yang kita saksikan pada
saat ini.7 Secara umum, ahli tafsir membagi periodesasi penafsiran Al-Qur’an
kedalam tiga fase, yaitu (1) periode mutaqoddimin (abad 1-4 Hijriyah), (2)
periode mutaakhirin (abad 4-12 Hijriyah), dan (3) periode baru (abad 12-
sekarang).8 Adapun sejarah perkembangannya sebagai berikut:
1. Tafsir pada Masa Nabi Muhammad SAW., dan Sahabat (Klasik atau
mutaqoddimin {abad 1-4 H})
Pada masa hidup Nabi Muhammad kebutuhan tafsir belumlah
begitu dirasakan, sebab apabila para sahabat tidak memahami suatu ayat,
mereka langsung menanyakan kepada Rasulullah. Salah satu tugas
Rasulullah adalah menyampaikan dan menjelaskan risalah kepada umat
manusia. Penafsiran yang dilakukan Nabi memiliki sifat dan karakteristik
tertentu, di antaranya penegasan makna ( bayan tasrif ), perincian makna (
bayan at-tafsil ). Adapun dari segi motifnya, penafsiran Nabi Muhammad
saw. terhadap ayat Al-Qur’an mempunyai tujuan pengarahan ( bayan
irsyad ), atau penerapan ( tatbiq ) dan pembetulan atau koreksi ( bayan
tasih ).9

Penafsiran Al-Qur’an yang dibangun Rasulullah saw. ialah


penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dan Al-Qur’an dengan dengan
hadis atau sunah beliau. Apabila Al-Qur’an sifatnya murni semata-mata
dari Allah, baik teks atau naskah lafalnya, maka hadis kecuali hadis Qudsi
merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut
Mustafa al-Maragi, penafsiran Nabi Muhammad dapat berupa sunah
qauliyah (perkataan) atau sunah fi‘liyah (perbuatan). Pada dasarnya, apa

7
Hamdan Hidayat, “Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an”,…,hlm.36-37
8
Abdul Manaf , “SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR”, Jurnal Tafakkur Vol.1 No.
02, April 2021, hlm.149
9
Ibid…, hlm.150

5
yang disabdakan Rasulullah yang berkaitan dengan Al-Qur’an merupakan
wahyu dari Allah.10

Sedangkan pada masa sahabat yang bisa dilihat bahwa mereka


adalah keturunan Arab asli sehingga mampu memahami Al-Qur’an dan
mengetahui makna-maknanya berdasarkan dari segi kebahasaannya.
Namun demikian, mereka juga kadang mengalami kesulitan. Apabila
mereka mengalami kesulitan akan bertanya kepada Nabi. Akan tetapi,
setelah Rasulullah saw. wafat para sahabat berijtihad untuk menemukan
makna-makna yang dimaksud didalam Al-Qur’an. Ijitihad yang dilakukan
sahabat merupakan sebuah usaha untuk menemukan jawaban dari
permasalahan yang baru. Munculnya masalah-masalah baru setelah
wafatnya Rasulullah, mendorong para sahabat untuk mencurahkan
perhatiannya dalam menjawab probelematika tersebut. Perhatian utama
para sahabat adalah Al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun jika tidak
mendapatkan dalam Al-Qur’an mereka akan merujuk pada hadis Nabi.
Menurut Muhammad Husain az-Zahabi, para sahabat dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an menempuh beberapa langkah. Langkah-
langkah yang ditempuh oleh para sahabat yaitu: Pertama, meneliti
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi
saw. Ketiga , menggunakan ra’yu atau berijtihad. Keempat, Ahlu Kitab.
Ada banyak mufassir dikalangan sahabat, di antaranya adalah Abu Bakar
ash-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Ustman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib,
Ibn ‘Abbas, Ibn Mas‘ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin S|abit, Abu Musa
alAsy‘ari, dan Abdullah bin Zubair. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan
para sahabat kemudian dikenal dengan istilah tafsir bi al-mas’tsur.

2. Tafsir pada Masa Tabi’in (Mutaakkhiriin {abad 4-12 H})


Apabila tidak menemukan tafsir dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
juga pendapat sahabat, mayoritas ulama dalam kasus ini merujuk kepada
pendapat tabi’in, seperti Mujahidbin Jubair. Beliau alim dalam bidang
10
Ibid…, hlm.150-151

6
tafsir, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad bin Ishaq. Ada
beberapa lokasi yang oleh tabi’in dijadikan sebagai pusat perkembangan
ilmu tafsir. Para tabi‟in mendapatkan qaul-qaul sahabat di tiga tempat
yaitu Makkah, Madinah dan di Iraq.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Orang-orang yang
paling paham tentang tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka
adalah murid-murid Ibnu Abbas r.a. seperti Mujahid, Ikrimah, Jubair,
Thawus, dan lain-lain. Begitu juga di Iraq ada murid-murid Ibnu Mas‟ud.
Sedangkan di Madinah di bidang tafsir seperti Zaid Ibnu Aslam.
Sebagaimana para sahabat, tabi’in pun ada yang menerima tafsir dengan
ijtihad ada pula yang menolaknya karena berbagai macam pandangan. Ada
beberapa kelompok yang tidak membolehkan mengkritik orang yang
membolehkan dengan beberapa hadis. Diantara tabi’in yang tidak
menerima metode tafsir bi al-ijtihad adalah Sa’id Ibn al-Musayyab dan
Ibnu Sirin. Diantara tabi’in yang membolehkan seperti Mujahid, Ikrimah
dan sahabat-sahabat yang lain.11
3. Tafsir pada Masa Periode Baru ( Modern atau Kontemporer {12-
Sekarang})
Ciri spesifik perkembangan tafsir di masa modern adalah lahirnya
berbagai metode tafsir, dan yang paling terakhir adalah metode maudhui’
(tematik), yakni metode tafsir yang menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an,
dimana ayat-ayat tersebut mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-
sama membicarakan satu topik masalah; dan menyusunnya berdasarkan
kronologi; serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut; kemudian penafsir
memberikan penjelasan (misalnya dari hadis) dan menguraikan keterangan
(analisis)-nya, lalu mengambil kesimpulan. Di samping metode maudhui,
tentu saja metode-metode lainnya seperti metode tahlīliy, ijmāliy, muqāran
tetap banyak digunakan para mufassir modern.12

11
Syarif Idris , “SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR”, hlm.180
12
Idah Suaidah, “SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR HISTORY OF TAFSIR
DEVELOPMENT”, Al Asma: Journal Of Islamic Education, Vol. 3, No. 2, November 2021,
hlm.186

7
C. Sumber Penafsiran
Dalam memahami al-Quran terdapat dua sumber utama, yaitu ayat-ayat al-
Quran itu sendiri (tafsir al-Quran bi al-Quran) dan sunnah Rasul (tafsir al-
Quran bi al-Hadits). Selain itu, keterangan para sahabat dan tabi’in mengenai
makna suatu aya juga dapat dijadikan sumber dalam menafsirkan al-Quran.
Penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir bi al-riwayah, yaitu tafsir yang
didasarkan atau riwayat.

Riwayat bukan satu-satunya sumber tafsir, ia juga bisa bersumber dari


pendapat mufassir itu sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan lainnya. Inilah
yang disebut dengan tafsir bi al-dirayah. Bahkan, juga kadang-kadang
didasarkan atas makna yang dapat ditangkap oleh mufassir di balik makna
zhahir suatu ayat berdasarkan apa yang terlintas dalam jiwanya sebagai
anugrah Allah karena ketekunannya beribadah. Penafsiran seperti ini disebut
dengan tafsir isyari.13

1. Menafsirkan Ayat dengan Ayat

Makna suatu lafal yang belum jelas, yang terdapat dalam suatu ayat,
kadang-kadang dijelaskan oleh ayat lain, baik ayat sesudahnya secara
beruntun maupun ayat lain yang terdapat dalam surah yang sama atau
surah yang berbeda. Adz-Dzahabi membagi tafsir al-Quran dengan al-
Quran ini kepada beberapa bentuk, yaitu:14

a. Menjelaskan suatu ungkapan yang ringkas dengan keterangan lebih


luas yang dijelaskan dalam ayat lain.
b. Mengungkap suatu ungkapan mujmal yang terdapat dalam suatu ayat
dengan mubayyan yang terdapat dalam ayat lain.
c. Menyamakan ayat yang masih muthlaq dengan ayat lain yang
muqayyad. Hal ini seperti ungkapan ‫َفاْمَس ُحوا ِبُو ُج ْو ِهُك ْم َو َاْي ِد ْيُك ْم ِم ْن ُه‬

13
Kadar M. Yusuf, 2014. “Studi Al-Qur’an”, (Jakarta: AMZAH), hlm.128
14
Ibid…, hlm.128-130

8
dalam surah al-Maidah ayat enam, yang menjelaskan tentang
persoalan tayammum. Kata ‫ َاْي ِد ْيُك ْم‬dalam ayat ini disamakan
maksudnya dengan ungkapan ‫ َاْيِد ْيُك ْم ِاَلى الَم َر اِفِق‬dalam ayat yang sama,
yang menjelaskan tentang wudhu.
d. Mengkompromikan (al-jam’u) ayat-ayat yang diduga berbeda antara
satu dengan yang lain.
e. Menggunakan suatu qiraat untuk menjelaskan makna ungkapan dalam
qiraat lain yang berbeda.
f. Men-takhsish-kan ayat yang umum, baik takhsish mutthasil atau
munfasil.
2. Menafsirkan Ayat dengan Hadits

Menafsirkan al-Quran dengan Hadits adalah menjelaskan makna suatu


ayat berdasarkan keterangan Nabi, baik secara langsung maupun tidak.
Jadi, Nabi Muhammad Saw adalah sebagai guru al-Quran dan sumber
tafsir. Ia lebih tahu maksud dan isi kandungan ayat al-Quran karena Allah
telah mengajarkan kepadanya. Karena Nabi menda[atkan pengajaran dari
Allah, maka beliaulah yang lebih tahu tentang al-Quran. Dan penafsiran al-
Quran yang didasarkan atas keterangan dirinya merupakan penafsiran yang
tidak diragukan lagi kebenarannya. Ada beberapa bentuk penafsiran al-
Quran dengan Hadits, yaitu:15

a. Hadits menjelaskan ungkapan al-Quran yang masih mujmal, seperti


menafsirkan perintah shalat, dimana al-Quran tidak menjelaskan secara
detail tentang waktu shalat, jumlah rakaat, dan cara mengerjakannya.
Akan tetapi, sunnah menjelaskan hal itu.
b. Hadits menjelaskan hal-hal yang sulit, seperti kesulitan para sahabat
memahami kata khayth al-abyadh (benang putih) dan khayth al-aswad
(benang hitam) yang terdapat dalam ayat

‫َح َّتى َيَتَبَّيَن َلُك ُم اْلَخْيُط اَاْلْبَيُض ِم َن اْلَخ ْيِط اَاْلْس َو ِد ِم َن اْلَفْج ِر‬

15
Ibid…, hlm.130-132

9
“Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”.
(QS. Al-Baqarah: 187).
Nabi menjelaskan maksud kata tersebut, yaitu benang putih adalah
siang dan benang hitam adalah malam.
c. Men-takhsish-kan lafal yang masih umum, seperti umumnya lafal
zhulm dalam surah al-An’am ayat 82:
)82( ‫اَّلِذ ْيَن َاَم ُنوا َو َلْم َيْلِبُسوا ِاْيَم اَنُهْم ِبُظْلٍم ُاوَلِئَك َلُهُم اَاْلْم ُن َو ُهْم ُم ْهَتُد ْو َن‬
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezhaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan
dan mereka itulah adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
Para sahabat kesulitan dengan penjelasan siapa di antara kami yang
tidak menzhalimi diri sendiri? Maka Nabi menjawab bahwa penjelasan
ayat yang dimaksud adalah syirik, seperti yang dijelaskan dalam surah
Luqman ayat 13: ‫ِاَّن الِّش ْر َك َلُظْلٌم َع ِظ ْيٌم‬
d. Hadits men-qaid-kan ungkapan yang masih muthlaq.
e. Hadits menjelaskan nasakh.
f. Hadits menguatkan penjelasan al-Quran.
3. Menafsirkan al-Quran dengan Perkataan Sahabat

Sahabat adalah generaasi pertama yang menerima pembelajaran al-


Quran secara langsung dari Nabi Saw. Sebagai orang Arab, mereka dapat
memahami ayat-ayat al-Quran dengan baik. Apabila ada di antara ayat
atau lafal yang tidak dipahami, mereka dapat menanyakannya kepada
Nabi. Hal itu tentu saja di masa Nabi masih hidup. Setelah Nabi wafat,
para sahabat dalam menafsirkan suatu ayat merujuk kepada ayat-ayat lain
yang ada kaitan dan kesamaannya dengan ayat yang sedang ditafsirkan.
Jika tidak ditemukan, mereka merujuk kepada kepada Hadits. Jika hal itu
tidak ditemukan juga, barulah mereka berijtihad memahaminya. Hasil
ijtihad itulah yang juga dapat dijadikan sumber dalam menafsirkan al-
Quran oleh para tabi’in dan umat Islam setelah mereka. Terdapat empat

10
hal yang selalu dijadikan oleh para sahabat sebagai rujukan dalam ijtihad
mereka menafsirkan al-Quran, yaitu:

a. Pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab.


b. Keadaan mereka mengenal adat kebiasaan orang Arab.
c. Pengetahuan mereka tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani
di Jazirah Arab, waktu turunnya ayat al-Quran.
d. Kemampuan pemahaman mereka yang cukup luas.

Empat hal ini cukup membenatu mereka dalam memahami ayat-


ayat al-Quran. Hasil ijtihad para sahabat itu memperlihatkan perbedaan.
Para mufassir boleh menjadikan hasil ijtihad mereka ini sebagai sumber
penafsiran dan berpegang kepadanya sesuai dengan yang diyakini oleh
mufassir itu sendiri.16

4. Ra’yu

Yaitu pendapat mufassir mengenai makna suatu ayat, yang tidak


didasarkan atas penjelasan Ayat, Hadits, perkataan sahabat dan tabi’in. Ia
merupakan hasil ijtihad seorang mufassir. Maka tafsir bi al-ra’yi berarti
tafsir berdasarkan ijtihad mufassir.

Para mufassir membagi tafsir bi al-ra’yi kepada dua macam, yaitu


ra’yi madzmumah (yang tercela) dan ra’yi mahmudah (yang terpuji). Yang
pertama adalah menafsirkan al-Quran dengan pendapat semata-mata, yan
tidak didukung oleh ilmu alat. Hal ini yang dimaksudkan dalam Hadits
Nabi Saw:

‫ْأ‬
‫َم ْن َقاَل ِفى اْلُقْر َاِن ِم ْن َغْيِر ِع ْلٍم َفْلَيَتَبَّو َم ْقَع َد ُه ِم َن الَّناِر‬

“Barangsiapa yang bicara tentang al-Quran dengan tanpa didasari ilmu,


maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”

16
Ibid…, hlm.132-133

11
Dan yang terakhir itu ra’yi mahmudah adalah pendapat yang didasarkan
atas ilmu dan memenuhi kriteria atau syarat tafsir, yaitu penguasaan ilmu
bahasa Arab. Selain itu, mufassir dituntut menguasai ilmu qiraat,
ushuluddin, ushul fiqih, asbabun nuzul, qasash al-Quran, dan lain
sebagainya.17

5. Isyari

Secara harfiah, ia berarti menunjukkan, mengarahkan, atau


memberi tanda. Jika dikaitkan dengan tafsir ia berarti maksud ataau makna
yang ditunjukkan oleh sesuatu ayat yang dapat ditangkap oleh seorang sufi
berdasarkan arahan perasaan kesufiannya. Ia menjelaskan atau
menakwilkan makna ayat itu berdasarkan perasaan kesufian tersebut.
Makna dan maksud ayat yang dikemukakan itu berbeda dari makna zhahir,
bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan makna zhahir. Ia tidak dapaat
dikaji secara ilmiah, sebab makna dan pemahaman tersebut merupakan
pemberian langsung dari Allah sebagai hasil dari ketekunan beribadah dan
menjauhi larangan.

Adz-Dzahabi menyebut juga tafsir isyari dengan al-fa’idh


(pelimpahan). Lebih jauh ia mengatakan, tafsir isyari itu adalah
menakwilkan ayat-ayat al-Quran yang tidak didasarkan atas makna zhahir,
tetapi dengan semata-mata isyarat tersembunyi yang muncul dalam hati
orang-orang yang tekun beribadah, di mana isyarat itu sesuai dengan
makna zahir yang dimaksud.

Untuk keabsahan dan diterimanya tafsir isyari ini, syarat-syarat


berikut harus dipenuhi, yaitu:

a. Tidak menafikan makna zahir suatu ayat.


b. Ada syar’I yang dapaat menguaatkan penafsiran itu.
c. Penafsiran itu tidak bertentangan dengan dalil syara’ atau rasio.

17
Ibid…, hlm.133-134

12
d. Tidak boleh mengklaim bahwa penafsiran itulah satu-satunya yang
dikehendaki, bukan yang lain.

Khalid Abdurrahman menegaskan, apabila kriteria ini terdapat


dalam suatu tafsir isyari, maka ia dapat diterima. Dan sebaaliknya, apabila
hal itu tidak dipenuhi maka penafsiran itu ditolak.

Tafsir isyari dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu pertama


isyari tersembunyi yang dapat ditangkap seseorang yang bertaqwa, shaleh,
dan berilmu ketika membaca al-Quran. Dan kedua isyari jelas yang
terkandung dalam ayat-ayat kauniyah, di mana ia mengarah kepada
penemuan ilmu pengetahuan modern.18

18
Ibid…, hlm.134-136

13
BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan
Tafsir adalah salah satu cara untuk memahami isi kandungan al-Qur’an.
Ilmu tafsir tumbuh sejak zaman Rasulullah beserta para sahabatnya
mentradisikan, menguraikan dan menafsirkan al-Qur’an setelah turunnya. Sejak
itu perkembangan dan pertumbuhan tafsir meningkat seiring dengan keragaman
yang mufassir miliki hingga pada bentuk yang kita saksikan pada saat ini. Secara
umum, ahli tafsir membagi periodesasi penafsiran Al-Qur’an kedalam tiga fase,
yaitu (1) periode mutaqoddimin (abad 1-4 Hijriyah), (2) periode mutaakhirin
(abad 4-12 Hijriyah), dan (3) periode baru (abad 12-sekarang).

Dalam memahami al-Quran terdapat dua sumber utama, yaitu ayat-ayat al-
Quran itu sendiri (tafsir al-Quran bi al-Quran) dan sunnah Rasul (tafsir al-Quran
bi al-Hadits). Selain itu, keterangan para sahabat dan tabi’in mengenai makna
suatu aya juga dapat dijadikan sumber dalam menafsirkan al-Quran. Penafsiran
seperti ini disebut dengan tafsir bi al-riwayah, yaitu tafsir yang didasarkan atau
riwayat.

14
DAFTAR PUSTAKA
Hamdan Hidayat, “Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an”, Al-Munir. Vol: 2, No: 1 ,
Juni 2020,

Ahmad Soleh Sakni, “MODEL PENDEKATAN TAFSIR DALAM KAJIAN ISLAM”,


JIA, No:2, Desember 2013

Syarif Idris , “SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU TAFSIR”, Tajdid: Jurnal


Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan Vol. 3 No. 2 Oktober 2019

Amroeni Drajat, 2017. “Ulumul Quran: Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Quran”, Depok:


KENCANA

Abdul Manaf , “SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR”, Jurnal Tafakkur Vol.1 No.


02, April 2021

Idah Suaidah, “SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR HISTORY OF TAFSIR


DEVELOPMENT”, Al Asma: Journal Of Islamic Education, Vol. 3, No. 2,
November 2021

Kadar M. Yusuf, 2014. “Studi Al-Qur’an”, Jakarta: AMZAH

15

Anda mungkin juga menyukai