Anda di halaman 1dari 37

PRAKATA

Assalamualaikum Wr. Wb
Allhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
melimpahkan rahmat serta inayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan
penulisanmakalah “Ilmu Tafsir Qur’an” ini dan kami tidaklupa kami ucapkan terimakasih
kepada Dosen pengampu mata kuliah Ulumul Qur’an Bapak Zaenal Muttaqin yang telah
membimbing dalam pembuatan maklah ini dan teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini. Hal ini dengan tujuan untuk membantu para mahasiswa untuk
mengetahui, memahami, bahkan menerapkannya.

Namun demikian, dalam penulisan makalah ini masih terdapat kelemahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat diharapkan.

Akhirul kalam, semoga yang tersaji ini dapat memberikan bantuan kepada para
mahasiswa dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar dikampus. Amin

Bogor, 30 Maret 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI
PRAKATA.............................................................................................................................................. 1
BAB I ...................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 2
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 3
1.3 TujuanPenulisan ........................................................................................................................ 4
1.4 ManfaatPenelitian ..................................................................................................................... 4
BAB II..................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
2.1Ilmu Tafsir ..................................................................................................................................... 5
2.3 Metode Penafsiran Al-Qur’an ........................................................................................................... 9
2.2 SyaratMenjadiMufasir ................................................................................................................ 20
BAB III ................................................................................................................................................. 36
PENUTUP ............................................................................................................................................ 36
3.1 .Kesimpulan ................................................................................................................................ 36
3.2 Saran ........................................................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 37

BAB I

PENDAHULUAN

2
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk manusia. Ia sendiri menamakan dirinya
“petunjuk bagi umat manusia”. Al-Qur’an adalah sebuah perisai bagi umat manusia. Ia
sendiri bahkan memiliki julukan al-Furqan, al-Bayan, serta berbagai julukan di ayat-ayat
lain. Al-Qur’an bukanlah wahyu yang diturunkan dalam masyarakat yang nir-sejarah atau
kosong budaya. Ia diwahyukan dalam konteks historisitas dan kebudayaan tertentu,
sehingga pantas apabila disetiap dekade muncul studi Al-Qur’an dalam variasi
kecenderungan dan substansinya.
Studi Al-Qur’an menguat bukan saja dinegara-negara berpenduduk muslim, namun
juga di barat. Studi Al-Qur’an kebanyakan lebih ditekankan pada kajian produk tafsir
daripada metodologi tafsir. Padahal mengetahui perkembangan metodologi tafsir lebih
signifikan, melalui studi kritis terhadap perkembangan dan metodologinya, sehingga
rekonstruksi lebih mudah dilakukan.
Upaya menafsirkan Al-Qur’an sudah dilakukan Rasulullah saw, predikat Al-Qur’an
sebagai Hudan (petunjuk) dan Rahmatan (rahmat) bagi manusia, membuka kemungkinan
yang luas bagi penafsiran terhadapnya. Susunan Al-Qur’an yang tidak sistematis juga
merupakan alasan tersendiri mengapa penafsiran serta penggalian terhadap makna ayat-
ayatnya justru menjadi tugas umat yang tidak pernah berakhir.

1.2 Rumusan Masalah

a) Apa itu ilmu tafsir ?

3
b) Sebutkan macam-macam metode penafsiran?
c) Apa sajakah syarat menjadi mufasir ?

1.3 TujuanPenulisan

a) Untuk mengetahui ilmu tafsir


b) Untuk mengetahui macam-macam metode penafsiran
c) Untuk mengetahui syarat menjadi mufasir

1.4 ManfaatPenelitian

a) Memberikan pengetahuan ilmu tafsir


b) Memberikan pengetahuan macam-macam metode penafsiran
c) Memberikan pengetahuan syarat menjadi mufasir

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1Ilmu Tafsir
Tafsir berasal dari akar kata ‘fassara’ yang berarti menjelaskan maksud dari suatu lafadz.
Imam qurthubi mengatakan, secara istilah, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz. Sehingga
secara istilah, tafsir adalah ilmu untuk memahami Al-Qur’an dengan menggunakan
pengetahuan Bahasa Arab, lughowiyahnya dan syar’iyyah-nya seperti nahyu, bayan, sunnah,
pengertian kata dan susunan kalimatnya yang berkaitan dengan soal-soal aqidah, hadist-hadist,
hukum syari’at dan adap, kemudian menarik kesimpulan hukum dari Al-Qur’an untuk
memecahkan berbagai soal yang timbul disetiap tempat dan waktu. Tafsir adalahilmusyari’at
yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Karena objek pembahasannya adalah kalamullah.
Tujuan utama mempelajarinya untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai
kebenaran yang hakiki. Kebutuhan akan tafsir adalah mendesak karena segala kesempurnaan
agama dan kehidupan dunia haruslah sejalan dengan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Imam Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa tafsir Al-Qur’an adalah penjelasan tentang
makna-makna kosa kata dalam susunan kalimatnya dan makna-makna susunan kalimat ditinjau
dari segi keberadaanya. Sebagai susunan kalimat, sehingga metode penafsiran yang benar perlu
diketahui untuk memulai penafsiran1

Tafsir secara etimologi mengikuti wazantaf’il, berasal dari kata fasr yang berarti al-
i>d}a>h}, al-sharh} dan al-baya>n 1 (penjelasan atau keterangan). Ia juga berarti al-iba>nah}
(menerangkan), al-kashf (menyingkap) dan iz}ha>r al-ma’na> al-ma’qu>l (menampakkan
makna yang rasional).2 Ada yang mengatakan bahwa tafsir berasal dari safru (dengan menukar
tempatnya sin dengan fa’) seperti kata orang Arab, “asfara al-subh idha ada’a” artinya apabila
shubuh itu telah bersinar. Ada pula yang mengatakan ia berasal dari kata tafsirah, yaitu nama
dari alat yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui keluhan pasien.3 Ibn Manzur dalam
Lisan al-‘Arab menjelaskan bahwa “fasr” adalah menyingkap sesuatu yang tertutup dan tafsir
adalah menyingkap makna yang dikehendaki dari lafadz yang musykil. 4 Dari beberapa definisi
di atas dapat dipahami bahwa tafsir secara etimologis dapat dipakai untuk menyingkap sesuatu
yang bersifat indrawi dan dapat pula digunakan untuk menyingkap sesuatu yang bersifat

1
Dr.KH. JuhanaNasrudin, M.Kom.I. KaidahIlmu Tafsir Al-Qur’an Praktis. 2017. Hal 272-273

5
maknawi (makna rasional dari suatu teks). 5 Namun demikian pemakaian tafsir untuk yang
kedua lebih banyak dari pada pemakaiannya untuk yang pertama. Adapun kata tafsir dengan
makna keterangan dan penjelasan terdapat dalam salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi :

‫سنَ تَ ْف ِسي ًْرا‬ ِ ‫َو ََل يَأْت ُ ْونَكَ بِ َمث َ ٍل ا اَِل ِجئْ ٰنكَ بِا ْل َح‬
َ ْ‫ـق َوا َ ح‬

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepada mu membawa sesuatu yang ganjil melainkan
kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (QS. Al-
Furqan [25] : 33). Ibn ‘Abbas seperti dirunut oleh al-Fairuz Adi 6 dalam Tanwir al-Miqbas min
Tafsir Ibn ‘Abbas menafsirkan kata “tafsir” pada ayat tersebut dengan “tibyanan”. Demikian
pula Muhammad Husain al-Hamsi dalam Qur’an Karim Tafsir wa Bayan menafsirkannya
dengan “bayanan watafsilan”. 7 Berdasarkan penafsiran ini para pakar Ulum al-Qur’an
merumuskan pengertian tafsir menurut bahasa adalah “penjelasan, keterangan dan
penyingkapan”.8 Sedangkan tafsir secara terminologi, ada beberapa definisi yang berkembang
dalam rumusan para pakar Ulum al-Qur’an. Al-Zarkashi .

Abu Hayyan mendefinisikan tafsir dengan “Ilmu yang membahas tentang tata cara
mengucapkan (membunyikan) lafadz-lafadz al-Qur’an, sesuatu yang terindikasikan darinya,
hukum-hukumnya baik mengenai kata-kata tunggal maupun tarkib, makna-makna yang
menjadi implikasi keadaan susunannya dan segala sesuatu yang dapat menyempurnakannya
(yang termasuk dalam hal ini adalah mengetahui nasakh, sebab-sebab turunnya ayat, kisah-
kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang masih samar (mubham) dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya).”10 Sementara itu, Mustafa Muslim, memberikan definisi tafsir dengan
“ilmu untuk menyingkap makna ayat-ayat al-Qur’an dan menjelaskan maksud firman Allah
sesuai dengan kemampuan manusia”. 11 Adapula pendapat (seperti dirunut oleh al-Suyuti)
yang mendefinisikan, tafsir ialah ilmu tentang turunnya ayat, keadaan-keadaannya, kisah-
kisahnya, sebab-sebab turunnya, urut-urutan makki-madani-nya, muhkam mutashabih-nya,
nasikh mansukh-nya, ‘am-khas-nya, mutlaq muqayyad-nya, mujmal mufassar-nya, halal
haramnya, janji dan ancamannya, perintah dan larangannya, teladan teladannya dan
perumpamaan-perumpamaannya”. 12 Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, perlu
di garis bawahi bahwa tafsir adalah upaya untuk menjelaskan tentang arti atau maksud dari
firman-firman Allah SWT sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir),”13 dan sebagai
konsekwensi dari perbedaan latar belakang keilmuan dan kemampuan yang terdapat pada
masing-masing mufassir, maka keanekaragaman penafsiran tidak dapat terelakkan. Dalam hal
ini, para sahabat Nabi SAW sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu,

6
mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya,
tidak jarang berbeda pendapat dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah
SWT yang mereka dengar atau yang mereka baca itu.14

Dengan demikian pernyataan yang menegaskan bahwa “yang paling paham dan
mengerti tentang maksud dari suatu perkataan adalah orangnya sendiri”, nampaknya juga
berlaku bagi al-Qur’an. Sedangkan yang bisa dilakukan oleh orang yang mengkaji dan
menelaahnya adalah sebatas berupaya dengan sungguh sungguh serta mengerahkan segenap
kemampuan yang dimiliki untuk memahami maksud-maksud yang terkandung dalam ayat-
ayatnya. Kemudian apakah pemahaman yang telah dihasilkan dari upaya maksimal tersebut
benar atau salah, hal itu berada di luar kemampuan manusia2.

Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; baik
itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu.
Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian
yang sesuai dengan sudut pandang (worldview) Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (‫)التفسير‬
berarti (‫“ )اإليضاح والتبيين‬menjelaskan”. Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,

ً ‫سنَ ت َ ْفس‬
‫ِيرا‬ ِ ‫َوَلَ يَأْتُونَكَ بِ َمثَ ٍل إَِلا ِجئْنَاكَ بِ ْال َح‬
َ ‫ق َوأ َ ْح‬

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan:
33) Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.

Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (‫ )الفسر‬yang berarti ( ‫اإلبانة‬
‫“ )والكشف‬menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna
menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.

Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir
yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam
kitabnya, Al-Burhânfî ‘Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:

‫عل ٌم يُفهم به كتابُ هللا تعالى ال ُمن اَزل على نبيه محمد صلى هللا عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِ َكمِ ه‬

“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallâhu
‘alaihiwasallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.”

2
http://digilib.uinsby.ac.id/4485/5/Bab%202.pdf

7
Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:

.‫ فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد‬,‫علم يبحث عن مراد هللا تعالى بقدر الطاقة البشرية‬

“Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang
mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”

Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-
Zarqany:

‫علم يبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من حيث دَللته على مراد هللا تعالى بقدر الطاقة البشرية‬

“Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan
maksud Allah ta‘ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”

Oleh Az-Zarqany, definisi di atas dijelaskan sebagai berikut:

Maksud kata ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang terkonsep. Abdul Hakim


menjelaskan secara lebih panjang, “Sesungguhnya ilmu tafsir termasuk konsepsi
(tashawwurât) karena tujuannya adalah memahami konsep makna lafal-lafal Al-Quran. Ilmu
tafsir juga termasuk pengetahuan, akan tetapi kebanyakannya –bahkan semuanya— termasuk
pengetahuan secara lafal. Sayid berpendapat bahwa tafsir termasuk legalisasi (tashdîqât)
karena mencakup hukum atas lafal-lafal bahwa lafal-lafal tersebut bermanfaat bagi makna-
makna terkait yang disebutkan dalam tafsir.”

Dengan perkataan kami, “membahas tentang perihal Al-Quran”, maka tidak termasuk
di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal selain Al-Quran.

Dengan perkataan kami, “dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah
ta‘ala”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal Al-Quran dari
segi selain segi penunjukan dalilnya. Misalnya ilmu qira’ah yang membahas keadaan Al-Quran
dari segi pengaturan lafal dan cara membacanya. Demikian juga ilmu rasm ‘Utsmany yang
membahas keadaan Al-Quran Al-Karim dari segi cara menuliskan lafal-lafalnya.

Tidak termasuk juga dengan perkataan ini ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari
segi ia makhluk atau bukan makhluk karena ini termasuk pembahasan dari ilmu kalam
Demikian juga ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi diharamkan untuk
membacanya bagi orang yang junub dan yang semisal karena ini termasuk pembahasan dari
ilmu fikih.

8
Perkataan kami, “berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”, adalah untuk
menjelaskan bahwa tidak dianggap cacat dalam ilmu tentang tafsir ketidaktahuan terhadap
makna mutasyabihat dan ketidaktahuan terhadap maksud Allah dalam sebuah peristiwa atau
perkara.

Demikianlah definisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Tafsir adalah
aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin Ali bin Husain Al-
Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang:

,‫ وراض نفسه علي مناهج المفسرين‬,‫ قدر الطاقة‬,‫المفسر هو من له أهلية تامة يعرف بها مراد هللا تعالى بكالمه المتعبد بتالوته‬
.‫ ومارس التفسير عمليا ً بتعليم أو تأليف‬,‫مع معرفته جمال كثيرة من تفسير كتاب هللا‬

“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui
maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas
manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain
itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.”3

2.3 Metode Penafsiran Al-Qur’an


Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud atau
cara mencapai pengetahuan. Dalam hal ini berarti berbicara mengenai hubungan tafsir Al-
Qur’an dengan media atau alat yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Media untuk
memperoleh pengetahuan dan pemahaman teks-teks atau nash (al-Qur’an dan al-Hadits), akal,
ataupun intuisi. Sedangkan corak adalah paham atau macam. Dalam hal ini corak penafsiran
adalah sekitar hubungan tafsir Al-Qur’an dengan kecenderungan yang dimiliki musafir yang
berrsangkutan.

1. Bentuk-bentuk Penafsiran Al-Qur’an

Yang dimaksud bentuk penafsiran ialah macam atau jenis penafsiran. Sepanjang
sejarah penafsiran Al-Qur’an, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai oleh
ulama yaitu al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’y (pemikiran).

a). Bentuk Riwayat (Al-Ma’tsur)

Penafsiran yang berbentuk riwayat atau yang sering disebut dengan “tafsir bi al-
ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam

3
https://www.academia.edu/9760388/Syarat_Mufassir

9
khazanah intelektual islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat dijumpai
dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan lain-lain.

Dalam studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting dalam pemahaman
teks Al-Qur’an. Sebab Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai pertama terhadap Al-
Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode tafsir riwayat”. Pengertian metode
riwayat, dalam sejaraj hermeneutic Al-Qur’an klasik, merupakan suatu proses penafsiran
Al-Qur’an yang menggunakan data riwayat dari Nabi Muhammad SAW. dan atau sahabat
sebagai variabel penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Model tafsir ini menjelaskan
suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh nabi dan atau para sahabat.

Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat. Al-
Zarqani, misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh
ayat Al-Qur’an, Sunnah Nabi dan para sahabat. Ulama lain seperti Al-Dzahabi,
memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak menerima
tafsir secara langsung dari NAbi Muhammad SAW. tapi, nyatanya kitab tafsir yang selama
ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka,
seperti Tafsir Al-Thabari.

Jadi, terlepas daari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmi tafsir
tentang tafsir riwayat diatas, metode riwayat disini bias didefinisikan sebagai metode
penafsiran yang data materialnya “mengacu pada penafsiran Nabi Muhammad SAW. yang
ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk asbab al-nuzul sebagai satu-
satunya sumber data otoritatif”. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam
pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat
penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab al-
nuzul.

Beberapa contoh tafsir yang tergolong tafsir bil ma’tsur:

1. Tafsir Ibnu Jarir (Tafsir at-Thoburi) W 310H 4


2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Tafsir Al Baghawi5

4
Op.cit hlm 143
5
Syekh Az-Zarqoni. Mazahibul U’rfan Riwayat Ibn Abbas. 2008. Hlm 22-24

10
b). Bentuk Pemikiran (Al-Ra’y)

setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban islam semakin maju dan
berkembang maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran dikalangan umat. Masing-masing
golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka. Untuk
mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi, lalu
mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembangnya
bentuk penafsiran al-ra’y (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Melihat berkembang
pesatnya tafsir bi al-ra’y, maka tepat apa yang dikatakan Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir
bi al-ra’y mengalahkan perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.

Meskipun tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat, namun dalam penerimaannya para
ulama membagi dua: ada yang membolehkan ada juga yang melarangnya. Tapi setelah
diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafdzhi (redaksional).
Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran)
semata tanpa mengindahkan kaidah-kaidah dan criteria yang berlaku. Sebaliknya, keduanya
memperbolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan Sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang
mutabarah (diakui sah secara bersama).

Dengan demikian secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang
adalah melalui dua bentuk tesebut diatas, yaitu bi al-ma’tsur (melalui riwayat) dan bi al-ra’y
(melalui pemikiran atau ijtihad).

Beberapa contoh tafsir yang tergolong tafsir bil ra’yi:

1. Tafsir Ar-Razi

2. Tafsir Al-Baidhawi

3. Tafsir jalalain

Adapun klasifikasi tafsir itu ada tiga bentuk penafsiran :

1. Tafsir bil ma’tsur


Tafsir bil ma’tsur kerap disebut tafsir I al-riwayah atau bil al-naqli. Metode
penafsiran ini merujuk kepada penafsiran Al-Qur’an dengan dasar periwayatannya,
Riwayat dari Al-Qur’an, sunnah, dan perkataan sahabat. Jadi, tafsir bil ma’tsur
adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan

11
Hadis, dan penafsiran Al-Quran dengan penuturan para sahabat. Metode tafsir yang
dipakai dalam penafsiran bi ma’tsur ini adalah yang memiliki kekuatan yang paling
tinggi dibandingkan dengan metode tafsir lain. Penafsiran metode inilah yang
harusnya dijadikan sumber utama.
2. Tafsir bil ra’yi
Metode penafsiran ini disebut juga tafsir bi al-hidayah, atau tafsir bi al-ma’qul.
Sesuai dengan nama yang disandangnya, tafsir ini tidak menyandarkan pada
periwayatan, melainkan pada kekuatan rasional (ijtihad). Dengan demikian,
sandaran mereka adalah kemampuan Bahasa, aspek peradaban Arab, pemahaman
gaya Bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi dan pengunaan sains dan ilmu
pengetahuan lain yang menopang dalam penafsiran suatu ayat. Yang dimaksud tafsir
bil ra’yi ialah penafsiran dengan mengunakan ijtihad yang berdasarkan atas prinsip-
prinsip logika yang benar, system berpikir yang sah dan syarat yang ketat. Jadi,
bukan berdasarkan atas hawa nafsu dan pendapat akal semata.
3. Tafsir bil al-Isy’ari
Mayoritas ulama mengatakan bahwa tafsir al-isy’ari ialah penafsiran dngan tidak
memfokuskan pada makna lainnya. Al-S habuni mengatakan bahwa tafsir al-isy’ari
ialah tawil Al-Qur’an dengan menembus makna lainnya. Makna isyarat itu biasanya
dapat ditangkap oleh kelompok khusus yang telah dikaruniai ilmu tersendiri. Mereka
disinari cahaya Tuhan sehingga mereka dapat melihat dengan jelas rahasia-rahasia
yang terkandung dalam suatu ayat Al-Qur’an6.

2. Macam-macam Metode Penafsiran

Metode tafsir yang dimaksud disini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang
digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini secara teoritik
menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan
semantiknya. Kedua, aspek konteks didalam teks yang mempresentasikanruang-ruang

6
Prof.Dr.H.Amoeni Drajat, M.Ag. Ulumul Qur’an pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Hlm 137-160

12
social dan budaya yang beragam dimana teks itu muncul.secara garis besar penafsiran Al-
Qur’an ini dilakukan dengan empat cara (metode). Sebagaimana pandangan Al-Farmawi,
yaitu : ijmaliy (global), tahliliy (analisis), muqaran (perbandingan), dan maudhu’iy
(tematik). Untuk lebih jelasnya dibawah ini diuraikan keempat metode tafsir tersebut secara
rinci, yaitu :

a). Metode Ijmali (Global)

Yang dimaksud metode al-Tarsir al-Ijmali (global) adalah suatu metode tafsir yang
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian
tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan
ayat-ayat di dalam mushaf. Disamping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa
Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-
Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.

Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain: kitab Tafsir Al-
Qur’an al-Karim karangan Muhammad farid al Wajdi, al Tafsir al Wasith terbitan Majma’
al Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafsir karangan Muhammad
‘Utsman al-Mirghani.

Adapun ciri-ciri dalam metode ini ialah seorang musafir langsung menafsirkan Al-
Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak
jauh berbeda dengan metode analitis, namun dalam uraian metode analitis lebih rinci
daripada metode global. Sehingga para mufasir lebih banyak mengemukakan pendapat dan
ide-idenya. Sebaiknya didalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk
mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab tafsir ijmaliseperti
disebutkan diatas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga
seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya.
Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai
pada wilayah tafsir analitis.

b). Metode Tahliliy (Analisis)

13
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat0ayat Al-
Qur'an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya, sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan musafir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.

Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam
tafsir tahliliy yang jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan paling tidak ada tujuh
bentuk tafsir, yaitu : Al-Tafsir bil al-Ma'tsur, Al-Tafsir bi al-Ra'yi, Al-Tafsir al-Fiqh, Al-
Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima'i.

Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan bentuk Al-Tafsir bi al-
Ma'tsur (penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-Muttaqin (orang-orang
bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5)
yang menyataka :
َ‫) َوالا ِذ ْينَ يُؤْ مِ نُ ْونَ بِ َما أ ُ ْن ِز َل إِلَيْكَ َو َما أ ُ ْن ِز َل مِ ْن قَ ْبلِك‬3( َ‫ص َالة َ َومِ اما َرزَ ْقنَا هُ ْم يُ ْن ِفقُ ْون‬ ِ ‫الا ِذ ْينَ يُؤْ مِ نُ ْونَ بِا ْلغَ ْي‬
‫ب َويُ ِق ُم ْونَ ال ا‬
)5( ‫علَى هُدًى مِ ْن َربِ ِه ْم َواُلَئِكَ هُ ْم ْال ُم ْف ِل ُح ْو ِن‬ َ َ‫) أ ُلَئِك‬4( َ‫َوبِ ْاْلَخِ َرةِ هُ ْم ي ُْوقِنُ ْون‬

“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, dan menafkahkan
sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab
(Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah :3-5)

Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahliliy
terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat
Al-Qur'an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-Ma'tsur, maupun
al-Ra'y sebagaimana dalam penafsiran tersebut, Al-Qur'an ditafsirkan ayat demi ayat dan
surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari
ayat-ayat yang ditafsirkan.

Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma'tsur (riwayat) dan
ra'y (pemikiran). Diantara kitab tahliliy yang mengambil bentuk ma'tsur (riwayat) adalah :

14
1) Jami' al-Bayan 'an Ta'wil al-Qur'an al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w.310 H)
dan terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
2) Ma'alim al-Tanzil, karangan al-baghawi (w.516 H)
3) Tafsir al-Qur'an al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
4) Al-Durr al-Mantsur al-Tafsir bi al-Ma'tsur, karangan al-Suyuthi (w.911 H)

c) Metode Muqarin (Komparatif)

Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :

1) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki persamaan atau


kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda
bagi satu kasus yang sama.
2) Membandingkan ayat al-Qur'an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat
bertentangan;
3) Membandingkan berbagai pendapat ulama' tafsir dalam menafsirkan Al-Qur'an.

Jadi,dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokan 3 objek kajian Tafsir yaitu7 :

1) Membandingkan ayat Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an yang lain:


Mufasir membandingkan ayat satu dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang
memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang
berbeda atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda atau kasus yang diduga
sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-
Qur'an, sebagai berikut :
a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
‫لَلاا ه َُو ْال ُهدَى‬
ِ َ ‫قُ ْل ا ِْن هُدَى‬
“Katakanlah : sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya)
petunjuk.” (QS. Al-Baqarah : 120)
‫لَلاا هُ َو ْال ُهدَى‬
ِ ‫قُ ْل ا ِْن هُدَى ا‬

7
Prof. Dr. Quraish Shihab. dkk., sejarah dan Ulum al-Qur'an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999. hlm.186-192

15
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah
petunjuk Allah.” (QS. Al-An’am : 71)

b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :


)6( َ‫علَ ْي ِه ْم اَا َ ْنذَ ْرتَ ُه ْم ا َ ْم لَ ْم ت ُ ْنذ ِْرهُ ْم ََل يُؤْ مِ نُ ْون‬
َ ‫س َوا ٌء‬
َ
“Sama saja bagi mereka apakah kau memberi peringatan kepada mereka
ataukah kau tidak mereka memberi peringatan kepada mereka, mereka
tidak akan beriman”. (QS. Al-Baqarah:6)
)10( َ‫علَ ْي ِه ْم ا َا َ ْنذَ ْرت َ ُه ْم ا َ ْم لَ ْم ت ُ ْنذ ِْرهُ ْم ََل يُؤْ مِ نُ ْون‬
َ ‫س َو ٌء‬
َ ‫َو‬
“Sama saja bagi mereka apakah kau memberi peringatan kepada mereka
ataukah kau tidak mereka memberi peringatan kepada mereka, mereka
tidak akan beriman”. (QS. Yasin:10)

c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :


ْ ‫ب‬
‫والحِ ْك َمةَ َويُزَ ِك ِه ْي ْم‬ َ ‫يَتْلُ ْو‬
َ َ ‫علَ ْي ِه ْم آَيَا تِكَ َويُعَ ِل ُم ُه ُم اْل ِكت‬
“… yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka al-kitab (al-Qur’an) dan al-hikmah serta mensucikan
mereka.” (QS. Al-Baqarah : 129)
َ‫اب َو ْالحِ ْك َمة‬
َ َ ‫علَ ْي ِه ْم آ َ َيا ِت ِه َويُزَ ِك ِه ْيم َويُ َع ِل ُم ُه ُم ْال ِكت‬
َ ‫َيتْلُ ْو‬
“… yang membaca ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka,
dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah.”
(QS. Al-Jumu’ah: 2)

d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definite noun),


seperti :
)36( ‫لَلاا السامِ ُع ْالعَ ِل ْي ُم‬
ِ ‫فَا ْستَ ِعدْ بِا ا‬
“… mohonkanlah perlindungan kepada Allah, sesungguhnya dialah
yang maha mendengar lagi maha mengetahui.” (QS. Fushshilat:36)
)200( ‫ع ِل ْي ُم‬ َ ُ‫لَلاا اِناه‬
َ ‫سمِ ُع‬ ِ ‫فَا ْست َ ِعدْ ِبا ا‬
“… mohonkan perlindungan kepada Allah sesungguhnya Dialah maha
mendengar lagi maha mengetahui.” (QS. Al-A’raf:200)

e) Perbuatan bentuk jamak dan tunggal, seperti :


‫ار ِإ اَل أَياا ًما َم ْعد ُْودَة‬ ‫لَ ْن تَ َم ا‬
ُ ‫سنَا النا‬
16
“… kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama
beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ٍ ‫ار إِ اَل أَيًّا ًما َم ْعد ُْودَا‬
‫ت‬ ‫لَ ْن تَ َم ا‬
ُ ‫سنَا النا‬
“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama
beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran :24).

f) Perbedaan huruf kata depan, seperti :


‫َواِذْقُ ْلنَا ادْ ُخلُ ْوا َه ِذ ِه ْالقَ ْريَةَ فَ ُكلُوا‬
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini,
dan makanlah…” (QS.Al-Baqarah:58)
‫َواِذْ قِ ْي َل لَ ُه ُم ا ْس ُكنُ ْوا َه ِذ ِه القَ ْريَةَ َو ُكلُوا‬
“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman : masuklah ke negeri ini, dan
makanlah …” (QS. Al-A’raf:161)

g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :


َ ‫قَا لُ ْوا بَ ْل نَت َبِ ُع َما أ َ ْلفَ ْينَا‬
‫علَ ْي ِه آ َبَا َء نَا‬
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang yelah
kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-
Baqarah:170)
َ ‫قَا لُ ْوا بَ ْل نَت ابِ ُع َما َو َجدْ نَا‬
‫علَ ْي ِه آ َبا َ َءنَا‬
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah
kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS.
Luqman : 21)

h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain),


seperti :
ِ ‫ش ِد ْيدُ ْال ِعقَا‬
)4( ‫ب‬ َ َ‫اق هللاَ فَ ِانَ هللا‬
ِ ‫ش‬َ ُ‫سولَهُ َو َم ْن ي‬ َ ‫ذَ ِلكَ بِأ َنا ُه ْم‬
ُ ‫شا قوا هللاَ َو َر‬
“Yang demikian ini adalah karena mereka menentang Allah dan Rasul-
Nya. Barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya
Allah sangat keras hukuman-Nya.” ( QS. Al-Hasyr : 4)
ِ ‫ش ِد ْيدُ ْال ِعقَا‬
)4(‫ب‬ ُ ‫ذَلِكَ بِأَنا ُه ْم شَا ق ْوا هللاَ َو َر‬
ِ ‫س ْولَهُ َو َم ْن يُش‬
َ َ‫َاق هللاَ فَا اِن هللا‬
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang
Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan

17
Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-
Nya.”(QS. Al-Hasyr:4)

Dalam mengadakan perbandingan dengan ayat-ayat yang berbeda redaksi


tesebut diatas, diperlukan beberapa langkah : 1) mengeinventarisasi ayat-ayat Al-
Qur'an yang memiliki redaksi berbeda dalam kasus yang sama atau sama dalam
kasus yang berbeda, 2) mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan
dan perbedaan redaksinya, 3) meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan
menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan,
dan 4) melakukan perbandingan.
2) Membandingkan Ayat dengan Hadits :
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits Nabi SAW yang terkesan
bertentangan. Dan Mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara
keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur'an surat An-Nahl :32 dengan
hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
)32( َ‫ادْ ُخلُ ْوا ْل َجناةَ بِ َما ُك ْنت ُ ْم تَ ْع َملُ ْون‬
“Masuklah kamu kedalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”(QS.
Al-Nahl :32)
‫َوا ْعلَ ُموا أ َناهُ لَ ْن َي ْن ُج َو أ َ َحدَ مِ ْن ُك ْم ب َع َم ِل ِه‬
“Ketahuilah, bahwa tidak akan beruntung salah seorang pun diantara kamu
(masuk kedalam surga) disebabkan perbuatannya.” ( HR. Tirmidzi)

Antara ayat al-Qur'an dan hadits tersebut diatas terkesan ada pertentangan. Untuk
menghilangkan pertentangan itu al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang
tidak masuk surge karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan rahmat
tuhan. Akan tetapi ayat diatas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal
perbuatan manusia menentukan peringkat surge yang akan dimasukinya. Dengan
kata lain, posisi seseorang didalam surge ditentukan amal perbuatannya.
Pengertian ini sejalan dengan hadits lain,yaitu:
ْ َ‫أ َ ْن أ َ ْه َل ْل َجنا ِة اِذَا دَ َخلُ ْوا هَا نَزَ لُ ْوا فِيهَ بِف‬
‫ص ِل ا َ ْع َما ِل ِهيْم‬
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi
didalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya.” (HR. Tirmidzi)

18
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba' diatas berbeda konotasinya dengan
yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits
berarti sebab.
3) Membandingkan pendapat para musafir
Musafir membangdingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun
ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an baik yang bersifat manqul
( al-Tafsir al-Ma'tsur) maupun yang bersifat Ra'yul (al-tafsir bi al-Ra'yi).

Manfaat yang dapat diambil dari tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian Al-
Qur'an, 2) Membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat Al-Qur'an yang kontradiktiif, 3)
Memperjelas makna ayat, 4) Tidak menggugurkan suatu ayat yang berkualitas shahih.
Sedangkan dalam hal hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang lain, mufasir
berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu diantara perbedaan-
perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas
kualitas argumentasi masing-masing.

d). Metode Maudhu'iy (Tematik)


Yang dimaksud dengan metode maudhu'iy ialah membahas ayat-ayat Al-Qur'an dengan
sesuai tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun
kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya
seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang didapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Baik argument itu berasal dari al-Qur'an dan Hadits ataupun pemikiran
rasional.
Yang menjadi ciri dalam metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topic
pembahasan. Sehingga tidak salah bila dikatakan bahwa metode ini juga disebut dengan
metode "topical". Jadi musafir mencari tema atau toik-topik yang ada ditengah masyarakat
atau berasal dari Al-Qur'an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang
sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan
kapasitas atau petunjuk yang termuat dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya
penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra'y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'I

19
mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan
metode maudhu'i. langkah-langkah tersebut adalah :
1) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)
2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya disertai pengetahuan asbab al-
nuzulnya
4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing
5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line)
6) Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan
7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jelas menghimpun ayat-
ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang
'am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat). Atau yang pada
lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara tanpa
perdebatan atau pemaksaan.8

2.2 SyaratMenjadiMufasir
Para ulama telah menyebutkan tentang ilmu yang harus dipenuhi oleh mufasir:

1. Mengetahui Bahasa Arab dan seluruh aspeknya berupa nahwu, Sharaf dan etimologi.

Imam Malik berkata, “Orang yang tidak mengerti Bahasa Arab yang dating kepada ku
untuk menafsirkan Al-Qur’an, niscaya ku buat dia mencabut perkataannya.” Mujahid
berkata, “Tidak boleh bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
membicarakan kitabullah bila ia tidak menguasai lahjah/dialek orang-orang Arab.”

2. Mengetahui ilmu balaghah seperti ilmu ma’any, bayan dan badi’.

Terkadang kata kata dalam Al-Qur’an adalah berupaisti’arah, kinayah dan majaz yang tidak
bisa diartikan secara lahir tapi memerlukan ilmu lainnya.

3. Mengetahui ushul fiqh

4. Mengetahui asbabun nuzul

5. Mengetahui nasikh dan mansukh

8
Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i, Dirasat Manhajiyyah Maudhu'iyyah, (1977). hlm.
114-115

20
6. Mengetahui ilmu Qira’at

7. Ilmu mauhibah, yakni ilmu yang diberi langsung dari Allah Swt .

Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua:
aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.

a. Syarat Pertama: Aspek Pengetahuan

Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang
membantu dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat
ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk menafsirkan Al-Quran
karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu
hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini
dengan syarat-syarat seorang alim.

Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang
mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah
(berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqânfî ‘Ulûm al-Qurân
menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.Lima belas ilmu
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosa kata
suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.

Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan
Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,

‫َل يحل ألحد يؤمن باهلل واليوم اْلخر أن يتكلم في كتاب هللا إذا لم يكن عال ًما بلغات العرب‬.

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai
sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”

2. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan
perbedaan i’rab.

3. Tashrîf (sharaf) karenadengannyadapatdiketahuibinâ’ (struktur) dan shîghah (tense)


suatu kata.

21
4. Isytiqâq (derivasi) karenasuatunamaapabilaisytiqâqnyaberasaldariduasubjek yang
berbeda, makaartinya pun juga pastiberbeda. Misalnya (‫)المسيح‬, apakahberasaldari (‫)السياحة‬
atau (‫)المسح‬.

5. Al-Ma‘ânikarenadengannyadapatdiketahuikekhususantarkîb (komposisi)
suatukalimatdarisegimanfaatsuatumakna.

6. Al-Bayânkarenadengannyadapatdiketahuikekhususantarkîb (komposisi)
suatukalimatdarisegiperbedaannyasesuaidenganjelastidaknyasuatumakna.

7. Al-Badî‘karenadengannyadapatdiketahuikekhususantarkîb (komposisi)
suatukalimatdarisegikeindahansuatukalimat.

Ketigailmu di atasdisebutilmubalaghah yang merupakanilmu yang harusdikuasai dan


diperhatikan oleh seorangmufassir agar memilikisenseterhadapkeindahanbahasa (i‘jâz) Al-
Quran.

8. Ilmuqirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat
tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’dengan qâri’lainnya.

9. Ushûluddîn (prinsip-prinsipdien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupaayat yang


secaratekstualmenunjukkansesuatu yang tidakbolehada pada Allah ta‘ala.
Seorangahliushulbertugasuntukmenakwilkanhalitu dan
mengemukakandalilterhadapsesuatu yang boleh, wajib, dan tidakboleh.

10. Ushulfikihkarenadengannyadapatdiketahuiwajhal-istidlâl (segipenunjukandalil)


terhadaphukum dan istinbâth.

11. AsbâbunNuzûl (sebab-sebabturunnyaayat)


karenadengannyadapatdiketahuimaksudayatsesuaidenganperistiwaditurunkannya.

12. An-Nâsikhwaal-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam


(ditetapkanhukumnya) dariayatselainnya.

13. Fikih.

14. Hadits-haditspenjelasuntukmenafsirkan yang mujmal (global) dan mubham


(tidakdiketahui).

15. Ilmumuhibah, yaituilmu yang Allah ta‘alaanugerahkankepada orang yang


mengamalkanilmunya.

22
Dalamsebuahhaditsdisebutkan,

‫من عمل بما علم ورثه هللا علم ما لم يعلم‬

“Siapa yang mengamalkanilmunya, maka Allah akanmenganugerahinyailmu yang


belumiaketahui.”

Ibnu Abid Dunyamengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâthdarinyamerupakanlautan


yang tidakbertepi.”

Ilmu-ilmu di atasmerupakanalatbagiseorangmufassir.
Seseorangtidakmemilikiotoritasuntukmenjadimufassirkecualidenganmenguasaiilmu-
ilmuini. Siapasaja yang menafsirkan Al-Quran tanpamenguasaiilmu-ilmutersebut,
berartiiamenafsirkandenganra’yu (akal) yang dilarang.
Namunapabilamenafsirkandenganmenguasaiilmu-ilmutersebut,
makaiatidakmenafsirkandenganra’yu (akal) yang dilarang.

Adapun bagiseorangmufassirkontemporer, menurut Ahmad BazawyAdh-Dhawy,


makaiaharusmenguasaitigasyaratpengetahuantambahanselain lima belasilmu di atas.
Tigasyaratpengetahuantersebutadalah:

1. Mengetahuisecarasempurnailmu-
ilmukontemporerhinggamampumemberikanpenafsiranterhadap Al-Quran yang
turutmembangunperadaban yang benar agar terwujuduniversalitas Islam.

2. Mengetahuipemikiranfilsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedangmendominasi


dunia agar mufassirmampumengcountersetiapsyubhat yang ditujukankepada Islam
sertamemunculkanhakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim
terhadapsetiapproblematikakontemporer. Dengandemikian,
iatelahberpartisipasidalammenyadarkanumatterhadaphakikat Islam
besertakeistimewaanpemikiran dan peradabannya.

3. Memilikikesadaranterhadapproblematikakontemporer.
Pengetahuaninisangaturgenuntukmemperlihatkanbagaimanasikap dan solusi Islam
terhadap problem tersebut.

Selainharusmenguasaiilmu-ilmu di atas, seorangmufassirharusmemperhatikanmanhaj


yang ditempuhdalammenafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthymengatakan,

23
“Siapa yang inginmenafsirkan Al-Quran yang muliamakapertama kali
iaharusmencaritafsirnyadari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada
suatutempatditafsirkandenganayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada
suatutempatdiperluaspenjelasannyadenganayat pada tempatlainnya.
Apabilatidakmenemukannya, makaiaharusmencarinyadari As-Sunnah karenaia (As-
Sunnah) merupakanpenjelasbagi Al-Quran. Apabilatidakmenemukannyadari As-Sunnah,
makaiaharusmengembalikannyakepadapendapat para
sahabatkarenamerekalebihmengetahuipenafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang
menyaksikankonteks dan kondisi pada saatturunnyaayat. Selainitu, mereka juga
diberikekhususanberupapemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang
shalih. Ketika terjadikontradiksiantarpendapat para sahabat,
makaharusdikembalikankepadapendapat yang paling kuatdalilnya.
Misalnyaperbedaanpendapatmerekamengenaimaknahuruf-hurufhijâ’ (alphabet),
makaharusdikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanyaadalahqasam
(sumpah)’.”

Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan
para ulama dikenaldenganistilahtafsîrbilma’tsûr. Manhajini yang pertama kali
harusditempuh oleh seorangmufassirsebelumiamenafsirkandenganra’yusebatas yang
diperbolehkan. Manhajtafsîrbilma’tsûrtersebutakandijelaskansekilas di bawahini.

1. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Ayat Al-Quran terkadangdisebutkansecara global dan ditafsirkansecararinci pada ayat


lain. Demikian juga, ayat yang ringkasditafsirkansecaralusa pada ayat lain.
Contohpenafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalahfirman Allah ta‘aladalamsurat Al-
Fatihah: 6-7.

َ‫علَ ْي ِه ْم َوَلَ الضاالِين‬ ِ ‫غي ِْر ْال َم ْغضُو‬


َ ‫ب‬ َ َ‫ط الاذِينَ أ َ ْن َعمْت‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم‬ َ ‫ص َرا‬ َ ‫ط ْال ُم ْستَق‬
ِ * ‫ِيم‬ َ ‫الص َرا‬
ِ ‫ا ْه ِدنَا‬

“Tunjukilah kami jalan yang lurus,(yaitu) jalan orang-orang yang


telahEngkauanugerahkanni`matkepadamereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Orang-orang yang dianugerahinikmatkepadamerekaditafsirkandenganfirman Allah


ta‘ala,

‫صالِحِ ينَ َو َحسُنَ أُولَئِكَ َرفِيقًا‬


‫الص ِديقِينَ َوالش َهدَاءِ َوال ا‬ َ ُ‫سو َل فَأُولَئِكَ َم َع الاذِينَ أَ ْنعَ َم هللا‬
ِ ‫علَ ْي ِه ْم مِ نَ النابِيِينَ َو‬ ‫َو َم ْن يُطِ عِ هللاَ َو ا‬
ُ ‫الر‬

24
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), merekaituakanbersama-
samadengan orang-orang yang dianugerahini`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang matisyahid dan orang-orang saleh. Dan merekaitulahteman
yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)

Contohlainnyaadalahfirman Allah,

‫علَ ْي ِه ِإناهُ ه َُو الت ا اوابُ ا‬


‫الرحِ ي ُم‬ ٍ ‫فَتَلَقاى َءادَ ُم مِ ْن َر ِب ِه َك ِل َما‬
َ ‫ت فَت‬
َ ‫َاب‬

“Kemudian Adam menerimabeberapakalimatdariTuhannya, maka Allah


menerimataubatnya. Sesungguhnya Allah MahaPenerimataubatlagiMahaPenyayang.” (QS
Al-Baqarah: 37)

Beberapakalimatdalamayatiniditafsirkandalamayatlainnya, yaitufirman Allah ta‘ala,

َ‫سنَا َو ِإ ْن لَ ْم ت َ ْغف ِْر لَنَا َوت َْر َح ْمنَا لَنَ ُكون اَن مِ نَ ْالخَاس ِِرين‬
َ ُ‫ظلَ ْمنَا أ َ ْنف‬
َ ‫قَاَلَ َربانَا‬

“Keduanyaberkata, ‘YaTuhan kami, kami telahmenganiayadiri kami sendiri, dan


jikaEngkautidakmengampuni kami dan memberirahmatkepada kami, niscayapastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi’.” (QS Al-A‘raf: 23)

Penafsiraninidiriwayatkandaribanyakmufassirdarikalangantabi‘in.

2. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Sunnah Nabawiyahberfungsiuntukmensyarah Al-Quran, menjelaskan yang mujmal


(global), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum, menerangkan yang
mubham (tidakdimengerti), menafsirkan yang musykil (rumit), merinci yang ringkas,
menyingkapbagian yang samar, dan memperlihatkanmaksudnya. Demikian juga, Sunnah
Nabawiyahdatangdenganhukum-hukum yang tidakterdapat dan
tidakditentukandalamKitabullah. Sunnah Nabawiyahtidakkeluardarikaidah, pokok,
maksud, dan tujuanKitabullah. Tidakmungkinmencampakkan Sunnah Nabawiyah dan
tidakboleh pula meremehkannyadalamkondisiapa pun. Hal
itukarenaurgensitasnyadalammemahami agama Allah, menafsirkan Kitab-Nya, dan
mengamalkannya.

Syaikhul Islam IbnuTaimiyahmenukilperkataan Imam Asy-Syafi‘i, “Setiaphukum


yang diputuskan oleh Rasulullahshallallâhu
‘alaihiwasallamberasaldaripemahamannyaterhadap Al-Quran. Allah ta‘alaberfirman,

25
ُ‫اس ِب َما أَ َراكَ هللا‬ ِ ‫َاب ِب ْال َح‬
ِ ‫ق ِلتَحْ ُك َم َبيْنَ النا‬ َ ‫ِإناا أ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْكَ ْال ِكت‬

“Sesungguhnya Kami telahmenurunkan Kitab kepadamudenganmembawakebenaran,


supayakamumengadiliantaramanusiadenganapa yang telah Allah wahyukankepadamu.”
(QS An-Nisa’: 105)

Contohpenafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah di antaranyaadalah tafsir al-maghdhûb


‘alaihim (mereka yang dimurkai) denganYahudi dan adh-dhâllîn (mereka yang sesat)
dengan Nasrani dalamsurat Al-Fatihah. Ahmad, At-Tirmidzy, dan
IbnuHibandalamShahîhnyameriwayatkandari ‘Ady bin Hatim, diaberkata:
Rasulullahshallallâhu ‘alaihiwasallambersabda, “Sesungguhnyamereka yang
dimurkaiadalahYahudi dan mereka yang sesatadalah Nasrani.”

Tafsir inidiperkuatdenganfirman Allah ta‘ala,

َ‫غوتَ أُولَئِك‬ ‫عبَدَ ال ا‬


ُ ‫طا‬ َ ‫ير َو‬ ِ ‫علَ ْي ِه َو َج َع َل مِ ْن ُه ُم ْالق َِردَةَ َو ْال َخن‬
َ ‫َاز‬ َ ‫ب‬
َ ‫َض‬ َ ‫قُ ْل ه َْل أُن َِبئ ُ ُك ْم ِب‬
ِ ‫ش ٍر مِ ْن ذَلِكَ َمثُوبَةً ِع ْندَ هللاِ َم ْن لَ َعنَهُ هللاُ َوغ‬
‫س ِبي ِل‬ َ ‫ع ْن‬
‫س َواءِ ال ا‬ َ ‫ضل‬ َ َ‫شَر َمكَانًا َوأ‬

“Katakanlah, ‘Apakahakanakuberitakankepadamutentang orang-orang yang


lebihburukpembalasannyadari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang
dikutuki dan dimurkai Allah, di antaramereka (ada) yang dijadikankera dan babi dan (orang
yang) menyembahthaghut?’ Merekaitulebihburuktempatnya dan lebihtersesatdarijalan
yang lurus.” (QS Al-Maidah: 60)

Yang dimaksuddenganmerekaadalahYahudi. Demikian juga firman Allah ta‘ala,

َ ‫ع ْن‬
ِ‫س َواء‬ َ ‫ضلوا‬ َ َ‫ضلوا مِ ْن قَ ْب ُل َوأ‬
ً ‫ضلوا َكث‬
َ ‫ِيرا َو‬ ِ ‫غي َْر ْال َح‬
َ ْ‫ق َوَلَ تَتابِعُوا أ َ ْه َوا َء قَ ْو ٍم قَد‬ ِ ‫قُ ْل يَاأ َ ْه َل ْال ِكتَا‬
َ ‫ب َلَ ت َ ْغلُوا فِي دِينِ ُك ْم‬
‫سبِي ِل‬
‫ال ا‬

“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, janganlahkamuberlebih-lebihan (melampauibatas)


dengancaratidakbenardalamagamamu. Dan janganlahkamumengikutihawanafsu orang-
orang yang telahsesatdahulunya (sebelumkedatangan Muhammad) dan
merekatelahmenyesatkankebanyakan (manusia), dan merekatersesatdarijalan yang lurus’.”
(QS Al-Maidah: 77)

Nabi shallallâhu
‘alaihiwasallammenjadikanYahudisebagaicontohtipikalterhadapsetiap orang yang
rusakirâdah (kemauan)nya. Merekamengetahuikebenaran, namunmenyimpangdarinya.
Nabi shallallâhu ‘alaihiwasallammenjadikan Nasrani sebagaicontohtipikalterhadapsetiap

26
orang yang tidakmemilikiilmu dan inginmeraihkebenaran.
Merekakebingungandalamkesesatan dan tidakmendapatkanpetunjukmenujukebenaran.

Contohlainnyaadalah tafsir azh-zhulmu (kezaliman) dalamfirman Allah ta‘ala,

َ‫ظ ْل ٍم أُولَئِكَ لَ ُه ُم ْاأل َ ْمنُ َوهُ ْم ُم ْهتَدُون‬ ُ ِ‫الاذِينَ َءا َمنُوا َولَ ْم يَ ْلب‬
ُ ِ‫سوا إِي َمانَ ُه ْم ب‬

“Orang-orang yang beriman dan tidakmencampuradukkanimanmerekadengankezaliman,


merekaitulah orang-orang yang mendapatkeamanan dan merekaituadalah orang-orang
yang mendapatpetunjuk.” (QS Al-An‘am: 82)

Ahmad, Bukhari, Muslim, dan perawilainnyameriwayatkandariIbnuMas‘ud, iaberkata,


“Tatkalaturunayatini, ‘Orang-orang yang beriman dan
tidakmencampuradukkanimanmerekadengankezaliman’, para sahabatmerasakeberatan.
Merekaberkata, ‘YaRasulullah, siapakah di antarakita yang
tidakberbuatkezalimanterhadapdirinya?’ Rasulullahbersabda,
‘Sesungguhnyaartinyabukanlah yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengarapa
yang dikatakan oleh seorang hamba shalih (Lukman),
‘Sesungguhnyasyirikadalahkezaliman yang besar’. Sesungguhnyakezaliman (yang
dimaksuddalamayatitu) adalahsyirik.”

3. Mengambilpendapat para sahabat

Abu Abdurrahman As-Salma, seorangtabi’in yang mulia, meriwayatkandari para senior


penghapal Al-Quran darisahabatRasulullahshallallâhu
‘alaihiwasallambahwaapabilaturunkepadamerekasepuluhayat,
merekatidaklangsungmelaluinyahinggamengetahuiilmu dan amal yang terdapat di
dalamnya. Merekamengatakan, “Kami mempelajari Al-Quran, ilmu, dan
amalsecarakeseluruhan.”

Diriwayatkandarisahabat yang mulia, Abdullah bin Mas‘ud, bahwaiaberkata,


“Barangsiapa di antara kalian inginmeneladaniseseorang, makahendaknyaiameneladani
para sahabatRasulullahshallallâhu ‘alaihiwasallam. Sesungguhnyamerekaadalah orang-
orang yang paling bersihhatinya di kalanganumatini, paling mendalamilmunya, paling
sedikitbebannya, paling luruspetunjuknya, dan paling baikkeadaannya. Allah
memilihmerekauntukmenemani Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihiwasallam dan menegakkan
din-Nya. Kenalilahkeutamaanmereka dan ikutilahatsarmereka.”

27
Para sahabatmenafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, laludengan As-Sunnah.
Apabilatidakmendapatkan tafsir dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullahshallallâhu
‘alaihiwasallam, merekamelakukan ijtihad karenamerekaadalah orang Arab tulen,
menyaksikanturunnya Al-Quran, dan menghadirimajelis-majelisRasulullahshallallâhu
‘alaihiwasallam, sementara Al-Quran turundenganbahasa Arab yang jelas. Kita mengambil
tafsir sahabat dan lebihmemprioritaskannyadaripada tafsir generasisesudahnyakarena pada
dirimerekaterpenuhisarana-saranauntukmelakukan ijtihad sebagaiberikut:

Pertama, merekamengetahuimaksud dan rahasiabahasa Arab. Hal


inimembantumerekauntukmengetahuiayat-ayat yang
pemahamannyaberkaitandenganpemahamanbahasa Arab.

Kedua, merekamengetahuiadat dan karakterbangsa Arab. Hal


inimembantumerekauntukmemahamiayat-ayat yang berkaitandenganperbaikanadat dan
perilakumereka, sepertifirman Allah ta’ala, (‫ْال ُك ْف ِر‬ ‫فِي‬ ٌ ‫ِز َيادَة‬ ‫الناسِي ُء‬ ‫) ِإنا َما‬
“Sesungguhnyamengundur-undurkanbulan haram ituadalahmenambahkekafiran” (QS At-
Taubah: 37) dan (‫ورهَا‬ ُ
ِ ‫ظ ُه‬ ‫مِ ْن‬ َ‫ْالبُيُوت‬ ‫ت َأْتُوا‬ ‫بِأ َ ْن‬ ‫ْالبِر‬ َ ‫) َولَي‬
‫ْس‬ “Dan
bukanlahkebajikanmemasukirumah-rumahdaribelakangnya” (QS Al-Baqarah: 189). Ayat
sepertiinihanyadapatdipahami oleh orang yang mengetahuiadat Arab pada masa jahiliyah.

Ketiga, merekamengetahuikeadaanyahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada


saatturunnya Al-Quran Al-Karim. Hal inimembantumerekauntukmengetahuiayat-ayat
yang membicarakanYahudi dan Nasrani, perkara-perkara yang mereka (Yahudi dan
Nasrani) lakukan, dan bagaimanamerekamemusuhikaumMuslimin.

Keempat, merekamengetahuiasbâb an-nuzûl (sebab-sebabturunnyaayat)


karenamerekamenyaksikanturunnyaayat dan ikutterlibatdalamberbagaiperistiwa yang
disebutkan Al-Quran.
Pengetahuanmengenaihalitumembantumerekauntukmemahamibanyakayat. Oleh
karenaitu, IbnuTaimiyahrahimahullâhta‘âlâmengatakan, ‘Mengetahuiasbâb an-
nuzûldapatmembantuuntukmemahamisuatuayatkarenapengetahuanterhadapsebabakanmel
ahirkanpengetahuanterhadapmusabab.’

Kelima, merekamemilikikekuatandalampemahaman dan pengetahuan. Allah


telahmenganugerahkankepadamerekaakal dan pemahaman yang
dengannyamerekadapatmelihatbanyakfaktorsecarajelas. Inimerupakanperkara yang
sudahmaklumdarisejarahperjalananhidup para sahabatradhiyallâhu ‘anhum. Denganfaktor-

28
faktortersebut, para sahabatbanyakmemahamiayat Al-Quran Al-Karim yang
tidakterdapattafsirnyadalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Tafsir sahabatberdasarkanhukumnyaterbagimenjadidua:

1. Apabilatermasukperkara yang di luar wilayah akal, misalnyaperkara-perkaraghaib,


asbâb an-nuzûl, dan sebagainya, makahukumnyamarfû‘. Wajibmengambilnya.

2. Apabilaselainitu, yaituperkara yang kembali pada ijtihad para sahabat,


makahukumnyamauqûfselamasanadnyatidakbersandarkepada Rasul shallallâhu
‘alaihiwasallam. Sebagian ulama mewajibkanuntukmengambil tafsir sahabat yang
mauqûfkarenamerekamenyaksikankorelasi dan kondisi yang dikhususkankepadamereka
dan tidakdikhususkankepadaselainmereka.

Imam Abu Ya‘lamenyatakanwajibnyaberpegang pada tafsir sahabat. Iamengatakan,


“Adapun tafsir sahabat, makawajibkembalipadanya. Inilahkesimpulandaripendapat Ahmad
rahimahullâh di beberapatempatdalamMusnadnyabagian kitabthâ‘ahAr-Rasûl (menaati
Rasul) shallallâhu ‘alaihiwasallam …
Alasannyaadalahkarenamerekamenyaksikanperistiwaturunnya Al-Quran dan
menghadiritakwilsehinggamengetahuipenafsirannya. Oleh karenaitu, kami
menganggapperkataanmerekasebagaihujjah.”

Contoh tafsir sahabat di antaranyaadalah yang diriwayatkandariIbnu Abbas


mengenaifirman Allah ta‘ala,

َ ‫ض كَانَت َا َرتْقًا فَفَت َ ْقنَاهُ َما َو َجعَ ْلنَا مِ نَ ْال َماءِ ُك ال‬
َ‫ش ْيءٍ َحي ٍ أَفَالَ يُؤْ مِ نُون‬ َ ‫ت َو ْاأل َ ْر‬ ‫أ َ َولَ ْم يَ َر الاذِينَ َكف َُروا أ َ ان ال ا‬
ِ ‫س َم َوا‬

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidakmengetahuibahwasanyalangit dan


bumiitukeduanyadahuluadalahsuatu yang rapat, kemudian Kami pisahkanantarakeduanya.
Dan dari air Kami jadikansegalasesuatu yang hidup. Makamengapakahmerekatiada juga
beriman?” (QS Al-Anbiya‘: 30)

Ibnu Abbas mengatakan, “Langitdahulurapat, yaitutidakmenurunkanhujan.


Bumidahulurapat, yaitutidakmengeluarkantumbuhan. Lalu Allah
memisahkanlangitdenganhujan dan bumidengantumbuhan.”
SeseorangkemudiandatangkepadaIbnu Umar radhiyallâh ‘anhumâ dan
memberitahukanapa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Umar berkata, “Akukatakan,
mengapaakuharusheranterhadapkeberanianIbnu Abbas dalammenafsirkan Al-Quran.

29
Sekarangengkautelahmengetahuibahwaiadianugerahiilmu.” Atsarinidiriwayatkan oleh
Abu Nu‘aimdalamAl-Hilyah. As-Suyuthy juga menyebutnyadalamAl-Itqân.

4. Mengambilpendapat para kibâr (senior) tabi’in, seperti Mujahid, Ibnu Jabr,


Sa‘idIbnuJubair, ‘Ikrimah dan ‘Atha’ bin Abi Ribah, Al-Hasan Al-Bashry, Masruq bin Al-
Ajda’, Sa‘id bin Musayyib, dan sebagainya yang mempelajarilangsungsemua tafsir dari
para sahabatridhwânullâh ‘alaihim.

Terdapatperbedaanpendapat di antara ulama mengenaihukummengambil tafsir yang


dinukildaritabi‘in. Pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama menyatakanbahwa tafsir
tabi‘intermasuktafsir bilma’tsûrkarenasecaraumummerekamempelajarinyadarisahabat.

Al-HafizhIbnu Rajab menyatakanbahwailmu yang paling utamadalam tafsir


adalahatsardarisahabat dan tabi‘in. Iamengatakan, “Ilmu paling utamadalam tafsir Al-
Quran, maknahadits, sertapembicaraanmengenai yang halal dan yang haram adalahatsar
yang berasaldarisahabat, tabi‘in, dan orang-orang yang mengikutimerekahinggaberakhir
pada zaman para imam Islam yang terkenal dan terteladani.”

Setelah menempuhmanhajtafsir bilma’tsûrterlebihdahulu,


barulahseorangmufassirdiperbolehkanmenggunakanra’yunyadalammenafsirkan Al-Quran
dengantetapmemperhatikanketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tafsir. Sebab,
menurutSyaikh Muhammad Al-Ghazali, tafsir bilma’tsûrakanberhenti pada makna-makna,
pemahaman, dan pesan-pesan yang disampaikan oleh riwayat-riwayat yang ada.
Sementaraitu, tafsir birra’yi –yang sesuaidengankaidah— itulah yang
justruberpotensiuntukterusberkembang dan tidakberhenti. Karena tafsir yang demikian
yang terusberinteraksidenganmasalah-masalah sastra, kalam, bahasa, hukum, dan
problematikakehidupanlainnya.

Oleh karenaitu, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawikemudianmenawarkankarakteristik tafsir


ideal yang diharapkansesuaidengankaidah yang diakui para ulama dan pada saat yang
samadapatmengiringiritmeperkembangan zaman. Karakteristik-karakteristik tafsir ideal
tersebutsecararingkasadalahsebagaiberikut:

Pertama, menggabungkanantarariwayah dan dirayah.

30
Kedua, menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran.

Ketiga, menafsirkan Al-Quran dengan sunnah yang shahih.

Keempat, memanfaatkan tafsir sahabat dan tabi‘in.

Kelima, mengambilkemutlakanbahasa Arab.

Keenam, memperhatikankonteksredaksionalayat.

Ketujuh, memperhatikanasbâb an-nuzul.

Kedelapan, meletakkan Al-Quran sebagaireferensiutama.

b. SyaratKedua: AspekKepribadian

Adapun syaratkedua yang harusterpenuhi pada diriseorangmufassiradalahsyarat yang


berkaitandenganaspekkepribadian. Yang dimaksuddenganaspekkepribadianadalahakhlak
dan nilai-nilairuhiyah yang harusdimiliki oleh seorangmufassir agar
layakuntukmengembanamanahdalammenyingkap dan menjelaskansuatuhakikatkepada
orang yang tidakmengetahuinya. Para ulama
salafshalihmengartikulasikanaspekinisebagaiadab-adabseorang alim.

Imam Abu ThalibAth-Thabarymengatakan di bagianawaltafsirnyamengenaiadab-


adabseorangmufassir, “Ketahuilahbahwa di antarasyaratmufassir yang pertama kali
adalahbenarakidahnya dan komitmenterhadap sunnah agama. Sebab, orang yang
tertuduhdalamagamanyatidakdapatdipercayadalamurusanduniawi,
makabagaimanadalamurusan agama? Kemudianiatidakdipercayadalam agama
untukmemberitahukandariseorang alim,
makabagaimanaiadipercayauntukmemberitahukanrahasia-rahasia Allah ta‘ala?
Sebabseseorangtidakdipercayaapabilatertuduhsebagaiatheisadalahiaakanmencari-
carikekacauansertamenipumanusiadengankelicikan dan
tipudayanyasepertikebiasaansekteBathiniyah dan sekteRafidhahekstrim.
Apabilaseseorangtertuduhsebagaipengikuthawanafsu,
iatetaptidakdapatdipercayakarenaakanmenafsirkan Al-Quran berdasarkanhawanafsunya
agar sesuaidenganbid‘ahnyasepertikebiasaansekteQadariyah. Salah seorang di
antaramerekamenyusun kitab dalam tafsir denganmaksudsebagaipenjelasanpahammereka
dan untukmenghalangiumatdarimengikutisalaf dan komitmenterhadapjalanpetunjuk.”

31
Sementaraaraitu, Imam As-Suyuthymengatakan,
“Ketahuilahbahwaseseorangtidakdapatmemahamimaknawahyu dan
tidakakanterlihatolehnyarahasia-rahasianyasementara di dalamhatinyaterdapatbid‘ah,
kesombongan, hawanafsu, ataucinta dunia, ataugemarmelakukandosa, ataulemahiman,
ataubersandar pada pendapatseorangmufassir yang tidakmemilikiilmu,
ataumerujukkepadaakalnya. Semuainimerupakanpenutup dan penghalang yang
sebagiannyalebihkuatdaripadasebagianlainnya. Saya katakan, inilahmaknafirman Allah
ta‘ala,

ِ ‫ض بِغَي ِْر ْال َح‬


‫ق‬ ِ ‫ِي الاذِينَ يَت َ َكب ُارونَ فِي ْاأل َ ْر‬
َ ‫ع ْن َءايَات‬
َ ‫ف‬ ْ َ ‫سأ‬
ُ ‫ص ِر‬ َ

“Akuakanmemalingkan orang-orang yang menyombongkandirinya di


mukabumitanpaalasan yang benardaritanda-tandakekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)

Sufyan bin ‘Uyainahmengatakan, ‘Para ulama mengatakanbahwamaksudayat di


atasadalahdicabutdarimerekapemahamanmengenai Al-Quran.’ Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Hatim.”

Berdasarkanperkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad BazawyAdh-


Dhawymeringkaskansejumlahadab yang harusdimiliki oleh seorangmufassir, yaitu:

1. Akidah yang lurus

2. Terbebasdarihawanafsu

3. Niat yang baik

4. Akhlak yang baik

5. Tawadhu‘ danlemahlembut

6. Bersikapzuhudterhadap dunia hinggaperbuatannyaikhlassemata-matakarena Allah


ta‘ala

7. Memperlihatkantaubat dan ketaatanterhadapperkara-


perkarasyar‘isertasikapmenghindardariperkara-perkara yang dilarang

8. Tidakbersandar pada ahlibid‘ah dan kesesatandalammenafsirkan

9. Bisa dipastikanbahwaiatidaktundukkepadaakalnya dan


menjadikanKitâbullâhsebagaipemimpin yang diikuti.

32
Selainsembilan point di atas, SyaikhManna‘ Al-Qaththanmenambahkanbeberapaadab
yang harusdimiliki oleh seorangmufassir, yaitu:

1. Mengamalkanilmunya dan bisadijadikanteladan

2. Jujur dan telitidalampenukilan

3. Berjiwamulia

4. Beranidalammenyampaikankebenaran

5. Berpenampilansimpatik

6. Berbicaratenang dan mantap

7. Mendahulukan orang yang lebihutamadaridirinya

8. Siap dan metodologisdalammembuatlangkah-langkahpenafsiran

SyaikhThahir Mahmud Muhammad Ya‘kub juga mengemukakansyarat yang


berkaitandengansifat-sifatmufassir.Syarat-syaratterpentingtersebut di
antaranyaadalahsebagaiberikut

- Akidah yang shahih dan pemikiran yang bersih

- Maksud yang benar dan niat yang ikhlas

- Mentadabburi dan mengamalkan Al-Quran secaramendalam

- Mengetahuipokok-pokokilmu yang berhubungandengan Al-Quran Al-Karim dan


tafsirnya, sepertiilmuqiraah, asbâb an-nuzûl, nâsikhdan mansûkh

- Bersandar pada naql (penukilan) yang benar

- Mengetahuibahasa Arab dan uslubnya

- Tidaksegeramenafsirkanberdasarkanbahasasebelummenafsirkanberdasarkanatsar

- Ketika terdapatberagammaknai‘rab, wajibmemilihmakna yang sesuaidenganatsar


yang shahihsehinggai‘rabmengikutiatsar

- Mengetahuikaidah-kaidah yang dikemukakansalafushshalihuntukmemahami dan


menafsirkan Al-Quran

- Mengetahuikaidah-kaidahtarjîhmenurut para mufassir

33
- Tidakmembicarakansecarapanjanglebarperkara-perkara yang hanyadiketahui oleh
Allah, misalnyaasma’ dan sifat-Nya, sertatidakterburu-burudalammenetapkansifat Allah
ta‘aladari Al-Quran Al-Karim.

- Berlepasdiridarihawanafsu dan ta‘ashubmadzhabi

- Tidakmengambil tafsir dariahlibid’ah, sepertiMu‘tazilah, Khawarij, para pentakwilsifat


Allah, dan sebagainya

- Menghindariisrailiyat

- Menjauhimasalah-masalahkalamiah dan pemikiran-pemikiranfilsafat yang jauhdari Al-


Kitab dan As-Sunnah sertaberkontradiksidengankeduanya

- Tidakmembebanidiridalam tafsir ilmiah

- Jujurketikamenukil

- Mendahulukan orang yang lebihutamadarinyadalammengambil dan menukil tafsir


sertamengembalikankepada orang yang iamengambildarinya

Termasukadab yang harusdiperhatikan oleh


mufassiradalahiawajibmenghindariperkara-perkaraberikutketikamenafsirkan Al-Quran:

1. Terlaluberanimenjelaskanmaksud Allah ta‘aladalamfirman-Nya


padahaltidakmengetahui tata bahasa dan pokok-pokoksyariatsertatidakterpenuhiilmu-ilmu
yang barubolehmenafsirkanjikamenguasainya.

2. Terlalujauhmembicarakanperkara yang hanyadiketahui oleh Allah, sepertiperkara-


perkaramutasyâbihât. Seorangmufassirtidakbolehterlaluberanimembicarakansesuatu yang
ghaibsetelah Allah ta‘alamenjadikannyasebagai salah saturahasia-Nya dan hujjahatas
hamba-hamba-Nya.

3. Mengikutihawanafsu dan anggapanbaik (istihsân).

4. Tafsir untukmenetapkanmadzhab yang


rusakdenganmenjadikanmadzhabtersebutsebagailandasan, sementara tafsir mengikutinya.
Akibatnya,
seseorangakanmelakukantakwilsehinggamemalingkanmaknaayatsesuaidenganakidahnya
dan mengembalikannya pada madzhabnyadengansegalacara.

34
5. Tafsir denganmemastikanbahwamaksud Allah begini dan beginitanpalandasandalil.
Perbuataninidilarangsecarasyar’iberdasarkanfirman Allah ta‘ala,

َ ‫َوأ َ ْن تَقُولُوا‬
َ‫علَى هللاِ َما َلَ ت َ ْعلَ ُمون‬

“Dan (janganlah) mengatakanterhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-
Baqarah: 169)

35
BAB III

PENUTUP

3.1 .Kesimpulan
A. Ilmu tafsir
Tafsir adalah ilmu syaria’at yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Karena objek
pembahasannya adalah kalamullah. Tujuan utama mempelajarinya untuk dapat
berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebenaran yang hakiki. Kebutuhan akan
tafsir adalah mendesak karena segala kesempurnaan agama dan kehidupan dunia
haruslah sejalan denga napa yang terkandung dalam Al-Qur’an.
B. Macam-macam metode penafsiran
Pembahasan mengenai klasifikasi tafsir tidak terlepas dari metode yang digunakan
mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Muhammad ali al-Shabuni menerangkan
“secara umum metode tafsir yang sering dipakai ulama tafsir ada tiga, yakni tafsir bi
al-ma’tsur , tafsir bi al-ra’yi, tafsir bi al- isya’ri.
C. Syarat menjadi mufasir
Seorang mufasir selain telah memenuhi persyaratan menjadi mufasir. Mereka juga
hendak memperhatikan adap berikut ini: 1). Berniat baik dan bertujuan benar 2).
Berakhlak baik 3). Taat beramal 4). Jujur dan teliti dalam penukilan 5). Tawadhu 6).
Berjiwa mulia 7). Vocal dalam menyampaikan kebenaran 8). Berpenampilan baik 9).
Bersikap tenang dan mantap 10). Mendahulukan orang yang lebih utama daripadanya
11). Mempersiapkan dan menempuh langakah-langkah penafsiran secara baik.

3.2 Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini masih banyak sekali kesalahan
dan sangat jauh dari kata sempurna. Tentunya penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenaitu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

36
DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.H. Drajat Amroeni, M.Ag. 2017. Ulumul Qur’an pengantar ilmu-ilmu Al-
Qur’an. Depok. Kencana

Syekh Az-Zarqoni. 2008. Mazahibul U’rfan Riwayat Ibn Abbas. Bekasi. Al-Fikri

Dr.KH.Nasrudin Juana, M.Kom.I. 2017. Kaidah Tafsir Ilmu Al-Qur’an Praktis.


Yogyakarta. Deepublish

http://digilib.uinsby.ac.id/4485/5/Bab%202.pdf

https://www.academia.edu/9760388/Syarat_Mufassir

37

Anda mungkin juga menyukai