Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH STUDI AL – QUR’AN

“TAFSIR AL – QUR’AN”

DosenPengampuh:
H. MUFTI LABIB, Lc, MCL

Disusun Oleh:
FIKRI AFIF (B94218084)
SYAIFULLAH ANNUR (B94218074)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2019

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkat dan
rahmat-NYA, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas kelompok studi Al-Qur’an
ini.

kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan,


namun kami telah berusaha semaksimal mungkin. Maka dari itu, diharapkan saran
dan kritik yang bersifat membangun untuk memperbaiki dan melengkapi segala
kekurangan dari makalah ini.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih. Harapan terakhir, semoga makalah
ini bermanfaat bagi kami dan pembaca pada umumnya.

Surabaya, 22 MEI 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………...ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………1


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………..1
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pendapat Hanan dan Freeman………………………………………………...........2


2.2 Kelemahan Teori Ekologi Populasi………………………………………………..5

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………..8

3.2 Saran……………………………………………………………………………….8

BAB IV Daftar Pustaka

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Di samping itu, dalam
ayat dan surat yang sama, diinformasikan juga bahwa alQur`an sekaligus menjadi penjelasan
(bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara
yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari alQur`an. Manusia
akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya
terhadap petunjuk alQur`an tersebut.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah
sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci.
Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi.
Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya
secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula
dari pandangan makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat
aneka ragam dan tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an
mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka
menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwiltarkib (susunan kalimat) dan
menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.

B. Rumusan Masalah
1.2 Apa pengertian dari Tafsir, Ta’wil dn Terjemah Qur’an ?
1.3 Apa ciri interoretasi nabi dalam memahami Qura’an?
1.4 Apa ciri interoretasi sahabat dalam memahami Qura’an?
1.5 Apa Cerita (Riwayat) Israiliyat Dalam Penafsiran Qur’an?
1.6 Apa saja macam Tafsir dalam Qur’an?

C. Tujuan dan Manfaat


2.1 Untuk mengetahui ilmu Tafsir Qur’an
2.2 Untuk mengetahui macam-macam ilmu Tafsir Qur’an

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH


1. Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan ”‫”تَفَعَيَل‬, berasal dari asal kata َ‫ر( الفسر‬.‫س‬.‫َ)ف‬yang
berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak dan
menyingkap yang tertutup. Fi’ilnya mengikuti wazan ”َ‫ َيضرب‬-َ ‫”ضرب‬.1. Dalam al-Qur`an
dinyatakan:

َ ﴾٣٣﴿َ‫والَيأتونكَبمث ٍلَإالََّجئناكَبالحقَوأحسنََتفَسيرَا‬
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil melainkan kami
datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (QS. Al-Furqon :
33)
Maksudnya: setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal
yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata
Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang membahas
tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya,
baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya.
2. Ta’wil
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “َ‫”أول‬, yang berarti kembali ke asal. Adapun
mengenai arti takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-
ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu. Dengan
kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang
bukan merupakan makna lahirnya.
Perbedaan antara keduanya dapat dipaparkan di bawah ini.

1
Manna al-Qatthan, Mabahits fi ulumil Qur’an (diterjemahkan red) (1971:277)

v
1. Tafsir
 Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat
 Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
 Banyak berhubungan dengan riwayat
 Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
2. Ta’wil
 Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
 Kebanyakan diistinbath oleh para ulama
 Banyak berhubungan dengan dirayat
 Menerangkan hakikat yang dikehendaki
3. Terjemah
Secara lafazh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan

(kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Yang dimaksud dengan َ‫ ترجم‬atau َ‫ َترجم‬adalah yang
menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang
lain.
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan oleh
Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:
Terjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam
suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa
pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1. Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang
serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai
dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2. Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan
dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan
susunan kalimatnya.
A. Ciri Interpretasi Nabi Saw Dalam Memahami Al-Qur’an
Ada dua jenis interpretasi oleh Nabi saw: praktis dan ekspositoris.
1. Interpretasi praktis adalah bentuk interpretasi dimana Nabi saw mempraktekan instruksi al-
Qur’an. Sedangkan interpretasi ekspositoris adalah interpretasi dimana Nabi saw

vi
menjelaskan apa yang dimaksud ayat tertentu. Interpretasi ‘praktis’ dapat disebut ‘tidak
langsung’, sedang interpretasi ‘ekspositoris’ bisa disebut ‘langsung’. Dan sebagian besar
penafsiran Nabi saw kepada para pengikutnya adalah jenis interpretasi praktis.
Contoh interpretasi praktis atau tidak langsung adalah tatacara salat. Al-Qur’an
memerintahkan umat Islam untuk melakukan salat tetapi tidak memberikan rincian tentang
bagaimana melaksanakannya. Nabi saw mengajarkan pengikutnya bagaimana melakukan
salat dengan melakukan sendiri (melalui sikap/Hadith/fi’ly). Demikian juga perintah untuk
membayar zakat, Nabi saw. menempatkan pengajarannya dalam praktek dengan
menerapkan sistem zakat melalui instruksi.
Hubungan antara Nabi saw dan al-Qur’an intim dan timbal balik. Firman Allah
telah diberikan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab, melalui media Nabi, yang adalah
dirinya sendiri. Disinilah letak keunikan penafsiran Nabi saw karena beliau mendapatkan
pengalaman dan keterlibatan mendalam dengan ‘kata’ yang memberinya wewenang untuk
menafsirkan al-Qur’an.
C. Ciri Interpretasi Sahabat r.a Dalam Memahami Al-Qur’an
Beberapa sahabat Nabi saw mengalami kesulitan memahami ayat-ayat tertentu. Salah
satu alasan bagi kesulitan ini mungkin adalah bahwa al-Qur’an itu dibaca dan diucapkan dalam
dialek Quraysh, yang diucapkan di Makkah dan daerah sekitarnya. Kesulitan para sahabat dalam
memahami beberapa referensi historis dari al-Qur’an, khusunya kisah-kisah para nabi (qasas al-
anbiya’) dan bangsa di masa lalu.
Penafsiran para sahabat ‘sering agak pribadi’, mereka menyatakan apa yang mereka pikir
adalah arti yang paling sesuai untuk teks. Wafatnya Nabi saw berarti bahwa umat Islam baru
harus bergantung pada sahabat terkemuka untuk pemahaman mereka tentang agama dan al-
Qur’an.
Tidak diragukan lagi al-Qur’an adalah sumber fundamental bagi agama baru, tetapi bagi
pemeluk baru banyak yang tidak mengalami zaman Nabi saw, dan yang datang dari latar
belakang bahasa dan agama lain, sehingga sulit mengakses makna al-Qur’an secara langsung.
Karena itu, sahabat memainkan peran utama dalam memastikan bahwa teks dimengerti untuk
Muslim generasi baru, yang banyak diantaranya tidak mengetahui dialek Quraysh Arab.
Para tektualis mengandalkan tiga prinsip dalam pendekatan tafsir mereka, yang
mendasari pemahaman, interpretasi, dan aplikasi aturan al-Qur’an pada kehidupan sehari-hari

vii
bagi individu dan masyarakat. Pertama, bahwa teks dianggap sebuah ketetapan, dan tujuan dasar
untuk memahami al-Qur’an; kedua, bahwa banyak teks didalam al-Qur’an maupun hadith yang
menunjukkan bahwa agama Islam telah sempurna, dalam arti bahwa al-Qur’an maupun hadith
telah menyinggung semua aturan, baik yang bersifat individu maupun social; ketiga, tidak
diperlukan lagi adanya penelusura lebih lanjut, klarifikasi, atu justifikasi murni berdasarkan
rasio. Maka sejak saat itu, peran akal sedikit demi sedikit terbatasi dalam memahami dan
mengaplikasikan teks-teks suci, khususnya diwilayah Islam Sunni.
Pendekatan kubu konstektual berupaya untuk menciptakan keharmonisan antara teks dan
ra’yu (aql). Tujuannya adalah untuk sistematisasi hukum dan kesatuan titik-utama dalam
komunitas muslim. Sementara tidak ada perselisihan antara dua trend pada al-Qur’an sebagai
sumber hukum yang paling penting, namun ada perbedaan tingkat fleksibilitas yang harus ada
dalam penggunaan rasio (ra’y) dalam interpretasi (tafsir) dan hukum. Sebuah media penting
yang di anggap berguna dalam hal ini adalah qiyas (analogi). Qiyas adalah produk sampingan
dari ra’y yang bertugas untuk memperluas lingkup teks hukum, juga membantu menafsirkan dan
menerapkan teks kedalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian maka sumber penafsiran al-
Qur’an pada masa sahabat adalah al-Qur’an, Hadith, ijtihad, dan Ahl al-Kitab.
D. Cerita (Riwayat) Israiliyat Dalam Penafsiran Al-Qur’an
1. Pengertian Cerita (Riwayat) Israiliyat. Israiliyat merupakan cerita yang dikisahkan dari
sumber Israiliy. Israiliyah dinisbatkan kepada Israil, yaitu Ya’qub dan Ishaq bin Ibrahim,
yang mempunyai 12 keturunan. Bani Israil adalah juga disebut dengan Yahudi.
Meski pada mulanya cerita ini menunjukkan kisah-kisah yang bersumber dari orang-
orang Yahudi, tetapi kemudian masuk kedalam istilah ini semua cerita lama, baik yang
bersumber dari Yahudi maupun Nasrani atau semua agama di luar Islam yang merembes
pada penafsiran al-Qur’an dan Hadith.
2. Macam-Macam Cerita (Riwayat) Israiliyat.
a. Dari segi sah atau tidaknya, terbagi menjadi dua yaitu :
1) Cerita yang sahih, maka boleh diriwayatkan.
2) Cerita yang tidak sahih , maka tidak boleh diriwayatkan.
b. Dari segi sesuai atau tidaknya, terbagi menjadi dua yaitu :
1) Cerita yang sesuai dengan shara’, maka boleh meriwayatkan dan mengambilnya
2) Cerita yang tidak sesuai dengan shara’, maka tidak boleh meriwayatkan

viii
c. Dari segi materi, terbagi menjadi tiga yaitu :
1) Berhubungan dengan aqidah
2) Berhubungan dengan syari’ah (hukum)
3) Berhubungan dengan nasehat atau peristiwa atau kejadian yang tidak berkaitan
dengan aqidah maupun hukum.
3. Perawi yang termasyhur
Para sahabat yang banyak meriwayatkannya antara lain; Abu Hurairah, Ibn Abbas,
Abdullah bin Amr bin ‘As. Para sahabat yang berasal dari Ahl al-kitab yang paling
menonjol dalam menghilangkan cerita israilat yang merusak dan mengganggu aqidah dan
identitas kaum muslimin adalah Abdullah Bin Salam dan Tamim ad-Dari.
4. Kitab-kitab tafsir yang melibatkannya.
Dari segi periwayatan israiliyat dengan cara mendiamkan dan mengkritisi antara lain;
a. Tafsir Ibn Jarir at-Tabariy;
1) Pengarang menuangkan dengan menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan bisa
diterima atau tidaknya cerita tersebut.
2) pengarang menyertakan sanad dengan sempurna
3) membiarkan pembaca untuk meriwayatkan atau tidak.
b. Tafsir Ibn Kathir
1) Pengarang menuangkannya dengan meriwayatkan sanad-sanadnya.
2) Pengarang memberikan komentar tentang cerita tersebut dengan menjelaskan
hakekat dan pertimbangnnya.
3) Pengarang menyeleksi periwayatannya dengan ketat.
c. Tafsir muqatil bin Sulaeman
1) Pengarang menuangkannya dengan tanpa memberikan sanad sama sekali.
2) Pengarang menuangkannya dengan tanpa memberikan komentar.
3) Pengarang menuangkannya dengan tanpa memberikan penyeleksian.
d. Tafsir Khazin Lubab at-Ta’wil fi ma’an at-tanzil
1) Pengarang menuangkannya dengan tanpa memberikan sanad sama sekali.
2) Pengarang terkadang menunjukkan kelemahan riwayatnya dengan menggunakan
sigat (bentuk kata) yang kurang sehat (qila).

ix
3) Pengarang terkadang meriwayatkan riwayatnya tanpa dituntaskan, karena di
dalamnya terdapat kebatilan yang mengarah kepada peyimpangan aqidah, misalnya
merusak citra ke-ismahan/kema’suman (terpeliharanya) pribadi seorang rasul Allah
dari perbuatan dosa.
e. Tafsir al-Alusiy
1) Pengarang menuangkannya dengan tanoa memberikan sanad sma sekali.
2) Pengarang menuangkannya dengan tujuan mengkritisi cerita dengan tajam.
3) pengarang menuangkannya dengan tujuan memberi peringatan kepada pembaca
agar tidak larut dalam cerita.
E. Macam Tafsir Dalam Berbagai Dimensinya
Perkembangan tafsir al Qur’an sejak masa Nabi saw., para sahabat r.a, sampai dengan
zaman kini, dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: metodologis (manhaj) dan
karakteristik/corak (lawn/naz’ah/ittijah). Secara metodologis, aktifitas penafsiran ditinjau
dari sisi sumber penafsirannya, cara penjelelasannya, cara menetukan sasaran dan susunan
ayat-ayat yang ditafsirkannya, serta keluasan penafsirannya. Sedang karakteristik penafsiran
dapat ditelusuri dari sisi kecenderungan penafsir dalam menyajikan karya penafsirannya.
 Jenis-Jenis Tafsir Dari Segi Sumber
A. Tafsir bil Ma’tsur

Yaitu tafsir yang didasarkan pada nukilan-nukilan yang sahih menurut urutan, yaitu

al-Quran, al-Hadits, pendapat sahabat, pendapat tabi’in. Adapun nama-nama kitab dengan

corak tafsir bil ma’tsur ini diantaranya:

1. Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jamiul bayan fi tafsiril Quran;

2. Tafsir As-Samarqandi dengan nama kitab Bahrul Ulum dengan pengarang Nashr bin

Muhammad As-Samarqandi;

3. Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal bayan ‘an tafsiril Quran;

4. Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mansar fil Tafsiri bil-Matsur;

5. Tafsir Abu Fida Ibn Katsir, Tafsirul Quranil Adzim;

x
6. afsir Ma’limut Tazil karangan Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi.2

B. Tafsir bir-Ra’yi

Yaitu tafsir yang didasarkan pada ijtihad sendiri berdasarkan akal semata. Adapun di

antara nama kitab tafsir degan jenis tafsir ini adalah:

1. Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib;

2. Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit;

3. Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin al-Mahalli dan muridnya Jalaluddin as-Suyuthi;

4. Tafsir Al-Baidawi, Anwarut Tanzil wa-Asrarut Tawi;

5. Tafsir Al-Khatib atau Tafsir As-Sirajul Munir karangan Muhammad

Asy-Syarbani Al-khatib;

6. Tafsir Ruhul Ma’ani karangan Syihabuddin Muhammad Al-Alusi al-

Baghdadi;

7. Tafsir Abi Saud yang bernama kitab Irsyadul ‘Aqli As-Salim karangan

Muhammad bin Muhammad bin Mustafa AthThalawi.3

C. Tafsir Isyari

Yaitu tafsir yang didasarkan pada isyarat yang kadang tidak tertangkap dari tekstual

lahirnya. Contoh tafsir Isyari adalah tentang ayat yang artinya: “Apabila telah datang

pertolongan Allah dan kemenangan” (QS an-Nasr [110]: 1), maka Ibnu Abbas

menafsirkan itu adalah isyarat tentang ajal Rasulullah yang sudah dekat. Tafsir isyari ini

banyak digunakan oleh kaum sufi berdasarkan kasyf atau ilham laduni dalam memahami

2 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, Terj. Aminuddin (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 311.
3
Ibid., hal. 316-317.

xi
isyarat makna batin dari Al-Quran. Menurut Ibnul Qayyim, tafsir isyari dapat diterima

apabila memenuhi empat persyaratan:

1. Tidak bertentangan dengan makna lahir ayat;

2. Maknanya sendiri sahih (tidak batil);

3. Terdapat indikasi bagi makna isyarat tersebut;

4. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat dan dapat

dipahami oleh akal yang sehat.4

Adapun di antara nama kitab tafsir degan jenis tafsir isyari ini adalah:

a. Tafsir Gharaibul Quran wa Raghaibul Furqan, karya Syeikh

Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad al-Husain al-Khurasani an-

Naisaburi;

b. Tafsir Haqaiqut Tafsir, karya Abu Abdurrahman Muhammad bin

Husain bin al-Asad as-Sulami;

c. Tafsir Ruhul Ma’ani, karya Syihabuddin as-Sayyid Muhammad al-

Alusi al-Baghdadi;

d. Tafsir Al-Qur’anul Azhim, karya Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin

Abdullah at-Tustari.5

 Macam- Macam Metode Penafsiran

Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak zaman dahulu hingga zaman

sekarang, akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur’an itu

dilakukan melalui empat metode, yaitu:

4
Ibid.,
5
Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, hal. 321.

xii
1. Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global,

dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas

sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun

memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh

lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada

pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat

yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.6

2. Metode Tahlili (Analitik)

Metode ini adalah metode yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan

ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-

Qur`an sebagaimana tercantum dalam al-Qur`an. Tafsir ini dilakukan secara berurutan

ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan

susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang

dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz,

balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari

ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain

sebagainya.7 Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan - bahasannya amat

teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalanpersoalan khusus yang mereka

alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang

6
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hal. 21-24.
7
Ibid., hal. 31-32.

xiii
merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu

“mengikat” generasi berikutnya.8

3. Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat

dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan

perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.9

4. Metode Maudhu’i (Tematik)

Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk

kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru

kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah

metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan

ayat-ayat AlQur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik

atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan

sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-

penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain

kemudian mengambil hukum-hukum darinya.10

8
Ibid., hal. 53-55.
9
Wikipedia, Tafsir Al-Qur’an. http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir Al-Qur’an.
10
Ibid.,

xiv
BAB III

PENUTUP

Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami

kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan

pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang

dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat

sasarannya.

Berdasarkan pembahasan yag lalu, dapat disimpulkan bahwa tarjamah adalah


memindahkan kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Sementara itu, tafsir ialah
menjelaskan makna-makna kitab Allah, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Sedangkan takwil bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain
(batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan al-Qur'an dan
al-Sunnah.
Kemudian pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal
pemerintahan Bani Abbasyah. Selain itu, ada beberapa jenis tafsir dilihat dari sumbernya, yaitu
tafsir bil matsur, tafsir bir-rayi (akal) dan tafsir isyari (isyarat). Adapun metode yang dipakai
dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode ijmali (global), metode tahlili (analitik), metode
muqarin dan metode maudhu’i (tematik).

xv
Daftar Pustaka

Anwar, Rosihon. 2010. Ulum Al-Qur’an. Badung: Pustaka Setia.

Ash- Shabuniy, Muhammad Ali. 1998. Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. Aminuddin. Bandung: Pustaka
Setia.

Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Munawir, Warson. A. 1997. Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap.Surabaya: Pustaka


Progresif.

AlFaruq,Ahmad.Tarjamah,TafsirdanTa’wil.http://ahmadfaruq.blogdetik.com/tafsir

Anyail,TafsirdanTa’wil, http://pendidikan-islamiyah.blogspot.com/2012/06/tafsirdan-
tawil.html.

Hasbullah,ImamFajri.KitabTafsirTematik.http://ilmutafsir.wordpress.com/2011/1
2/02/kitab-tafsir-tematik.

Wikipedia, Tafsir Al-Qur’an. http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir Al-Qur’an

xvi

Anda mungkin juga menyukai