Anda di halaman 1dari 80

Dr.Hj.Titin Nurhayati, M.S.

Zenal Furqon, S.Hum

NASKAH KITAB TĪJĀN AD-DARĀRĪ


Karya IBRĀHĪM AL-BĀJŪRĪ :
Edisi Teks, Transliterasi,Terjemahan dan Kajian Resepsi
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
…………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 3
……………………………………………………………… 9
1.2 Ringkasan Naskah 11
………………………………………………………...… 21
1.3 Deskripsi Naskah
……………………………………………………………
1.4 Teori dan Metode Penelitian
………………………………………………...
BAB II EDISI TEKS, TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN
2.1 Pengantar Edisi Teks ……….…………………………………..………….. 27
2.2 Edisi Teks 29
……….………………………………………………………….. 44
2.3 Transliterasi 57
………………………………………………………………… 67
2.4 Terjemahan
………….………………………………………………………
2.5 Ruang Kosong Teks Kitab Tījān ad-
Darārī……………………………………..
BAB IV KESIMPULAN 76
..……………………………………………………… 78
Daftar Pustaka
…………………………………………………………………...

2
3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang diciptakan dengan

berbagai keistimewaan, banyak hal yang bisa manusia lakukan, dewasa ini

manusia makin banyak membuat sesuatu yang menyerupai ciptaan Tuhan,

seperti pesawat terbang yang mengikuti burung, atau bahkan robot manusia

yang nantinya diharapkan bisa menggantikan fungsi manusia dalam hal

pekerjaannya. Akan tetapi semua yang manusia usahakan untuk menciptakan

ciptaan yang menyamai ciptaan tuhannya tidak akan bisa, secanggih apapun

manusia bereksperimen tetap tidak akan bisa menandingi ciptaan yang telah

Allah SWT buat.

Manusia tidak ada apa-apanya dibanding Allah SWT, tidak ada yang

bisa menandingi-Nya, walau manusia mempunyai akal yang membuatnya

istimewa dibanding makhluk lain, akan tetapi tetap tidak akan mungkin

menandingi-Nya karena akal itupun merupakan salah satu ciptaan-Nya.

Selain diberi akal, manusia pun mempunyai kewajiban yang harus

dilakukan oleh manusia yaitu beribadah, seperti halnya firman Allah SWT

dalam Al Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi :

ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ا ْل ِج ِن ِو‬


َ ‫اْل ْن‬
‫س اإَّل ِليَ ْعبُد ُْو ِن‬

4
“ Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-
Ku “
Ibadah merupakan penghambaan diri kepada Allah SWT dengan mentaati segala

perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Imam Ibnu Katsir rahimahullah

berkata, “Yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah

kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim,

Tafsir surat Adz-Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat diatas adalah

mentauhidkan Aku (Allah SWT), sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.

Oleh karena itu tauhid atau ilmu yang mempelajarinya merupakan ilmu

yang paling utama dalam hal apapun. Ibadah seseorang tidak akan diterima

oleh Allah SWT apabila apabila dia masih belum mempunyai ketauhidan

kepada Allah SWT.

Sebelum kita mempelajari ilmu-ilmu lain kita wajib mempelajari ilmu

tauhid terlebih dahulu, karena ilmu ini merupakan kunci dari segala amal

perbuatan manusia, diterima atau tidaknya amal seseorang tergantung pada

keyakinan dia terhadap Allah SWT, maka dari itu tauhid merupakan hal yang

mendasar dan wajib dipelajari oleh setiap muslim.

Hakekat tauhid adalah mengesakan Allah. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi

tiga, antara lain sebagai berikut :

1. Mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya, Maksudnya adalah kita meyakini

keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah,

5
seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki,

memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan kekhususan

bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun

yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis,

pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan

mereka.

2. Mengesakan Allah Dalam Uluhiyah-Nya, Maksudnya adalah kita mengesakan Allah

dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti shalat, doa, nadzar,

menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya.

Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah

semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rasul dan merupakan tauhid

yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy.

3. Mengesakan Allah Dalam Nama dan Sifat-Nya, Maksudnya adalah kita beriman

kepada nama-nama dan sifat-sifat Alloh yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan

Sunnah Rasululloh. Dan kita juga meyakini bahwa hanya Allah-lah yang pantas untuk

memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Al-Qur’an dan Hadits tersebut (yang

dikenal dengan Asmaul Husna). Sebagaimana firman-Nya “Dialah Allah Yang

Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, hanya bagi Dialah Asmaaul

Husna.” (Al-Hasyr: 24).

6
Diantara kitab-kitab tauhid yang menjelaskan sifat-sifat yang wajib,

mustahil dan jaiz bagi Allah SWT adalah kitab Tījān Ad-Darārī karangan

Syekh Ibrāhīm Al-Bājūrī yang merupakan ulama besar di negara Mesir.

Syekh Ibrāhīm Al-Bājūrī merupakan ulama terkemuka di negara Mesir,

beliau merupakan Grand Syekh ke-19 Al-Azhar yang merupakan salah satu

Universitas terkenal di dunia yang banyak melahirkan ulama-ulama besar.

Kitab Tījān Ad-Darārī disingkat (TA) merupakan kitab yang banyak

dipelajari oleh santri atau para pelajar ilmu agama islam di Indonesia, kitab

ini sering dipelajari di berbagai pesantren dan merupakan kitab wajib bagi

para santri pemula. Hal ini dikarenakan isi dari kitab Tījān Ad-Darārī

merupakan ilmu tentang tauhid yang merupakan pengetahuan wajib bagi

setiap muslim sebelum mempelajari ilmu apapun. Banyak kitab-kitab

penjelasan dari kitab Tījān Ad-Darārī ini yang merupakan terjemahan atau

logatan dalam bahasa-bahasa yang ada di Indonesia, seperti bahasa sunda

dan jawa. Akan tetapi masih banyak orang yang belum tahu isi dari kitab ini,

kecuali para santri dan orang-orang muslim yang mempelajarinya secara

mendalam.

Pada umumnya kitab Tījān Ad-Darārī yang ada di Indonesia

menggunakan teks bertuliskan arab dan menggunakan bahasa arab gundul

(tanpa syakal) dalam kitabnya. Akan tetapi dikarenakan pentingnya

7
mempelajari kitab ini banyak pesantren / kiyai dari berbagai wilayah di

Indonesia mensyarah (menjelaskan) kitab ini dengan terjemahan atau

logatan sesuai daerah pembuatan atau percetakannya, hal ini disebabkan

tulisan asli kitab ini berbahasa arab yang merupakan bahasa asli pengarang

kitab ini, sehingga dengan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa daerah

yang ada di Indonesia menjadikan kitab TA ini mudah untuk dipelajari dan

dipahami oleh para santri yang sedang mempelajarinya.

Penulis mendapatkan lima naskah dari kitab TA yang berbeda satu sama

lainnya. Kelima naskah itu mempunyai persamaan dalam penulisan

matannya akan tetapi dalam terjemahan maupun penjelasannya mempunyai

perbedaan, hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya tempat pembutan

atau percetakannya serta latar belakang orang yang menulis ulang kitab TA

ini.

Kelima kitab yang penulis temukan seluruhnya mempunyai beberapa

persamaan dan perbedaan, hal ini dikarenakan beragamnya latar belakang

orang yang menulis ulang kitab TA ini. Akan tetapi ada salah satu naskah

yang penulis rasa lebih unggul dalam hal kelengkapan dan kejalasannya

sehingga penulis rasa perlu dikaji lebih mendalam lagi dalam bidang

filologinya, selain dari itu terdapat dua naskah lagi yang penulis rasa

mempunyai keunikan dalam hal kajian resepsi ruang kosong dari para

penulisnya sehingga perlu juga penulis teliti.

8
Iser (dalam Sangidu, 2005: 21) menyebutkan bahwa dalam mengisi

“tempat kosong” yang terdapat dalam karya sastra, para pembaca pada

hakikatnya masuk pada suasana berdialog dan berkomunikasi dengan teks

sastra. Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan pembaca

berintraksi. Dalam interaksi tersebut, wujud struktur yang terjangkau melalui

teks berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari

repertoire (bekal atau bahan yang berupa pengetahuan dan pengalaman

pembaca) dengan strateginya sehingga terlahirlah teks. Realisasi teks berupa

resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari para pembaca

karena mereka telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang

berbeda-beda pula.

Oleh karena itu naskah kitab TA ini perlu dikaji dan menurut penulis

sendiri kajian filologilah yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini.

Menurut Baried (dalam Suryani, 2006), filologi sebagai salah satu disiplin

ilmu berupaya mengungkapkan kandungan teks yang tersimpan dalam

naskah produk masa lampau. Sebagai penggali produksi hasil budi daya

manusia, filologi tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora.

Maka dari itu dalam penelitian ini penulis berharap bisa menyampaikan isi

kandung naskah kitab Tījān Ad-Darārī yang disingkat menjadi TA dengan

bahasa yang dimengerti dan dipahami oleh masyarakat muslim di Indonesia

khususnya para pelajar atau santri yang sedang menuntut ilmu di berbagai

9
pesantren yang ada di Indonesia karena dengan melihat begitu pentingnya isi

dari naskah kitab TA ini untuk dipelajari.

1.2 Ringkasan Naskah

Nama kitab yang penulis teliti berasal dari bahasa arab yaitu ‫تيجااا‬

‫الااارار‬, dalam kamus almunawir (1997: 141) kata ‫ تِ ْي َج ا‬jamak dari kata َ ‫ت َ ا‬

yang bermakna mahkota. Dan kata ‫ الاااا َار ِار‬jamak dari kata ‫ د ِر‬yang

bermakna mutiara dalam kamus almunawir (1997: 396).

Jadi bisa dikatakan ‫الااارار‬ ‫ تيجاا‬bermakna mahkota yang seperti mutiara

atau mahkota-mahkota yang bersinar, hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan

yang terdapat di dalamnya mengandung ketinggian dan keutamaan dibanding

ilmu lain yaitu ilmu tauhid.. Analisis yang dilakukan pada naskah kitab TA

meliputi inventarisasi naskah, kemudian pemilihan data primer dan sekunder,

deskripsi naskah, dan kajian isi naskah TA.

a. Inventarisasi Naskah

Inventarisasi naskah adalah langkah awal bagi para filolog dalam

melakukan penelitian. Secara sederhana, inventarisasi naskah dimaksudkan

sebagai upaya secermat-cermatnya dan semaksimal mungkin untuk menulusuri

dan mencatat keberadaan naskah yang memuat salinan teks yang akan dikaji

(Fathurahman, 2015-74).

10
Penulis menemukan lima naskah dari kitab Tījān Ad-Darārī ini yang

kelimanya memiliki persamaan dan perbedaan masing-masing, dan

kelima naskah ini ditemukan dari berbagai tempat yang berbeda,

walaupun ada dua naskah yang bersal dari tempat yang sama akan tetapi

memiliki pengarang yang berbeda.

b. Pemilihan Data Primer dan Data Sekunder

Data primer adalah data utama yang dipakai oleh penulis dalam

melakukan penelitian. Dalam penelitian ini penulis memiliki lima naskah

dari kitab TA ini, dan penulis menjadikan salah satu dari lima naskah ini

sebagai data primer, penulis memilih naskah tersebut sebagai data primer

dikarenakan kejelasan dan kelengkapan isi pada teks tersebut, walau

dalam terjemahannya penulis rasa masih belum terlalu komunikatif bagi

masyarakat umum dikarenakan menggunakan terjemahan (lughotan)

jawa.

Teks dari kitab TA yang penulis miliki semuanya menggunakan

bahasa arab, akan tetapi dalam terjemahannya memiliki perbedaan

masing-masing, dua naskah memiliki terjemahan (logatan) bahasa jawa

dan sunda, dua naskah memiliki taudih (penjelasan) dengan bahasa

Sunda dan satu naskah memiliki syarah (penjelasan) dengan bahasa arab.

Naskah yang menjadi data primer penulis merupakan naskah yang

11
memiliki terjemahan (lughatan) jawa yang memiliki kelebihan dalam

penulisan dan kelengkapan di dalam naskah tersebut penulis sebut

sebagai naskah A.

Sedangkan data sekunder, data yang dipakai oleh penulis sebagai

penunjang dari data pertama. Data sekunder yang dipakai penulis

diantaranya adalah Al-Qur’an Al-Karim, hadist, buku tentang ilmu

tauhid, kamus dan beberapa buku pendukung lainnya.

1.3 Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah merupakan tahap ketiga dalam penelitian filologi, yakni

melakukan identifikasi, baik terhadap kondisi fisik naskah, isi teks, maupun

identitas kepengarangan dan kepenyalinannya dengan tujuan untuk menghasilkan

sebuah deskripsi naskah dan teks secara utuh (Faturrahman, 2015:77).

Pendeskripsian naskah dimaksudkan agar informasi mengenai naskah dapat di

ketahui oleh pembaca. Dalam penelitian ini penulis memiliki lima naskah yang

akan di teliti, berikut pemaparan penulis mengenai deskripsi kelima naskah kitab

Tījān Ad-Darārī ini.

a. Naskah A

1) Judul dalam naskah : Tījānu ad-Darārī

Lisyaikh al-‘ālim al-‘allāmah

al-Ḥibra al-Baḥra al-Fahhāma/t/u

12
Ibrāhīm al-Bājūrī fi tauhīdi

Tarjamah bilughoti al-Jāwī

Khodim fasantren

Babakan

Tanjung fura cimangkok sukaraja

Sukabumi jawa barat

indonesia

2) Nomor naskah :-

3) Nama pengarang : Ibrāhīm al-Bājūrī

4) Aksara yang digunakan : bahasa arab dan arab pegon jawa

5) Ukuran halaman : 21,7 cm X 16,5 cm

6) Ukuran blok teks : 19 cm X 12,2 cm

7) Jilid : satu jilid

8) Halaman :32 halaman ( pembahasan dari-

halaman 2 sampai 26)

9) Penomoran :-

10) Jenis bahan : kertas Eropa

11) Tinta : menggunakan tinta hitam untuk

matan dan terjemahannya.

12) Bahasa terjemahan : menggunakan arab pegon

dengan bahasa jawa.

13
13) Keadaan fisik : kondisi naskah masih bagus,

akan tetapi naskah kemungkinan hasil dari

salinan dari naskah aslinya, sehingga ada

beberapa tulisan yang kurang jelas.

14) Tempat pembuatan : Sukabumi Jawa Barat

15) Foto naskah :

b. Naskah B

1) Judul dalam naskah : Tauḍiḥ Tījānu ad-Darārī

Kenging

As-Syekh al-Ḥāji Khair Afandī

Pasantren Miftahul Huda Manonjaya

Tasikmalaya

2) Nomor naskah :-

3) Nama pengarang : As-Syekh al-Ḥāji Khair Afandī

4) Yang mengtaṣḥīḥ : K.H Sholih Nasihin

K.H Enjang Sukanda

K.H Endang Darwis

14
K.H Ahmad Hidayat

5) Penulis : H. Taufikurrahman

6) Tahun Pembuatan : 1402 H / 1982 M

7) Aksara yang digunakan : bahasa arab dan arab pegon

8) Ukuran halaman : 29 cm X 20,6 cm

9) Ukuran blok teks : 24,5 cm X 14 cm

10) Jilid : satu jilid

11) Halaman : 55 lembar beserta jilid, ada 99

halaman dan isi dari halaman 2 sampai

halaman 99.

12) Penomoran :-

13) Jenis bahan : kertas Eropa

14) Tinta : menggunakan tinta hitam, akan

tetapi cetakan sudah lumayan tidak

jelas.

15) Bahasa terjemahan : terjemahan tidak langsung perkata,

akan tetapi terjemahannya lebih ke

penjelasan.

16) Keadaan fisik : keadaan naskah sudah mulai lapuk,

dikarenakan sudah lama disimpan.

17) Tempat pembuatan : Tasikmalaya

15
18) Foto naskah :

c. Naskah C

1) Judul dalam naskah : Tauḍiḥ Tījānu ad-Darārī

Kenging

As-Syekh al-Ḥāji Khair Afandī

Pasantren Miftahul Huda Manonjaya

Tasikmalaya

2) Nomor naskah :-

3) Nama pengarang : As-Syekh al-Ḥāji Khair Afandī

4) Yang mengtaṣḥīḥ : K.H ‘Abdul ‘Aziz Afandi

K.H Abdul Jabar

K.H Asep Muhammad Thahir Sholeh

K.H Nur Khalis Ahid

16
K.H Sa’id Qudsi

5) Penulis Ulang : Ahmad Saqiq

6) Tahun Pembuatan : di naskah C ini tidak ditemukan tahun

pencetakan ulang, karena naskah ini merupakan cetakan ulang dari

naskah B yang ditulis tahun 1402 H / 1980 M (terjadi pebedaan

penulisan tahun masehi di naskah B dan C, padahal penulisan

tahun hijriyah sama).

7) Aksara yang digunakan : bahasa arab dan arab pegon

8) Ukuran halaman : 31 cm X 20,6 cm

9) Ukuran blok teks : 25 cm X 14,6 cm

10) Jilid : satu jilid

11) Halaman : 48 lembar beserta jilid, ada 91

halaman dan isi dari halaman 2 sampai

halaman 89, dari 90-91 ada daftar isi

dan keterangan pengtaṣḥīḥ.

12) Penomoran :-

13) Jenis bahan : Kertas Eropa

14) Tinta : menggunakan tinta hitam, cetakan

bagus, dikarenakan menggunakan

cetakan modern.

15) Bahasa terjemahan : terjemahan tidak langsung perkata,

17
akan tetapi terjemahannya lebih ke

penjelasan.

16) Keadaan fisik : masih dalam keadaan bagus.

17) Tempat pembuatan :Tasikmalaya

18) Foto naskah :

d. Naskah D

1) Judul dalam naskah : Matan

Tījānu ad-Darārī

Li al-‘ālim al-‘allāmah

Syaikh Ibrāhīm al-Bājūrī

Nafa’anā Allāhu bihī āmīn

2) Nomor naskah :-

3) Nama pengarang : Ibrāhīm al-Bājūrī

18
4) Penulis : H. Ahmad Baihaqi (tertulis di ahir

naskah, beserta tahun pembuatan)

5) Dikeluarkan oleh : Toko Islamiyah Tasikmalaya

(tertulis di jilid depan)

6) Aksara yang digunakan : bahasa arab dan arab pegon sunda

7) Ukuran halaman : 20,4 cm X 14,6 cm

8) Ukuran blok teks : 17,1 cm X 11,9 cm

9) Jilid : satu jilid

10) Halaman : 16 lembar beserta jilid, ada 28

halaman dan isi matan dari halaman 2

sampai halaman 17, dari halaman 18

sampai 28 terdapat bacaan do’a akan

mengaji, do’a nūr buwāt, do’a nabi

Sulaiman, nadom sifat 20 dan sholawat

badriyah .

11) Penomoran :-

12) Jenis bahan : Kertas tipis

13) Tinta : menggunakan tinta hitam

14) Bahasa terjemahan : terjemahan langsung perkata dengan

menggunakan arab pegon sunda.

15) Keadaan fisik : keadaan naskah masih bagus.

19
16) Tempat pembuatan : Tasikmalaya

17) Foto naskah :

e. Naskah E

1) Judul dalam naskah : Syarah

Tījānu ad-Darārī

‘alā

Risāla/t/u syaikh al-‘ālim al-‘allāmah

al-Ḥibra al-Baḥra al-Fahhāma/t/u

Syaikh Ibrāhīm al-Bājūrī fi tauhīdi

2) Nomor naskah :-

3) Nama pengarang : Syaikh Ibrāhīm al-Bājūrī

4) Penulis : Syaikh Muhammad Nawawi al-Jāwī

5) Aksara yang digunakan : bahasa arab gundul (tanpa syakal)

20
6) Ukuran halaman : 26,5 cm X 18,4 cm

7) Ukuran blok teks : 23,5 cm X 16 cm

8) Jilid : satu jilid

9) Halaman : 10 lembar beserta jilid, ada 16

halaman dan isi dari halaman 2 sampai

halaman 16 (matan berada disamping

dan syarahnya berada di tengah).

10) Penomoran :-

11) Jenis bahan : kertas kuning

12) Tinta : menggunakan tinta hitam, akan

tetapi cetakan sudah lumayan tidak

jelas.

13) Bahasa terjemahan : syarah menggunakan bahasa arab

gundul (tanpa syakal)

14) Keadaan fisik : keadaan naskah sudah mulai lapuk,

dikarenakan sudah lama disimpan.

15) Tempat pembuatan : Semarang

16) Foto naskah :

1.4 Teori dan Metode Penelitian


a. Edisi Teks

Tahap selanjutnya dalam penelitian filologi adalah suntingan teks, atau

dengan kata lain menyiapkan edisi teks yang bisa dibaca oleh khalayak luas.

21
Sebuah edisi teks, yang merupakan keluaran (output) dari tahap ini, idealnya

merupakan teks yang telah diverifikasi (al-nass al muhaqqaq) melalui tahapan

filologis, judulnya, dan pengarangnya (jika ada) sudah dianggap valid, dan

bacaannya pun sudah dianggap paling dekat dengan versi yang pertama kali

ditulis oleh pengarang (Fathurahman: 2015: 88)

Menurut Baried, dkk (dalam multapiah, 2012: 19) menyatakan bahwa

edisi teks dapat dilakukan dengan metode yang dianggap tepat digunakan untuk

meneliti teks yang akan diteliti sesuai dengan keadaan teks tersebut. Adapun

metode yang dilakukan dalam pengedisian teks menurut Djamaris (dalam

Megawati, 2011:11) dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

A. Edisi naskah jamak (Colder Multus)

Pengedisian ini dilakukan apabila naskah yang ditemukan berjumlah

banyak, dan dalam edisi naskah jamak terdapat beberapa metode yang

dilakukan, yaitu

a. Metode intuitif, disebut juga dengan metode subjektif. Yaitu, naskah

yang diperbaiki berdasarkan naskah lain, dengan menggunakan akal

sehat, selera baik dan pengetahuan luas

b. Metode objektif, disebut juga dengan metode stema. Metode ini

digunakan jika dari jumlah naskah, ada beberapa naskah yang selalu

mempunyai kesalahan yang sama pada tempat yang sama pula, hal

22
tersebut dikarenakan naskah-naskah tersebut berasal dari satu

sumber (yang hilang)

c. Metode gabungan, metode ini digunakan jika nilai tafsiran filologi

adalah semuanya hampir sama hanya sedikit perbedaan yang

terdapat pada antar naskah.

d. Metode landasan, disebut juga dengan metode induk atau metode

legger. Metode ini digunakan jika menurut tafsiran, ada satu atau

segolongan naskah yang diyakini lebih unggul kualitasnya

dibandingkan dengan naskah-naskah yang diperiksa dari sudut

bahasa, kesastraan, sejarah, dan lain sebagainya.

B. Edisi naskah tunggal (codes unicus)

Pengedisian ini dilakukan apabila naskah yang ditemukan hanya ada

satu naskah. Pada pengedisian naskah tunggal terdapat dua cara, yaitu:

1. Edisi diplomatik, yaitu menerbitkan satu naskah seteliti-telitinya

mengadakan perubahan, ataupun memproduksi teks sebagaimana

adanya secara fotografis (Baried dkk, 1994:67-68). Hal ini

dilakukan jika peneliti ingin menampilkan teks yang diperoleh

persis sebagaimana adanya.( Lubis, 2007:96)

Hal-hal yang bisa dilakukan dalam edisi diplomatik adalah:

23
a. Teks diproduksi persis seperti terdapat dalam naskah, tidak

boleh ada perubahan baik dalam bentuk ejaan, tanda baca,

maupun pembagian teks.

b. Kesalahan harus ditutupi dengan referensi yang tepat.

c. Saran untuk membetulkan kesalahan pada teks.

d. Komentar mengenai perbaikan teks (Djamaris, 1997:16)

2. Edisi standar, yaitu penyuntingan teks disertai dengan pembetulan.

Edisi standar digunakan apabila isi naskah dianggap sebagai cerita

biasa bukan cerita suci. (Djamaris, 1997: 15). Hal-hal yang perlu

dilakukan dalam edisi standar, menurut Djamaris adalah:

a. Menstransliterasi teks

b. Membetulkan kesalahan teks

c. Membuat catatan perbaikan atau perubahan

d. Memberi komentarr, tafsiran (informasi luar teks)

e. Membagi teks ke dalam beberapa bagian

f. Menyusun daftar kata sukar (glosarium)

b. Transliterasi

Transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari

abjad yang satu ke abjad yang lain (Baried dkk, 1994:63), begitu pula yang

dikatakan oleh Robson (1994:24). Sementara Lubis (2007: 74)

24
mengungkapkan tentang tata cara mentransliterasi naskah Arab ke dalam

bahasa Indonesia, yaitu:

“Dalam kasus naskah Arab yang ingin ditransliterasi ke dalam bahasa


Indonesia. Dalam hubungan ini perlu ditentukan terlebih dahulu sistem ejaan
khusus yang dipakai untuk transliterasi huruf Arab, untuk itu dapat
digunakan Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD), atau bisa
juga di digunakan sistem transliterasi yang khusus, karena fonem-fonem
bahasa Arab jauh lebih banyak dari pada fonem-fonem “Encylopedia of
Islam”. Atau pedoman transliterasi Arab Latin, menurut Keputusan bersama
Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Khusus untuk
menerjemahkan dan mengadakan transliterasi kitab-kitab Arab, disamping
pemindahan huruf, diperlukan juga pengetahuan dan pedoman tajwid”

c. Terjemahan

Sebagai salah satu cara untuk menerbitkan naskah adalah melalui

terjemahan teks, dan menerjemahkan teks ini dikategorikan sebagai pekerja

seni, seperti seni melukis, musik, dan menyair yang masing-masingnya

mempunyai dasar dan kaedah yang harus diikuti (Lubis, 2007:74)

Dalam konteks filologi Indonesia, tentu saja penerjemahan ini

dilakukan jika teks yang dikajinya ditulis dalam bahasa asing atau bahasa

daerah yang tidak banyak dikenal oleh kebanyakan calon pembaca, seperti

bahasa Arab, Jawa, Sunda, Bugis-Makasar, Bali atau bahasa-bahasa lainnya.

Biasanya, teks yang ditulis dalam bahasa Melayu tidak lagi diterjemahkan

ke dalam bahsa Indonesia, meski beberapa ungkapannya terdengar arkais

dan tidak digunakan lagi. Beberapa kata yang dianggap arkais itu dapat

dijelaskan tersendiri dalam catatan kaki (Fathurahman, 2015: 95-96)

25
Dalam menerjemahkan naskah SN penulis menggunakan penerjemahan

dinamis, penerjemahan dinamis ini penerjemah mencari padanan atau

ekuivalensi yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya dalam bahasa

sumber, tidak kata demi kata, atau katigat demi katigat, tetapi harus

memperhatikan makna teks secara keseluruhan (Suryawinata, 1989:9).

Menuru Larson (1998), penerjemahan adalah pengalihan makna dari bahasa

sumber ke bahasa sasaran. Selain itu, dalam penerjemahan terjadi

penggantian bentuk bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dalam

menerjemahkan bahasa sumber ke bahasa sasaran, bentuk dapat diubah tapi

makna harus dipertahankan. Larson pun menyatakan pula bahwasannya

menerjemahkan berarti:

1. Mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi,

dan content budaya dari teks bahasa sumber,

2. Menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya,

3. Mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan

menggunakan leksikon dan struktur gramatikan yang sesuai

dalam bahasa sasaran dan konteks budaya.

d..Kajian Ruang Kosong

26
Peranan pembaca dalam teori resepsi sangat ditonjolkan padahal

pembaca sama sekali tidak memiliki relevansi dalam kaitannya dengan

proses kreatifnya. Peroblematika inilah yang mendominasi teori resepsi

(Ratna, 2004: 165). Pembaca dapat terlibat dalam suatu karya sastra karena

adanya ruang-ruang kosong yang dapat diisi sesuai dengan pemahamannya.

Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra sendiri yang mengandung

kemungkinan banyak tafsir (poly-interpretable). Karya sastra itu merupakan

penjelmaan ekspresi yang padat, maka hal-hal yang kecil tak disebutkan,

begitu juga hal-hal yang tak langsung berhubungan dengan cerita atau

masalah. Dengan demikian, setiap pembaca diharapkan mengisi kekosongan

tersebut (Pradopo, 2013: 208).

Pradopo (2013: 207-208) menyebutkan bahwa semakin banyak tempat-

tempat terbuka atau tempat kosong itu, karya sastra semakin bernilai. Tentu

saja ada batasnya, yaitu bila sebuah karya sastra terlalu banyak mempunyai

tempat kosong menyebabkan pembaca tidak bisa mengisinya. Tentu hal ini

menyebabkan kegelapan karya sastra . kedua pengertian tersebut, yaitu

cakrawala harapan dan tempat terbuka merupakan pengertian dasar untuk

memahami estetika reserpsi.

27
BAB II

EDISI TEKS, TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN

2.1 Pengantar Edisi Teks

Sebagaimana Robson (1994) salah satu tugas filologi adalah

“menyajikan” edisi teks agar sebuah karya bisa terbaca atau dimengerti

isinya. Edisi teks merupakan salah satu puncak kerja filologi, dimana

hasil kerjanya merupakan hasil proses kritik teks dengan tujuan akhir

memudahkan pembaca untuk memahami isi dari teks. Penyajian dari teks

tersebut tidak lagi didasarkan kepada teks dan konteks bacanya.

Dalam ini penyajian teks didasarkan kepada bentuk paragrah-

paragraph. Untuk mengedisi teks perlu disertai dengan emendesi

‘perbaikan bacaan’. Dengan memeratikan ketenuan ejaan yang berlaku

pada saat sekarang. Dengan kata lain edisi teks dapat menghasilkan

bacaan dari naskah yang bebas dari kesalahan-kesalahan supaya mudah

dibaca oleh para pembaca lain. Adapun tanda-tanda yang digunakan

dalam emendesi terhadap bacaan teks adalah sebagai berikut:

1. Tanda kurung lengkung (. . .) disebut Adenda diartikan bahwa huruf,

suku kata, kata atau kelompok yang terdapat di dalamnya, menurut

konteksnya harus ada walaupun di dalam naskah tidak ada. Selain itu

penambahan yang dilakukan disebabkan oleh naskah yang korup atau

rusak.

28
2. Tanda kurung siku [. . .] disebut Desdenda diartikan bahwa huruf,

suku kata, kata atau kelompok di dalamnya, menurut konteksnya

dianggap tidak ada atau tidak perlu dibaca.

3. Footnote ‘catatan kaki’ digunakan untuk kata yang diperbaki dari

kasus salah tulis. Kata aslinya dicantumkan di footnote agar

mempermudah mengikuti bacaan teks sebagaimana termuat dalam

naskah. Selain itu footnote digunakan untuk catatan-catatan mengenai

kata-kata tersebut.

4. Zero Ø digunakan untuk menandakan naskah korup atau rusak tapi

belum bisa diprediksi kata atau kalimat yang sebenarnya.

5. Zero Ø...Ø digunakan untuk menandakan naskah korup atau rusak tapi

belum bisa diprediksi kata atau kalimat yang sebenarnya.

6. Tanda baca seperti koma (,) dan titik (.) digunakan untuk

mempertajam pembacaan teksnya.

7. Selain simbol yang ada, huruf kapital juga digunakan pada setiap awal

kalimat dan nama tokoh.

29
‫‪2.2 EDISI TEKS‬‬

‫َار‬
‫ِيْ‬ ‫َّ‬
‫الدر‬ ‫َاُ‬
‫ن‬ ‫ْج‬‫ِي‬
‫ت‬
‫َ البحر الفّ‬
‫هامة‬ ‫مة الحبر‬ ‫ََّ‬
‫َّلَ‬ ‫ْ الع‬
‫لم‬ ‫َ الع‬
‫َاِ‬ ‫ْخ‬‫ِلشَي‬
‫ل‬
‫ابراهيم الباجورى فى التوحيد‬
‫ترجمه بلغة الجاوى‬
‫خادم فسنترين‬
‫ببكن‬
‫تنجوݞ فوراء شمنقاقى سكاراجا‬
‫سكابومى جاوابارات‬
‫اندونيسيا‬
‫؟‬

‫‪30‬‬
‫دَ‬
‫تا‬ ‫هللاُ َلف‬
‫َسََ‬ ‫هة‪ 1‬إَّ‬
‫ّل‪2‬‬
‫ِ‬ ‫لَ‬‫أِ‬ ‫َا‬
‫ِم‬‫ْه‬
‫ِي‬ ‫َاَ‬
‫ن ف‬ ‫ْك‬‫َلو‬
‫ْم‬
‫ِ‬ ‫َّحِي‬
‫ْمنِ الر‬‫َّح‬
‫ِ هللاِ الر‬‫ِسْم‬
‫ب‬
‫ُ‬ ‫َالسََّ‬
‫َّلم‬ ‫ة و‬ ‫ََّ‬
‫َّلُ‬ ‫َ ‪ .‬و‬
‫َالص‬ ‫ْن‬‫ِي‬‫الم‬ ‫ْلع‬
‫َ َ‬ ‫َب‬
‫ِّ ا‬ ‫د ِه‬
‫ّلِلِ ر‬ ‫ُْ‬
‫َم‬ ‫ْ‬
‫الح‬
‫َ‬
‫لم‬‫َسََّ‬ ‫ْه‬
‫ِ و‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫ََّ‬
‫لى هللاُ ع‬ ‫ْل‬
‫ِ هللاِ ص‬ ‫َسُو‬
‫َلى ر‬
‫ع‬
‫َّ‬
‫ِه‬
‫ب‬ ‫َة‬
‫ِ ر‬ ‫َح‬
‫ْم‬ ‫ُ ر‬
‫ْر‬ ‫َق‬
‫ِي‬ ‫ُْ‬
‫ل ف‬ ‫ُو‬
‫َق‬‫َي‬ ‫ُْ‬
‫د _ ف‬ ‫ََ‬
‫بع‬ ‫_ و‬
‫ُو‬
‫ِيُّ ذ‬
‫ْر‬‫ُو‬‫َا ج‬ ‫ُ‪ْ 3‬‬
‫الب‬ ‫ْم‬ ‫َاه‬
‫ِي‬ ‫بر‬‫ِْ‬
‫ِ إ‬‫ْر‬ ‫َص‬
‫ِي‬ ‫ِ ْ‬
‫الب‬ ‫ِر‬ ‫ْ‬
‫الخَب‬

‫ْو ِ‬
‫َان‪4‬‬ ‫ْضُ ْ‬
‫ِخ‬
‫ال‬ ‫بع‬ ‫ّ‬
‫ِي َ‬
‫ِن‬‫َ م‬ ‫ََ‬
‫لب‬ ‫ِ ‪ :‬ط‬‫ْر‬ ‫ْص‬
‫ِي‬ ‫َّق‬
‫الت‬

‫َْ‬
‫َالشَّاَ‬
‫ن‪6‬‬
‫ن‬ ‫أ‬ ‫ل و‬‫َاَ‬
‫الح‬‫ْ ْ‬‫هم‬‫ََلُ‬ ‫َ‪ 5‬هللاُ ل‬
‫ِيْ و‬ ‫لح‬ ‫َص‬
‫َْ‬ ‫أ‬
‫َو‬
‫ْلى‬ ‫َاتِ ْ‬
‫الم‬ ‫ِف‬ ‫َلى ص‬‫ُ ع‬
‫ِل‬‫َم‬
‫تشْت‬
‫ة َ‬‫الً‬
‫ِسَ َ‬ ‫َ َلُ‬
‫ه ر‬ ‫ُب‬ ‫َ ك‬
‫ْت‬ ‫أ‬
‫َلى‬‫َع‬
‫َالى و‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ْز‬
‫ُو‬ ‫ما َ‬
‫يج‬ ‫ََ‬
‫ها و‬ ‫َِ‬‫داد‬ ‫َض‬
‫َْ‬ ‫َأ‬
‫و‬
‫ُ فى‬
‫ْل‬‫َحِي‬ ‫ما َ‬
‫يسْت‬ ‫ََ‬‫ِ و‬ ‫ّ الر‬
‫ُّسُل‬ ‫ِ‬ ‫ُ فى ح‬
‫َق‬ ‫ما َ‬
‫يجِب‬ ‫َ‬
‫ِكَ‬
‫ِلى‪ 7‬ذل‬ ‫ه إ‬‫ُٗ‬
‫ْت‬‫َب‬‫َج‬
‫َأ‬ ‫ُ ف‬
‫ْز‬‫ُو‬
‫يج‬‫ما َ‬
‫ََ‬‫ْ و‬‫ِم‬ ‫ّ‬
‫َق‬
‫ِه‬ ‫ح‬
‫ُ‬ ‫ُ ‪َ :‬‬
‫يجِب‬ ‫ْق‬ ‫ْف‬
‫ِي‬ ‫َّو‬ ‫َب‬
‫ِاهللِ الت‬ ‫ُ ‪ :‬و‬
‫لت‬‫ُْ‬
‫َق‬‫ف‬

‫‪11‬‬
‫هة‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫لَ‬‫َِ‬‫ا‬
‫‪2‬‬ ‫َِّ‬
‫ّل ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪3‬‬
‫ُ‪Tertulis‬‬
‫ْم‬ ‫ِي‬‫َاه‬ ‫بر‬‫ِْ‬‫ا‬
‫‪4‬‬
‫َان‬
‫ِ‪Tertulis‬‬ ‫ْو‬‫ِخ‬‫ْ‬
‫اّل‬
‫‪5‬‬
‫َ‪Tertulis‬‬
‫لح‬ ‫َْ‬‫َص‬‫ا‬
‫‪6‬‬ ‫َْ‬
‫ن ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪7‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬

‫‪31‬‬
‫ّ‬
‫َق‬
‫ِه‬ ‫ُ فى ح‬
‫يجِب‬ ‫َ َ‬
‫ما َ‬ ‫ْر‬
‫َِف‬ ‫يع‬ ‫َْ‬
‫ن َّ‬ ‫ََّ‬
‫لٍف أ‬ ‫مك‬ ‫ُل‬
‫ّ ُ‬
‫ِ‬ ‫َلى ك‬
‫ع‬

‫ّ‬
‫َق‬
‫ِه‬ ‫ُ فى ح‬ ‫َي‬
‫َجِب‬ ‫ُ ف‬
‫ْز‬‫ُو‬
‫يج‬‫ماَ‬
‫ََ‬‫ُ و‬
‫ْل‬‫َحِي‬ ‫ما َ‬
‫يسْت‬ ‫ََ‬‫َالى و‬
‫تع‬‫َ‬
‫ِكَ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ُ و‬
‫دم‬‫ََ‬ ‫ه ْ‬
‫الع‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫ُْ‬
‫د و‬ ‫ُج‬
‫ُو‬ ‫َالى ْ‬
‫الو‬ ‫تع‬‫َ‬

‫َلى‬ ‫ِه َ‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫و‬ ‫َاتِ‬‫ْق‬
‫لو‬‫َخُْ‬ ‫ِ ْ‬
‫الم‬ ‫ِه‬
‫د هذ‬‫ُْ‬
‫ُو‬‫ُج‬
‫و‬
‫ه‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫َالى و‬‫تع‬ ‫ل‪َ 8‬لٗ‬
‫ه َ‬ ‫َو‬
‫ََّ‬ ‫أ‬ ‫َ‬
‫ه ٓ‬
‫ّل‬ ‫ََّ‬
‫نٗ‬ ‫ه أ‬‫َاُ‬‫ْن‬
‫مع‬‫ََ‬
‫ُ و‬
‫دم‬‫َِ‬ ‫ْ‬
‫الق‬
‫َاَ‬
‫ن‬ ‫ْك‬‫ه َلو‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ِكَ أ‬‫ذل‬ ‫ُ ع‬
‫َلى‬ ‫ْل‬ ‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ُ و‬
‫َ َّ‬ ‫ْث‬ ‫ُُ‬
‫دو‬ ‫ْ‬
‫الح‬
‫َال‬
‫مح‬‫َ ُ‬
‫هو‬‫َُ‬ ‫ْد‬
‫ِث و‬ ‫ِلى‪ُ 9‬‬
‫مح‬ ‫َاج‬
‫َ إ‬ ‫ْت‬‫ّلح‬ ‫َادً‬
‫ِثا َ‬ ‫ح‬
‫ه‬
‫نٗ‬‫ََّ‬ ‫َاُ‬
‫ه أ‬ ‫ْن‬ ‫ََ‬
‫مع‬ ‫َاُ‬
‫ء و‬ ‫َٓ‬
‫ق‬ ‫َالى ْ‬
‫الب‬ ‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫و‬

‫ه‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ِكَ أ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫َلٗ‬
‫ه و‬ ‫َ‪10‬‬
‫أخِر‬ ‫َ‬
‫َالى ٓ‬
‫ّل‬ ‫تع‬‫َ‬

‫ُ‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َاُ‬
‫ل و‬ ‫مح‬‫َ ُ‬
‫هو‬‫َُ‬ ‫َادً‬
‫ِثا و‬ ‫ن ح‬ ‫ًا َلك‬
‫َاَ‬ ‫ِي‬‫َان‬ ‫َاَ‬
‫ن ف‬ ‫ْك‬‫َلو‬
‫َاُ‬
‫ه‬ ‫ْن‬ ‫ََ‬
‫مع‬ ‫َاد‬
‫ِثِ و‬ ‫َو‬ ‫ة لْ‬
‫ِلح‬ ‫َُ‬
‫الف‬‫ُخَ َ‬ ‫َالى ْ‬
‫الم‬ ‫ِه َ‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫َق‬‫فى ح‬
‫ْسَ‬
‫لي‬‫ََ‬ ‫َاد‬
‫ِثِ ف‬ ‫َو‬ ‫َّل لْ‬
‫ِلح‬ ‫ًِ‬‫َاث‬‫مم‬‫ْسَ ُ‬‫َالى َلي‬‫تع‬‫ه‪َ 11‬‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫أ‬
‫ِكَ‬
‫ُ ذل‬ ‫َي‬
‫ْر‬ ‫ََ‬
‫ّل غ‬ ‫ُن و‬ ‫ُذ‬ ‫ََ‬
‫ّل أ‬ ‫ْن و‬‫َي‬ ‫ََ‬
‫ّل ع‬ ‫يد و‬‫ه َ‬‫َلٗ‬
‫لُ‬
‫ة‬ ‫َ َ‬
‫اثَ‬ ‫ُم‬ ‫ها ْ‬
‫الم‬ ‫َضُّ‬
‫ِذَ‬ ‫َاد‬
‫ِثِ و‬ ‫َو‬ ‫َاتِ ْ‬
‫الح‬ ‫ِف‬‫ْ ص‬
‫ِن‬‫م‬

‫‪8‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫َو‬
‫ََّ‬
‫ل‬ ‫ا‬
‫‪9‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪10‬‬
‫َ ‪Tertulis‬‬
‫اخِر‬
‫‪11‬‬
‫ه ‪Tertulis‬‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬

‫‪32‬‬
‫ًِ‬
‫َّل‬ ‫َاث‬
‫مم‬ ‫َاَ‬
‫ن ُ‬ ‫ْك‬‫َلو‬ ‫ََّ‬
‫نه‪12‬‬
‫ٗ‬ ‫أ‬ ‫ِكَ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫و‬

‫ُ‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َال و‬
‫مح‬‫َ ُ‬
‫هو‬‫َُ‬ ‫َادً‬
‫ِثا و‬ ‫ن ح‬ ‫ِثِ َلك‬
‫َاَ‬ ‫َاد‬
‫َو‬ ‫لْ‬
‫ِلح‬
‫ََّ‬
‫نه‪13‬‬
‫ٗ‬ ‫أ‬ ‫َاُ‬
‫ه‬ ‫ْن‬ ‫ََ‬
‫مع‬ ‫َّف‬
‫ْسِ و‬ ‫ِالن‬ ‫َام‬
‫ُ ب‬ ‫ِي‬ ‫َالى ْ‬
‫الق‬ ‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫فى ح‬
‫ه‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫ِّ‬
‫ص و‬‫ِ‬‫مخَص‬
‫ُ‬ ‫إلى‪15‬‬ ‫َ‬
‫َٓ‬
‫ّل ِ‬ ‫ّ و‬
‫َل‬ ‫َ‬
‫مح‬ ‫إلى‪14‬‬
‫ُ ِ‬
‫ِر‬‫َق‬
‫ْت‬‫يف‬ ‫َالى َ‬
‫ّلَ‬ ‫تع‬‫َ‬

‫ُ ع‬
‫َلى‬ ‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ص و‬ ‫ُخَص‬
‫َِّ‬ ‫َ ْ‬
‫الم‬ ‫ّ و‬
‫َل‬
‫ِ‬ ‫َح‬ ‫ْ‬
‫الم‬ ‫َاج‬
‫ُ‪ 16‬إلى‪17‬‬
‫ِ‬ ‫ِي‬‫ْت‬ ‫ْ‬
‫الح‬
‫ِ‬
‫ه‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫َك‬ ‫ًَ‬
‫ة و‬ ‫ِف‬
‫ن ص‬ ‫ّ َلك‬
‫َاَ‬ ‫َل‬ ‫َ‬
‫مح‬ ‫َاج‬
‫إلى‪18‬‬
‫َ ِ‬ ‫ْت‬
‫ِاح‬‫ه َلو‬ ‫ََّ‬
‫نٗ‬ ‫ِكَ أ‬
‫ذل‬
‫َاَ‬
‫ن‬ ‫ص َلك‬
‫ِّ‬
‫ِ‬‫مخَص‬
‫ِلى‪ُ 19‬‬ ‫َاج‬
‫َ إ‬ ‫ْت‬
‫ِاح‬‫ََلو‬
‫َال و‬ ‫مح‬‫ة ُ‬‫ًَ‬
‫ِف‬‫ص‬
‫ّ‬
‫َق‬
‫ِه‬ ‫ُ فى ح‬‫يجِب‬‫ََ‬
‫َال و‬‫مح‬ ‫َادً‬
‫ِثا ُ‬ ‫ه ح‬ ‫ُْ‬
‫نُ‬ ‫َو‬
‫َك‬‫ِثا و‬‫َادً‬‫ح‬

‫َف‬
‫ِى‬ ‫َاتِ و‬‫ّف‬‫ْلص‬
‫ِ‬ ‫ِى ا‬‫َف‬ ‫َّ‬
‫الذاتِ و‬ ‫ِى‬ ‫َُّ‬
‫ة ف‬ ‫ِي‬ ‫َْ‬
‫دان‬ ‫َح‬ ‫َالى ْ‬
‫الو‬ ‫تع‬‫َ‬

‫نَ‬
‫ها‬ ‫ََّ‬ ‫الَّ‬
‫ذتِ أ‬ ‫ِى ّ‬ ‫ِ ف‬‫َّة‬
‫ِي‬ ‫َحَ‬
‫دان‬ ‫َى الو‬ ‫ََ‬
‫معن‬ ‫ْع‬
‫َال‬
‫ِ‪ 20‬و‬ ‫اْلَف‬
‫ْ‬

‫‪12‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫ه‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬
‫‪13‬‬
‫ه ‪Tertulis‬‬
‫نٗ‬ ‫َ‬
‫اَّ‬
‫‪14‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪15‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪16‬‬
‫َاج‬
‫ُ ‪Tertulis‬‬ ‫ِي‬‫ْت‬‫ِح‬‫ْ‬
‫اّل‬
‫‪17‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪18‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪19‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪20‬‬
‫َال‬
‫ِ ‪Tertulis‬‬ ‫ْع‬ ‫ْ‬
‫اّلَف‬

‫‪33‬‬
‫َى‬‫ْن‬
‫مع‬‫ََ‬
‫دة و‬ ‫دَ‬
‫َّ‬
‫ِ‬ ‫َع‬ ‫َاء ُ‬
‫مت‬ ‫َج‬
‫ْز‬ ‫ْ ا‬‫ِن‬
‫ة‪ 21‬م‬‫ًَ‬
‫َّب‬
‫َك‬ ‫ْ ُ‬
‫مر‬ ‫َلي‬
‫ْسَت‬

‫َانِ‬
‫َت‬‫ِف‬
‫ه ص‬‫ْسَ َلٗ‬
‫ه‪َ 22‬لي‬‫نٗ‬‫ََّ‬
‫َاتِ أ‬‫ّف‬
‫ِ‬
‫ِى الص‬ ‫َّة‬
‫ِ ف‬ ‫ِي‬‫دان‬‫َْ‬
‫َح‬ ‫ْ‬
‫الو‬
‫ََ‬
‫ذا‬ ‫َهك‬‫ْنِ و‬
‫تي‬ ‫ََ‬
‫در‬‫ُْ‬‫َق‬ ‫ْس و‬
‫َّاحِد ك‬ ‫ْ جِن‬
‫ِن‬‫َ م‬‫َر‬ ‫َ ك‬
‫ْث‬ ‫َأ‬‫ف‬
‫َالى‬‫تع‬‫ه َ‬
‫َٗ‬‫َت‬
‫ِف‬‫ه ص‬ ‫ُِ‬‫تشَاب‬
‫َة ُ‬ ‫ِف‬
‫ِه ص‬‫ْر‬‫َي‬
‫لغ‬ ‫ََلي‬
‫ْسَ ِ‬ ‫و‬
‫ه َلي‬
‫ْسَ‬ ‫نٗ‬‫َّ‬ ‫َال‬
‫ِ‪ 23‬أ‬ ‫ْع‬‫اْلَف‬
‫ِى ْ‬ ‫ِ ف‬‫َّة‬
‫ِي‬ ‫دان‬‫َحَ‬ ‫َى ْ‬
‫الو‬ ‫ْن‬
‫مع‬‫ََ‬
‫و‬

‫دُ‬
‫د‬ ‫َّع‬
‫َُّ‬ ‫ها الت‬ ‫َضُّ‬
‫ِدَ‬ ‫و‬ ‫ْع‬
‫َال‪24‬‬
‫ِ‬ ‫اْلَف‬
‫ْ‬ ‫َ‬
‫ِن‬ ‫َع‬
‫ْل م‬ ‫ْر‬
‫ِه ف‬ ‫َي‬
‫لغ‬‫ِ‬
‫دً‬
‫دا‬ ‫َّ‬
‫ِ‬ ‫َع‬
‫مت‬ ‫َاَ‬
‫ن ُ‬ ‫ْك‬‫ه َلو‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ِكَ أ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫َالّ‬
‫و‬
‫ُ‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َاتِ و‬
‫ْق‬ ‫َخُْ‬
‫لو‬ ‫ْلم‬
‫ِ ا‬
‫ِه‬‫ْ هذ‬
‫ِن‬‫د شَيْء م‬
‫َْ‬‫ْج‬
‫يو‬ ‫َلم‬
‫ْ ُ‬

‫َة‬
‫يم‬ ‫َد‬
‫ِْ‬ ‫َة ق‬
‫ِف‬ ‫َه‬
‫ِيَ ص‬ ‫َُ‬
‫ة و‬ ‫ُْ‬
‫در‬ ‫َالى ْ‬
‫الق‬ ‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫فى ح‬
‫ُ‬
‫ِم‬‫ْد‬
‫يع‬‫َُ‬ ‫َِ‬
‫ها و‬ ‫يوجُِ‬
‫دب‬ ‫َالى ُ‬
‫تع‬‫ِه َ‬ ‫َة بَ‬
‫ِذات‬ ‫ِم‬‫َائ‬
‫ٓ‬
‫ق‬
‫ِكَ‬
‫َلى ذل‬ ‫ُ ع‬
‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫َالّ‬‫ُ و‬ ‫َج‬
‫ْز‬ ‫ها ْ‬
‫الع‬ ‫َضُّ‬
‫ِدَ‬ ‫و‬
‫ْ هذه‬
‫ِن‬‫د شَيْء م‬
‫َْ‬‫ْج‬
‫يو‬ ‫ًا َلم‬
‫ْ ُ‬ ‫َاجِز‬
‫ن ع‬‫َاَ‬ ‫ه‪َ 25‬لو‬
‫ْك‬ ‫نٗ‬‫ََّ‬
‫أ‬

‫َه‬
‫ِيَ‬ ‫و‬ ‫دُ‬
‫ة‪26‬‬ ‫َاَ‬ ‫ْ‬
‫الر‬ ‫ِ‬ ‫َالى‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َاتِ و‬
‫ْق‬ ‫َخُْ‬
‫لو‬ ‫ْلم‬
‫ا‬

‫‪21‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫ه ‪ tertulis seperti‬ة ‪huruf‬‬
‫‪22‬‬
‫ه ‪Tertulis‬‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬
‫‪23‬‬
‫َال‬
‫ِ ‪Tertulis‬‬ ‫ْع‬ ‫ْ‬
‫اّلَف‬
‫‪24‬‬
‫َال‬
‫ِ ‪Tertulis‬‬ ‫ْع‬ ‫ْ‬
‫اّلَف‬
‫‪25‬‬
‫ه ‪Tertulis‬‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬
‫‪26‬‬ ‫ُ‬
‫دة ‪Tertulis‬‬‫َاَ‬ ‫ِر‬‫ْ‬
‫اّل‬

‫‪34‬‬
‫ِصُ‬‫يخَص‬
‫ّ‬ ‫َالى ُ‬ ‫ِه َ‬
‫تع‬ ‫َة بَ‬
‫ِذات‬ ‫َائ‬
‫ِم‬ ‫َة ٓ‬
‫ق‬ ‫ِْ‬
‫يم‬ ‫َد‬
‫َة ق‬ ‫ِف‬
‫ص‬
‫ِنى‬ ‫ْ‪ 28‬ب ْ‬
‫ِالغ‬ ‫َو‬‫ِ أ‬ ‫ََ‬
‫دم‬ ‫ْ‪ 27‬ب ْ‬
‫ِالع‬ ‫َو‬
‫ِ أ‬‫ْد‬ ‫ُج‬
‫ُو‬ ‫ِالو‬‫ُ ب‬ ‫ْك‬
‫ِن‬ ‫ُم‬ ‫ها ْ‬
‫الم‬ ‫َِ‬
‫ب‬
‫ْر‬
‫ِ‬ ‫َي‬
‫ِلى‪ 32‬غ‬‫ِ إ‬‫هل‬‫َْ‬ ‫ِ‪ 31‬ب ْ‬
‫ِالج‬ ‫َو‬
‫ِ أ‬ ‫ِالعْ‬
‫ِلم‬ ‫ْ‪ 30‬ب‬‫َو‬
‫ِ أ‬‫ْر‬‫َق‬ ‫ْ‪ 29‬ب ْ‬
‫ِالف‬ ‫َو‬
‫أ‬
‫ِكَ‬‫ذل‬
‫َلى ذل َ‬ ‫هُ‬
‫ِكَ أَّ ٗ‬
‫نه‪33‬‬ ‫ُ ع‬‫ْل‬
‫لي‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬ ‫ة و‬ ‫َاَ‬‫َر‬ ‫ها ْ‬
‫الك‬ ‫َضُّ‬
‫ِدَ‬ ‫و‬
‫َال‬
‫مح‬‫ًا ُ‬‫َاجِز‬
‫ه ع‬ ‫ُْ‬
‫نٗ‬ ‫َو‬
‫َك‬‫ًا و‬‫َاجِز‬ ‫َاَ‬
‫ن ع‬ ‫ها َلك‬ ‫َر‬
‫ًِ‬ ‫َاَ‬
‫ن ك‬ ‫َلو‬
‫ْك‬
‫َة‬
‫يم‬ ‫َد‬
‫ِْ‬ ‫َة ق‬‫ِف‬ ‫َه‬
‫ِيَ ص‬ ‫ُ و‬ ‫َْلعْ‬
‫ِلم‬ ‫َالى ا‬ ‫ِه َ‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫و‬

‫ء‪34‬‬ ‫اْلَشْي‬
‫َاَ‬
‫ٓ‬ ‫ْ‬ ‫َِ‬
‫ها‬ ‫ُ ب‬
‫لم‬‫َْ‬
‫يع‬‫َالى َ‬
‫تع‬‫ِه َ‬ ‫َة بَ‬
‫ِذات‬ ‫ِم‬‫َائ‬
‫ٓ‬
‫ق‬
‫ِكَ‬
‫َلى ذل‬ ‫ُ ع‬‫ْل‬
‫لي‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬ ‫ُ و‬ ‫َْ‬
‫هل‬ ‫ها ْ‬
‫الج‬ ‫َضُّ‬
‫ِدَ‬ ‫و‬
‫َ‬
‫هو‬‫َُ‬ ‫يً‬
‫دا و‬ ‫ِْ‬
‫مر‬‫ْ ُ‬
‫ُن‬ ‫ْ َ‬
‫يك‬ ‫َّل َلم‬
‫ًِ‬ ‫َاه‬
‫ن ج‬‫َاَ‬ ‫ه‪َ 35‬لو‬
‫ْك‬ ‫نٗ‬‫ََّ‬
‫أ‬
‫َاُ‬
‫ة‪36‬‬ ‫َي‬ ‫ْ‬
‫الح‬ ‫َالى‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َال و‬
‫مح‬‫ُ‬
‫َالى‬
‫تع‬‫ِه َ‬ ‫َة بَ‬
‫ِذات‬ ‫ِم‬‫َائ‬
‫َة ٓ‬
‫ق‬ ‫يم‬ ‫َد‬
‫ِْ‬ ‫َة ق‬
‫ِف‬ ‫َه‬
‫ِيَ ص‬ ‫و‬

‫‪27‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫َو‬
‫ْ‬ ‫ا‬
‫‪28‬‬
‫ْ ‪Tertulis‬‬‫َ‬
‫او‬
‫‪29‬‬
‫َو‬
‫ْ ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪30‬‬
‫ْ ‪Tertulis‬‬‫َ‬
‫او‬
‫‪31‬‬
‫َو‬
‫ْ ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪32‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪33‬‬
‫ه ‪Tertulis‬‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬
‫‪34‬‬ ‫َاَ‬
‫ء ‪Tertulis‬‬ ‫اّلَشْي‬
‫ٓ‬ ‫ْ‬
‫‪35‬‬
‫ه ‪Tertulis‬‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬
‫‪36‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪tasydid di huruf ya tidak jelas seperti ada penambahan harkat tanwin‬‬

‫‪35‬‬
‫ْر‬
‫ِه‬ ‫َي‬
‫َغ‬‫ِ و‬ ‫ِال ْ‬
‫علم‬ ‫َ ب ْ‬ ‫َّص‬
‫ٍِف‬ ‫يت‬ ‫َْ‬
‫ن َّ‬ ‫ُ َلٗ‬
‫ه أ‬ ‫ّ‬
‫ِح‬‫َح‬
‫تص‬‫ُ‬
‫ُ‬
‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ُ و‬
‫ْت‬‫َو‬ ‫ها ْ‬
‫الم‬ ‫َاتِ و‬
‫َضُّ‬
‫ِدَ‬ ‫ّف‬
‫ِ‬‫َ الص‬
‫ِن‬‫م‬

‫ْ‬
‫ُن‬‫يك‬ ‫ًا َلم‬
‫ْ َ‬ ‫ِت‬‫ّ‬
‫مي‬ ‫َاَ‬
‫ن َ‬ ‫ْك‬‫َلو‬ ‫ََّ‬
‫نه‪37‬‬
‫ٗ‬ ‫أ‬ ‫ِكَ‬
‫َلى ذل‬
‫ع‬
‫َ‬
‫هو‬‫َُ‬
‫ًا و‬
‫لم‬‫َاِ‬ ‫ََ‬
‫ّل ع‬ ‫يً‬
‫دا و‬ ‫ِْ‬
‫مر‬ ‫ََ‬
‫ّل ُ‬ ‫ًا و‬
‫ِر‬‫َاد‬
‫ق‬
‫ُ‬
‫ْع‬‫َالى السَّم‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َال و‬
‫مح‬‫ُ‬

‫َانِ‬
‫َت‬ ‫َائ‬
‫ِم‬ ‫َانِ ٓ‬
‫ق‬ ‫َت‬ ‫ِْ‬
‫يم‬ ‫َد‬
‫َانِ ق‬
‫َت‬ ‫َا ص‬
‫ِف‬ ‫هم‬‫َُ‬ ‫َر‬
‫ُ و‬ ‫ْلب‬
‫َص‬ ‫َا‬‫و‬
‫ُْ‬
‫د‬ ‫ْج‬
‫ُو‬ ‫َو‬ ‫َا ْ‬
‫الم‬ ‫ِم‬ ‫ُ ب‬
‫ِه‬ ‫َش‬
‫ٍِف‬ ‫ْك‬
‫ين‬‫َالى َ‬
‫تع‬‫ِه َ‬ ‫بَ‬
‫ِذات‬
‫ُ‬
‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ْلع‬
‫َمى و‬ ‫َا‬ ‫َم‬
‫ُ و‬ ‫َا الص‬
‫َّم‬ ‫هم‬ ‫َضُّ‬
‫ِدُ‬ ‫و‬
‫ُ‬
‫ْع‬ ‫َ السَّم‬
‫ِي‬ ‫هو‬‫َُ‬
‫َالى ‪ :‬و‬
‫تع‬ ‫َو‬
‫ُْلٗ‬
‫ه َ‬ ‫ِكَ ق‬
‫َلى ذل‬
‫ع‬

‫َ‬
‫هو‬‫َُ‬ ‫ََ‬
‫َّلم و‬ ‫َالى ْ‬
‫الك‬ ‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫ُ و‬
‫ْر‬ ‫َص‬
‫ِي‬ ‫ْ‬
‫الب‬
‫ْ‬ ‫ََلي‬
‫ْسَت‬ ‫َالى و‬
‫تع‬‫ِه َ‬ ‫َة بَ‬
‫ِذات‬ ‫ِم‬‫َائ‬
‫َة ٓ‬
‫ق‬ ‫يم‬ ‫َد‬
‫ِْ‬ ‫َة ق‬
‫ِف‬‫ص‬
‫ْلخَر‬
‫ْسُ‬ ‫َا‬ ‫ْم‬
‫ُ و‬ ‫ُك‬ ‫ها ْ‬
‫الب‬ ‫َضُّ‬
‫ِدَ‬ ‫َو‬
‫ْت و‬ ‫ََ‬
‫ّل ص‬ ‫َْف و‬
‫َر‬‫ِح‬
‫ب‬
‫َ‬
‫لم‬‫ََّ‬
‫َك‬‫ه ‪ :‬و‬ ‫َو‬
‫ُْلٗ‬ ‫ِكَ ق‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫و‬
‫ًا‬
‫ْم‬ ‫ْل‬
‫ِي‬ ‫ْسى َ‬
‫تك‬ ‫مو‬‫هللاُ ُ‬

‫‪37‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫ه‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬

‫‪36‬‬
‫ه‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫ًا و‬
‫ِر‬‫َاد‬
‫ه ق‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫ك‬ ‫َالى‪41‬‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه‪َ 40‬‬
‫َق‬‫ُ‪ 38‬فى‪ 39‬ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫و‬
‫ِكَ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ًا و‬
‫َ َّ‬ ‫َاجِز‬
‫ه ع‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫ك‬

‫ه‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫َالى ك‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َة‬
‫ِ و‬ ‫ُْ‬
‫در‬ ‫ُ ْ‬
‫الق‬ ‫ْل‬
‫لي‬ ‫َ‬
‫دِ‬
‫ُ‬
‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ًِ‬
‫ها و‬ ‫َار‬
‫ه ك‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫ه ك‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫يً‬
‫دا و‬ ‫ِْ‬
‫مر‬‫ُ‬
‫ّ‬
‫َق‬
‫ِه‬ ‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫و‬ ‫ِ‪42‬‬
‫دة‬‫َاَ‬ ‫ْ‬
‫الر‬ ‫ِ‬ ‫ُ‬
‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫ِكَ َ‬
‫َلى ذل‬
‫ع‬
‫ًِ‬
‫َّل‬ ‫َاه‬
‫ه ج‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫ه ك‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫ًا و‬
‫لم‬‫َاِ‬
‫ه ع‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫َالى ك‬
‫تع‬‫َ‬
‫العْ‬
‫ِلم‬
‫ِ‬ ‫ُ ْ‬ ‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫ِكَ َ‬
‫َلى ذل‬ ‫ُ ع‬
‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫و‬
‫ه‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫ًّا و‬
‫َي‬‫ه ح‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫َالى ك‬ ‫تع‬ ‫ّ‬
‫ِه َ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫و‬
‫ِكَ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ًا و‬
‫َ َّ‬ ‫ِت‬‫ّ‬
‫مي‬‫ه َ‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫ك‬

‫ه‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫َالى ك‬
‫تع‬‫ِه َ‬‫ّ‬
‫َق‬‫ُ فى‪ 43‬ح‬‫يجِب‬‫ََ‬ ‫َاة‬
‫ِ و‬ ‫َي‬ ‫ُ ْ‬
‫الح‬ ‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫َ‬

‫َم‬
‫َّ‬ ‫َص‬
‫ه أ‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫َا ك‬
‫هم‬ ‫َضُّ‬
‫ِدُ‬ ‫ًا و‬‫ْر‬
‫ِي‬ ‫ًا َ‬
‫بص‬ ‫ْع‬ ‫سَم‬
‫ِي‬
‫ِكَ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫َع‬
‫ْمى و‬ ‫ه ا‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫َك‬
‫و‬

‫‪38‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪telah dihilangkan salah satu karena ganda‬‬
‫‪39‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪telah dihilangkan salah satu karena ganda‬‬

‫‪40‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪telah dihilangkan salah satu karena ganda‬‬
‫‪41‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪telah dihilangkan salah satu karena ganda‬‬
‫‪42‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫دُ‬
‫ة‬ ‫َاَ‬
‫ِر‬‫ْ‬
‫اّل‬
‫‪43‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪tanpa menggunakan syakal‬‬

‫‪37‬‬
‫ّ‬
‫َق‬
‫ِه‬ ‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َر‬
‫ِ و‬ ‫َص‬ ‫ُ ْ‬
‫الب‬ ‫ْل‬‫لي‬ ‫ََ‬
‫دِ‬ ‫و‬ ‫ْع‬
‫ِ‬ ‫ُ السَّم‬
‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫َ‬

‫َم‬
‫َ‪44‬‬ ‫َْ‬
‫بك‬ ‫ه أ‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫ه ك‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫ًا و‬
‫ِم‬‫َّ‬
‫ل‬ ‫َك‬
‫مت‬‫ُ‬ ‫ه‬
‫نٗ‬‫ُْ‬
‫َو‬‫َالى ك‬
‫تع‬‫َ‬
‫ََ‬
‫َّلم‬
‫ِ‬ ‫ْلك‬‫ُ ا‬
‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫ِكَ َ‬
‫َلى ذل‬‫ع‬ ‫ُ‬
‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫َالّ‬
‫و‬
‫ْك‬
‫ِن‬ ‫مم‬ ‫ُل‬
‫ّ ُ‬
‫ِ‬ ‫ُ ك‬ ‫َع‬
‫ْل‬ ‫َالى ف‬ ‫ِه َ‬
‫تع‬ ‫ّ‬
‫َق‬‫فى ح‬ ‫ُ‬
‫ِز‬ ‫ْلج‬
‫َائ‬ ‫َا‬‫و‬

‫ََّ‬
‫نه‪46‬‬
‫ٗ‬ ‫أ‬ ‫ِكَ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫ُٗ‬
‫ه و‬ ‫ْك‬
‫تر‬‫َ‬ ‫َو‬
‫ْ‪45‬‬ ‫أ‬
‫ُ‬
‫ْل‬‫َع‬
‫َالى ف‬‫تع‬‫ََ‬
‫ه و‬ ‫َ َ‬
‫انٗ‬ ‫ْح‬
‫ِ سُب‬
‫ْه‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫َ ع‬ ‫َج‬
‫َب‬ ‫َلو‬
‫ْو‬
‫َو‬
‫ْ‬ ‫َاجِب‬
‫ًا أ‬ ‫ُ و‬
‫ِز‬ ‫ْلج‬
‫َائ‬
‫ٓ‬ ‫َ ا‬
‫َار‬‫ه َلص‬
‫ُٗ‬‫ْك‬
‫تر‬ ‫َو‬
‫ْ‪َ 47‬‬ ‫شَيْء أ‬
‫ّ‬
‫َق‬
‫ِ‬ ‫ُ فى ح‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َال و‬ ‫َ ُ‬
‫مح‬ ‫هو‬‫َُ‬ ‫ًْ‬
‫َّل و‬ ‫َحِي‬
‫مسْت‬
‫ُ‬
‫ُ‪48‬‬
‫دق‬‫ّْ‬
‫ِ‬ ‫ُ ْ‬
‫الص‬ ‫َالسََّ‬
‫َّلم‬ ‫ة و‬ ‫ََّ‬
‫َّلُ‬ ‫ُ الص‬ ‫ْه‬
‫ِم‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫ِ ع‬ ‫ُّسُل‬
‫الر‬
‫ِكَ‬‫َلى ذل‬ ‫ُ ع‬
‫ْل‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫َالّ‬
‫ُ و‬ ‫الكْ‬
‫ِذب‬ ‫ه ْ‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫و‬
‫ه‬ ‫َ َ‬
‫انٗ‬ ‫ْح‬ ‫َر‬
‫ُ هللاِ سُب‬ ‫َب‬
‫ن خ‬ ‫ْا َلك‬
‫َاَ‬ ‫ذُ‬
‫بو‬ ‫ََّ‬
‫ْ ك‬‫ْ‪َ 49‬لو‬
‫هم‬‫نُ‬‫ََّ‬
‫أ‬

‫ُ فى‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫َال و‬
‫مح‬‫َ ُ‬
‫هو‬‫َُ‬ ‫ًِ‬
‫با و‬ ‫َاذ‬
‫َالى ك‬
‫تع‬‫ََ‬
‫و‬

‫‪44‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫َم‬
‫َ‬ ‫بك‬‫َْ‬‫ا‬
‫‪45‬‬
‫َو‬
‫ْ ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪46‬‬
‫ه ‪Tertulis‬‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬
‫‪47‬‬
‫َو‬
‫ْ ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪48‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪ terdapat syakal seperti tanwin‬ص ‪di bawah huruf‬‬
‫ْ ‪Tertulis‬‬
‫‪49‬‬
‫هم‬ ‫ََّ‬
‫نُ‬ ‫ا‬

‫‪38‬‬
‫انُ‬
‫ة‪50‬‬ ‫اْلََ‬
‫م َ‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬ ‫َالسََّ‬
‫َّلم‬ ‫ة و‬ ‫ََّ‬
‫َّلُ‬ ‫ْ الص‬‫ِم‬‫ْه‬
‫لي‬‫ََ‬
‫ْ ع‬
‫ِم‬‫ِه‬‫ّ‬
‫َق‬‫ح‬
‫ُ ع‬
‫َلى‬ ‫ْل‬
‫لي‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬ ‫ة و‬ ‫انُ‬
‫َ َ‬‫ها الخِي‬ ‫َضُّ‬
‫ِدَ‬ ‫و‬
‫َّم‬
‫َر‬ ‫ِ ُ‬
‫مح‬ ‫ْل‬‫َع‬
‫ِف‬‫انوا ب‬‫َ ُ‬ ‫ْ َلو‬
‫ْخ‬ ‫نُ‬
‫هم‬ ‫ََّ‬
‫ِكَ أ‬‫ذل‬
‫ََ‬
‫ّل‬ ‫ِكَ و‬
‫ِ ذل‬‫ْل‬ ‫ِم‬
‫ِث‬ ‫َ ب‬ ‫ِْ‬
‫ين‬ ‫ْر‬
‫مو‬‫ُْ‬
‫مأ‬ ‫ُن‬
‫َّا َ‬ ‫ْه َلك‬‫ُو‬‫ْر‬ ‫َْ‬
‫مك‬ ‫َو‬
‫أ‬
‫ُ‬ ‫ََ‬
‫يجِب‬ ‫ْه و‬ ‫ْر‬
‫ُو‬ ‫َْ‬
‫مك‬ ‫َو‬
‫َّم أ‬ ‫ُح‬
‫َر‬ ‫َ ب‬
‫ِم‬ ‫مر‬‫َْ‬
‫نؤ‬‫ن ُ‬‫َْ‬‫ُّ أ‬
‫ِح‬ ‫َ‬
‫يص‬
‫ُ َ‬
‫ما‬ ‫ْغ‬ ‫ْل‬
‫ِي‬ ‫ُ َ‬
‫تب‬ ‫َالسَّ‬
‫َّلم‬ ‫ة و‬ ‫ََّ‬
‫َّلُ‬ ‫ُ َ‬
‫الص‬ ‫ْه‬
‫ِم‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫ْ ع‬
‫ِم‬ ‫ّ‬
‫َق‬
‫ِه‬ ‫فى ح‬

‫ِكَ‬ ‫َاُ‬
‫ن ذل‬ ‫ْم‬‫ِت‬
‫ه ك‬ ‫َضُّ‬
‫ِدٗ‬ ‫ِ و‬ ‫ِلخَْ‬
‫لق‬ ‫ِه لْ‬ ‫ْغ‬
‫ِي‬ ‫َب‬
‫ْل‬ ‫ْا‪ 51‬ب‬
‫ِت‬ ‫ُو‬ ‫ُم‬
‫ِر‬ ‫أ‬
‫ْا‬
‫ُو‬ ‫َت‬
‫َم‬ ‫ْ َلو‬
‫ْك‬ ‫هم‬ ‫ََّ‬
‫نُ‬ ‫ِكَ أ‬
‫َلى ذل‬ ‫ُ ع‬‫ْل‬
‫لي‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬ ‫و‬
‫َ‬
‫ين‬‫ِْ‬‫ْر‬ ‫مو‬‫ُْ‬ ‫َّا َ‬
‫مأ‬ ‫ِه َلك‬
‫ُن‬ ‫ْغ‬
‫ِي‬‫ْل‬‫َب‬ ‫ْا‪ 52‬ب‬
‫ِت‬ ‫ُو‬
‫ِر‬‫ُم‬
‫ا أ‬‫َّٓ‬
‫ِم‬ ‫ًا م‬
‫ْئ‬‫شَي‬
‫ن‪55‬‬‫ِه ِْلََّ‬‫َب‬
‫مر‬‫َْ‬
‫نؤ‬ ‫َْ‬
‫ن‪ُ 54‬‬ ‫ُّ أ‬
‫ِح‬‫يص‬ ‫ََ‬
‫ّل َ‬ ‫ِ و‬ ‫العْ‬
‫ِلم‬ ‫َانِ‪ْ 53‬‬ ‫ْم‬
‫ِت‬‫ِك‬‫ب‬
‫ُ‬
‫ِم‬ ‫ْه‬ ‫لي‬‫ََ‬
‫ْ ع‬‫ِم‬ ‫ّ‬
‫َق‬
‫ِه‬ ‫ُ فى ح‬‫يجِب‬ ‫ََ‬
‫ْن و‬ ‫ُو‬
‫لع‬‫مْ‬
‫ِ َ‬ ‫العْ‬
‫ِلم‬ ‫َ ْ‬ ‫َات‬
‫ِم‬ ‫ك‬
‫دُ‬
‫ة‬ ‫َِ‬
‫َّلَ‬ ‫ها ْ‬
‫الب‬ ‫َضُّ‬
‫ِدَ‬ ‫و‬ ‫انُ‬
‫ة‪56‬‬ ‫َ َ‬
‫َط‬ ‫ْ‬
‫الف‬ ‫ُ‬ ‫َالسََّ‬
‫َّلم‬ ‫ة و‬ ‫ََّ‬
‫َّلُ‬ ‫الص‬
‫َت‬
‫ْ‬ ‫َف‬
‫انت‬ ‫ه َلو‬
‫ِ ْ‬ ‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ِكَ أ‬ ‫ُ ع‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬ ‫َ َّ‬
‫الدِ‬
‫لي‬ ‫و‬

‫‪50‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫انُ‬
‫ة‬ ‫م َ‬ ‫ْ‬
‫اّلََ‬
‫‪51‬‬
‫ْا ‪Tertulis‬‬‫ُو‬
‫ِر‬‫َم‬‫ا‬
‫‪52‬‬
‫ْا ‪Tertulis‬‬‫ُو‬
‫ِر‬‫ام‬‫َ‬
‫‪53‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪ terdapat syakal seperti tanwin‬ت ‪di bawah huruf‬‬
‫‪54‬‬ ‫َْ‬
‫ن ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪55‬‬ ‫ِّلََّ‬
‫ن ‪Tertulis‬‬

‫‪56‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪ terdapat syakal seperti tanwin‬ف ‪di bawah huruf‬‬

‫‪39‬‬
‫ًَّ‬
‫ة‬ ‫ُج‬‫ْا ح‬
‫ُو‬‫ْم‬
‫ِي‬‫يق‬ ‫ْا أْ‬
‫ن َّ‬ ‫ُو‬ ‫ََ‬
‫در‬ ‫َا ق‬ ‫انُ‬
‫ة َلم‬ ‫َ َ‬
‫َط‬ ‫ُ ْ‬
‫الف‬ ‫ُْ‬
‫هم‬ ‫َن‬
‫ع‬
‫ن‬ ‫ُر‬
‫ْاَ‬ ‫ْ‬
‫الق‬ ‫ِْلََّ‬
‫ن‪57‬‬ ‫َال‬
‫مح‬‫َ ُ‬
‫هو‬‫َُ‬ ‫ْم‬
‫ِ و‬ ‫ْلخَص‬ ‫ََ‬
‫لى ا‬ ‫ع‬
‫ََّ‬
‫ة‬ ‫ُج‬ ‫ْ‬
‫الح‬ ‫ُ‪58‬‬
‫ِهم‬
‫مت‬
‫ِ‬ ‫َاَ‬
‫إق‬ ‫َلى ِ‬ ‫َة ع‬‫ْر‬‫ِي‬‫َث‬‫َ ك‬
‫ِع‬ ‫َاض‬
‫مو‬‫ل فى َ‬ ‫دَّ‬
‫َ‬
‫ُ‬
‫ِم‬‫ْه‬
‫لي‬‫ََ‬‫ْ ع‬ ‫ِه‬
‫ِم‬ ‫ّ‬
‫َق‬‫ُ فى ح‬‫ِز‬‫َائ‬ ‫ْلج‬
‫ٓ‬ ‫َا‬
‫ِ و‬ ‫ْم‬ ‫لى ْ‬
‫الخَص‬ ‫ََ‬‫ع‬
‫يُ‬
‫ة‬ ‫َِّ‬ ‫ْلب‬
‫َشَر‬ ‫َاضُ‪ 59‬ا‬
‫ْر‬‫اْلَع‬
‫ُ ْ‬ ‫َالشََّ‬
‫َّلم‬ ‫ََّ‬
‫َّلُ‬
‫ة و‬ ‫الص‬
‫َّة‬
‫ِ‬ ‫ِي‬ ‫ْلع‬
‫َل‬ ‫ُ ا‬
‫ِم‬ ‫ِب‬
‫ِه‬ ‫َات‬
‫مر‬‫ْص فى َ‬
‫نق‬‫َ‬ ‫إلى‪60‬‬ ‫َّ‬
‫ِيْ ِ‬
‫د‬ ‫تؤ‬ ‫ِيْ َ‬
‫ّل ُ‬ ‫َّ‬
‫الت‬
‫ِكَ‬
‫َلى ذل‬ ‫ْل‬
‫ِ ع‬ ‫دِ‬
‫لي‬ ‫َالّ‬ ‫ْو‬
‫ِه و‬ ‫ََ‬
‫نح‬ ‫و‬ ‫َِ‬
‫ض‪61‬‬ ‫ْلم‬
‫َر‬ ‫َا‬‫ك‬

‫ُ‬ ‫َالسََّ‬
‫َّلم‬ ‫ة و‬ ‫ََّ‬
‫َّلُ‬ ‫ُ الص‬ ‫ِم‬‫ْه‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫ْ ع‬ ‫ِه‬
‫ِم‬ ‫ها ب‬ ‫تَ‬‫دُ‬
‫هَ‬‫مشَاَ‬‫ُ‬
‫َ‬ ‫ْر‬
‫َِف‬ ‫يع‬ ‫َْ‬
‫ن َّ‬ ‫ص أ‬‫لى الشَّخِْ‬ ‫ََ‬
‫ُ ع‬‫يجِب‬‫َة _ َ‬ ‫َات‬
‫ِم‬ ‫_ خ‬
‫ْ‬
‫ِن‬‫َم‬‫ِ و‬ ‫ْه‬‫ِي‬‫َب‬ ‫ِ أ‬ ‫ْ جَِ‬
‫هة‬ ‫ِن‬ ‫َ م‬
‫لم‬‫َسََّ‬‫ِ و‬‫ْه‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫ه َّ‬
‫صلى هللاُ ع‬ ‫َٗ‬
‫نسَب‬‫َ‬

‫َ‬
‫لم‬‫َسََّ‬ ‫ِ و‬ ‫ْه‬
‫لي‬ ‫ََ‬
‫لى هللاُ ع‬‫ََّ‬‫ه ص‬‫ُٗ‬‫نسَب‬ ‫ما‪َ 63‬‬‫ََّ‬
‫َأ‬‫مه‪ 62‬ف‬ ‫ُّ‬
‫ِ أ‬‫هة‬‫جَِ‬

‫ْد‬
‫ِهللاِ‬ ‫ُ ع‬
‫َب‬ ‫د ْ‬
‫بن‬ ‫َُّ‬‫َم‬ ‫نا ُ‬
‫مح‬ ‫دَ‬‫ُِ‬‫ّ‬‫َ سَي‬‫هو‬‫َُ‬
‫ِ ف‬‫ْه‬‫ِي‬ ‫َب‬
‫ِ أ‬ ‫ْ جَِ‬
‫هة‬ ‫ِن‬‫م‬

‫‪57‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫ِّلََّ‬
‫ن‬
‫‪58‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪ terdapat dua syakal‬م ‪pada huruf‬‬
‫‪59‬‬
‫ُ‪Tertulis‬‬‫َاض‬
‫ْر‬ ‫ْ‬
‫اّلَع‬
‫‪60‬‬
‫ِلى ‪Tertulis‬‬
‫ا‬
‫‪61‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪ terdapat syakal seperti tanwin‬م ‪di bawah huruf‬‬
‫‪62‬‬ ‫َّ‬
‫مه ‪Tertulis‬‬ ‫ا‬
‫‪63‬‬
‫ما ‪Tertulis‬‬ ‫َ‬
‫َاَّ‬‫ف‬

‫‪40‬‬
‫َاَفِ ْ‬
‫بنِ‬ ‫من‬‫د َ‬
‫ِْ‬‫َب‬ ‫ِ ْ‬
‫بنِ ع‬ ‫ِم‬ ‫بنِ َ‬
‫هاش‬ ‫َّل‬
‫ِبِ ْ‬ ‫ُط‬‫ْلم‬ ‫ْد‬
‫ِ ا‬ ‫َب‬ ‫اْ‬
‫بنِ ع‬

‫بنِ‬ ‫َي‬
‫ّ ْ‬
‫ِ‬ ‫بنِ ُلؤ‬ ‫َع‬
‫َبِ ْ‬ ‫ََّ‬
‫ة ْ‬
‫بنِ ك‬ ‫مر‬‫بنِ ُ‬ ‫َِ‬
‫َّلب ْ‬ ‫ِْ‬
‫بنِ ك‬ ‫ُص‬
‫َيّ‬ ‫ق‬

‫انَ‬
‫ة‬ ‫َ َ‬‫ِن‬
‫بنِ ك‬ ‫ْر‬
‫ِْ‬ ‫َّض‬
‫بنِ الن‬ ‫ِ ْ‬
‫لك‬‫ماِ‬‫بنِ َ‬
‫ِ ْ‬ ‫ِْ‬
‫هر‬ ‫َل‬
‫ِبِ ْ‬
‫بنِ ف‬ ‫غ‬
‫ّ‬
‫ِ‬‫َر‬
‫مض‬ ‫َاسَ ْ‬
‫بنِ ُ‬ ‫ِلي‬‫بنِ اْ‬ ‫ََ‬
‫ة ْ‬ ‫ِك‬
‫مدر‬‫بنِ ُ‬ ‫ََ‬
‫ة ْ‬ ‫َْ‬
‫يم‬ ‫ُز‬ ‫اْ‬
‫بنِ ح‬
‫َا‬‫ْم‬ ‫ِي‬‫ْسَ ف‬‫ََلي‬‫ن و‬ ‫ناَ‬‫دَ‬
‫َْ‬‫بنِ ع‬ ‫َد‬
‫ِْ‬ ‫بنِ َ‬
‫مع‬ ‫َار‬
‫ِْ‬ ‫ِز‬‫بنِ ن‬ ‫اْ‬
‫ِْ‬
‫يق‬ ‫َر‬
‫ُ ط‬ ‫َالسََّ‬
‫َّلم‬ ‫ة و‬ ‫ََّ‬
‫َّلُ‬ ‫ِ الص‬ ‫ْه‬‫لي‬‫ََ‬
‫َ‪ 65‬ع‬‫دم‬‫ِلى‪ 64‬أَ‬ ‫ه إ‬‫دٗ‬‫َْ‬ ‫َ‬
‫بع‬
‫ْه‬
‫ِ‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫لى هللاُ ع‬‫ََّ‬
‫ه ص‬ ‫ُٗ‬ ‫ما َ‬
‫نسَب‬ ‫ََّ‬
‫َأ‬ ‫َل‬
‫ُ و‬ ‫ْق‬
‫ين‬‫َا ُ‬‫ْم‬ ‫ْح ف‬
‫ِي‬ ‫َحِي‬‫ص‬
‫ُ‬
‫بن‬‫د ْ‬‫َُّ‬‫َم‬‫مح‬‫نا ُ‬ ‫دَ‬‫ُِ‬ ‫َ سَي‬
‫ّ‬ ‫هو‬‫َُ‬
‫ِه‪ 66‬ف‬ ‫ُّ‬
‫م‬ ‫ْ جَِ‬
‫هتِ أ‬ ‫َ م‬
‫ِن‬ ‫لم‬‫َسََّ‬
‫و‬

‫بنِ‬ ‫ََ‬
‫ة ْ‬ ‫ُْ‬
‫هر‬ ‫َاَفِ ْ‬
‫بنِ ز‬ ‫من‬‫ِ َ‬
‫ْد‬‫َب‬
‫بنِ ع‬ ‫ََ‬
‫هبِ ْ‬ ‫و‬ ‫َت‬
‫ِ‪68‬‬ ‫ََ‬
‫ة‪ْ 67‬‬
‫بن‬ ‫ِن‬
‫أم‬

‫َ فى‬
‫لم‬‫َسََّ‬
‫و‬ ‫ْه‬
‫ِ‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫لى هللاُ ع‬‫ََّ‬
‫ه ص‬‫َٗ‬ ‫ُ َ‬
‫مع‬ ‫ِع‬‫َم‬
‫ْت‬ ‫َت‬
‫َج‬ ‫َِ‬
‫َّلب ف‬ ‫ك‬
‫ََّ‬
‫ن‪70‬‬ ‫َ أ‬
‫لم‬‫َْ‬‫يع‬‫َّ‬ ‫َْ‬
‫ن‬ ‫ًا‪ 69‬أ‬‫يض‬ ‫َْ‬
‫ُ أ‬ ‫َّا َ‬
‫يجِب‬ ‫َم‬
‫ِم‬ ‫َِ‬
‫َّلب و‬ ‫َّ‬
‫ِه ك‬
‫د‬ ‫ج‬

‫‪64‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫ِلى‬‫ا‬
‫‪65‬‬
‫َ ‪Tertulis‬‬
‫دم‬‫ََ‬
‫ا‬
‫‪66‬‬
‫مه ‪Tertulis‬‬ ‫َ‬
‫اّ‬
‫‪67‬‬ ‫ََ‬
‫ة ‪Tertulis‬‬ ‫ِن‬
‫ام‬
‫‪68‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪ harusnya kasrah‬ب ‪ harusnya sukun dan huruf‬ن ‪syakal huruf‬‬
‫‪69‬‬
‫ًا ‪Tertulis‬‬‫يض‬‫َْ‬
‫ا‬
‫‪70‬‬ ‫َّ‬
‫ان ‪Tertulis‬‬‫َ‬

‫‪41‬‬
‫َع‬
‫ُ‬ ‫يشْف‬
‫َ َ‬
‫لم‬‫َسََّ‬ ‫ْه‬
‫ِ و‬ ‫ََ‬
‫لي‬ ‫ََّ‬
‫لى هللاُ ع‬ ‫ص‬ ‫ََّ‬
‫نه‪71‬‬
‫ٗ‬ ‫َأ‬‫و‬ ‫ًا‬
‫ْض‬‫َو‬ ‫َلٗ‬
‫ه ح‬
‫َص‬
‫َّة‬ ‫مخْت‬
‫ة ُ‬ ‫َُ‬
‫َاع‬‫ِ الشَّف‬‫ِه‬‫َهذ‬ ‫ء و‬‫َاِ‬ ‫َض‬
‫ٓ‬ ‫ِ ْ‬
‫الق‬ ‫َص‬
‫ْل‬ ‫فى ف‬
‫ًا‪72‬‬
‫يض‬ ‫َْ‬‫ُ أ‬ ‫َّا َ‬
‫يجِب‬ ‫ِم‬‫َم‬‫َ و‬
‫لم‬‫َسََّ‬
‫ِ و‬‫ْه‬‫لي‬‫ََ‬ ‫ََّ‬
‫لى هللاُ ع‬ ‫ِه ص‬ ‫ب‬
‫ًْ‬
‫َّل‬ ‫ْص‬
‫ِي‬ ‫ْأنِ‪َ 75‬‬
‫تف‬ ‫ْلق‬
‫ُر‬ ‫ِى ا‬ ‫ة ف‬ ‫ََ‬
‫ْر‬‫ُو‬‫ذك‬ ‫ْلم‬
‫َْ‬ ‫َ‪ 74‬ا‬ ‫ْلر‬
‫ُّسُل‬ ‫َ ا‬‫َِف‬ ‫ْر‬ ‫ن‪َّ 73‬‬
‫يع‬ ‫َْ‬‫أ‬
‫َاً‬
‫ّل‪77‬‬ ‫ْم‬
‫ِج‬‫ْ إ‬‫هم‬‫َُ‬‫ِف‬‫ْر‬
‫يع‬ ‫َْ‬
‫ن َّ‬ ‫ِ أ‬ ‫ْه‬
‫لي‬‫ََ‬
‫ُ ع‬ ‫َي‬
‫َجِب‬ ‫ْ ف‬ ‫ُُ‬
‫هم‬ ‫َي‬
‫ْر‬ ‫ما‪ 76‬غ‬ ‫ََّ‬
‫َأ‬‫و‬

‫ُ‬ ‫ِيْ َ‬
‫تجِب‬ ‫ّ‬
‫الت‬ ‫َاَ‬
‫ء‪78‬‬ ‫ٓ‬ ‫اْلَْ‬
‫نبي‬
‫ِ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫هم‬‫ُُ‬
‫ْض‬‫بع‬ ‫َّم‬
‫َ َ‬ ‫نظ‬ ‫َْ‬
‫د َ‬ ‫َق‬
‫و‬
‫َاَ‬
‫ل ‪:‬‬ ‫َق‬ ‫ًْ‬
‫َّل ف‬ ‫ْص‬
‫ِي‬ ‫ْ َ‬
‫تف‬ ‫هم‬ ‫َت‬
‫ُُ‬ ‫ْر‬
‫ِف‬ ‫َ‬
‫مع‬
‫َة‬ ‫ْر‬
‫ِف‬ ‫ٍْفِ َ‬
‫مع‬ ‫ِي‬‫ْل‬
‫َّك‬
‫ِى الت‬ ‫ُل‬
‫ّ ذ‬
‫ِ‬ ‫ْم ع‬
‫َلى ك‬ ‫َت‬
‫ح‬
‫ْا‬
‫ُو‬ ‫ُل‬
‫ِم‬ ‫د ع‬‫َْ‬
‫ِ ق‬ ‫ْل‬
‫ِي‬‫ْص‬‫َّف‬ ‫ََ‬
‫لى الت‬ ‫َاَ‬
‫ء ع‬ ‫ٓ‬
‫ِي‬ ‫َْ‬
‫نب‬ ‫ِأ‬
‫ب‬
‫َة‬
‫ِي‬‫َان‬
‫ثم‬‫ْ َ‬
‫هم‬‫ُْ‬
‫ِن‬‫َا م‬
‫ُن‬‫َّت‬
‫ُج‬ ‫فى تْ‬
‫ِلكَ ح‬
‫ُ‬
‫هم‬‫َُ‬
‫َة و‬
‫ْع‬‫ْقى سَب‬
‫يب‬ ‫َشْر و‬
‫ََ‬ ‫ْد‬
‫ِ ع‬ ‫ْ َ‬
‫بع‬ ‫ِن‬‫م‬
‫ََ‬
‫ذا‬ ‫َك‬ ‫َال‬
‫ِح و‬ ‫َي‬
‫ْب ص‬ ‫ْد شُع‬
‫هو‬‫ُ‬ ‫إْ‬
‫درْ‬
‫يس‪79‬‬
‫ِ ِ‬

‫‪71‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫ه‬
‫نٗ‬‫ََّ‬
‫ا‬
‫‪72‬‬
‫ًا ‪Tertulis‬‬‫يض‬‫َْ‬‫ا‬
‫‪73‬‬
‫ن ‪Tertulis‬‬‫َ‬
‫اْ‬
‫‪74‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪ harusnya sukun‬ا ‪syakal‬‬
‫‪75‬‬
‫ْان‬
‫ِ ‪Tertulis‬‬ ‫ُر‬‫ْلق‬‫ا‬
‫‪76‬‬
‫ما ‪Tertulis‬‬‫ََّ‬
‫ا‬
‫‪77‬‬ ‫ً‬
‫َاّل ‪Tertulis‬‬‫ْم‬‫ِج‬
‫ا‬
‫‪78‬‬ ‫َاَ‬
‫ء ‪Tertulis‬‬ ‫ٓ‬
‫ِي‬ ‫اّلَْ‬
‫نب‬ ‫ْ‬
‫‪79‬‬
‫يس ‪Tertulis‬‬‫ِْ‬‫در‬‫ِْ‬
‫ا‬

‫‪42‬‬
‫ْا‬
‫ُو‬ ‫ُت‬
‫ِم‬ ‫َْ‬
‫د خ‬ ‫َار‬
‫ِ ق‬ ‫ُخْت‬ ‫ب ْ‬
‫ِالم‬ ‫ُ‪80‬‬
‫دم‬‫أَ‬ ‫ْل‬
‫ِ‬ ‫ِف‬ ‫ُوا‬
‫ْلك‬ ‫ذ‬
‫َاَ‬
‫ها‪81‬‬ ‫ْن‬ ‫أَ‬
‫تي‬ ‫َا‬
‫ُن‬‫َّت‬
‫ُج‬ ‫َتْ‬
‫ِلكَ ح‬ ‫َالى ‪ :‬و‬
‫تع‬‫ه َ‬ ‫َو‬
‫ُْلٗ‬ ‫ِكَ ق‬
‫َذل‬
‫و‬
‫َاُ‬
‫ء‬ ‫ْ َ‬
‫نشٓ‬ ‫من‬‫َات َ‬
‫َج‬‫در‬ ‫َع‬
‫ُ َ‬ ‫ْف‬
‫نر‬‫ِه َ‬
‫ْم‬‫َو‬
‫َلى ق‬
‫ع‬ ‫َ‪82‬‬
‫ْم‬ ‫َاه‬
‫ِي‬ ‫بر‬‫إْ‬
‫ِ‬
‫َ‪84‬‬
‫إسْحق‬ ‫َا َلٗ‬
‫ه ِ‬ ‫ْن‬ ‫ََ‬
‫هب‬ ‫َو‬
‫ْم و‬
‫ِي‬‫َل‬
‫ْم ع‬
‫ِي‬ ‫بكَ ح‬
‫َك‬ ‫ََّ‬
‫ر‬ ‫إَّ‬
‫ن‪83‬‬
‫ِ‬
‫ُ‬
‫ْل‬‫َب‬
‫ْ ق‬ ‫َا م‬
‫ِن‬ ‫ين‬‫دْ‬‫هَ‬
‫ًا َ‬‫ْح‬ ‫َُ‬
‫نو‬ ‫َا و‬
‫ين‬ ‫هَ‬
‫دْ‬ ‫ًُّ‬
‫َّل َ‬ ‫َ ك‬‫ْب‬‫ُو‬
‫ْق‬ ‫ََ‬
‫يع‬ ‫و‬
‫َ‬
‫ْسٍُف‬
‫يو‬‫َُ‬
‫َ‪ 85‬و‬‫ْب‬
‫يو‬‫َُّ‬
‫َأ‬‫ن و‬‫َاَ‬
‫ْم‬ ‫َسَُ‬
‫لي‬ ‫َٗ‬
‫د و‬ ‫داو‬‫ِه َ‬ ‫يت‬ ‫ُر‬
‫َِّ‬
‫ّ‬ ‫ْ ذ‬ ‫َم‬
‫ِن‬ ‫و‬
‫َ‬
‫ْن‬‫ِي‬
‫ِن‬ ‫ُح‬
‫ْس‬ ‫ْز‬
‫ِى الم‬ ‫ِكَ َ‬
‫نج‬ ‫َذل‬
‫َك‬ ‫َْ‬
‫ن و‬ ‫ُو‬ ‫َُ‬
‫مسى وهر‬ ‫و‬

‫َ‬
‫ِن‬‫م‬ ‫ُل‬
‫ٌّ ّ‬ ‫ك‬ ‫َ‪86‬‬ ‫َإْلي‬
‫َاس‬ ‫ِ‬ ‫و‬ ‫ْسى‬
‫ِي‬‫َع‬
‫ْي و‬
‫يح‬‫ََ‬ ‫َر‬
‫َِّ‬
‫يا و‬ ‫َك‬
‫َز‬‫و‬
‫ًا‬
‫ْط‬‫َُلو‬ ‫ُْ‬
‫نسَ و‬ ‫َُ‬
‫يو‬ ‫َ و‬ ‫ْلي‬
‫َسَع‬ ‫َا‬‫و‬ ‫َ‪87‬‬
‫ْل‬ ‫َاع‬
‫ِي‬ ‫َإسْم‬
‫ِ‬ ‫و‬ ‫َ‬
‫ْن‬ ‫َّل‬
‫ِحِي‬ ‫الص‬
‫َ‬
‫ْن‬‫ِي‬
‫الم‬ ‫ْلع‬
‫َ َ‬ ‫ََ‬
‫لى ا‬ ‫َا ع‬
‫لن‬‫َّْ‬
‫َض‬ ‫ًُّ‬
‫َّل ف‬ ‫َك‬
‫و‬

‫‪80‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫َ‬
‫دم‬ ‫ََ‬
‫ا‬
‫‪81‬‬
‫ها ‪Tertulis‬‬ ‫َاَ‬‫ْن‬‫تي‬‫ََ‬
‫ا‬
‫‪82‬‬
‫ُ ‪Tertulis‬‬
‫ْم‬‫ِي‬‫َاه‬ ‫بر‬‫ِْ‬
‫ا‬
‫‪83‬‬ ‫َّ‬
‫ان ‪Tertulis‬‬‫َ‬
‫‪84‬‬
‫َ ‪Tertulis‬‬
‫ِسْحق‬ ‫ا‬
‫‪85‬‬
‫َ ‪Tertulis‬‬
‫ْب‬‫يو‬ ‫َ‬
‫اُّ‬
‫‪86‬‬
‫َ‪Tertulis‬‬‫َاس‬ ‫اْ‬
‫ِلي‬
‫‪87‬‬
‫َ ‪Tertulis‬‬
‫ْل‬‫ِي‬‫َاع‬ ‫ِسْم‬
‫ا‬

‫‪43‬‬
‫ُ‪89‬‬
‫َل‬ ‫َف‬
‫ْض‬ ‫أ‬ ‫ه‬
‫نٗ‬ ‫َر‬
‫َْ‬ ‫ََّ‬
‫ن ق‬ ‫أ‬ ‫ًا‪88‬‬
‫يض‬‫َْ‬
‫أ‬ ‫ه‬
‫دٗ‬‫َاُ‬
‫ِق‬‫ْت‬
‫ُ اع‬ ‫َّا َ‬
‫يجِب‬ ‫ِم‬ ‫َم‬
‫و‬
‫َْ‬
‫ن‬ ‫َر‬ ‫َّ ْ‬
‫الق‬ ‫ه ُ‬
‫ثم‬ ‫دٗ‬‫َْ‬
‫بع‬‫ِيْ َ‬ ‫ن ّ‬
‫الذ‬ ‫َر‬
‫َْ‬ ‫َّ ْ‬
‫الق‬ ‫ثم‬‫ْنِ ُ‬ ‫ُر‬
‫ُو‬ ‫ْ‬
‫الق‬
‫َ‬ ‫ْر‬
‫َِف‬ ‫َْ‬
‫ن َّ‬
‫يع‬ ‫ص أ‬‫ِلشَّخِْ‬‫َغى ل‬‫ْب‬ ‫ََ‬
‫ين‬ ‫ه و‬
‫دٗ‬‫َْ‬ ‫ِيْ َ‬
‫بع‬ ‫ّ‬
‫الذ‬

‫ْحِ‬ ‫َ الص‬
‫َّحِي‬ ‫َل‬‫ْ ع‬ ‫َُ‬
‫هم‬ ‫َ و‬‫لم‬‫َسََّ‬
‫ِ و‬‫ْه‬
‫لي‬‫ََ‬ ‫ََّ‬
‫لى هللاُ ع‬ ‫ه‪ 90‬ص‬‫دٗ‬ ‫َْ‬
‫ّلَ‬ ‫َو‬
‫أ‬

‫ََ‬
‫ة‬ ‫َي‬
‫ُق‬‫َا ر‬
‫تن‬‫دُ‬
‫َِ‬
‫ّ‬‫َسَي‬ ‫َب‬
‫َ و‬ ‫َْ‬
‫ين‬ ‫َا ز‬
‫تن‬‫دُ‬
‫َِ‬
‫ّ‬‫َسَي‬
‫ُ و‬
‫ِم‬‫َاس‬
‫الق‬ ‫دَ‬
‫نا ْ‬ ‫ُِ‬
‫سَي‬
‫ّ‬
‫دَ‬
‫نا‬ ‫ُِ‬
‫َسَي‬
‫ّ‬ ‫ُو‬
‫ْم و‬ ‫ُْ‬
‫لث‬ ‫ُم‬
‫ُّ ك‬ ‫َا ا‬
‫تن‬‫دُ‬
‫َِ‬
‫ّ‬‫َسَي‬ ‫ََ‬
‫ة و‬ ‫َاط‬
‫ِم‬ ‫َا ف‬
‫تن‬‫دُ‬
‫َِ‬
‫ّ‬‫َسَي‬
‫و‬
‫دَ‬
‫نا‬ ‫ُِ‬
‫َسَي‬
‫ّ‬ ‫ِر‬
‫ِ و‬ ‫َّاه‬
‫َالط‬ ‫َّي‬
‫ّ‬
‫ِبِ و‬ ‫ِالط‬‫ُ ب‬‫َّب‬
‫لق‬ ‫َُ‬
‫ْلم‬‫َ ا‬‫هو‬‫َُ‬ ‫ُْ‬
‫د هللاِ و‬ ‫َب‬
‫ع‬
‫ْرى‬‫ُب‬ ‫ة ْ‬
‫الك‬ ‫ََ‬ ‫ِْ‬
‫يج‬ ‫َا خ‬
‫َد‬ ‫ِن‬ ‫َِ‬
‫دت‬ ‫ْ سَي‬
‫ّ‬ ‫ِن‬‫ْ م‬
‫هم‬ ‫ُُّ‬
‫لُ‬ ‫َك‬‫ُ‪ 91‬و‬
‫ْم‬ ‫َاه‬
‫ِي‬ ‫بر‬‫ِْ‬
‫إ‬
‫َهَ‬
‫ذا‬ ‫َّة‬
‫ِ و‬ ‫ِي‬‫ْط‬
‫ِب‬‫ْلق‬
‫ِ ا‬
‫ية‬‫َِ‬ ‫ْ َ‬
‫مار‬ ‫ِن‬‫َم‬
‫ف‬ ‫َ‪93‬‬
‫ْم‬ ‫َاه‬
‫ِي‬ ‫بر‬ ‫ِ‬ ‫إَّ‬
‫ّل‪ 92‬إْ‬ ‫ِ‬
‫ُْ‬
‫د‬ ‫ْلح‬
‫َم‬ ‫َا‬‫و‬ ‫ََ‬
‫مه‪95‬‬ ‫َر‬
‫َك‬‫و‬ ‫ْل‬
‫ِه‬ ‫َض‬
‫ْ ف‬
‫ِن‬ ‫َُ‬
‫ه هللاُ م‬ ‫ما َ‬
‫يسَّر‬ ‫َ‬ ‫ُ‪94‬‬
‫أخِر‬
‫ِدَ‬
‫ِنا‬‫ّ‬‫َلى سَي‬ ‫ََّ‬
‫لى هللاُ ع‬ ‫َص‬‫َ و‬
‫ْن‬‫ِي‬ ‫َ َ‬
‫الم‬ ‫ِّ ْ‬
‫الع‬ ‫َب‬ ‫ِه‬
‫ّلِلِ ر‬
‫َ‬
‫لم‬‫َسََّ‬ ‫ْب‬
‫ِه و‬ ‫َح‬
‫َص‬‫و‬ ‫ِه‪96‬‬
‫أل‬ ‫َٓ‬
‫لى‬ ‫َّع‬
‫َّد و‬
‫َم‬ ‫ُ‬
‫مح‬

‫‪88‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫ًا‬‫يض‬‫َْ‬
‫ا‬
‫‪89‬‬
‫ُ ‪Tertulis‬‬
‫َل‬‫ْض‬‫َف‬
‫ا‬
‫‪90‬‬
‫ه ‪Tertulis‬‬
‫دٗ‬ ‫َ‬‫َو‬
‫ّْلَ‬ ‫ا‬
‫‪91‬‬
‫ُ ‪Tertulis‬‬
‫ْم‬‫ِي‬‫َاه‬‫بر‬‫ِْ‬
‫ا‬
‫‪92‬‬ ‫َّ‬
‫ِّل ‪Tertulis‬‬
‫ا‬
‫‪93‬‬
‫ُ ‪Tertulis‬‬
‫ْم‬‫ِي‬‫َاه‬‫بر‬‫ِْ‬
‫ا‬
‫‪94‬‬
‫ُ ‪Tertulis‬‬
‫اخِر‬
‫‪95‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫‪ terdapat dua syakal‬ه ‪pada huruf‬‬
‫‪96‬‬
‫‪Tertulis‬‬ ‫ِه‬
‫ال‬

‫‪44‬‬
2.3 Transliterasi Naskah TA

Tījānu `d-Darārī

Li `sy-syaikh `al-‘ālimu `l-‘allāma/t/u `l-Ḥibrā `l-Baḥra `l-Fahhāma/t/u

`Ibrāhīm `l-Bājūrī fī `t-Tauḥīd

Tarjamahu bilugho/t/i `l-Jāwī

Khādim fasantarain

Babakan

Tanjūng fūrā syimanqāqī sukārājā

45
Sukābūmī jāwā bārāt

`Indūnīsiyā

46
Lau kāna fīhimā `āliha/t/un `illā `Allāhu lafasadatā

Bismi `llāhi `r-Raḥmāni `r-Raḥīm

`Al-Ḥamdu lillāhi rabbi `l-‘ālamīna wa `ṣ-Ṣalā/t/u wa `s-Salāmu

‘alā rasū lillāhi ṣalla `llāhu ‘alaihi wasallama

_Waba’du_ fayaqūlu faqīru raḥma/t/i rabbihī

`Al-Khabīri `l-Baṣīri `Ibrāhīmu `l-Bājūriyyu żū

`At-Taqṣīri : ṭalaba minnī ba’ḍu `l-Ikhwāni

`Aṣlaḥa `Allāhu lī walahum `l-ḥāla wa `sy-Syāna `an

`Aktuba lahū risāla/t/an tasytamilu ‘alā ṣifāti `l-Maulā

Wa `aḍdādihā wamā yajūzu fī ḥaqqihī ta’ālā wa ‘alā

Mā yajibu fī ḥaqqi `r-Rusuli wamā yastaḥīlu fī

Haqqihim wamā yajūzu fa`ajabtuhū `ilā żālika

Faqultu : wa bi `l-lāhi `t-Taufīqu : yajibu

‘alā kulli mukallafin `an ya’rifa mā yajibu fī ḥaqqihī

47
Ta’ālā wa mā yastaḥīlu wa mā yajūzu fayajibu fī ḥaqqihī

Ta’ālā `l-Wujūdu wa ḍidduhū `l-‘adamu wa `d-Dalīlu ‘alā żālika

Wujūdu hāżihi `l-Makhlūqāti wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā

`Al-Qidamu wa ma’nāhu `annahū lā `awwala lahū ta’ālā wa ḍidduhū

`Al-Ḥuduṡu wa `d-Dalīlu ‘alā żālika `annahū lau kāna

Ḥādiṡan lāḥtāja `ilā muḥdiṡin wa huwa muhālun

Wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā `l-Baqā`u wa ma’nāhu `annahū

Ta’ālā lā `ākhira lahū wa `d-Dalīlu ‘alā żālika `annahū

Lau kāna fāniyan lakāna ḥādiṡan wa huwa muḥālun wa yajibu

Fī haqqihī taʻālā `l-mukhālafa/t/u lilḥawādiṡi wa maʻnāhu

`Annahū ta’ālā laisa mumāṡilan li `l-ḥawādiṡi falaisa

Lahū yadun wa lā ‘ainun wa lā użunun wa lā ghairu żalika

Min ṣifāti `l-Hawādiṡi wa ḍidduhā `l-Mumāṡala/t/u

Wa `d-Dalīlu ‘alā żālika `annahū lau kāna mumāṡilan

48
Li `l-ḥawādiṡi lakāna ḥādiṡan wa huwa muḥālun wa yajibu

fī ḥaqqihī ta’ālā `l-Qiyāmu bi `n-Nafsi wa ma’nāhu `annahū

ta’ālā lā yaftaqiru `ilā mahallin wa lā `ilā mukhaṣṣiṣin wa ḍidduhū

`al-`Ikhtiyāju `ilā `l-Maḥalli wa `l-Mukhaṣṣiṣi wa `d-Dalīlu ‘alā

Żālika `annahū lawiḥtāja `ilā maḥallin lakāna ṣifa/t/an wa kaunuhū

ṣifa/t/an muḥālun walawiḥtāja `ilā mukhaṣṣiṣin lakāna

Ḥādiṡan wa kaunuhū ḥādiṡan muḥālun wa yajibu fī ḥaqqihī

Ta’ālā `l-Waḥdāniyya/t/u fī `ż-Żāti wa fī `ṣ-Ṣifāti wa fī

`Al-`Af’āli wa ma’nā `l-Waḥdāniyya/t/i fī `ż-Żāti `annahā

Laisat murakkaba/t/an min `ajzā`in muta’addida/t/in wama’na

`Al-Waḥdāniyya/t/i fī aṣ-Ṣifāti `annahū laisa lahū ṣifatāni

Fa`akṡara min jinsin wāhidin kaqudrataini wa hākażā

Wa laisa lighairihī ṣifa/t/un tusyābihu ṣifatahū ta’alā

Wa ma’na `l-Waḥdāniyya/t/i fī `l-`Af’āli `annahū laisa

49
Lighairihī fa’lun min `l-`Af’āli waḍidduhā `t-Ta’addudu

wa `d-Dalīlu ‘alā żālika `annahū lau kāna muta’addidan

lam yūjad syai`un min hāżihi `l-makhlūqāti wa yajibu

fī ḥaqqihī ta’alā `l-Qudra/t/u wa hiya ṣifa/t/un qadīma/t/un

qā`ima/t/un biżātihī ta’ālā yūjidu bihā wayu’dimu

wa ḍidduhā `l-‘ajzu wa `d-Dalīlu ‘alā żālika

`annahū lau kāna ‘ājizan lam yūjad syai`un min hāżihi

`al-Makhlūqāti wa yajibu fī haqqihī ta’ālā `l-Irāda/t/u wa hiya

ṣifa/t/un qadīma/t/un qā`ima/t/un biżātihī ta’ālā yukhaṣṣiṣu

bihā `l-Mumkinu bilwujūdi `au bil’adami `au bilghinā

`au bilfaqri `au bil’ilmi `au biljahli `ilā ghairi żālika

Wa ḍidduhā `l-Karāha/t/u wa `d-Dalīlu ‘alā żālika `annahū

Lau kāna kārihan lakāna ‘ājizan wa kaunuhū ‘ājizan muḥālun

Wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā `l-‘ilmu wa hiya ṣifa/t/un qadīma/t/un

50
qā`ima/t/un biżātihi ta’ālā ya’lamu bihā `l-Asyyā`a

waḍidduhā `l-Jahlu wa `d-Dalīlu ‘ala żālika

`annahū lau kāna jāhilan lam yakun murīdan wa huwa

muhālun wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā `l-Hayātu

wa hiya ṣifa/t/un qadīma/t/un qāima/t/un biżātihī ta’ālā

tuṣaḥḥiḥu lahū `an yyattaṣifa bil’ilmi wa ghairihī

min `ṣ-Ṣifāti wa ḍidduhā `l-Mautu wa `d-Dalīlu

‘alā żālika `annahū lau kāna mayyitan lam yakun

Qādiran wa lā murīdan wa lā ‘āliman wa huwa

muḥālun wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā `s-Sam’u

wa `l-Baṣaru wa humā ṣifatāni qadīmatāni

biżātihī ta’ālā yankasyifu bihimā `l-Maujūdu

wa ḍidduhumā `ṣ-Ṣamamu wa `l-‘amā wa `d-Dalīlu

‘alā żālika qauluhū ta’ālā : wa huwa `s-Samī’u

51
`Al-Baṣīru wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā `l-Kalāmu wa huwa

Ṣifa/t/un qadīma/t/un qā`ima/t/un biżātihī ta’ālā walaisat

Biḥarfin wa lā ṣautin wa ḍidduhā `l-Bukmu wa `l-Kharsu

Wa `d-Dalīlu ‘ala żālika qauluhū : wa kallama

`Allāhu mūsā taklīman wa yajibu fī haqqihī ta’ālā

Kaunuhū qādiran wa ḍidduhū

Kaunuhū ‘ājizan wa `d-Dalīlu ‘alā żālika

Dalīlu `l-Qudra/t/i wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā kaunuhū

Murīdan wa ḍidduhū kaunuhū kārihan wa `d-Dalīlu

‘alā żālika dalīlu `l-`Irāda/t/i wa yajibu fī ḥaqqihī

Ta’ālā kaunuhū ‘āliman wa ḍidduhū kaunuhū jāhilan

Wa `d-Dalīlu ‘alā żālika dalīlu `l-‘ilmi

Wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā kaunuhū ḥayyan wa ḍidduhū

Kaunuhū mayyitan wa `d-Dalīlu ‘alā żālika

52
Dalīlu `l-Ḥayā/t/i wa yajibu fī ḥaqqihī ta’ālā kaunuhū

Samī’an baṣīran wa ḍidduhumā kaunuhū `aṣamma

Wa kaunuhū `a’mā wa `d-Dalīlu ‘alā żālika

Dalīlu `s-Sam’i wa dalīlu `l-baṣari wa yajibu fī ḥaqqihī

Ta’ālā kaunuhū mutakalliman wa ḍidduhū kaunuhū `abkama

Wa `d-Dalīlu ‘ala żālika dalīlu `l-Kalāmi

Wa `l-Jā`izu fī ḥaqqihī ta’ālā fa’lu kulli mumkinin

`Au tarkuhū wa `d-Dalīlu ‘alā żālika `annahū

Lau wajaba ‘alaihi subḥānahū wa ta’ālā fa’lu

Syai`in `au tarkuhū laṣāra `l-Jā`izu wājiban `au

mustaḥīlan wa huwa muḥālun wa yajibu fīḥaqqi

`Ar-Rusuli ‘alaihim `ṣ-Ṣalā/t/u wa `s-Salāmu `ṣ-Ṣidqu

Wa ḍidduhū `l-Kiżbu wa `d-Dalīlu ‘alā żālika

`Annahum lau każżabū lakāna khabaru `Allāhi subḥānahū

53
Wa ta’ālā kāżiban wa huwa muḥālun wa yajibu fī

ḥaqqihim ‘alaihimu `ṣ-Ṣalā/t/u `s-Salāmu `l-`Amāna/t/u

wa ḍidduhā `l-khiyāna/t/u wa `d-Dalīlu ‘alā

żālika `annahum lau khānū bifa’li muḥarramin

`au makrūhin lakunnā mā`mūrīna bimiṡli żālika walā

yaṣiḥḥu `an nu`mara bimuḥarramin `au makrūhin wa yajibu

fī ḥaqqihim ‘alaihimu `ṣ-Ṣalā/t/u `s-Salāmu tablīghu mā

umirū bitablīghihī lilkhalqi wa ḍidduhū kitmānu żālika

wa `d-Dalīlu ‘alā żālika `annahum lau katamū

Syai`an mimmā umirū bitablighihī lakunnā mā`mūrīna

Bikitmāni `l-‘ilmi wa lā yaṣiḥḥu `an nu`mara bihī li`anna

Kātima `l-‘ilmi mal’ūnun wa yajibu fī ḥaqqihim ‘alaihimu

`Aṣ-Ṣalā/t/u wa `s-Salāmu `l-Faṭāna/t/u waḍidduhā `l-B`ilā da/t/u

Wa `d-Dalīlu ‘alā żālika `annahū lawintafat

‘anhumu `l-faṭāna/t/u lamā qadarū ayyuqīmū ḥujja/t/an

54
‘ala `l-Khaṣmi wa huwa muḥālun li`anna al-Qur`āna

Dalla fī mawāḍi’a kaṡīra/t/in ‘ala iqāmatihim `l- ḥujja/t/a

‘alā `l-Kaṣmi wa `l-Jā`izu fī ḥaqqihim ‘alaihimu

`Aṣ-Ṣalā/t/u wa `s-Salāmu `l-A’raḍu `l-Basyariyya/t/u

`Allatī lā tu`addī `ilā naqṣin fī marātibihimu `l-‘aliyya/t/i

kalmaraḍi wa naḥwihī wa `d-Dalīlu ‘alā żālika

Musyāhadatuhā bihim ‘alaihimu `ṣ-Ṣalā/t/u wa `s-Salāmu

_khātima/t/un_ yajibu ‘ala `sy-Syakhṣi `an yya’rifa

Nasabahū ṣallā `Allāhu ‘alaihi wasallama min jiha/t/i `abīhi wa min

Jiha/t/i ummihī fa`ammā nasabuhū ṣallā `Allāhu ‘alaihi wa sallama

Min jiha/t/i `abīhi fahuwa sayyidunā Muḥammadu `bnu ‘abdillāhi

`ibnu ‘abdil `l-Muṭṭalibi `bnu hāsyimi `bnu ‘abdi manāfi `bnu

quṣayyi `bnu kilāb `bnu murra/t/a `bnu ka’ab `bnu lu`ayyi `bnu

Ghālibi `bnu fihri `bnu mālik `bnu `n-Naḍri `bnu kināna/t/a

55
`ibnu Ḥuzaima/t/u `bnu mudrika/t/u `bnu `ilyāsa `bnu muḍarri

`ibnu nizāri `bnu ma’ad `bnu ‘adnāna walaisa fīmā

Ba’dahū `ilā ādama ‘alaihi `ṣ-Ṣalā/t/u wa `s-Salāmu ṭarīqun

Ṣaḥīḥun fīmā yunqalu wa `ammā nasabuhū ṣallā Allāhu ‘alaihi

Wasallama min jiha/t/i ummihī fahuwa sayyidunā Muḥammadu `bnu

āmina/t/a binti wahab `bnu ‘abdil manāfi `bnu zuhra/t/a `bnu

Kilābin fatajtami’u ma’ahū ṣallā Allāhu ‘alaihi wa sallama fī

Jaddihī kilāb wa mimmā yajibu `aiḍan an yya’lama `anna

Lahū ḥauḍan wa `annahū ṣallā `Allāhu ‘alaihi wa sallama yasyfa’u

Fī faṣli `l-Qaḍā`i wahāżihi `sy-Syafā’a/t/u mukhtaṣṣa/t/un

Bihī ṣallā `llāhu ‘alaihi wa sallama wa mimmaā yajibu `aiḍan

`An yya’rifa `r-Rusula `l-Mażkūra/t/a fī `l-Qur`āni tafṣīlan

Wa `ammā ghairuhum ‘alaihi `an yya’rifahum `ijmālan

Waqad naẓẓama ba’ḍuhum `al-Anbiyā`a `allatī tajibu

56
Ma’rifatuhum tafṣīlan faqāla :

ḥatmun ‘alā kulli żī `t-Taklīfi ma’rifa/t/un

bi`anbiyā`a ‘alā `t-Tafṣīli qad ‘ulimū

fī tilka ḥujjatunā minhum ṡamāniya/t/un

min ba’di ‘asyrin wa yabqāsab’a/t/un wa hum

`Idrīsun Hūdun syu’aibun ṣāliḥun wakażā

ŻūlKifli `ādamu bilmukhtāri qad khutimū

Wa żālika qauluhū ta’ālā : “ wa tilka ḥujjatunā `ātaināhā

`Ibrāhīma ‘alā qaumihī narfa’u darajātin man nasyā`u

`Inna rabbaka ḥakīmun ‘alīmun wa wahabnā lahū `Isḥāqa

Wa Ya’qūba kullan hadainā wa Nūḥan hadainā min qablu

Wa min żurriyyatihī Dāwūda wa Sulaimāna wa `Ayyūba wa Yūsufa

Wa Mūsā wa Hārūna wa każālika najzī `l-Muḥsinīna

Wa Zakariyyaā wa Yaḥyā wa ‘Isā wa `Ilyāsa kullun min

57
`aṣ-Ṣāliḥīn wa `Ismā’īla wa `l-lyasa’a wa Yūnusa wa Lūṭ

wakullan faḍḍalnā ‘ala al-‘ālamīna.

Wamimmā yajibu `i’tiqāduhū `aiḍan `anna qarnahū `afḍalu

`Al-Qurūni ṡumma `l-Qarna `allażī ba’dahū ṡumma `l-Qarna

`Allażī ba’dahū wa yanbaghī li `sy-Syakhṣi `an yya’rifa

`Aulādahū ṣallā `Allāhu ‘alaihi wa sallama wa hum ‘alā aṣ-ṣaḥīḥi

Sayyidunā `l-Qāsimu wa sayyidatunā Zainaba wa sayyidatunā Ruqaya/t/a

Wa sayyidatunā Fāṭima/t/a wa sayyidatunā Ummu kulṡuūmin wa sayyidunā

‘Abdullaāhi wa huwa `l-Mulaqqabu biṭṭayyibi wa `ṭ-ṭāhiri wa sayyidunā

`Ibrāhīma wakulluhum min sayyidatinā Khadīja/t/a `l-Kubrā

`Illā `Ibrāhīm famin Māriya/t/i al-Qibṭiyya/t/i wahāżā

`ākhiru mā yassarahū `Allāhu min faḍlihī wa karamihī wa `l-hamdu

Li `l-lāhi rabbi `l-‘ālamīna wa ṣallā `Allāhu ‘alā sayyidinā

Muhammadin wa’alā `ālihī waṣaḥbihī wasallama.

58
2.4 Terjemahan Naskah TA

Mahkota-Mahkota Yang Bersinar

Dari Syaikh al-Alim al-‘alamah Yang Mempunyai Banyak Pengetahuan

Ibrahim al-Bajuri dalam Tauhid

Terjemah Dengan Bahasa Jawa

Pengurus Pesantren

Babakan

Tanjung Pura Cimangkok Sukaraja

Sukabumi Jawa Barat

Indonesia

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah


keduanya itu telah rusak binasa”. ( al-Anbiya: 22 ).
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Rahmat dan salam semoga tetap

terlimpah curahkan kepada Rasulullah Saw.

59
Selanjutnya, berkata Syekh Ibrahim Al Bajuri yang lalai dan sangat

membutuhkan Rahmat Tuhannya yang Maha Waspada Lagi Maha Melihat

mengatakan, sebagian rekan-rekanku telah meminta kepadaku semoga Allah

memperbaiki aku dan mereka, baik tingkah laku maupun akhlak, bahwa saya harus

menulis sebuah kitab kecil yang mencakup sifat-sifat Tuhan dan kebalikannya, sifat

yang jaiz pada hak-Nya dan sifat-sifat yang wajib pada hak para Rasul, juga sifat-sifat

yang mustahil pada mereka dan sifat yang jaiz pada haknya. Maka kupenuhi

permintaan mereka itu. Lalu aku berkata, " Dan kepada Allah memohon pertolongan".

Wajib bagi setiap mukallaf (dewasa) mengetahui semua sifat yang wajib,

perkara yang mustahil serta jaiz bagi hak Allah Swt.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Wujud artinya ada, sedangkan lawannya

adalah sifat 'Adam artinya tidak ada. Ini mustahil bagi-Nya. Adapun dalil adanya Allah

ialah, adanya semua makhluk ini.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Qidam artinya sesungguhnya adanya Allah

itu tidak ada permulaannya, sedangkan lawannya adalah sifat Hudus artinya baru.

Yakni adanya sesudah tidak ada. Ini mustahil bagi Allah. Adapun dalil sifat Qidam

ialah, seandainya keadaan Allah itu baru, yaitu adanya sesudah tidak ada tentu Allah

membutuhkan kepada yang membuatnya dan itu mustahi bagi Allah.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Baqa artinya kekal, maksudnya yiatu,

sesungguhnya Allah tidak ada ujungnya. Adapun dalil sifat Baqa ialah, sesungguhnya

60
kalau Allah bersifat fana, tentu Allah seperti makhluk-Nya yang demikian adalah

mustahil bagi Allah.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Mukhaalafatul Lilhawaaditsi artinya Allah

itu berbeda dengan semua makhluk atau semua yang baru. Maksudnya ialah,

sesungguhnya Allah tidak serupa dengan semua makhluk-Nya, Allah tidak mempunyai

tangan, tidak mempunyai mata, telinga dan tidak selain itu (dari sifat-sifat makhluk)

sedangkan lawannya adalah sifat Mumaastalah artinya menyerupai mahkluk-Nya. Ini

mustahil bagi-Nya. Adapun dalilnya ialah, seandainya keadaan Allah menyerupai

makhluk-Nya, tentu keadaan Allah itu pun baru, dan kalu keadaan Allah baru, berarti

mustahil.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Qiyaamuhu binafsihi artinya berdiri dengan

sendirinya. Maksudnya ialah, sesungguhnya Zat Allah itu tidak mebutuhkan tempat

tinggal dan tidak membutuhkan kepada yang menjadikan atau membuat, sedangkan

lawannya adalah sifat Ihtiyaaj artinya membutuhkan tempat tinggal dan yang

membuatnya. Ini mustahil bagi Allah. Adapun dalil sifat qiyaamuhu binafsihi ialah,

seandainya Allah membutuhkan tempat tinggal, tentu Allah berupa sifat bukan zat.

Sifat-sifat tersebut tidak akan ada kalau tidak melekat pada benda, sebab sifat itu tidak

berdiri sendiri, ini hal yang mustahil bagi Allah.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Wahdaniyat artinya zat, sifat dan perbuatan-

Nya satu. Adapun satu pada Zatnya ialah, sesunguhnya Zat Allah itu tidak tersusun dari

61
beberapa bagian yang banyak. Arti wahdaniyat pada sifat-sifat Allah ialah bahwa

sesungguhnya tidak ada bagi Allah dua sifat atau lebih dari sejenis seperti dua kodrat-

Nya atau dua iradat-Nya dan sebagainnya. Tidak ada bagi selain Allah yang

mempunyai sifat seperti sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna itu. Adapun arti

wahdaniyat fil af'al ialah bahwa sesungguhnya bagi selain Allah tidak berkuasa berbuat

sesuatu dari bermacam-macam pekerjaaan. Lawan dari sifat wahdaniyat ialah

Ta'addud artinya berbilang atau banyak. Dalilnya ialah bahwa sesungguhnya,

seandainya Allah itu berbilang, tentu tidak akan terwujud semua makhluk ini.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Qodrat artinya berkuasa. Adalah sifat yang

qadim yang berdiri pada Zat-Nya. Ia menciptakan mahkluk dengan qodrat-nya,

demikian pula meniadakannya. Lawan dari sifat qodrat ialah sifat 'Ajuz artinya lemah.

Dalilnya ialah, seandainya keadaan Allah itu lemah, tentu tidak akan terwujud sesuatu

juapun dari alam semesta ini.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Iradat artinya berkehendak. Ialah sifat qadim

yang berdiri pada zat-Nya. Allah menentukan dengan sekehendak-Nya kepada sesuatu

yang mungkin bagi-Nya dengan mengadakan atau meniadakannya atau dengan

ketentuan kaya atau miskin, pandai atau bodoh dan lain sebaginya. Lawan dari sifat

iradat ialah Karahah artinya terpaksa. Dalilnya ialah sesungguhnya kalau keadaaan

Allah terpaksa membuat atau meniadakan tentu Allah itu lemah, seandainya Allah itu

lemah adalah mustahil.

62
Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat 'ilmu artinya mengetahui segala perkara.

Ialah sifat qadim yang berdiri pada Zat Allah Ta'ala. Allah mengetahui segala perkara

denhan jelas. Lawan dari sifat ilmu ialah sifat Jahal artinya bodoh. Dalilnya ialah

bahwa sesungguhnya, seandainya Allah itu bodoh, tentu Allah tidak mempunyai

kehendak akan sesuatu, bila keadaannya demikian itu mustahil bagi Allah.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Hayat artinya hidup. Ialah sifat qadim yang

berdiri pada Zat Allah Ta'ala. Sifat hayat mengesahkan sifat Allah dengan sifat 'ilmu

dan sifat yang lainnya. Lawan dari sifat hayat ialah Maut, artinya mati. Dalilnya ialah

Seandainya Allah mati, tentu ia tidak berkuasa, tidak berkehendak dan tidak

mengetahui. Keadaan yang demikian itu mustahil bagi Allah.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Sama' dan Bashar artinya mendengar dan

melihat. Keduanya sifat qadim pada zat Allah Ta'ala. Dengan kedua sifat itu terbuka

dengan jelas semua yang ada. Lawan dari sifat sama' dan bashar ialah Ashamma dan

A'ma artinya tuli dan buta. Dalilnya ialah, Firman Allah Swt : Dialah Allah Yang Maha

Mendengar Dan Maha Melihat.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Kalam artinya berkata-kata. Ialah sifat qadim

yang berdiri pada Zat Allah Ta'ala. Perkataan Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara.

Lawan dari sifat kalam ialah sifat Albukm yaitu Khirsu (bisu). Dalilnya ialah, Firman

Allah Swt : Dan Allah telah berkata-kata kepada Nabi Musa dengan perkataan yang

sebenarnya (langsung).

63
Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Kaunuhu Qaadir artinya keadaan Allah

yang Berkuasa. Sedangkan lawannya ialah sifat Kaunuhu 'Aajiz artinya keadaan Allah

yang lemah. Dalilnya ialah dalil sifat qudrat.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Kaunuhu Muridan artinya keadaan Allah

yang Maha Menghendaki. Sedangkan lawannya ialah sifat Kaunuhu Kaarihan artinya

keadaan Allah yang terpaksa, tidak mempunyai kehendak. Dalilnya ialah dalil sifat

iradat.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Kaunuhu 'aaliman artinya keadaan Allah

yang Maha Mengetahui. Sedangkan lawannya ialah sifat Kaunuhu Jaahilan artinya

keadaan Allah yang tidak Mengetahui. Dalilnya ialah dalil sifat 'ilmu.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Kaunuhu Hayan artinya keadaan Allah yang

Hidup. Sedangkan lawannya ialah sifat Kaunuhu Mayyitan artinya keadaan Allah

mati. Dalilnya sama dengan dalil sifat hayat.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Kaunuhu Samian dan Bashiran artinya

keadaan Allah Yang Maha Mendengar Lagi Maha Melihat. Sedangkan lawannya ialah

sifat Kaunuhu Ashamm dan Kaunuhu A'ma artinya keadaan Allah yang tuli dan buta.

Dalilnya sama dengan dalil sifat sama' dan bashar.

Wajib pada hak Allah Ta'ala sifat Kaunuhu Mutakalliman artinya keadaan

Allah yang berkata-kata. Sedangkan lawannya ialah sifat Kaunuhu Abkam artinya

keadaan Allah yang bisu. Dalilnya ialah dalil sifat kalam.

64
Dan Jaiz bagi Allah membuat setiap barang yang mungkin atau tidak

membuatnya. Adapun dalil sifat jaiz-Nya ialah Allah meniadakan atau tidak

menjadikan segala perkara yang mungkin ialah seandainya menjadikan makhluk itu

wajib bagi Allah, tentu saja perkara yang jaiz menjadi wajib atau perkara yang

mustahil. Kejadian semacam itu mustahil pada hak Allah Swt.

Wajib pada hak Rasulullah sifat Shiddiq, artinya benar. Sedangkan lawannya

ialah Kidzib, artinya dusta. Dalilnya, ialah seandainya para Rasul itu berdusta, tentu

hukum Allah SWT pun dusta, Keadaan yang demikian itu mustahil.

Wajib pada hak para Rasul sifat Amanah, artinya jujur. Sedangkan lawannya

ialah Khianat, artinya tidak terpercaya. Adapun dalil sifat amanah, ialah sesungguhnya

para Rasul itu seandainya mereka berkhianat dengan mengerjakan yang diharamkan

atau dimakruhkan, tentu kita semua pun diperintah demikian, sedangkan tidak sah bila

kita diperintah mengerjakan yang diharamkan atau yang dimakruhkan.

Wajib pada hak para Rasul sifat Tabligh, artinya menyampaikan semua perkara

yang diperintah untuk disampaikan kepada manusia (makhluk), Sedangkan lawannya

ialah Kitman, artinya menyembunyikan semua perkara yang diperintah untuk

disampaikan kepada manusia (makhluk). Adapun dalil sifat tabligh, ialah

sesungguhnya para Rasul itu seandainya mereka menyembunyikan sesuatu dari apa

yang diperintahkan kepadanya untuk disampaikan kepada umatnya, tentu keadaan

kitapun diperintah untuk menyembunyikan ilmu, sedangkan tidak sah atau tidak benar

65
kalau kita diperintah demikian sebab, sesungguhnya orang yang menyembunyikan

ilmu itu dikutuk atau dilaknat oleh Allah.

Wajib pada hak para Rasul sifat Fathaanah, artinya cerdik pandai. Sedangkan

lawannya ialah Balaadah, artinya bodoh. Adapun dalil sifat fathaanah, ialah

sesungguhnya para Rasul tidak ada sifat fathaanah, sudah tentu mereka tidak mampu

menegakan hujjah atau alasan untuk mengalahkan musuhnya.keadaan Rasul tidak

mampu menegakan hujjah adalah mustahil baginya. Sebab sesungguhnya Al Quran

telah menunjukan dalam beberapa ayat yang banyak mengenai kemampuan para Rasul

dalam menegakan hujjah untuk mengalahkan musuhnya.

Sifat jaiz pada hak para Rasulullah ialah menyampaikan sifat-sifat kemanusian

yang tidak mendatangkan kepada kekurangan martabatnya yang mulia, seperti sakit

dan sebagainya. Adapun dalil sifat jaiz bagi para Rasulullah, ialah karena kenyataannya

demikian yang dialami oleh mereka itu.

Penutup

Wajib bagi manusia agar mengetahui keturunan nabi Muhammad Saw dari

pihak bapak dan ibunya.

Adapun nasab dari pihak bapaknya, ialah : Sayyidina Muhammad Saw bin

Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin

Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin

66
Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan yang

hidup pada zaman Nabi Musa As.

Sesudah Adnan sampai Nabi Adam As tidak ada keterangan yang shahih yang

dapat dikutip sebagai riwayatnya.

Nasab Nabi Muhammad Saw dari pihak ibunya ialah, Sayyidina Muhammad

Saw bin Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab dan seterusnya.

Keturunan Aminah ke atas berkumpul bersama nasab Nabi Muhammad Saw dari pihak

bapak pada kakeknya bernama Kilab.

Hal-hal lain yang wajib diketahui dan diimani ialah : Nabi Muhammad Saw

mempunyai telaga. Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw akan memberikan syafaat

kepada seluruh umat manusia kelak di hari kiamat. Syafaat ini khusu hanya untuk Nabi

Muhammad Saw.

Dari sebagian yang wajib diketahui dan diimani lagi ialah mengetahui nama

para Rasulullah yang disebutkan dalam Quran secara rinci. Adapun mengenal Rasul

selain itu, wajib mengetahui nya secara globalnya saja.

Sebagian ulama telah menazhamkan nama-nama para Nabi yang wajib

diketahui dengan terinci, maka katanya :

Kewajiban semua orang dewasa mengetahui nama para nabi dengan terinci

yang diketahui mereka dalam ayat

67
Dari sebagian mereka ada 18 orang dan sisanya 7 orang lagi yaitu :

Nabi Idris, Hud, Syua'ib, Shalih demikian pula Dzulkifli, adam dan diakhiri

mereka itu oleh Nabi pilihan (Muhammad Saw).

Dan dari firman Allah Ta’ala : “Dan itulah hujjah kami yang kami berikan
kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang kami
kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu maha bijaksana lagi maha
mengetahui (83). Dan kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya’kub kepadanya.
Kepada keduanya masing-masing telah kami beri petunjuk, dan kepada Nuh sebelum
(itu) juga telah kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh)
yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (84). Dan Zakaria, Yahya, Isa, Ilyas.
Semuanya termasuk orang-orang yang shaleh (85). Dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan
Luth. Masing-masing kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya) (86). (al-
An’am : 83-86)
Dan sebagian perkara yang wajib ditekadkan (diyakinkan) lagi, ialah kurun

(abad) yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw itu adalah kurun yang paling baik, lalu

kurun sesudahnya, lalu kurun sesudahnya lagi.

Dianjurkan bagi manusia muslim mengetahui anak-anak Nabi Muhammad

Saw yaitu ada tujuh orang menurut keterangan yang benar, yaitu :

1) Sayid Qasim

2) Sayidah Zainab

3) Sayidah Ruqayyah

4) Sayidah Fatimah

5) Sayidah Ummu Kultsum

68
6) Sayid Abdullah yang dijuluki Thayyib (bagus) dan Thahir (suci)

7) Sayid Ibrahim

Semuanya lahir dari Sayidah Khadijah Alkubra kecuali Sayid Ibrahim, ia lahir

dari Sayidah Mariyah Alkibthi.

Inilah penutup perkara yang Allah Ta'ala telah memudahkannya berkat Karunia

dan Kemurahan-Nya dan Segala Puji Bagi Allah, Rab Semesta Alam.

Semoga Rahmat dan Salam-Nya dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad Saw, para keluarga dan para sahabatnya.

2.5 Ruang Kosong Teks Kitab Tījān ad-Darārī

Penilaian indah dan tidaknya sebuah karya sastra, hendaknya tidak

sebatas pada penilaian susunan kata dan struktur kalimat yang membekas

pada jiwa penikmatnya saja. Sebuah karya sastra sejati dinilai indah, bila

diciptakan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih

dimengerti bagi pembacanya dan melahirkan sebuah peradaban baru yang

menumbuhkan semangat pengorbanan bagi kemanusiaan dalam kesastraan

dan kebersamaan (Ma’mun, 2008 : 44)

Dikatakan oleh Jaus (dalam Sangidu, 2005: 20) teori resepsi sastra

merupakan suatu disiplin yang memandang penting peranan pembaca dalam

69
memberikan makna teks sastra. Hubungan sastra dengan pembaca

mengandung implikasi estetik. Implikasi tersebut terletak pada kenyataan

bahwa resepsi pembaca pada suatu karya telah dibekali oleh karya-karya

yang telah dibaca sebelumnya.

Dalam penelitian ini penulis membandingkan dua buah naskah saja yang

mempunyai kesamaan dalam hal kebahasaan dan memiliki keunggulan

dibanding naskah lainnya, yaitu kejelasan dan kelengkapan. Naskah yang

penulis bandingkan untuk meneliti ruang kosong yang ada di dalam nakah

TA ini adalah naskah C dan D yang merupakan naskah TA yang

menggunakan terjemahan/penjelasan bahasa sunda. Kedua naskah ini

memiliki kesamaan dalam hal bahasa yang digunakan, akan tetapi dalam hal

penyampaiannya sangatlah berbeda, hal ini bisa kita lihat dalam tampilan

kedua naskah tersebut.

Naskah C merupakan cetakan ulang dari naskah B yang merupakan

tauḍiḥ dari kitab TA yang menggunakan bahasa sunda, sedangkan naskah D

merupakan matan dari kitab TA yang menggunakan terjemahan bahasa sunda

pula. Dalam penelitian ini penulis akan memberikan contoh bagaimana

penerimaan reseptor ( pengarang naskah C dan D ) untuk mengisi ruang

kosong yang ada dalam kitab TA ini. Diantara perbedaan kedua teks tersebut

antara lain :

70
Tabel 5: Ruang Kosong Teks Tījān ad-Darārī

No Teks Arab C D

1 ‫ِسْم‬
ِ‫ِ هللا‬ ‫ب‬ X “ muqoddimah : yanbaghi likulli syari’in fi
fanni an yabhatsa ‘alal basmalati bithorfin
‫َّح‬ yunasibuha. Hartosna : peryogi ka sakur
ِ‫ْمن‬ ‫الر‬
anu tumandang dina hiji pan ngabahas
‫ْم‬
ِ ‫َّحِي‬ ‫ْمنِ الر‬ ‫َّح‬ ‫ِ هللاِ الر‬ ‫ِسْم‬ ‫ ب‬ku ilmu
‫ْم‬
ِ ‫َّحِي‬
‫الر‬ jurusan eta pan, didieu pan na pan tauhid
maka ngabahas ِ ‫ْمن‬ ‫َّح‬ ‫ِ هللاِ الر‬ ‫ِسْم‬ ‫ب‬
ْ ِ َّ
‫ الرحيم‬kudu ku pan tauhid.
ِ
Bismillahi, nagmimitian abdi __ kalawan
menta pitulung ka dzat anu kagungan
jenengan allah.
Bismillahi ngamimitian abdi __ kalawan
ngalap berkah ku nyebat jenengan Allah.
Ari jenengan Allah eta asma anu bangsa
taqifiyyah hartina anu tunggu kana
lungsurna wahyu ti Allah lain benangan
akal. Lafadz Allah ngaranna : 1.asmaul
jalalah 2.asmaul a’dzom 3.asmaul husna.
Pangna dimimitian ku ِ‫هللا‬ ‫ِسْم‬
ِ ‫ب‬
‫ْم‬
ِ ‫َّحِي‬ ‫ْمنِ الر‬ ‫َّح‬ ‫ الر‬: 1) seja tumut kana
al-qur’an 2) karena aya hadits
( ‫الر ِح ْي ْم فَه َو‬
‫من ا‬ ِ ْ‫الرح‬ ‫كل أ َ ْم ٍر ِذ ْ بَ ٍل الَ ي ْباَأ فِ ْي ِه ِبس ِْم هللاِ ا‬
‫طع ا َ ْو أجْ ذَم اَ ْو أ َ ْبت َر‬
َ ‫)ا َ ْق‬, hartina: “ sakur perkara
anu hade teu dimimitian ku maca ِ‫ِ هللا‬ ‫ِسْم‬ ‫ب‬
‫ْم‬
ِ ‫َّحِي‬ ‫ْمنِ الر‬ ‫َّح‬
‫ الر‬eta teu aya
berkahna”
2 ‫د ِه‬
ِ‫ّلِل‬ ُْ
‫َم‬ ْ
‫الح‬ Ari sadaya puji eta 1. Kecap al-Hamdulillāhi ngabejakeun yen
tetep kagungan Allah sakabeh puji kamilik ku Allah, lain
ِّ
‫َب‬‫ر‬
anu mangeranan maksudna ngabejakeun hungkul, tapi
ْ‫ِي‬ َ َ
‫الم‬ ‫ْلع‬ ‫ا‬ sadaya alam maksudna nyanggakeun pujian ka Allah,
َ
‫ن‬ kaasup kana qowaid ( lianna al-Ikhbāra bi
aś-Śanā`i śana`un ) lamun dibawa kana pan
ma‘āni ( b`ilā ghoh) mah kecap al-Hamdu
teh khobariyyah lafẓon insyāiyyah ma‘nan,
jadi kecapna ngabejakeun tapi maksudna
nimbulkeun puji.

71
2. alif lam anu aya dina al-Hamdulillāhi alif
lam istigrāqi afrodi al-Jinsi, anu ceuk ilmu
mantik bisa digantikeun ku lafadz kullun ae
kullu fardil hamdi milkul lillah. Eusi
afrodna aya opat : 1) qodimun liqodimin :
puji qodim kanu qodim saperti (wahuwa al-
‘aliyyu al-‘adimu) 2) qodim lihaditsin : puji
qodim kanu hadits saperti (Innallāhaṣṭofā
ādama wanūhan waāla ibrāhīma waāla
‘imrān ‘ala al-‘alamin). Sahingga nabi
adam boga titel shopiyyulloh hartina pilihan
Alloh. 3) haditsin lilqodimin : puji hadits
kanu qodim saperti mahluk maca
alhamdulillah. 4) haditsun lil haditsin : puji
hadits kanu hadits saperti Rasaululloh
masihan gelar ash shidqu ka shohabat abu
bakar.
3. pangna mushonnif ngamimitian ku
alhamdulillahi : 1) nuturkeun kana
sunatillah, kabiasaan Allah, ceuk hadits
qudsi (Takhallaqū biakhlāqillāhi). 2)
amalan bil haditsi (kullun kalāmin lāyubdau
fīhi bilhamdillāhi fahuwa ajżamu). Tapi di
tawil yen bismillahi ibtida haqiqi
alhamdulillahi ibtida idhofi.
3. pangna dibasakeun ku kecap robbi sabab
kecap robbi leuwih luas tinimang milku
jeng maula, da dina robbimah diantara
ma’anina : nyiptakeun, miboga, ngawasa,
mangeran.
3 ُ‫َََّّل‬
‫ة‬ ‫َالص‬ ‫و‬ Sareng ari rohmat Kecap sholawat lamun disarandekeun ka
‫َالسَََّّلم‬
ُ ‫و‬ Alloh sareng ari Allah (sholawat ti Allah) hartina rahmah.
hurmah Alloh muga Lamun disarandekun ka malaikat
‫َلى‬ ‫ع‬ tetep ka kanjeng (sholawat ti malaikat) hartina istigfar.
ِ‫ِ هللا‬ ‫ْل‬‫َسُو‬ ‫ر‬ Rosululoh shollahu Lamun disarandekeun ka mu’minin
ُ‫لى هللا‬ ََّ
‫ص‬ ‘alaihi wasallam (sholawat ti mu’minin) hartina du’a. Dalil
ََ al quran : (Innallāha (ngarohmah)
‫ْه‬
ِ ‫لي‬ ‫ع‬ wamalāikatahu (maca istigfar) yushollūna
َ
‫لم‬ََّ‫َس‬‫و‬ ‘ala an-Nabiyyi, yāayyuha al-lażīna
āmanū (du’a) shollū ‘alaihi wasallimū
taslīman). Lafadz sholawat khobariyyatun
lafdzon insyaiyyah ma’nan, akur bae jeung

72
maca allahumma sholli ‘ala sayyidina
muhammad.
4 ‫د‬ُْ
‫بع‬ََ‫ _ و‬Saparantosna kitu, Sakabeh ‘abdina Allah butuh tegeusna
‫ل‬‫ُو‬
ُْ ‫َق‬‫َي‬‫_ ف‬ mangka bakal fakir kana rohmat pangeran. Tingkatan
ngadawuh anu banget mahluk dina fakir ‫ِه‬ َّ
‫ب‬ ‫ِ ر‬ ‫َة‬ ‫ْم‬ ‫َح‬ ‫ُ ر‬ ‫ْر‬ ‫ِي‬ ‫َق‬ ‫ف‬
‫ْر‬
ُ ‫َق‬
‫ِي‬ ‫ ف‬butuh kana rohmat aya tilu tingkatan : 1- anu teu percaya
‫َة‬
ِ ‫َح‬
‫ْم‬ ‫ ر‬pangerannana ki dirina teu butuh kana rohmat Allah, malah
َّ
‫ِه‬
‫ب‬ ‫ر‬ fakir. ngarasakan dirina sugih, Allah anu butuh
sahingga didawuhkeun ku Allah dina al-
qur’an
{‫س ِم َع هللا قَ ْو َل الا ِذيْنَ قَ ل ْوا إِ ا هللاَ فَ ِقي ٌْر َونَحْ ن ا َ ْغنِيَآء‬
َ ْ‫}لَقَا‬
(181 ‫ )آل ِع ْم َرا ْ آيَ ْة‬hartina “ yakin nyata geus
ngadangu Allah kana omongan jalma anu
geus ngaromong saestuna Allah eta anu
fakir (anu butuh) ari urang sarerea eta anu
benghar”. 2- jalma percaya butuh ka Allah
ngan teu ngarasakeun butuhna, ieu
tingakatan mukmin iman ilmu. 3- jalma
percaya butuh ka Allah sarta ngarasakeun
butuhna. Ieu jalma mukmin tingkatan
‫ َحق ْال َيقي ْْن‬.
5 ‫ِر‬
ِ ْ
‫ الخَب‬Anu waspada Al-khobiru ae al-‘ilmu biwa1thini al-
umu1ri, hartosna : anu uningan kana jerona
sakabeh perkara, boh anu dohir, anu wujud
hissi, atawa anu wujud ‘aqli can dohir.
Kecap al-khobiru kaasup asmaul husna,
anu ku ahli aqoid heunteu dijadikeun sifat
allah anu 20, sabab geus kaliputan ku sifat
ilmu jenung sifat bashorna allah. Sakur anu
kawaspadaan ku allah pasti kauninga
sareng katingali ku allah. Ngan beda
kontakna (ta’alluq), ari al-khobirmah
tanjizi hadits. Ari sifat ilmumah tanjizi
qodim.
6 ‫ْر‬
ِ ‫ِي‬‫َص‬ ْ
‫ الب‬Tur anu ningali 1- hartina al-bashiru : anu uninga
kasakabeh nu maujud, sanajan ku manusa
can ka idrak. 2- ta’alluq basharna Allah eta
kana maujudat boh anu wajibul wujud
atawa anu mumkinul wujud. 3- ta’alluq
bashorna allah shuluhi qodim kanu
hawadits memeh maujud, saba’da maujud
tanjizi hadits, anapon kadzat allah jeung

73
kana sifatna allah eta tanjizi qodim. 4- anu
kakeunaan ku bashirna allah nyaeta
sakabeh makhluk, boh nu wujud ‘aqli
atawa wujud hissi, boh anu katingali ku
‘adat saperti anu nemrak bari caang,
atanapi anu teu katingali ‘adat saperti
kaayaan di dasar bumi atawa dinu poek. 5-
syekh ibrahim al-bajuri nyifatan allah ku
iftiqor anjeunna, ku kecap alh-khobiru al
bashiru henteu ku kecap qodiron atawa
qohharon, ieu nandakeun kana jiwa
anjeunnana nuju nyeurat tijan ad-darari
nuju calik dina jiwa muraqobah iman ilmu
yakin.
7 ‫ْم‬
ُ ‫َاه‬
‫ِي‬ ‫بر‬ِْ
‫ ا‬Nyaeta Ibrahim anu Mushonnif pengarang ieu kitab tijan
‫َا‬ ْ bangsana teh Bajuri
‫الب‬ jenegannana : asy-Syekh ibrahim albajuri,
anjenna ti lembur bajuri, hiji kampung di
ُّ‫ِي‬
‫ْر‬‫ُو‬
‫ج‬ nakri mesir.

8 ‫ُو‬ ‫ذ‬ Anu gagabah, geus Lamun ngomongkeun dutaksiri karena


ِ‫ْر‬ ‫ْص‬
‫ِي‬ ‫َّق‬
‫الت‬ nyuhunkeun ti kaula, hayang disebut tawadu, lain maksud
sawarehna pirang- rumasa lalawora, eta jalma jatining riya.
َ
‫لب‬ََ
‫ ط‬: pirang dulur Lamun dibarengan kungarasa lalwora
ُ‫ْض‬ َ ‫ِي‬
‫بع‬ ّ‫ِن‬ ‫م‬ ibadah ka allha
ِ‫َان‬‫ْو‬
‫ِخ‬ ‫اّْل‬
9 ُ‫َ هللا‬
‫لح‬َْ
‫َص‬‫ا‬ Muga-muga Ieu basa mangrupakeun jumlah
ْ
‫هم‬ُ‫ََل‬ ‫ِيْ و‬‫ل‬ ngamaslahatkeun, mu’taridoh, hartina : bahasa pangheuleut,
ْ Allah, ka kaula antar fi’il jeung maf’ul, antara lafadz ‫ب‬ َ َ‫طل‬
َ
َ‫َا‬
‫ل‬ ‫الح‬ sareng, ka ba’dul jeung ‫ب‬ َ ‫اَ ْ اَ ْكت‬
َ‫َالشَّا‬
‫ن‬ ‫و‬ ikhwan, kana tingkah Jumlah du’aiyah mu’taridoh bainal fi’il
jeung kana kalakuan walmaf’ul, sajumlahna kalam eusina du’a,
anu ngaheuleut antara fi’il jeung maf’ul.
Pangna mushonnif wani nyeulang heula ku
du’a ‫ْ إلخ‬ ‫ِي‬ ‫َ هللاُ ل‬ ‫لح‬َْ
‫َص‬‫ ا‬secara
minimal pikeun nyumponan tina ayat
(‫ص ِلح ْوا بَيْنَ أَخ ََويْك ْم‬
ْ َ َ‫)ف‬, paling saeutik
ngaislahkeun teh ku du’a.

74
10 ‫ُب‬
َ ‫َك‬
‫ْت‬ ‫ن أ‬َْ
‫ ا‬Kana yen kudu nulis, Anu dipenta ku ba’dul ikhwan supaya
ُ‫ َل‬kaula, kana hiji
‫ه‬ kuring nuliskeun kitab leutik anu eusina
risalah ngamuat kana sifat kapangeranan jeung
ً‫ال‬
‫ة‬ َ َ‫ِس‬
‫ر‬ saterusna.

Sumber : hasil penelitian penulis

Dalam tabel diatas, dapat dilihat bagaimana perbedaan penjelasan dari pengarang
kedua naskah untuk menjelaskan ruang kosong yang ada pada kitab TA. Padahal
sumbernya sama dari tulisan arab yang sama. Penulis hanya memberikan sepuluh
contoh saja. Dalam keseluruhan naskah C dan D ini cara penjelasannya sama dengan
contoh yang penulis perlilhatkan diatas.

Kesepuluh contoh diatas menurut penulis sudah cukup mewakili bagaimana perbedaan

yang terdapat dalam kedua naskah C dan D ini. Keduaya mengunakan bahasa yang sama akan

tetapi memiliki cara penjelasan yang berbeda. Seperti yang terdapat pada tabel diatas kalimat

َ
‫ْن‬‫ِي‬
‫الم‬ ‫ْلع‬
َ َ ‫ِّ ا‬
‫َب‬ ‫د ِه‬
‫ّلِلِ ر‬ ُْ
‫َم‬ ْ
‫الح‬ dijelaskan berbeda oleh kedua naskah, naskah C

menjelaskan : “Ari sadaya puji eta tetep kagungan Allah anu mangeranan sadaya alam”,

sedangkan pada naskah D menjelaskan :


“1. Kecap al-Hamdulillāhi ngabejakeun yen sakabeh puji kamilik ku Allah, lain
maksudna ngabejakeun hungkul, tapi maksudna nyanggakeun pujian ka Allah, kaasup
kana qowaid ( lianna al-Ikhbāra bi aś-Śanā`i śana`un ) lamun dibawa kana pan ma‘āni
( b`ilā ghoh) mah kecap al-Hamdu teh khobariyyah lafẓon insyāiyyah ma‘nan, jadi
kecapna ngabejakeun tapi maksudna nimbulkeun puji.
2. alif lam anu aya dina al-Hamdulillāhi alif lam istigrāqi afrodi al-Jinsi, anu ceuk
ilmu mantik bisa digantikeun ku lafadz kullun ae kullu fardil hamdi milkul lillah. Eusi
afrodna aya opat : 1) qodimun liqodimin : puji qodim kanu qodim saperti (wahuwa al-
‘aliyyu al-‘adimu) 2) qodim lihaditsin : puji qodim kanu hadits saperti (Innallāhaṣṭofā
ādama wanūhan waāla ibrāhīma waāla ‘imrān ‘ala al-‘alamin). Sahingga nabi adam
boga titel shopiyyulloh hartina pilihan Alloh. 3) haditsin lilqodimin : puji hadits kanu
qodim saperti mahluk maca alhamdulillah. 4) haditsun lil haditsin : puji hadits kanu
hadits saperti Rasaululloh masihan gelar ash shidqu ka shohabat abu bakar.”

75
‫ْم‬
Pada kalimat ِ ‫َّحِي‬
‫الر‬ ‫َّح‬
ِ‫ْمن‬ ‫ِسْم‬
‫ِ هللاِ الر‬ ‫ب‬ penulis tidak menemukan

‫ِسْم‬
penjelasan ataw terjamahan dari naskah D, akan tetapi menemukan penjelasan ِ ‫ب‬

‫ْم‬
ِ ‫َّحِي‬ ‫َّح‬
‫ْمنِ الر‬ ‫ هللاِ الر‬dalam naskah C yang berbunyi :

“ muqoddimah : yanbaghi likulli syari’in fi fanni an yabhatsa ‘alal basmalati bithorfin

‫ِسْم‬
yunasibuha. Hartosna : peryogi ka sakur anu tumandang dina hiji pan ngabahas ِ ‫ب‬

‫ْم‬
ِ ‫َّحِي‬ ‫َّح‬
‫ْمنِ الر‬ ‫ هللاِ الر‬ku ilmu jurusan eta pan, didieu pan na pan tauhid maka

‫ْم‬
ngabahas ِ ‫َّحِي‬ ‫َّح‬
‫ْمنِ الر‬ ‫ِسْم‬
‫ِ هللاِ الر‬ ‫ ب‬kudu ku pan tauhid.

Bismillahi, nagmimitian abdi __ kalawan menta pitulung ka dzat anu kagungan

jenengan allah.

Bismillahi ngamimitian abdi __ kalawan ngalap berkah ku nyebat jenengan Allah. Ari

jenengan Allah eta asma anu bangsa taqifiyyah hartina anu tunggu kana lungsurna

wahyu ti Allah lain benangan akal. Lafadz Allah ngaranna : 1.asmaul jalalah 2.asmaul

‫ْم‬
a’dzom 3.asmaul husna. Pangna dimimitian ku ِ ‫َّحِي‬ ‫َّح‬
‫ْمنِ الر‬ ‫ِسْم‬
‫ِ هللاِ الر‬ ‫ ب‬: 1)

seja tumut kana al-qur’an 2) karena aya hadits

(‫طع ا َ ْو أجْ ذَم ا َ ْو أَ ْبتَر‬


َ ‫الر ِح ْي ْم فَه َو اَ ْق‬
‫من ا‬ ‫)كل أ َ ْم ٍر ِذ ْ َب ٍل الَ ي ْباَأ ِف ْي ِه ِبس ِْم هللاِ ا‬, hartina: “ sakur perkara
ِ ْ‫الرح‬

‫ْم‬
anu hade teu dimimitian ku maca ِ ‫َّحِي‬ ‫َّح‬
‫ْمنِ الر‬ ‫هللاِ الر‬ ‫ِسْم‬
ِ ‫ ب‬eta teu aya

berkahna”

Penulis meyakini bahwa dalam penjelasan kalimat ِّ


‫َب‬ ‫د ِه‬
‫ّلِلِ ر‬ ُ‫دد‬
‫ْد‬‫َم‬ ْ
‫الح‬

َ
‫ْن‬‫ِي‬
‫دالم‬‫ْلع‬
َ َ ‫ا‬ di dalam kedua naskah tersebut memiliki kesamaan yang

merupakan inti dari kalimat bahasa arab yang menjadi sumbernya, akan

76
tetapi dalam penyampaiannya memiliki perbedaan yang dihasilkan oleh

bagaimana penerimaan reseptor dalam hal ini penulis naskah C dan D dalam

mengisi ruang kosong dari kitab TA tersebut.

77
BAB IV
KESIMPULAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan naskah TA dengan pendekatan

filologi, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Naskah kitab Tījān ad-Darārī banyak ditemukan di negara Indonesia,

dan yang penulis temukan terdapat lima naskah. Penulis mengedisi

salah satu naskah kitab Tījānu ad-Darārī yang merupakan naskah A

yang penulis anggap mempunyai keunggulan dalam hal kelengkapan

dan kejelasan.

2. Suntingan teks naskah A kitab Tījānu ad-Darārī (TA) merupakan

suatu bentuk suntingan edisi baru yang sudah diperbaiki dari

kesalahan tulis yang terdapat pada naskah TA dengan menggunakan

kaidah Ilmu Imlā, Kamus Al-Munawwir, dan Kitab Suci Al-Qur’an.

3. Kesalahan tulis yang terdapat pada naskah A kitab TA ini meliputi, 81

buah lakuna, 2 buah korup, 13 buah adisi.

4. Tulisan yang digunakan pada teks naskah A ini menggunakan bahasa

arab akan tetapi terjemahannya menggunakan lughotan arab pegon

jawa, selain itu naskah A ini menambahkan beberapa ayat al-quran

untuk dalil tambahan sebagai penguat kitab Tījānu ad-Darārī ini,

78
yaitu ayat 22 surat al-Anbiya yang berada di awal dan ayat 83-86 surat

al-An’am.

5. Isi dari naskah TA ini adalah tentang ketauhidan , di dalamnya

terdapat sifat-sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah, sifat-sifat

yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Rasul Allah, nama-nama rasul yang

wajib diketahui, serta silsilah keluarga nabi Muhammad saw yang

juga wajib diketahui.

6. Ruang kosong naskah Tījānu ad-Darārī yang penulis temukan

mempunyai banyak sekali perbedaan, akan tetapi perbedaan yang

terdapat dalam naskah-naskah Tījānu ad-Darārī sifatnya tidak saling

menjatuhkan, akan tetapi malah saling melengkapi, seperti ruang

kosong yang penulis bandingkan antara naskah C dan D yang

menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa sunda mempunyai

perbedaan dalam hal penyampaian makna dan penjelasan perkata dari

Tījānu ad-Darārī akan tetapi menjadikannya saling melengkapi.

79
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Baried, dkk, 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan

Publikasi Fakultas Gajah Mada

Darusuprapta. 1984 .“Beberapa Masalah Kebahasaan dalam Penelitian Naskah”.


Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid & Terjemah. Bandung: cv penerbit

Diponogoro, 2010

Depdikbud.. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996

Djammaris, Edwar. 1997. “Metode Penelitian Filologi”. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lubis, Nabilah. 2007. Naskah, Teks, dan Metode Kajian Filologi. Jakarta : Puslitbang
Lektur Keagamaan Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI.

Ma’mun, Titin Nurhayati (2008). Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw Naskah Sunda

Suntingan Teks dan Kajian Struktur. Bandung: Risalah Pres

80

Anda mungkin juga menyukai