Anda di halaman 1dari 6

Sejarah dan Suluk Sunan Gunung Jati

Meretas Jalan Menuju Hakikat Kehidupan

Oleh:
Zaimul Am

Universitas Muhammadiyah Tangerang


Tangerang
1439 H/2018 M
Sekapur Sirih dari Penulis

Suatu pagi di tahun 2004. Jam dinding di rumahku menunjuk waktu pukul 07.
30, ketika pintu rumahku diketuk orang. Kemudian orang itu mengucapkan salam
dengan nada suara yang sungguh berwibawa dan mantap. Aku menjawab
salamnya seraya membuka pintu. Seketika itu juga kulihat seorang pria dengan
raut wajah yang bercahaya. Aku terdiam sebentar karena rasa takjub. Pria itu
mengenakan baju gamis dengan serban berwarna hijau cerah. Wajah pria itu
sangat tampan. Terlebih dengan cahaya yang memancar darinya. Aku bersalaman
dengannya seraya mencium tangannya. Dia tersenyum. Aku sangat tampak gugup
dan hanya berdiri terpaku. Senyum itu menyadarkan diriku untuk
mempersilahkannya masuk ke ruang tamu.
Kami duduk berdampingan. Pria itu tak begitu lama melihat-lihat dinding di
ruang tamu sebelum akhirnya menatapku. Suasana hening sesaat. Kemudian pria
itu berkata:
“Adik…, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada adik,” katanya, “Sudah
cukup banyak orang menulis tentang Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga.
Bahkan tentang Syekh Siti Jenar pun sudah sangat sering ditulis orang. Tetapi
masih sangat jarang orang yang menulis tentang saya. Karena itu, maukah adik
menulis tentang saya…?”
Aku mengiyakan. Kemudian aku bertanya:
“Dimanakah kiranya saya dapat memperoleh bahan-bahan tentang Bapak…?”
“Itu gampang…,” katanya, “Semua bahan tentang saya dapat adik peroleh
dari ahli waris saya di Cirebon. Dari sini, adik ke terminal bis Pulogadung. Dari
Pulogadung, adik naik bis jurusan Cirebon. Sampai di terminal bis Cirebon, adik
bisa naik angkot nomer 6. Angkot itu lewat tempat saya…”
Setelah mengatakan hal itu, pria itupun bangkit dari duduknya dan pamit.
Aku mengantarnya hingga ke pekarangan depan rumahku. Aku kembali menjabat
dan mencium tangannya. Kemudian aku bertanya kepadanya,
“Tetapi, siapakah gerangan Bapak sebenarnya…?”
“Saya Sunan Gunung Jati…,” jawabnya.
Pria itu kembali mengucapkan salam dan aku menjawab salamnya. Kutatap
kepergian pria itu hingga akhirnya dia menghilang dari pandanganku.
Aku termenung. Nama itu jelas tidak asing bagiku. Namun bukankah beliau
sudah wafat berabad silam? Aku menjadi tak habis pikir. Seandainya saja aku
sedang bermimpi, mungkin akan lebih sederhana atau lebih mudah bagi untuk
memahami hal ini. Tetapi, sungguh sukar rasanya memikirkan hal ini, sebab aku
tengah terjaga, dan bukan sedang tidur apalagi bermimpi.
*******
Esok harinya aku berangkat kuliah ke Ciputat. Pagi ini sangat cerah. Cahaya
matahari menyegarkan seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi. Banyak
orang yang sudah berlalu lalang untuk mengais kehidupan.
Aku masih merenungi kejadian kemarin. Bagaimanapun, kedatangan Sunan
Gunung Jati yang telah wafat berabad silam menimbulkan tanda tanya besar di
dalam pikiranku. Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengakui bahwa
keluarbiasaan ini memang terjadi. Apakah aku sedang berhalusinasi? Tidak. Sama
sekali tidak. Halusinasi hanya ada dalam pikiran yang melantur, bukan dalam
kejadian atau fakta.1
Pagi inipun kujumpai dua keanehan lagi. Pertama, supir taksi yang
mengantarku ke Ciputat ternyata berasal dari Cirebon. Kedua, ketika kutanyakan
kepadanya mengenai angkot nomor 6 itu, dia menjawab bahwa rute angkot itu
melewati makam Sunan Gunung Jati.

1
Filsuf Barat seperti Singmud Freud akan memasukkan kejadian luar biasa (extraordinary
events) ke dalam kategori mitos (myth). Freud menyebut pembentukan konsep-konsep mitik tidak
bergantung pada sejarah budaya. Lihat, https://www.britannica.com/topic/myth, diakses tanggal 11
Juni 2018, jam 19.06. Tetapi Jung memiliki pandangan yang berbeda dengan Freud. Dalam
karyanya, Unus Mundus (Dunia Potensial Di Luar Waktu), Jung menyatakan bahwa segala sesuatu
saling berkaitan dan tidak ada perbedaan antara fakta-fakta psikologis dan fakta-fakta fisik.
Demikian pula, tidak ada perbedaan antara masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Lihat, Polly
Young-Eisendrath and Terence Dawson, The Cambridge Companion to Jung, (Cambriidge:
Cambridge Univesity Press, 2008), 59. Dalam konteks ini, aku hanya ingin menegaskan bahwa
yang kualami berada di luar konsepsi Freud tentang mitos. Pertama, aku mengalaminya langsung
dengan kesadaran utuh orang yang sedang terjaga. Kedua, aku yang menjadi subjek pada kejadian
luar biasa ini dan aku sama sekali tidak sedang menilai kejadian luar biasa di masa lalu yang
diriwayatkan dari mulut ke mulut dalam rentang waktu yang sangat lama.
Terlalu sulit bagiku untuk mengatakan bahwa semua kejadian ini merupakan
kebetulan belaka. Sebab, kebetulan lazimnya hanya terjadi satu kali saja.
Sungguh, tidaklah mungkin ia bisa terjadi secara beruntun dalam waktu dua hari.
*******
Pertemuanku dengan para ahli waris Sunan Gunung Jati justru baru terjadi
pada hari Rabu tanggal 6 Juni 2018 yang bertepatan dengan tanggal 21 Ramadhan
1439 H. Hal ini berarti kurang lebih empat belas tahun kemudian dari sejak
kedatangan Sunan Gunung Jati ke rumahku. Aku juga tak mengerti mengapa ada
tahun-tahun sulit yang membuatku tak kunjung bertemu dengan mereka. Salah
satu penyebabnya yang sangat kusadari adalah ketidaktahuanku mengenai wilayah
Cirebon. Selain itu, memang belum seorang pun dari kalangan ahli waris Sunan
Gunung Jati yang kukenal atau pernah kujumpai.
Adalah KH. Munaji Assaufani, pemimpin Pondok Pesantren Darul Maarif
Desa Legok Kecamatan Lohbener Indramayu, yang menjadi penghubungku dalam
pertemuan dengan keluarga besar dan ahli waris Kanjeng Sunan Gunung Jati.
Pertemuan terselenggara selama lebih dari tiga jam, yakni sejak pukul 22.00
hingga sekitar pukul 02.15 WIB. Pembicaraanku dengan para ahli waris utamanya
mengenai amanat Sunan Gunung Jati agar aku meminta kepada para ahli waris
bahan-bahan yang berkaitan dengan sejarah maupun suluk Sunan Gunung Jati.
Tak lupa pula kusampaikan kepada mereka bahwa Sunan Gunung Jati menulis
buku tentang beliau. Di akhir perbincangan, para ahli waris Sunan Gunung Jati,
melalui Muhammad Mukhtar Zaedin, memberikan beberapa buku tentang Sunan
Gunung Jati. Belum lengkap memang. Namun sudah cukup memadai untuk
menghimpun pemikiran awal mengenai sejarah maupun suluk Sunan Gunung Jati.
Kami bersepakat pula untuk bertemu lagi pada tanggal 10 Syawwal 1439 H di
Cirebon.
Akupun pamit seraya mengucapkan salam kepada para ahli Sunan Gunung
Jati. Aku masih harus mengantar KH. Munaji Assaufani ke kediaman beliau di
Pondok Pesantren Darul Maarif, Lohbener. Tetapi kami nyasar ke Kandang Haur
hingga tiba di sekitar wilayah Makam Syekh Nurjati. Pikiranku menjadi terbagi
dua: Apakah ini hanya kesasar biasa atau sebuah perencanaan gaib yang memang
sedari awal bertujuan mengantarkan kami ke wilayah makam salah seorang ulama
besar dari kalangan Kesultanan Cirebon.
Setelah mengantar KH. Munaji Assaufani, aku kembali ke Tangerang. Saat
selesai makan sahur di perjalanan, kupanjatkan doa:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah”
“Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”
“Aku memohon kepada Allah Swt agar memberiku hidayah, dan taufiq
sehingga aku mampu menulis tentang salah seorang hamba yang dikasihi-Nya.”

Tangerang, Ramadhan 1439 H


Penulis,

Zaimul Am
ISI BUKU

Sekapur Sirih Dari Penulis


Daftar Isi
BAGIAN SATU : PENDAHULUAN
BAGIAN KEDUA : PERJALANAN HIDUP SUNAN GUNUNG JATI
BAGIAN KETIGA : KIPRAH POLITIK DAN BUDAYA SUNAN GUNUNG
JATI
BAGIAN KEEMPAT: AJARAN SUNAN GUNUNG JATI
BAGIAN KELIMA : KAJIAN KARYA-KARYA TENTANG SUNAN
GUNUNG JATI
BAGIAN KEENAM : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
APPENDIKS : SADURAN BARU KARYA SASTRA DI SEPUTAR
KESULTANAN CIREBON

Anda mungkin juga menyukai