Anda di halaman 1dari 12

Biografi KH Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek) Ploso

Mojo Kediri
Posted on 09/01/2013by Admin

Biografi KH Hamim Djazuli © KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab


dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra
KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al
Falah mojo Kediri), Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan
pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat
dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar,
jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki
kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang
Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek
memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat,
dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan
manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu
dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat
dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui
keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa).
Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan
Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-
makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain
untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam
praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak
didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan
orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
Ayah Gus Miek KH.Achmad Djazuli Usman
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-
Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak
bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran,
Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan
Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.

Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai
orang yang nyeleneh, beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang
melakukan maksiat seperti diskotik, club malam dibandingkan dengan
menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya
kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur
keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual
kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada
mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal
adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesia-nya pemikiran jalan
pintas.

Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke diskotik dan di sana
bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras,
Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu
memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus
Miek dan bertanya kepada Gus Miek. ”Gus kenapa sampeyan ikut Minum
bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh
Agama ?” lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya
membuang minuman itu kelaut…!” hal ini membuat mereka bertanya-tanya,
padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut.
Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya
kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..?” lalu Gus Miek
Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut
Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras
tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh
SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang
dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang
diberikan Alloh kepada Gus Miek.

Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana
jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam
lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa
depannya” suram dan tak beruntung di akhirat kelak.
Ketika beliau berdakwah di Semarang tepatnya di NIAC di Pelabuhan Tanjung
Mas. Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari
pribumi maupun keturunan, Gus Miek yang masuk dengan segala
kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-
cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. NIAC pun yang semula
menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan bagi para
penjudi dan penikmat maksiat.

Satu contoh lagi ketika Gus Miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di
sebuah club malam Gus Miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan
perempuan-perempuan nakal, lalu Gus Miek langsung menuju waitres
(pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil
meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itu pun mundur tapi
terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah
perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar
dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak
tampak lagi di club malam itu.

Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering
menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di
hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap
kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku
yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada”
jawab Gus miek.

Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek


memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan
tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi
pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku
bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka
aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang
menagis“ jawab Gus Miek

Adanya sistem Dakwah yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu
saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun
Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan
da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga
seorang waliyalloh.
Gus Miek bertemu KH. Mas’ud (Mbah Ud Pagerwojo Sidoarjo)
Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud
(KH. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik
yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah
ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya
Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang
kepercayaannya dan sekaligus besannya.

Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi
sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri
agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus Ud,
kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus Ud juga untuk mengharapkan
do’a dan dibacakan Al-Fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya.
Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-
Fatehan. Gus Ud kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada
di luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah
diminta oleh Gus Ud.

KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus
Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.

“Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang
besar seperti KH. Hamid menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.

“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta do’a. Aku
menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi,
siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti
mendapatkan Lailatul Qodar,” jawab Gus Ud.

Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba
turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali
tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah
mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.

Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran,
mengendarai mobil Fiat 2300 milik Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek
mengajak pergi ke Sidoarjo. Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto.
Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek
hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’i
tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).

Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela, “Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja
di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun tidak berani melanjudkan.
Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang
berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.

“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada
anak itu.

Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud
datang dengan dipapah dua orang santri.

“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang
beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya,
Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan ke arah Gus Miek.

Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk
lebih dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak
semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di rumah, Mbah Ud dan Gus Miek
duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya menyanyikan
shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus
bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan kaki sebagai musik iringan.
Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, Gus, berdoa,” kata Mbah Ud
kepada Gus Miek. Gus miek pun berdoa dan Mbah Ud mengamini sambil
menangis.

Di sepanjang perjalanan menuju ruamah Syafi’i di Ampel, Sunyoto berbisik-


bisik dengan Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja
mereka alam. Karena Mbah Ud Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul
‘adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di Jawa Timur segan
terhadapnya. “Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu
camat tersebut mengatakan silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau
menurut kepangkatan, bukankah tinggi pangkat tamunya?” Tanya Sunyoto
kepada Mulyadi.

Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan
dihormati Gus Miek selain KH. Hamid Pasuruan. Hampir pada setiap acara
haulnya, Gus Miek selalu hadir sebagai wujud penghormatan kepada orang
yang sangat dicintainya itu.

Kisah Gus Miek dan KH. Achmad Siddiq


Selain cerita sebagaimana yang telah diuraikan di muka dalam pembahasan
Gus Ud Pagerwojo dan KH. Hamid Pasuruan, ada beberapa cerita yang
berkaitan dengan KH. Ahmad Siddiq. KH. Ahmad Siddiq, yang kebetulan
istrinya dari Tulungagung, bila berada di Tulungagung, dalam pidato-
pidatonya juga selalu mnyerang Gus Miek sebagai seorang kiai yang
kebiasaannya tidak sesuai dengan syari’at. Mungkin KH. Ahmad Siddiq lupa
pada peristiwa 16 tahun sebelumnya saat dia sowan kepada Gus Ud,
Pagerwojo, Sidoarjo, di mana secara tersirat Gus Ud menunjukkan bahwa Gus
Miek adalah yang sulit diterima nalar biasa. Bahkan KH. Ahmad Siddiq
sendiri oleh Gus Ud justru disuruh meminta doa Al-Fatehah kepada Gus
Miek.

Bila mendengar semua itu, Gus Miek hanya tersenyum dan berkomentar:
“Kiai ini berani. Sungguh kiai ini pemberani,” sambil tersenyum dan
mengacungkan jempol. Kepada Amar Mujib (adik ipar KH. Ahmad Siddiq)
Gus Miek berpesan: “Mar, apakah kamu hobi pidato? Kamu jangan suka
pidato! Sebab, orang itu bila pidato, kalau hakikat-nya tidak kuat, akan
berbahaya. Orang itu yang baik di dalam-nya, bukan luar-nya.”

KH. Ahmad Siddiq saat berada di Tulungagung pernah bertanya kepada:


“Amar, jawablah dengan jujur, sejujur-jujurnya, dan jangan ada yang kau
sembunyikan: benarkah Gus Miek itu bila menghadiri undangan perkawinan,
selalu langsung menuju tempat kaum perempuan dan mengambil tempat
berbaur bersama mereka?”

Amar yang sejak pertama sudah tahu bahwa KH. Ahmad Siddiq sangat anti
dengan Gus Miek merasa terpanggil untuk membela Gus Miek.“Benar,” jawab
Amar.

“Bukankah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang kiai?” Tanya KH. Ahmad
Siddiq.

”Lalu, mengapa kau masih mengikutinya dan memujanya!” Tanya KH. Ahmad
Siddiq.

“Semua pendapat Mas Ahmad benar. Hanya saja Gus Miek pernah berkata
kepada saya bahwa bila berdakwah di sebuah keluarga, kalau tidak bisa masuk
dari pintu depan maka berusahalah masuk dari pintu belakang. Kalau tidak
bisa kepada suaminya maka berdakwahlah kepada istrinya. Sehingga bila
suaminya lalai menjalankan shalat karena malas atau kesibukan kerja, istri
bisa mengingatkannya. Sebab yang paling dekat dengan suaminya dalam
ibadah dan rumah tangga adalah istri. Bukan kiai, “jawab Amar.
KH. Ahmad Siddiq hanya diam merenungkan jawaban Amar Mujib. Amar
Mujib pun diam di samping kakak iparnya. Sudah menjadi rahasia umum di
kalangan pengikut Gus Miek bahwa setiap santri yang dekat dengan Gus
Miek, seolah merasakan suatu kekuatan dan keberanian yang luar biasa dalam
menghadapi siapa saja, termasuk tokoh besar.

Setiap berada di Tulungagung, KH. Ahmad Siddiq mencoba mencari tahu


siapakah Gus Miek yang sebenarnya dari adik iparnya. Ini tentu saja sebuah
proses pergolakan batin yang panjang dan berat bagi KH. Ahmad Siddiq. Di
samping karena dahulunya dia sudah dikenal luas sangat memusuhi Gus
Miek, juga karena harus merombak persepsinya tentang sosok wali yang
selama ini dipahaminya dan diyakininya dari kitab ketika harus berhadapan
dengan sosok kewalian Gus Miek.

Berikutnya, mulai timbul kegaluan di hati KH. Ahmad Siddiq. Hal ini terjadi
karena Gus Miek membantu menyelesaikan persoalan anaknya, meski bukan
karena keinginannya. Terlebih lagi dengan adanya pernyataan-pernyataan
KH. Hamid Pasuruan (yang masih saudaranya) yang sangat menghormati dan
mendukung Gus Miek, sebagaimana yang telah diceritakan di muka.

Setelah beberapa hari berlalu, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar
Mujib.

“Amar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.

“Untuk apa bertemu Gus Miek?” Tanya Amar curiga karena dia tidak ingin
terjadi permasalahan antara KH. Ahamad Siddiq sebagai kakak iparnya
dengan Gus Miek sebagai gurunya.

“Aku hanya ingin bertanya apakah yang telah aku pahami dari kitab-kitab dan
aku jalankan selama ini sudah benar,” jawab KH. Ahmad Siddiq.

Beberapa hari kemudian, Amar bertemu Gus Miek dan menyampaikan


permintaan KH. Ahmad Siddiq. Gus Miek hanya diam dan tidak memberi
jawaban.

KH. Ahmad Siddiq yang belum mendapat kepastian, kembali meminta


bantuan Amar Mujib untuk dipertemukan dengan Gus Miek. Pada masa itu,
Gus Miek memang sulit ditemui dan selalu berpindah-pindah sehingga hanya
orang-orang terdekat seperti Amar Mujib saja yang bisa menemui Gus Miek.
Amar pun melaporkan hal itu kepada Gus Miek. Akan tetapi Gus Miek masih
tetap belum memberikan jawaban. Baru pada permintaan yang ketiga, Gus
Miek menyanggupi. Kebetulan Gus Miek saat itu berada di rumah Mulyadi,
Jember. Tetapi Gus Miek mengancam Amar, bila undangan itu hanya untuk
memperolok dirinya, Gus Miek akan membunuh Amar.

Hal ini terjadi karena pada saat itu KH. Ahmad Siddiq telah mulai membuka
diri untuk mendukung perjuangan Gus Miek dan dengan menimbang potensi
KH. Ahmad Siddiq sebagai orang penting dalam jajaran NU wilayah Jawa
Timur. Apalagi, pada masa itu, KH. Mahrus Ali sebagai anggota PBNU,
menentang keberadaan Gus Miek dan perjuangannya. KH. Mahrus Ali adalah
ulama yang sangat kuat (keras) dalam memegang syariat dan kitab kuning,
sedangkan Gus Miek dianggab menyimpang dari ketentuan kitab-kitab dan
syariat oleh KH. Mahrus Ali. Belum lagi pembelaan Gus Miek kepada
perjuangan Wahidiyah di masa lalu. Penentangan KH. Mahrus Ali terhadap
Wahidiyah sedemikian kerasnya, bahkan ia membuat larangan tertulis bagi
seluruh santri lirboyo agar tak ikut mengamalkan Wahidiyah. Larangan itu
masih tetap dijadikan pegangan sampai sekarang.

Sebenarnya, ketidakcocokan itu bukan hanya muncul dari KH. Mahrus Ali
saja. Banyak juga ulama lain yang sama dengan pemikiran KH. Mahrus Ali.
Bahkan keluarga ploso yang awalnya mendukung Gus Miek, pada akhirnya
memisahkan diri dan melarang sebagian jama’ahnya mengamalkan
Wahidiyah.
Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali
dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata
Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus
Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus
Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra
Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di
antara mereka.

Keterbukaan KH. Ahmad Siddiq ini membuat Gus Miek tidak menyia-nyiakan
kesempatan sehingga Gus Miek memfokuskan konsentrasinya untuk
berdakwah di Jember dan sekitarnya. Ada sebuah rencana besar yang disusun
Gus Miek pada KH. Ahmad Siddiq untuk mendukung kesuksesan dakwahnya
sehubungan dengan keluarganya dan NU karena Gus Miek sama sekali tidak
mungkin untuk bermain di dalam NU disebabkan ia bukan bagian dari jajaran
pengurus NU. Gus Miek juga memilih untuk tidak terlibat dalam hiruk
pikuknya para ulama NU, terutama dalam hal politik.
Gus Miek diantar oleh Amar, akhirnya menemui KH. Ahmad Siddiq. Setelah
berbasa-basi keduanya terlibat pembicaraan empat mata yang sangat serius
selama hamper tujuh jam. Sementara Amar menunggu di luar karena sungkan
dengan KH. Ahmad Siddiq; walaupun kakak iparnya, tetapi KH. Ahmad
Siddiq adalah ulama besar. Di luar kamar, Amar gelisah menunggu, hatinya
berdebar-debar penuh kecemasan terhadap apa yang akan terjadi antara Gus
Miek dengan KH. Ahmad Siddiq. Kemudian, Gus Miek keluar dari ruangan
dengan bintik-bintk keringat di wajahnya, lalu mengajak Amar kembali ke
rumah Mulyadi.

Selang beberapa bulan, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib di
Tulungagung.

“Mar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.

“Mau apalagi, Mas? Bukankah dulu sudah bertemu?” Tanya Amar.

“Ibarat aku berada di puncak gunung, aku ingin memastikan, bila Gus Miek
diibaratkan telaga itu dalam, aku hendak terjun ke dalamnya. Bila ternyata
dangkal, aku tidak mau mati bunuh diri,” jawab KH. Ahmad Siddiq.

Akhirnya, Amar kembali melporkan hal itu kepada Gus Miek. Semenjak saat
itu, Gus Miek menjadi semakin akrab dengan KH. Ahmad Siddiq, dan KH.
Ahmad Siddiq sering menemui Gus Miek tanpa melalui perantaraan Amar
Mujib lagi. Perlu diketahui bahwa sejak 1968, antara Gus Miek dengan KH.
Ahmad Siddiq telah mulai terlibat pembicaraan serius mengenai NU kembali
ke khittah 1926. Baru pada 1984, pemikiran tersebut diterima oleh NU dalam
muktamar di Situbondo.

Gus Miek juga pernah mengajak KH. Ahmad Siddiq ziarah ke makam
Gunungpring. Sampai di lokasi makam, Gus Miek memberikan amalan
bacaan agar dibaca KH. Ahmad Siddiq saat ziarah, lalu Gus Miek pergi entah
ke mana. KH. Ahmad Siddiq yang saat itu belum begitu percaya akan
kelebihan Gus Miek, terutama dalam hubungannya dengan para wali, lalu
membaca bacaan itu.
KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua
makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang
ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu pangeran Diponegoro yang
naik kuda lengkap dengan kerisya, diiringi beberapa wali songo. Rombongan
itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak
terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat
dingin. Sementara suasanan makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus
Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan
apa yang baru saja dilihatnya.

Gus Miek berkata: “Benar, Kiai, rombongan Pangeran Diponegoro dan wali
songo itu akan menghadiri sidang para wali di Ampel.”

Sebenarnya, masih banyak cerita mengenai kedekatan Gus Miek dengan


beberapa tokoh besar yan lain. Misalnya, Gus Miek dengan keluarga KH.
Ashari. Suatu hari, Gus Miek mengajak Mulyadi, yang punya Fiat, bersama
sunyoto ke Lempuyangan, Yogyakarta, untuk menghadiri haul KH. Ashari
yang ke-8. Tiba di Lempuyangan, KH. Hamid Kajoran telah menyambutnya di
depan pintu. Kemudian mereka bersama masuk ke ruang tamu. Tiba-tiba,
Nyai Ashari muncul dari dalam, bersalaman dengan Gus Miek dan minta doa
darinya. Gus Miek yang telah menganggap Nyai Ashari sebagai ibunya yang
ketiga setelah Nyai Rodhiyah dan Nyai Mujib, hanya mengiyakan saja.

Gus Miek, 15 hari sebelum wafatnya Nyai Ashari (ibu dari KH. Daldiri), telah
datang ke Lempuyangan. Kepada Muhyidin dan Ambar (putri Nyai Ashari),
Gus Miek memberikan secarik kertas bertuliskan Khodijah binti Muhyidin
dan Hadi bin Ismail sambil berkata: “Ini, aku terakhir kali sowan Bu Nyai.”
Semua keluarga Lempuyangan bertanya-tanya tentang maksud Gus Miek:
apakah Gus Miek tidak akan datang lagi ke Lempuyangan atau ada maksud
lain? Nyai Ashari, yang oleh Gus Miek telah dianggap sebagai ibunya yang
ketiga setelah ibunya sendiri dan Nyai Mujib, ternyata 15 hari kemudian
wafat. Dan, Khodijah binti Muhyidin berpuluh tahun kemudian benar-benar
menikah dengan Hadi bin Ismail.
Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama
jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir
ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek
jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di
makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin
tawasulan Al-Fatihah.

Dari Popongan, Gus Miek mengajak ke makam KH. Abdurrhman bin Hasyim,
Krapyak. Di rumah KH. Abdurrahman bin Hsyim (Mbah Benu), yang
menyambut adalah putranya yang telah lama tidak bertemu Gus Miek sejak
Gus Miek masih berambut panjang. Keduanya berpelukan, setelah itu ziarah
ke makam KH. Abdurrahman.
Di pinggir sungai, Gus Miek berkata kepada Sunyoto dan Jupri: “Mbah Benu
itu memang tidak mau makamnya dirawat. Pernah salah seorang santrinya
yang sukses datang membawa kayu dan genting tanpa membicarakan terlebih
dahulu dengan keluarga Mbah Benu. Dari pagi hingga Ashar, bangunan itu
akhirnya jadi, tetapi waktu subuh bangunan itu sudah berada di tengah
sungai. Akhirnya, oleh keluarganya diberi tahu bahwa Mbah Benu tak
berkenan.” Demikianlah ajaran “kemiskinan” yang di ambil Gus Miek dari
KH. Abdurrahman untuk jama’ahnya yang saat itu kebanyakan pegawai
pemerintah.

Ketertundukan Binatang
Ketika gus miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke
kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu
ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar muncul
seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan luapa bahwa bayinya
tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi,
sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di
depan sang bayi sambil menjilagti kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.

Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek


dewasa. Di antara kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus
Miek yang sangat senang bermain di tepi sungai Brantas dan menonton orang
yang sedang memancing, pada saat banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai
dan hilang tertelan gulungan pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang
ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan
harapan Gus Miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus
Miek justru muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata
kaki karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar,
yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika
ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking
kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam.
Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa menolong,
hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang memancing. Hilir
mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan harapan
Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. Tetapi, setelah hampir dua
jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat, membuat pengasuh itu putus asa dan
menyerah.

Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah,
akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya ke
dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek
kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu gurunya. Ikan tersebut
adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil
gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu
Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama
lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke
pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan kemudian, setelah
mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya kembali ke pondok.

Pada suatu malam di ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya
memancing di sungai timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak
membawa pancing, tatapi membawa cundik. Setelah beberapa lama
menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Tetapi, Gus
Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air sungai
brantas telah meluap. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri
memegangi gagang cundik dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus
Miek terseret masuk ke dalam sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk
menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah
kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek
berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian
membantu Gus Miek naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek
berkata “Fif, ini kamu yang terakhir kali menemaniku memancing. Kamu
telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan guruku.“
Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah
menunjukkan pukul tiga pagi.

Gus Miek Wafat


Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir
di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh
dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih
abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.
Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-
kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal
‘Aalamiin…. Semoga blog kumpulan biografi ulama ini bisa bermanfaat
umumnya untuk Anda dan khususnya untuk saya pribadi.

Anda mungkin juga menyukai