Anda di halaman 1dari 21

Tanbihun.com-KH.

Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada
17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat
pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri), Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan
pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai
tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang
agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain
menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek
memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap
Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum
minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan
pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui
keterikatannya pada ritual dzikrul ghafilin (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan
spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga
NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar
Jawa. Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana
dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para
pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun
akhirat.

Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi


Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa
dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan
ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan, beliaupun membentuk semaan alquran
dan jamaah Dzikrul Ghofilin.
Gus Miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh,
beliau lebih menyukai dawah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti diskotik,
club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang
mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa
Timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di
pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam

kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa
indonesia-nya pemikiran jalan pintas.
Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan
Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan
mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari
mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek. Gus kenapa sampeyan ikut
Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ?
lalu Gus Miek Menjawab aku tidak meminumnya ..!! aku hanya membuang minuman itu
kelaut! hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum
minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara sampeyan semua ga
percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka
lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang
bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga
mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman
keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan
Alloh kepada Gus Miek.
Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos
oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering
menangis jika melihat seseorang yang masa depannya suram dan tak beruntung di akhirat
kelak.
Ketika beliau berdakwah di Semarang tepatnya di NIAC di Pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah
surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan, Gus Miek
yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para
cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. NIAC pun yang semula menjadi
surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan bagi para penjudi dan penikmat
maksiat.
Satu contoh lagi ketika Gus Miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam
Gus Miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu Gus
Miek langsung menuju waitres (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut
sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itu pun mundur tapi terus di kejar
oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan
tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut
perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek)
mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus
Miek tentang Wanita ? Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam
pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak
ada jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam
baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamuApabila aku bertemu orang dijalan atau

tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu
dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata
hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis jawab Gus Miek
Adanya sistem Dakwah yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena
resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan)
mengaku tidak sanggup melakukan dawak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal
Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.

Gus Miek bertemu KH. Masud


Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Masud)
Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang
wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud
inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari
menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.
Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH.
Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang
berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus Ud juga untuk
mengharapkan doa dan dibacakan Al-Fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya.
Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud
kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan
terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.
KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara
empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.
Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH.
Hamid menghormatinya? Tanya KH. Ahmad Siddiq.
Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta doa. Aku menyuruh seorang
bocah untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa
berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar, jawab Gus Ud.
Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langitlangit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh
karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.
Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama Syafii dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai
mobil Fiat 2300 milik Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo.
Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di
salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan
Syafii tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak takhir (Magrib dan Isya).

Ketika Syafii iqomat, Gus Miek menyela, Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja di Ampel. KH.
Hamid dan Syafii pun tidak berani melanjudkan.
Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus
Miek memanggilnya.
Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri, kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah
dua orang santri.
Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus.
Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya, Gus, teriak Mbah Ud sambil terus
berjalan ke arah Gus Miek.
Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami
dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di
rumah, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya
menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus
bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya
terdiam. Silakan, Gus, berdoa, kata Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus miek pun berdoa dan
Mbah Ud mengamini sambil menangis.
Di sepanjang perjalanan menuju ruamah Syafii di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan
Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud
Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di
Jawa Timur segan terhadapnya. Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu
camat tersebut mengatakan silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut
kepangkatan, bukankah tinggi pangkat tamunya? Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.
Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus
Miek selain KH. Hamid Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir
sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.

Ketertundukan Binatang
Ketika gus miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke kebun untuk
mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tibatiba dari semak belukar muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan luapa
bahwa bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari anaknya. Tetapi,
sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau itu duduk terpaku di depan sang bayi
sambil menjilagti kuku-kukunya seolah menjaga sang bayi.
Peristiwa ketertundukan binatang ini kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara
kejadian itu adalah Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di
tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat banjir besar Gus

Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan pusaran air. sampai beberapa jam, santri
yang ditugaskan menjaga Gus Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus
Miek akan tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru muncul di tengah
sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki karena Gus Miek berdiri di atas punggung
seekor ikan yang sangat besar, yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu
hari, ketika ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking kuatnya
tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam. Pengasuhnya menjadi kalang kabut
karena tak ada orang yang bisa menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang
yang memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir sungai dengan
harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut. Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh
Gus Miek belum juga terlihat, membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.
Karena ketakutan mendapat murka dari KH. Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh
itu kembali ke pondok, membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit.
Dalam cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek bertemu
gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu bahwa Gus Miek dipanggil
gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir.
Pertemuan itu menurut Gus Miek hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya
Gus Miek naik ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan
kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya kembali ke pondok.
Pada suatu malam di ploso, Gus Miek mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di
sungai timur pondok Al Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa
cundik. Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras.
Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya beroleh ikan meski air sungai brantas
telah meluap. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik
dan berusaha menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam sungai.
Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh Afifudin, sambil berenang,
Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek
berpegangan pada bambu itu, Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek
naik ke daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata Fif, ini kamu yang terakhir kali
menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan kamu telah bertemu dengan
guruku. Afifudin hanya diam saja. Keduanya lalu kembali kepondok dan waktu sudah
menunjukkan pukul tiga pagi.

Gus Miek Wafat


Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit
Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan
dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini
beliau rindukan.(sumber)

SURABAYA POST - Masuk kampung Pagerwojo, Kec. Buduran yang sempit akan menjumpai
sebuah makam yang dikelilingi dinding papan berhias ukiran Jepara di bawah sebuah joglo. Di

teras joglo yang dipaving dan dipasang karpet hijau orang-orang bersimpuh membaca Alquran
dan berdoa.
Di sekitar makam istimewa itu ada puluhan makam lain yang hanya dikijing semen dengan nisan
bercat putih. Sebagian nisan ini ada yang ditutup kain hijau. Tempat istimewa berukiran itu
adalah makam KH Ali Mas'ud yang dikenal dengan sebutan Mbah 'Ud.
Hampir semua warga Sidoarjo terutama generasi tua mengenal kisah Mbah Ud. Dia dinilai
sebagai kiai yang mempunyai karomah bahkan pejabat dan masyarakat menganggapnya sebagai
wali.
Karena itulah makam Mbah Ud yang meninggal tahun 1979 dalam usia 46 tahun itu termasuk
yang dikeramatkan. Orang berziarah untuk mengenang kealimannya dan tidak sedikit yang
berdoa di makam itu untuk ngalab berkah.
"Badannya memang kecil ngiyeyet (lunglai). Tapi jangan macam-macam. Dia itu sangat malati
(bertuah)," ungkap Amir (77), penjaga makam dan masjid KH Ali Mas'ud ditemui Selasa (18/5)
selepas magrib.
Amir mengaku dirinya sangat mengenal Mbah 'Ud karena mereka berdua adalah rekan
sekampung halaman di Desa Pagerwojo, Kecamatan Buduran.
"Umur kami berdua itu iring-iringan (sebaya). Umurnya nggak jauh dari saya, dia lebih tua
sedikit. Kalau sekarang Mbah Ud masih hidup mungkin usianya sekitar 80 tahunan," tutur Amir.
Di masyarakat Pagerwojo sudah umum beredar kisah-kisah tuah Mbah Ud yang diceritakan tutur
tinular. Contohnya cerita Ali Mas'ud kecil minta uang jajan kepada ayahnya yang punya usaha
jasa slep padi.
Ayahnya tak mau memberi sehingga Ali Mas'ud kecil pun marah. Dia lantas berkata, "Ooo,
sampeyan iku gak negeke'i duit aku, matek slepan sampeyan." Seketika itu pula, menurut kisah
itu, usaha slep padi ayah Ali Mas'ud macet.
Kisah-kisah lainnya seperti ketika diundang pejabat pemerintah dalam sebuah acara Mbah Ud
tidak mau dijemput naik mobil. Dia berangkat sendiri naik becak yang ternyata datang lebih awal
dari mobil jemputannya.
Amir tak membantah kisah itu. Dia lalu mengatakan, Mbah 'Ud tak hanya bertuah semasa
hidupnya. Namun juga setelah meninggal dunia. Makamnya di RT 26 RW 6 Desa Pagerwojo,
Kecamatan Buduran itu menjadi tempat ziarah banyak pelaku usaha dan politikus yang
mengharapkan kesuksesan.
"Dulu pernah ada orang, sepertinya pengusaha dari Kalimantan. Begitu mendarat di Juanda
langsung ke sini. Tujuannya, cuma ambil tanah makamnya Mbah Ud buat dibawa pulang," cerita
Amir.

Makam Mbah Ud sendiri memang gampang dicari. Dari Surabaya, traffic light pertama selepas
jalan layang Jenggolo Kota Sidoarjo langsung belok ke kanan masuk Jl Raya Pagerwojo, persis
di sebelah utara Sungai Pucang.
Kemudian lurus mengikuti jalan itu sampai bertemu lagi traffic light. Di sekitar traffic light itu
ada papan penunjuk ke makam Mbah 'Ud yang mengarahkan untuk berbelok ke kanan masuk
jalan kampung yang lebarnya cuma sekitar 4-5 meter tapi beraspal mulus.
Lurus terus mengikuti jalan kampung itu, sampai ketemu tanda penunjuk arah untuk belok ke
kiri masuk ke gang selebar 3 meter tapi beraspal mulus.
Dari mulut gang, berjarak 200 meter segera terlihat sebuah joglo megah dan cungkup makam
berhiasan ukir-ukiran di sebelah kiri jalan. Di puncak atap joglo dan cungkup makam dihiasi
lampu kelap-kelip berwarna-warni. Ya, itulah makam Mbah Ud yang dikeramatkan. Kemudian
di seberangnya berdiri sebuah masjid yang sedang direnovasi.
Di depan joglo, terpasang dua papan besar. Satu bertuliskan susunan silsilah keluarga Mbah Ud
dan satu lagi bertuliskan struktur organisasi pengurus kompleks makam Mbah Ud.
Menurut susunan silsilah keluarga itu Mbah Ud punya garis keturunan dari Rasulullah
Muhammad saw lewat salah satu cucunya, Husain, anak dari Fatimah binti Muhammad yang
kawin dengan Ali bin Abi Thalib. Kemudian menurun ke Abdullah Umdatuddin (sepupu Sunan
Ampel), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) hingga ke Mbah Ud.
Di depan cungkup makam terpasang kaligrafi bertuliskan cuplikan surat Yunus ayat 2: "Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidaklah mereka
bersedih hati."
Joglo, cungkup makam, dan masjid yang sedang direnovasi itu, kata Amir, adalah salah satu
bukti karomah Mbah Ud setelah dia meninggal dunia. Joglo dan cungkup dibangun oleh Bupati
Win Hendrarso setelah sukses terpilih kembali untuk periode kedua.
"Dulu ya sering (nyekar) ke sini. Terus kepilih lagi untuk lima tahun kedua, dia mbangun joglo
satu set dengan cungkup makam ukir-ukiran itu. Itu nilainya Rp 500 juta," tutur Amir.
Sedangkan renovasi masjid, panitia pembangunannya sama sekali tak mengeluarkan duit
sepeserpun untuk membeli material. Semuanya sumbangan dari pengunjung makam atau
anggota jamaah pengajian yang rutin digelar di kompleks makam Mbah Ud itu setiap Jumat
malam dan Senin pagi.
"Kami merenovasi masjid ini sejak tahun 2002. Sedikit-sedikit. Tanahnya tanah waqaf.
Materialnya, ada saja yang nyumbang. Entah pasir, batu bata, besi atau semen. Yang paling
banyak nyumbang semen," ungkap H Khusen Arifin, yang pernah menjabat sebagai Ketua
Takmir Masjid KH Ali Mas'ud untuk periode 2005-2009.
Hingga saat salat maghrib kemarin itu suasana kompleks makam Mbah 'Ud terlihat ngelangut.

Hanya ada 3-4 orang yang berada di joglo dan depan cungkup makam.
Tiga orang berada di sebelah barat cungkup makam tampak khusyuk membaca kitab sambil
menghadap ke cungkup. Dan seorang lagi di joglo terlihat lesehan juga membaca kitab.
Sementara di masjid, jamaah salat magrib hanya tiga shaf.
"Pengunjung makam itu, ramainya jam 12 malam ke atas. Banyak di antara mereka yang datang
naik mobil bagus-bagus," kata Amir.
Menjelang Pemilukada Sidoarjo 2010, imbuh Amir, kunjungan ke makam Mbah Ud makin
banyak. Menurut dia, hampir semua kandidat calon kepala daerah menyempatkan diri untuk
nyekar ke makam Mbah Ud.
Tapi ada yang memang punya tradisi ziarah ke makam Mbah 'Ud. Seperti Saiful Ilah, Wakil
Bupati Sidoarjo sekaligus kandidat calon bupati dari PKB.
Kata Amir, Saiful kerap berkunjung ke makam Mbah Ud sekadar singgah atau memang
berziarah khusus. "Biasanya malam-malam, jam satu atau jam dua Pak Saiful tiba-tiba sudah
leyeh-leyeh di masjid ini," ungkapnya.
Dia juga ingat Imam Sugiri, kandidat calon bupati yang gagal maju pemilukada karena tiketnya
dari PAN dianulir KPU Kabupaten Sidoarjo pernah ke situ. Imam, ungkap Amir, berziarah ke
makam Mbah Ud didampingi 20 pendukungnya. Mereka ngotot masuk ke dalam cungkup
makam, dia bercerita.
Setelah usai ziarah, Imam membagikan uang ke beberapa penjaga kompleks makam tersebut.
"Lumayan, saya dapat Rp 50 ribu. Kalau lainnya rata-rata cuma Rp 15 ribuan satu orang," kata
Amir sambil tertawa.

Selama hidupnya, KH Ali Masud sangat ringan tangan. Beliau sering menjadi rujukan
para kiai di Jawa Timur untuk memecahkan problematika umat Islam. MAKAM Gus Ud,
begitu warga Sidoarjo mengenal KH Ali Masud, terletak di Pagerwojo,Kec Kota Sidoarjo.
Gus Ud ikut berkiprah menyebarkan Islam dengan berdakwah kepada tamu-tamu yang
datang ke rumahnya. Dia memang tak membangun pesantren, tapi muridnya tersebar di
penjuru Jawa dan luar Jawa. Hidayatullah, salah satu cucu keponakan Gus Ud
menuturkan, kakeknya itu memang tidak mau langsung membuka pesantren. Kalau
menyiarkan agama Islam secara langsung tidak, tapi beliau memberi wejangan kepada
siapa pun tamunya yang datang. Beliau juga menjadi rujukan kiai yang ada di Jawa
Timur untuk memecahkan masalah terkait agama Islam, jelasnya kemarin kepada
SINDO. Gus Ud,kata Hidayatullah,lahir pada 1908 di Sidoarjo. Ali Masud kecil yang
masih berusia 5 tahun sudah menunjukkan kelebihannya. Dia tidak pernah sekolah, tidak
bisa membaca dan menulis.Namun dia, lanjut Hidayatullah, bisa membaca Alquran dan

kitab- kitab lainnya sehingga wajar, kalau beliau jadi rujukan kiai di Jawa Timur untuk
memecahkan masalah keislaman. Gus Ud mempunyai Ilmu Laduni sehingga beliau
mempunyai kelebihan dibanding orang lain pada kebanyakan. Sampai beliau wafat pada
1979 sampai sekarang, banyak yang berziarah ke makamnya. Terutama malam Jumat
Legi, papar Hidayatullah yang juga pemangku Majelis Taklim Gus Ud. Bagi warga
Sidoarjo, ulama yang dulunya akrab dipanggil Gus Ud dan kini lazim dipanggil Mbah Ud,
merupakan ulama yang tidak menyandang gelar. Pasalnya,sebagai orang yang mempunyai
kelebihan, dia tidak mau menunjukkan. Bahkan,dalam turut menyiarkan agama Islam,
dia menggunakan kelebihannya itu untuk memberi pemahaman bagi umat muslim dan
nonmuslim. Hidayatullah menceritakan, Mbah Ud pernah menulis surat ke KH Rodi,
Krian, terkait permasalahan yang ditanyakan. Karena dia tidak bisa menulis, di atas
kertas putih dia torehkan pensil membentuk garis bergelombang. Anehnya,KH Rodi bisa
mengerti guratan pensil yang dibubuhkan oleh Mbah Ud. Kalau peringatan wafatnya
Mbah Ud, 27 Rajab mesti ramai penziarah. Bagi warga Sidoarjo, Mbah Ud bukan hanya
kiai yang mempunyai kelebihan, bisa mengobati orang sakit dan kelebihan lainnya.
Namun, beliau juga ikut menyiarkan Islam melalui pemikirannya, ujar Supriadi, warga
Sidoarjo yang kerap berziarah ke makam suami almarhumah Nyai Dewi itu. Mbah Ud
tidak mempunyai keturunan, sehingga saat ini yang merawat makam dan musala
peninggalannya adalah cucu dari adik dan kakak Mbah Ud.

Gus Miek Bertemu KH. Masud, Pagerwojo


Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH. Masud)
Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang
wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud
inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari
menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.
Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH.
Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang
berkunjung ke ndalem Gus ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus Ud jugauntuk
mengharapkan doa dan dibacakan Al-fatehah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya.
Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud
kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan
terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.
KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara
empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu.
Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH.
Hamid menghormatinya? Tanya KH. Ahmad Siddiq.
Di sekitar tahun 1950-an, kamu dating ke rumahku meminta doa. Aku menyuruh seorang bocah
untuk mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bias berkumpul
dengan Gus Miek itu seperti mendpatkan Lailatul Qodar, jawab Gus Ud.

Begitu GusUd selesai mengucapan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langitlangit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh
karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang.
Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember bersama SyafiI dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai
mobil Fiat 2300 milik Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo.
Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek mengajak istirahat di
salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan
SyafiI tengah bersiap-siap menjalankan shalat jamak takhir (Magrib dan Isya).
Ketika SyafiI iqomat, Gus Miek menyela, Mbah, Mbah, shalanya nanti saja di Ampel. KH.
Hamid dan Syafii pun tidak berani melanjudkan.
Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus
Miek memanggilnya.
Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri, kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud dating dengan dipapah
dua orang santri.
Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus.
Ini masjid Kauman, Gus. Anda doakan saya selamat ya, Gus, teriak Mbah Ud sambil terus
berjalan kea rah Gus Miek.
Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat saling berebut untuk lebih dulu menyalami
dan mencium tangan. Kemudian Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di
ruamh, Mbah Ud dan Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya
menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan, keduanya terus
bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan kaki sebagai musik iringan. Setelah puas, keduanya
terdiam. Silakan, Gus, berdoa, kata Mbah Ud kepada Gus miek. Gus miek pun berdoa dan
Mbah Ud mengamini sambil menangis.

Di sepanjang perjalanan menuju ruamah SyafiI di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan


Mulyadi. Keduanya penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud
Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul adah (di luar kebiasaan). Hampir semua orang di
Jawa Timur segan terhadapnya. Mas, misalnya ada seorang camat yang kedatangan tamu, lalu

camat tersebut mengatakan silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut
kepangkatan, bukankah tinggi pangkat tamunya? Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.
Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus
Miek selain KH. Hamid Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir
sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.

Biografi KH Abdul Hamid Pasuruan Jawa Timur


Posted on 11/01/2013 by Musthofa

Biografi KH Abdul Hamid KH. Abdul hamid Lahir pada


tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember
1985. Pendidikan: Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng;
Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan
Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan
masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada
santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah
menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
Kiai Hamid dulu sangat keras, kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang,
sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari
tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara
kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah.
Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan
Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai
umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di
Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.
Masa Kecil

Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan
Rois Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia
pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk
menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur
sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di
pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian
penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya.
Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.
Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah, katanya. Dalam kepercayaan yang
berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali
waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara
nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid
mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai
berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga
tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, pamanpaman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di
desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun,
ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh
Pesantren Salafiyah, H. Idris, Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan
administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak
ulama terkemuka, antara lain KH Ali Mashum, mantan Rois Am NU. Menurut Idris, inilah
pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia
juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan,
bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun,
setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Jafar, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu
tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH
Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga
orang yang masih hidup, yaitu H. Numan, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama
beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk
menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai
blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan,
30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan
orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan
tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak
istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat
sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru
beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH.
Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid
pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat
menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. Uwong tuo kapan ndak digudo
karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah
mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya), katanya suatu kali
mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah
mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak
memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk
hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna
menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka,
Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil.
Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke
pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak
pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab
satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada
istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti
Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan,
dan bukan ilmunya itu sendiri, jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantrenpesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu misainya
alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk
mencetak perilaku seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal
kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif.
Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali
kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir
kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti
pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota
Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan
adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya
membaca beberapa baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air
matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama
sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah alHidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon,
memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah
dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya
selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang
berkualitas rendah. Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya.
Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu, katanya suatu kali kepada seorang santrinya.
Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu
berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak
makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk
menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. O,
rupanya dia suka kulit roti, pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup
besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. Aku bukan
penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat, ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di
Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid
mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid
memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari
ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika
bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah,
sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan
oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran
v(yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dluafa
yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis meminjam istilah
Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau
begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari
motivasi keagamaan yang egoistis, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian
merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah
membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat,
kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai
Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya
secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau
mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang
sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan,
hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah
menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama,
Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.

KH. ABDUL HAMID PASURUAN


Kyai Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar Basyaiban BaAlawi dilahirkan
diLasem, Rembang, Jawa Tengah tahun 1333.H, dilahirkan dengan nama kecil Abdul Mu`thi.
sejak kecil beliau dibimbing oleh ayahanda beliau, setiap hari beliau mengaji di mushola yang
terletak persis di samping rumah beliau.

Naik Haji
Suatu ketika KH.Siddiq singgah di Lasem dan langsung mengajak Kyai Hamid menunaikan
ibadah haji dan ziarah ke makam Rasululloh SAW. Sepulang dari Makkah pada usia 15 tahun
beliau dipondokan ke pondok pesantren Tremas,pacitan.
Mondok di TremasPada periode Tremas inilah potensi spiritual kyai Hamid mulai terasa.
kecemerlangan spiritualnya membuat kagum banyak pihak, hingga tidak sedikit kawan beliau
menjadkan kyai Hamid sebagai guru, dan mengikuti jejak beliau ke Pasuruan.
Menikah di Pasuruan
kyai Hamid dinikahkan degan putri Kyai Ahmad Qusairy kebonsari pasuruan. dan sejak itu
beliau tinggal dan menetap di Pasuruan. kehidupan Kyai Hamid teramat sederhana, beliau
bekerja sebagai guru ngaji dan juga sebagai belantik. pekerjaan belantik itu di daerah bangil
dengan jarak kurang lebih 15 km sebelah baratPasuruan. setiap hari beliau ke sana dnegan
menggunakan sepeda, beliau menjalani itu semua dengan tabah. sampai sampai beliau hanya
mempunyai satu sarung yang sudah menerawang sangking tuanya sehingga setiap sholat beliau
menutupinya dengan sorban.
Berguru pada Habib Ja`far
Periode pasuruan adalah periode emas dari perjalanan spiritual beliau. disinilah beliau mulai dan
mungkin mengasah diri dengan pancaran ruhhul ilahiyah yang begitu cemerlang. di Pasuruan ini
pula beliau semakin mendekatkan diri pada kalangan ulama dan habaib kususnya dengan Habib

Ja'far bin Syaikhon Assegaf pasuruan yang merupakan guru utama beliau. bersama habib ja`far
inilah potensi spiritual beliau semakin terasa, hal ini diakui oleh habib ja`far bahwa dibanding
murid yang lain, kyai hamid memiliki keunggulan tersendiri yang sangat sulit dicapai oleh orang
lain. kekaguman dan kepercayaan habib ja`far diwujudkan dengan dipercayakanya Kyai Hamid
untuk menjadi imam sholat Maghrib dan isya` di kediaman habib ja`far, meski demikian kyai
hamid tetap tidak mengurangi takzim beliau kepada sang guru, begitu merendahnya kyai hamid
dihadapan habib ja`far ibarat penda ditangan pemiliknya, Pena tidak akan bergerak jika tidak
digerakan pemiliknya, demikian juga kyai hamid keberadaanya seakan hilang dan menyatu
dengan habib ja`far. keunggulan kyai hamid di bidang keilmuan mungkin dapat diungguli oleh
orang lain, namun dua hal menjadi kelebihan tesendiri bagi kyai hamid adalah sifat zuhud dan
tawadhu yang jarang dimiliki oleh orang lain. bahkan ketika habib ja`far wafat ketika ziaroh ke
makam habib ja`far kyai hamid sangking takzimnya dan tawadu nya tidak berani duduk lurus
pada posisi kepala tapi selalu duduk pada posisi kaki habib ja`far. inilah sifat tawaddhu beliau
yang sangat tinggi.
Isyarat Kewalian
tidak lama setelah wafatnya habib ja`far semakin tampak pancaran kemuliaan kyai hamid.
nampaknya beliau mewarisi asror habib ja`far sebagai waliyulloh, hal ini ada yang melihat
pulung atau ndaru yang cemlorot di malam hari berpindah dari rumah habib ja`far ke daerah
pondok pesantren salafiyah tempat kyai hamid tinggal.
Beberapa Karomah Kyai Hamid
suatu ketika ada seseorang meminta nomertogel apda kyai hamid. oleh kyai hamid diberi dengan
syarat jika dapat uangnya harus dibawa kehadapan kyai hamid. dan oleh orang tersebut
dipasanglah nomer tersebut dan menang. uangnya dibawa kehadapan kyai hamid. oleh kyai uang
tersebut dimasukan ke dalam bejana dan disuruh melihat apa isinya. dan terlihat isinya darah dan
belatung. kyai hamid berkata "tegakah saudara memberi makan anak istri saudara dengan darah
dan belatung?". orang tersebut menangis dan pulang kemudian bertobat.
setiap pergi ke manapun kyai hamid selalu didatangi oleh umat, yang berduyun duyun meminta
doa padanya. bahkan ketika naik haji ke mekkah pun banyak orang tak dikenal dari berbagai
bangsa yang datang dan berebut mencium tangannya. darimana orang tau tentangd erajat kyai
hamid?mengapa orang selalu datang memuliakanya?konon inilah keistimewaan beliau, beliau
derajatnya ditinggikan oleh Allah SWT.
pada suatu saat orde baru ingin mengajak kyai hamid masuk partai pemerintah. kyai hamid
menyambut ajakan itu dengan ramah dan menjamu tamunya dari kalangan birokrat itu. ketika
surat persetujuan masuk partai pemerintah itu disodorkan bersama pulpennya, kyai hamid
menerimanya dan menandatanganinya. anehnya pulpennya tak bisa keluar tinta, diganti polpen
lain tetap tak mau keluar tinta. ahirnya kyai hamid berkata "bukan saya lo yang gak mau,
bolpointnya yang gak mau". itulah kyai hamid dia menolak dengan cara yang halus dan tetap
menghormati siapa saja yang bertamu kerumahnya.
Akhir Hayat
8 rabiul awal 1403.H, sehari sebelum beliau wafat, bertepatan dengan acara haul ayahanda beliau
kyai abdulloh bin umar, beliau menyempatkan diri ke lasem dan datang ke rumah gede, tempat
dimana beliau dilahirkan. tidak seperti biasanya beliau sholat 2 rakaat didekat tiang utama lalu
memimpin masyarakat sekitar yang datang untuk bertahlil seperti mengantar jenazah ke kuburan.

tanggal 9 rabiul awal 1403,H. beliau berpulang ke rahmatulloh, umatpun menangis, gerak
kehidupan dipasuruan seakan terhenti, bisu oleh luka yang dalam, puluhan bahkan ratusan ribu
orang membanjiri pasuruan, memenuhi relung relung masjid agung al anwar dan alun alun serta
memadati gang gang dan ruas jalan didepannya. beliau dimakamkan di turba belakang masjid
agung al anwar pasuruan. ribuan umat selalu menziarahinya setiap waktu mengenang jasa dan
cinta beliau kepada umat.
Ijazah-Ijazah
Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja.
Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain.
Diantara ijazah beliau adalah:
1. Membaca Surat Al-Fatihah 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal
mendapatkan keajaiban-keajaiban yang tak terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh
30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah
Isya 10 kali.
2. Membaca Hasbunallah wa nimal wakil sebanyak 450 kali sehari semalam.
3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat
Nariyah dan Munjiyat.
4. Membaca kitab Dalailul Khairat. Kitab ini berisi kumpulan shalawat

Kalau membaca judul di atas, kayaknya yang bisa mengalaminya pasti hanya orang tertentu dan
mempunyai keistimewahan tersendiri. Ya, bisa dipastikan orang tersebut adalah hamba Allah
yang mendapatkan nilai lebih dari-Nya.
Mungkin anda sekalian pernah mendengar cerita tentang kyai Abdul Hamid Pasuruan? Kyai
yang memiliki akhlaq sangat mulia dan sopan dalam bermasyarakat ini mulai beliau hidup
hinga wafat sekalipun terus menjdai panutan dan figur bagi penduduk tanah Jawa khususnya
masyarkat Pasuruan.

Selain itu, kita juga mungkin pernah mendengar atau membaca tentang sejumlah karomah yang
dimiliki kyai kelahiran kota Lasem Jawa-Tengah ini. Sedangkan karomah itu sendiri bisa
diketahui sebagai satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang tertentu,
yang menjadi kekasih-Nya, dan yang selalu takut kepada-Nya dimanapun ia berada. Karomah
tersebut biasanya keluar dengan sendirinya tanpa diduga alias langsung dari Allah SWT. Nah,
kalau kita bahas tentang karomah pastinya kurang lengkap kalau hanya sebatas keterangan
saja. Kali ini penulis mencoba kembali mengungkap salah satu keistimewahan atau karomah
yang dimiliki kyai Abdul Hamid.

Alkisah dahulu di Jawa Tengah, tepatnya di daerah Klaten, di dalamnya terdapat suatu
kampung, yang warganya pernah mengalami kejadian aneh yang sempat membuat semua warga
di dalamnya merasakan rasa ketidakpercayaan atas kejadian yang dialaminya. Berikut
ceritanya,

Dalam satu komunitas masyarakat, baik di daerah, di kampung, pedesaan, kecamatan, kota,
maupun provinsi, pasti mempunyai orang yang di percaya oleh penduduknya sebagai orang
yang mumpungi atau pandai akan ilmu agama atau dengan kata lain orang tersebut biasa kita
panggil sebagai tokoh masyarakat. Nah, pada satu ketika, tokoh masyarakat di daerah Klaten
yang bernama Fulan (bukan nama asli) tersebut kedatangan tamu dari luar kota, tamu tersebut
mengaku bernama Kyai Hamid. Setelah berbincang-bincang dan mengutarakan maksud
kedatangan si tamu ke daerah tersebut, kyai Hamid langsung menjalankan misinya sebagai
seorang Dai, yakni berdawah.

Misi kyai Hamid sebagai seorang muballig kian hari berjalan dengan lancar dan menunjukkan
perkembangan. Dalam sederetan agenda dawahnya beliau memulainya dengan mengadakan
pengajian rutinan yang diikuti oleh warga sekitar, yang bertempat di Masjid di daerah tersebut.
Semakin hari pengajian kyai Hamid mampu menarik warga setempat untuk selalu mendatangi
pengajian yang dibinanya. Setiap minggunya bisa dibilang jumlah jamaah yang hadir dalam
pengajian tersebut terus bertambah, hingga melebihi kapasitas ruangan dalam Masjid tersebut.
Hingga beberapa bulan kemudian, jumlah yang mengikuti pengajian kyai Hamid meluber
sampai ke pelataran Masjid. Melihat jamaah pengajiannya begitu banyak, dan juga mendapat
respon baik dari warga setempat, akhirnya muncullah keinginan kyai Hamid untuk membangun
sebuah pesantren di desa itu. Beliau mempunyai anggapan, mungkin sebagian warga suatu saat
akan mengirim anak-anak mereka untuk mengaji dan menimba ilmu di pesantren orang yang
belum lama mereka kenal dan menetap di sana.

Alhasil pesantren yang di bangun kyai Hamid perlahan banyak di datangi anak-anak warga
setempat untuk nyantri. Dengan di bantu tokoh masyarakat yang menjadi orang pertama yang
dikenal kyai Hamid sekaligus yang banyak membantu dawah beliau di daerah tersebut. Sesuai
dengan amanat yang diberikan kyai Hamid kepadanya, dia mengkelola pesantren itu dengan
baik. Melihat keadaan pesantren yang semakin hari semakin membaik, pesantren pun pada
akhirnya dipasrahkan kepada tokoh masyarakat tersebut. Beliau juga berpesan agar selalu
menjaga dan merawat pesantren yang didirikannya itu dengan baik.

Di tengah-tengah semakin banyaknya santru yang mengaji di pesantren tersebut, tanpa bilang
sepatah kata pun dan hendak ke mana, kyai Hamid pergi begitu saja tanpa memberi kejelasan
kepada tokoh masyarakat tersebut dan warga setempat.

Dua tahun silam telah berlalu, kepergian kyai Hamid pun dari daerah tersebut menimbulkan
tanda tanya dan mendorong rasa penasaran tokoh masyarakat untuk mengetahui keberadaan
orang yang telah banyak berjasa di daerahnya tersebut. Dia ingat, sebelum pergi meninggalkan
kampungnya dua tahun lalu, kyai Hamid pernah menuliskan sebuah alamat kepadanya.

Setelah mencari kertas yang berisikan alamat yang ditulis kyai Hamid, dia baca dan
menganalisa di daerah mana alamat tersebut berada. Dan yang tertulis di dalamnya adalah
alamat PonPes Salafiyah Pasuruan. Dia pun tanpa berfikir panjang berencana untuk
mendatangi pondok tersebut.

Ke esokan harinya ia jadi berangkat ke Pasuruan. Setelah sampai di Pasuruan, ia


pun kesana-kemari dan muter-muter mencari alamat yang ada disobekan kertas itu, hinga pada
akhirnya alamat yang di maksud ketemu. Sesampainya di dalam pondok, dia menanyakan ke
salah satu santri tentang kyai Hamid. Santri yang ditanyai pun sempat kaget dan heran, namun,
kebetulan dia tahu bahwa salah satu kyainya itu adalah seorang wali besar, jadi, kalau kalau
saat ini ada orang yang mencari kyai Hamid, mungkin orang tersebut pernah bertemu di daerah
lain. Karena orang tadi bertanya rumah kyai Hamid, lantas dia menyarankan untuk sowan ke
kyai Idris, yang saat itu menjadi Nadhir atau pimpinan pondok.
Sesampainya di ndalem kyai Idris, dia langsung bercerita panjang lebar semua yang terjadi dua
tahun silam di desanya. Kyai Idris yang dari tadi hanya menjadi pendengar tidak percaya dan
juga heran, ha . . . , apa benar yang diceritakan bapak itu? kata kyai Idris kepada Fulan tadi.
Iya betul, sungguh saya bertemu dengan kyai Hamid, lha wong saya juga sering salaman
dengan beliau. Beliau juga sempat mendirikan sebuah pesantren di sana, tapi ditinggal begitu
saja selama dua tahun, makanya itu saya kemari untuk menayakan kepada kyai Hamid,
mengapa pondoknya di san kok di tinggal? jelas si fulan. Saya tadi kaget dan tidak percaya
dengan cerita sampean, karena kyai Hamid sudah lama meninggal. Ungkap kyai Idris.
Memang anda ini siapa? kok berani bilang kalau kyai Hamid sudah wafat? tanya si fulan
sambil menunjukkan rasa tidak terima terhadap apa yangtelah dikatakan kyai Idris kepadanya.
Saya putra kyai Hamid jawab kyai Idris santai. Kini gantian si fulan tadi yang tidak percaya
dan heran. Kalau anda masih tidak percaya kyai Hamid itu sudah meninggal, mari ikut saya,
saya akan tunjukkan makam beliau kepada sampean Kata kyai Idris yang berusaha
meyakinkan si fulan. Tanpa berpikir panjang, si fulan pun langsung mengiyakan ajakan beliau.

Berangkatlah keduanya menuju makam kyai Hamid, yang bertempat di komplek pemakaman di
belakang Masjid Jami Al-Anwar Pasuruan. itu makam Abah saya kata kyai Idris sambil
menunjukkan makam kyai Hamid. Si fulan pun tidak percaya dan heran. Baru setelah

menghampiri makam yang di maksud dan membaca sebuah nama yang tertera di batu nisan
makam kyai Hamid, dia akhirnya mempercayainya. Tak lama kemudian dia menangis sejadijadinya, mulai jam delapan pagi sampai jam lima sore di depan makam kyai Hamid. Setelah
puas menangis di depan makam kyai Hamid dia pun pulang dengan kabar yang sulit untuk
dipercaya orang-orang di kampungnya, yakni desa Klaten.

Sesampainya di kampung halamannya, keesokan harinya dia mengumpulkan warga yang dulu
sering mengikuti pengajian kyai Hamid untuk menyampaikan kabar yang dia bawa dari
Pasuruan. Warga pun datang berbondong-bondong datang ke masjid untuk mendengarkan
kabar keberadaan kyai Hamid yang telah menjadi tauladan bagi mereka. Setelah semuanya
berkumpul, ia pun menjelaskan kanytaan yang dialaminya di Pasuruan. Anda semua boleh
percaya, boleh tidak. Yang penting berita yang saya bawa ini benar adanya. Si tokoh
mengawali pembicaraan kepada para warga. Lalu dia melanjutkan, Sesungguhnya kyai yang
selama ini menjadi Imam pengajian kita, yang sempat anda semua dan saya salami dan
mencium tangannya, yang telah mendirikan pesantren di desa ini telah lama meninggal. Artinya,
selama berada di sini kyai Hamid tersebut sebenarnya sudah lama wafat. Mendengarkan berita
darinya, warga pun langsung geger, dan banyak yang tidak percaya. Lalu untuk menjawab tekateki yang sedang berkecamuk di tengah warga tesebut, dia menawarkan diri untuk
mengantarkan mereka semua ke makam kyai Hamid. Baiklah! kalau anda semua masih tidak
percaya, silakan kalian menyewa Bus untuk pergi berombongan ke makam kyai Hamid di
Pasuruan, dan saya yang akan menjadi pemimpin rombongan sekaligus penunjuk arah.
bagaimana? tawarnya. Semua warganya pun langsung menyetujui tawaran tersebut. Jadilah
rencana mereka untuk pergi ke Pasuruan.

Setelah melewati perjalanan yang begitu panjang, akhirnya rombongan yang ingin mencari tahu
kebenaran berita yang di sampaikan tokoh masyarakat mereka itu, sampailah mereka di depan
alun-alun Pasuruan. Tak lama kemudian mereka langsung di giring oleh ketua rombongan untuk
menuju makam kyai Hamid. Setelah sampai di areal pemakamam tersebut, si fulan tadi langsung
berjalanan menuju areal pemakaman yang berada di dalam, dan langsung menunjukkan makam
kyai Hamid, itulah makam kyai Hamid katanya sambil menyuruh warganya melihat lebih
dekat lagi dan membaca nama yang tertera pada batu nisan tersebut. Seketika itu semua
rombongan yang diikuti seluruh warga kampung di Klaten itu menangis sejadi-jadinya. Tangis
mereka menandakan rasa sedih yang begitu mendalam, sekaligus merasa heran karena sang
kyai yang selama ini memimpin pengajian mereka, yang sering mereka cium tangannya, ternyata
sudah wafat beberapa tahun lalu.

Subhanallah . . .kejadian di atas, kalau kita pikirkan dengan logika pasti tidak akan sampai.
Tapi, yang mengalami adalah seorang wali yakni kekasih Allah. Dan kisah di atas menunjukkan
atas kekuasaan yang dimiliki Allah SWT. Kita harus percaya semua itu, karena yang mengalami
adalah seorang wali, orang yang taat dan selalu dekat dengan Allah. Jadi, kalau dia bisa

terbang atau bisa mengalami hal di atas, itu semua keistimewaan yang diperolehnya atas
ketaatannya kepada Allah, dan kejadian ajaib itulah yang kita sebut sebagai karomah. Baru,
kalau ada orang yang tidak pernah sholat, males shodaqoh, dan hal lain yang menyimpang dari
agama, kok dia bisa terbang atau yang lain yang sifatnya nyeleneh, kita bisa menengarai, itu
pasti pemberiaan dari syetan atau ilmu sihir bukan sebuah karomah. (H-di)

Cerita BerSumber : Wali santri Salafiyah Pasuruan Jatim.

Di Copy Oleh PP Nailun Najah Assalafy Kriyan diambil dari http:///salafiyah.net

Anda mungkin juga menyukai