Anda di halaman 1dari 6

Nama :Febryan Aryandy Wibowo

No. absen :14


Kelas :XII-IPS1

KYAI AHMAD SIRO

Putra Seorang Waliyullah

Kyai Ahmad Siroj merupakan putra Kyai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama
Imam Pura, salah seorang Waliyullah. Makam Kyai Imam Pura berada di Susukan,
Kabupaten Semarang. Menurut sumber yang ada, Kyai Imam Pura ini bila ditarik lebih
adalah memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman R.
Patah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara,
atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono.

Kyai Ahmad Siroj mempunyai beberapa saudara, di antaranya adalah Kyai Kholil yang
bermukim di Kauman, Solo, dan Kyai Djuwaidi yang bertempat tinggal di Tengaran,
Kabupaten Semarang. Keduanya sudah almarhum.
Semasa mudanya, Kyai Ahmad Siroj selalu ta’dhim pada gurunya. Bila berjanji selalu
ditepati. Bila berkesanggupan, pasti dijalani. Sejak kecil memang beliau telah kelihatan
menonjol bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya.

Beliau bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras
maupun status sosial dan kelompok moral macam apapun. Dengan penjual bakso di
Notosuman yang beragama Khatolik dan seorang Tionghoa, beliau berhubungan baik
dan saling berkunjung. Bahkan hingga kini setiap ada haulnya Kyai Ahmad Siroj,
penjual bakso tersebut berkenan mengirim tiga kambing serta beberapa kuintal beras
untuk menyukseskan acara haul tersebut. Dengan Romo Petrus Sugiyanto, dijalin juga
persahabatan. Kyai Ahmad Siroj sering diundang makan dan sering melakukan sholat di
rumahnya. Begitupun Romo tersebut sering mengunjungi beliau.Kyai Ahmad Siroj
tidak segan makan satu piring dengan santrinya atau orang yang menginginkan
mendekati beliau. Bila mereka butuh uang, beliau tidak segan-segan membantunya.
Sebaliknya, bila beliau meminta uang, bukan untuk diri pribadi tapi untuk orang lain
yang membutuhkannya.

Ahli Ibadah

Sewaktu masih muda, Kyai Ahmad Siroj berguru kepada beberapa ulama besar. Di
Pesantren Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, beliau menimba ilmu
kepada Kyai Bahri. Di Pesantren Tremas yang berlokasi di Pacitan, Jawa Timur, beliau
berguru kepada K.H. Dimyati At-Tirmizi, dan di Semarang, beliau berguru kepada Kyai
Sholeh Darat.

Kyai Ahmad Siroj termasuk pengikut Tariqah Qadariyah Naqsabandiyah sebagaimana


yang diamalkan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Beliau terkenal sebagai ‘abid (ahli ibadah). Beliau senantiasa berjamaah shalat lima
waktu, jarang sekali beliau shalat sendirian. Shalat sunnah rawatib, qabliyah
danba’diyah selalu dijalankan secara lengkap. Yang empat rakaat dijalankan empat
rakaat.
Shalat Dluha dilakasanakan oleh beliau secara kontinyu sebanyak delapan rakaat,
meskipun sedang berada di rumah orang lain. Sedangkan antara maghrib dan isya’,
beliau melakukan shalat awwabin.

Doa yang banyak dipanjatkan oleh beliau adalah “Ya Allah, Tuhan kami, Engkaulah
yang kami tuju dan ridha-Mu yang kami cari. Berilah kepada kami ridha-Mu dan
kecintaan-Mu serta ma’rifat-Mu.”

Silaturahmi termasuk ibadah yang beliau gemari dan rajin dilakukan. Beliau acap
menerima tamu dari pelbagai kalangan dan tamu-tamu itu dilayaninya dengan baik. Saat
tengah malam tiba, beliau selalu bangun untuk menjalankan shalat tahajjud atau
qiyamul lail.

Semasa hidup, beliau mendirikan Pesantren di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan


Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah
seluas 200 m². Kitab yang diajarkan oleh beliau, selain Al-Qur’an dan Hadits adalah
Sullamut Taufiq, Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib. Selain itu,
banyak pula ajaran beliau yang sifatnya hafalan.

Memiliki Karomah

Al-magfurlah mBah Siroj memiliki beberapa karomah sebagai perwujudan


kewaliannya. Yang dimaksud karomah di sini adalah kejadian yang luar biasa, di luar
kebiasaan, yang timbul dari Waliyullah. Kalau timbul dari Nabi disebut mu’jizat,
sedangkan dari mukmin yang shaleh dinamakan ma’unah. Beberapa karomah yang ada
pada diri beliau, dapatlah diutarakan antara lain:

Kasyaf

Beliau mempunyai kemampuan melihat yang tidak diketahui oleh mata biasa (kasyaf).
Peristiwa ini terjadi saat tentara Belanda akan masuk Kota Solo ketika aksi kolonial
kedua atau dikenal sebagai clash ke-2 pada tahun 1948. Satu seksi lascar Hizbullah yang
terdiri dari 50 orang, berkumpul di Begalon, Panularan. Kyai Ahmad Siroj tiba-tiba
datang mengadakan inspeksi.
Seorang anggota lascar Hizbullah bernama Hayyun, 25 tahun, tiba-tiba didekati beliau
lalu dipeluknya seraya berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”.

Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar
Kembang ke arah selatan. Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa
granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank.
Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga
termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.

Menurut salah seorang saksi mata, H. Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar
Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa” di bawah komandan Letnan Fathul Rujito yang
kini tinggal di Yogyakarta, menuturkan bahwa tahulah kemudian Laskar Hizbullah,
teman-teman Hayyun, mengapa beberapa saat sebelumnya mBah Siroj memeluknya
sambil berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”. Begitulah, Hayyun gugur sebagai
syuhada, patriot bangsa.

Berulang kali berhaji

Secara lahiriah, Kyai Ahmad Siroj belum pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Tetapi banyak orang yang ke tanah suci Mekkah bertemu beliau di sana.

K.H. Bulqin Zuhdi, salah seorang murid pertama Kyai Ahmad Siroj yang bermukim di
Nglangak, Gemolong, Sragen menceritakan bahwa pada tahun 1937 dirinya
menunaikan ibadah haji. Berangkat dengan naik kapal laut bersama 1960 orang jamaah
haji lainnya.

Sehabis makan siang, Kyai Bulqin berkata dalam hati, bila sampai di Mekkah pada hari
Jumat waktu subuh, akan dicarinya mBah Siroj. Sebab, sering didengarnya ada seorang
waliyullah sering shalat subuh di Mekkah pada hari Jumat.

Sesaat kemudian, tiba-tiba datanglah Kyai Ahmad Siroj menemuinya di kapal.


Ditanyakan antara lain, siapakah syekhnya di tanah suci nanti. Setelah berbincang
sejenak, Kyai Ahmad Siroj tidak dilihatnya lagi. Sudah barang tentu, muridnya tersebut
merasa keheranan.

Ketika sudah sampai di Mekkah, Kyai Bulqin hendak menjalankan ibadah shalat subuh.
Kyai Bulqin berpikir lagi tentang kemungkinan-kemungkinan gurunya juga menunaikan
shalat subuh di Mekkah. Mungkinkah Kyai Ahmad Siroj juga datang seperti kisah yang
pernah didengarnya.

Sewaktu berada di dekat Hajar Aswad, tiba-tiba tampak olehnya mBah Siroj sedang
melakukan tawaf, mengelilingi Ka’bah dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih,
bersarung ‘wulung’ tanpa gamparan.

Diikutinya putaran demi putaran. Pada putaran ke tujuh, Kyai Bulqin hendak
menyalami mBah Kyai Siroj namun pada putaran terakhir mBah Siroj sudah tidak
tampak lagi. Meski menyesal tidak dapat bersalaman dengan mBah Siroj, kini yakinlah
Kyai Bulqin bahwa yang tidak mengkin bagi orang biasa, bagi waliyullah seperti Kyai
Ahmad Siroj, mungkin-mungkin saja.

Berjalan Luar Biasa Cepatnya

Waktu Kyai Shoimuri, putra Kyai Ahmad Siroj selesai mengadakan akad nikah dengan
Nyai Latifah di daerah Boyolali, rombongan Kyai Ahmad Siroj segera berkehendak
pulang ke Solo bersama 33 santrinya.

Kyai Bulqin, salah seorang murid santrinya, disuruh mengantarkan pulang rombongan
Nyai Siroj dengan naik kereta api. Ia disuruh berangkat lebih dahulu, sedangkan Kyai
Ahmad Siroj akan menyusul dengan jalan kaki.

Anehnya, setiba di Solo, rombongan Kyai Bulqin baru sampai Ngapeman, mBah Siroj
sudah berada di sampai di rumahnya yang berada di Panularan, Laweyan, Solo.
Bagaimana itu dapat terjadi, pikir para rombongan yang brangkat lebih dahulu tersebut.

Kejadian serupa juga dialami oleh Nyai Sa’diyah Ali. Suatu ketika bersama Kyai
Ahmad Siroj bepergian ke Boyolali dari Karang Gede. Waktu berangkat sudah adzan
maghrib. Sesampai di Masjid Dawung, Boyolali, belum qomat, masih pujian. Padahal
kedua tempat itu jauh dan ditempuh dengan jalan kaki.

H. Dasuki pun pernah mengalami hal serupa. Suatu ketika diminta mBah Siroj
mengikuti beliau bepergian dari Desa Paesan ke Boyolali yang jaraknya sekitar 10 km.
Sesampainya di tempat yang dituju, tasbih Kyai Ahmad Siroj masih tertinggal di
Paesan. Lalu, disuruhnya H. Dasuki mengambilkannya, berjalan kaki pulang balik.
Waktu berangkat sudah adzan maghrib. Anehnya, waktu kembali di Masjid Kokosan,
Boyolali, belum qomat maghrib. Menurutnya, itu berkah Kyai Ahmad Siroj.

Nasi Satu Kendil

Suatu ketika Kyai Ahmad Siroj bepergian bersama 24 santrinya ke Susukan, Kabupaten
Semarang dari Solo. Tuan rumah yang dikunjungi termasuk orang tidak mampu
(miskin). Untuk memuliakan tamu, dimasakkannya oleh Abdus-Syakur, tuan rumah,
satu kendil nasi. Karena nasi terbatas, Kyai Ahmad Siroj sendirilah yang dipersilahkan
makan dalam kamar.

Anda mungkin juga menyukai