Anda di halaman 1dari 9

TOKOH TOKOH DALAM ISLAM YANG BERPENGARUH

BAGI PERADABAN ILMU PENGETAHUAN DI NUSANTARA

Disusun Oleh :

WIDHY MARCHIKA SARIFUDDIN (XII IPA 3)

MAN 1 KENDARI
2020/2021
PEMBAHASAN
A. Kiai Kholil al-Bangkalani
1. Biografi

Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Beliau lahir pada Hari Selasa
tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, di Kampung Senenan, Desa
Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa
Timur. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati.
Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin
Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman Basyeiban. Sayyid Sulaiman
inilah yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari pihak ibu.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak
dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai
Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu
Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak
bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga
puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren
Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan,
Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama
belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di
Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih
mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk
pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai
Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Pada
tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar
dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya
di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-
Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani
dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja
mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh
Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun
kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan
dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi
yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka
sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan
ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya,
Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1
kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya),
Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun
dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia
juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil
dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut
dari desa kelahirannya.
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat;
meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat.
Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah
bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli
Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil
penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi,
dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.
 Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil
mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu,
berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa.
Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari
tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren
Tebu Ireng.
 Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih
banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk
memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah
Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para
pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak
Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa
dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak
melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan
kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian
tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan
saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap
pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar
benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing
yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam,
sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai
dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya
Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi
mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi
beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh
ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah
perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul
Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri
(pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren
Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok
Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren
Asembagus, Situbondo). Syekh Kholil wafat pada hari kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H
(1925 M) jam 04 pagi. Jenazah beliau dishalati di Masjid Agung Bangkalan pada sore
harinya setelah shalat ashar, kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.

2. Karya-karya Kiai Kholil al-Bangkalani


 Kitab Silah fi Bayani Nikah
 Kitab terjemahan Alfiyah
 Shalawat Kiai Cholool Bangkalan (Kitab I’anatur Roqibin)
 Kumpulan wirid Kiai Cholol Bangkalan (Kitab Haqibah)
 Kitab Al-Matnas Syarif al-Mulaqqab bi Fathil Latif

B. K.H Hasyim Asy’ari


1. Biografi

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul
Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul
Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah
bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan
sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah
binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran
Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng
(Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur
bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu. Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim
mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah,
bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir)
dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan
langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu
Jawa.
Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon
tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H.
Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang,
tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di
desa Tambakrejo kecamatan Jombang.
Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim
tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri
pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari)
merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai
Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi
pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek
ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren
Tambak Beras Jombang.
Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai
Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308
H. Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat
puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka Setelah lama menduda, Kiai
Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates
(Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada
tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena
dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.
Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak
Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak,
yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim,
Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah
juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.
Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri
Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan
keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah
dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir
bagi Kiai Hasyim hingga akhir hayatnya. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 dan
meninggalkan beberapa putra-putri yaitu Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak,
Abdul Wahid, Abdul Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, Muhammad Yusuf,
Abdul Qodir, Fatimah, Khodijah, dan Muhammad Ya’kub. Beliau juga meninggalkan
tulisan pemahaman keilmuannya pada beberapa kitab yaitu, at-Tibyan fi an-Nahyi ‘an
Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa alIkhwan, Muqaddimah al-Qanun al-Asasi, Risalah
fi Ta’kid al-Ahzi bi al-Mazhab alAimmah, al-Arba’ah, Mawa’i, Arba’ina Hadisan, an-Nur
al-Mubin, at-Tanbihat alWajiban,Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, Ziyadah Ta’Liqat
‘ala Manzumah, Syaikh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani, Żaw’il Misbah, ad-Durar al-
Muntasyirah, al-Risalah fi al-‘Aqaid, al-Risalah fi at-Tasawuf, Adab al-‘alim wa al-
Muta’allim, Tamyiz al-Haq min al-Batil. Beberapa lainnya masih berupa manuskrip, yaitu
Hasyiyat ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam
Zakariyya al-Ansari, al-Risalah al-Tauhidiyah, al-Qalaid fi Bayan ma Yajid min
al‘Aqaid,al-Risalah al-Jama’ah, Tamyiz al-Haq min al-Batil, al-Jasus fi ahkam anNuqus,
dan Manasik Sugra.

2. Karya- Karya K.H Hasyim Asy’ari


 At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan
(Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturrahmi, Tali Persaudaraan dan
Tali Persahabatan)
 Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Dari kitab ini para
pembaca akan mendapat gambaran bagaimana pemikiran dasar dia tentang NU. Di
dalamnya terdapat ayat dan hadits serta pesan penting yang menjadi landasan awal
pendirian jam’iyah NU. Boleh dikata, kitab ini menjadi “bacaan wajib” bagi para
pegiat NU.
 Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah
 Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama
 Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati
Ta’limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh
Pelajar Selama Belajar).
 Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa
Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah
 Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin (Cahaya yang Terang tentang
Kecintaan pada Utusan Tuhan, Muhammad SAW).
 Mawaidz. Adalah kitab yang bisa menjadi solusi cerdas bagi para pegiat di
masyarakat. Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini pernah
diterbitkan secara massal. Demikian juga Prof Buya Hamka harus menterjemah
kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat, edisi 15 Agustus 1959.
 Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Kitab ini
menyajikan beberapa hal yang harus diperhatikan saat memperingati maulidur
rasul.

C. K.H Ahmad Dahlan


1. Biografi

Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di


Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar.
KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H.
Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa
itu. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari
Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu
pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan
Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru
Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad
Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Sakana Food Depok www.sakana.id
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode
ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam
Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika
pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada
masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU,
KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung
Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang
Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah,
KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan
pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai
Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari
perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama
Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. KH.
Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.
Pada tanggal 23 Februari 1923, KH. Ahmad Dahlan pun meninggal dunia dan
dimakamkan di Pemakaman KarangKajen, Yogyakarta, Jawa Tengah.

2. Pengalaman Berorganisasi
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil
dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup
menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-
gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga dia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin
mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama
Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-
Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912.
Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi,
baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang
menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru
bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-
tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan
lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang,
yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priayi. Bahkan ada pula orang
yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22
Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya
boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari,
Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan
dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad
Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung
Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan
dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di
antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci,
Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu
alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith
pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur
van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu
Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan
mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di
berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya
untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama
makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921
Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses
evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan
anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering
(persidangan umum).

3. Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia
melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657
tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
 KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
 Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan
ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
 Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan
jiwa ajaran Islam; dan
 Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.
Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah diangkat ke
layar lebar dengan judul Sang Pencerah (2010) yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo.
Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan, film ini juga bercerita
tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan
pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan
budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional. Naskah film
ini kemudian dialihmediakan menjadi novel berjudul sama yang ditulis oleh Akmal Nasery
Basral.

D. Peran Tokoh Penyeru Islam di Nusantara


1. Pembangun fondasi yang kuat untuk terbentuknya kerajaan islam di nusantara
2. Pengupas makna dan semangat jihad bangsa indonesia
3. Pencetak para Dai
4. Agen penrubahan zaman kegelapan syirik menuju cahaya tauhid

E.Meneladani Tokoh-tokoh Penyeru Islam di Nusantara


1. Mendakwahkan ajaran islam dengna ikhlas hanya mengharap ridha dari Allah Swt.
2. Kontinu dan istiqamah dalam mendakwahkan serta memperjuangkan agama islam
3. Memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak berputus asa dalam mendakwahkan
serta memperjuangkan agama islam
4. Gemar menuntut ilmu agama dan menyampaikannya kepada orang lain
5. Berani berkorban jiwa raga untuk menyampaikan kebenaran
6. Mengembalikan segala persoalan kepada Al-Qur’an dan sunnah
7. Membelanjakan harta demi kejayaan islam
8. Meneruskan dakwah para ulama Nusantara dengan cara yang sesuai dengan keadaan
masyarakat saat ini.

Anda mungkin juga menyukai