Beliau biasa berjualan minyak wangi dan arloji (jam tangan) dengan naik sepeda sambil keliling mengisi majelis-majelis pengajian yang tersebar di Kabupaten Karawang, antara lain ke Desa Jatiragas Kecamatan Jatisari, Desa Langseb Kecamatan Pedes dan Rawamerta (yang sekarang menjadi Pondok Pesantren Nihayatul Amal). Konon kabarnya beliau juga pernah menjadi Penghulu di Telukjambe. Antara tahun 1943-1945 atas panggilan gurunya, yaitu KH. Zaenal Mustofa, beliau berangkat ke Tasikmalaya dan ikut terlibat dalam perlawanan santri Singaparna melawan kolonial Jepang, yang terkenal dalam sejarah sebagai Tragedi Singaparna yang mengakibatkan gugurnya KH. Zaenal Mustofa dalam penyiksaan tentara Jepang, akibat tipu muslihat Jepang. Sepulangnya dari Singaparna, Hadratus Syekh bersama keluarga pindah ke Loji dan santri di Telukjambe dibubarkan. Tetapi kemudian beliau mendirikan pesantren lagi di sekitar pasar Loji sekarang. Pada tahun 1950, beliau pindah lagi ke Telukjambe (di depan Mesjid Jamie Al-Ikhlas sekarang), dan pada tahun 1976 mendirikan Mushola Al-Mushlih dengan bantuan bahan bangunan dari proyek pembangunan Asrama Kostrad 324. Ketika PSII dan PERTI keluar dari Masyumi, NU juga keluar yang dinyatakan dalam Kongres di Palembang. Sebagai seorang Kiyai pesantren beliau mengikuti wadah NU, dan pernah datang ke H. Kustana (Ayah KH. Abdul Muhyi) berpesan supaya sejalan dalam berfikir dengan sikaf NU. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Hadratus Syekh KH. Mushlih layak disebut sebagai Tokoh Ulama Pejuang. Pada hari Selasa, tanggal 15 Syaban 1405 H / 1985 M dalam usia 80 tahun, beliau dipanggil ke haribaan Allah SWT. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. Sebelum wafat beliau mewakafkan sebidang tanah seluas 3.850 meter persegi yang disediakan bagi cucunda beliau KH. Nandang Qusyaerie, SH untuk dibangun Pondok Pesantren. Alhamdulillah, sejak tahun 1999 berdirilah secara resmi pondok pesantren dengan nama Pondok Pesantren Al-Mushlih, sebagaimana yang bapak/ibu saksikan sekarang ini. PESAN-PESAN HADRATUS SYEKH Kalau kita berdoa jangan mengingat apa yang kita inginkan (kebutuhan/hajat), tetapi kita hanya mengingat bahwa kita sedang berhadapan dengan Allah Azza wa Jalla. Jika kita mendapat suatu asror (Inkisyaf), jangan tertipu oleh hal itu (jangan terpengaruh), karena tujuan kita hanya Allah".
Supaya tidak mandek (vacum) menjalankan ibadah ubudiyah, terus hadir hati kepada Allah, Dzikir Wahid, yaitu hanya mengingat Allah Rabbul Alamin.
Kita harus suluk, wushul, minimal ikhlash, dan juga tabarri. Kita antara qadar dan ikhtiar, itulah aqidah Ahlus sunnah wal jamaah, yaitu aqidah yang berpegang teguh dan mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah SAW, para Shahabat r.a., para Tabiin, para Ulama Salaf dan Khalaf serta para Ulama Mutaakhirin. Shalat itu ada yang dinamakan Shalat Qaim, yaitu shalat 5 waktu yang biasa dilaksanakan, dan Shalat Daim, yaitu shalat sepanjang masa (seumur hidup) dengan jalan senantiasa ingat kepada Allah (dzikrullah). SILSILAH NASAB KH. Mushlih bin H. Abdur Rozi (Embah Penghulu Kadar) bin H. Abdul Karim (Embah Sarneha) bin Sayidin (Bapak Sarneha) bin Thubagus Bidin (Bah Emong) bin Pangeran Sake (Pangeran Saleh) bin Sultan Ageng Abdul Fatah (Sultan ageng Tirtayasa) bin Sultan Abu Maali (Sultan Ahmad) bin Sultan Mahmud Abdul Mafahir (Sultan Abdul Kadir) bin Maulana Muhammad Nasiruddin bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Maulana Hasanudin bin Syekh Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati Cirebon).