Anda di halaman 1dari 10

BAB II

KEDUDUKAN AKAl DAN


WAHYU DALAM ISLAM
Pengantar

• Cukup banyak isyarat-isyarat al-Qur'an tentang dorongan penggunaan


akal, dengan penekanan bahwa penggunaan akal adalah merupakan
barometer bagi ke beradaan manusia. Manusia. yang tidak
menggunakan akal yang terdiri dari daya pikir dan qalbu, maka
hilanglah ciri dan sifat ke­manusiaannya.
• al-Qur'an memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan
mengadakan pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu.
• Daya pikir manusia menjangkau wilayah fisik dan masalah-masalah
yang relatif, sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap
makna-makna yang bersifat metafisik dan mutlak.
Akal memiliki kedudukan
dan fungsi sebagai berikut

1. Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan menge­


tahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah
Rasul
2. Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri
manusia untuk mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam
pengertian al- Qur'an dan Sunnah Rasul.
3. Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangKap pesan dan
semangat al-Qur'an dan Sunnah untuk dijadikan acuan dalam
mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam
bentuk ijtihad.
4. Akal juga akan berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al­Qur'an
dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai
khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya.
Fungsi dan kedudukan wahyu dalam
memahami Islam adalah:
1. Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukkan kepada
al-Qu'ran dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam tanpa merujuk kepada al-
Qur'an dan al-Sunnah adalah tidak dapat dibenarkan.
2. Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan dapat berfungsi
bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk
memahami Islam (wahyu) harus dibimbing oleh wahyu itu sendiri
agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi
benar. Akal tidak boleh menyim­pang dari prinsip-prinsip etik yang
diajarkan oleh wahyu.
Kebenaran Akal

• Akal bersifat tentatif, temporal, dan relatif sehingga


hasil kerja akal diperlukan adanya koreksi, perubahan
dan penyempurnaan terus-menerus. Oleh karenanya
taqlid buta terhadap hasil pemikiran seseorang
(ulama) dalam mema­hami Islam termasuk perbuatan
yang dihindarkan dalam Islam.
Keberanaran Wahyu
• Al-Qur'an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan
dibukukan di masa awal Islam, hanya beberapa waktu setelah Rasul
Allah wafat (Masa Khilafah Abu Bakar), sedangkan al-Hadis atau al-
Sunnah baru dibukukan pada abad kedua hijrah (masa Khila­fah Umar
bin Abdul Aziz).
• Bagaimana nilai kebenaran wahyu tersebut? Nilai kebenaran wahyu
adalah mutlak. Wahyu sebagai firman Allah yang disampaikan kepada
Nabi atau Rasulullah baik secara lafdzi (langsung) berupa al-Qur'ar,
maupun secara maknawi maupun irsyadi (tidak langsung) berupa al-
Hadis atau al-Sunnah.
• Atas dasar itu Islam mengajarkan untuk memahami dan menga­malkan dinul
Islam dengan rujukan yang jelas, dengan cara ijtihad atau minimal ittiba'
dan melarang bertaqlid. Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan
akal untuk memahami wahyu dengan bimbingan niat ibadah dan ikhlas
lillahi ta'ala dan didukung dengan perangkat dan persyaratan yang
memadai, sedangkan ittiba’ adalah mengikuti hasil pemikiran (pendapat)
orang lain dengan berisaha kritis dan memahami dasar dalilnya. Sementara
taqlid adalah mengikuti pendapat (hasil) pemikiran orang lain secara
membabi buta. Memutlakkan kebenaran yang relatif (taqlid) adalah tidak
dibenarka, sebagaimana tidak dibenarkannya merelatifkan atau bahkan
menentang kebenaran yang mutlak (ilhad atau inkar).
Hubungan Akal dan Wahyu
• Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat
dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memilik
fungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat
dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus
melibatkan akal untuk memahami dan menjabarkan secara praktis.
PERCIK
• Setiap hari orang harus melihat wajahnya di muka
cermin. Jika merasa wajahnya jelek jangan berbuat
kejelekan agar tidak terhimpun padanya dua
kejelekan.
• Jika merasa wajahnya cantik/GANTENG, jangan
sampai wajahnya itu ternodai oleh kejelekan yang
diperbuatnya.
Ayo ... Pulang... Bercermin

Anda mungkin juga menyukai