Anda di halaman 1dari 19

Etika Politik Dalam Bingkai Demokrasi di Indonesia

Bertolak dari gencarnya kritik publik yang diarahkan baik kepada Presiden pribadi
maupun pemerintahan yang sedang dipimpinnya. Ketua Umum PDIP Megawati dalam pidato
politiknya di Denpasar, Bali, pada acara HUT ke-34 partai yang dipimpinnya, misalnya,
mengatakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya pintar menebar
pesona. Yang dibutuhkan padahal bagaimana pemerintah menebar karya.

Pada momentum yang hampir bersamaan, muncul manuver politik dari sejumlah
tokoh yang tergabung dalam Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR), yang intinya
menyampaikan rasa ketidakpuasannya terhadap kinerja pemerintahan Yudhoyono. Mereka
malah membangun kekuatan massa untuk melakukan demonstrasi besar-besaran pada
momentum peringatan peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1975). Mereka melakukan
demonstrasi bergaya heroik dengan pemunculan istilah “pawai rakyat cabut mandat” dengan
tulisan di sejumlah spanduk yang mendesak Presiden dan Wakilnya untuk segera turun dari
kekuasaan. Berbagai sikap kritis publik itu, tentu bukan tanpa dasar. Mereka pasti bertolak dari
realitas masyarakat dengan sudut pandang masing-masing, yang meski secara subjektif toh
mengandung kebenaran pula. Karena memang, dalam realitasnya, perlu jujur mengakui
banyak hal yang belum tampak dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh pemerintah. Itu
padahal merupakan bagian utama dari janji-janji presiden pada kampanye 2004. Sebut saja,
pemberantasan korupsi yang masih tebang pilih, dus supremasi hukum yang belum sungguh-
sungguh ditegakkan, jumlah pengangguran yang terus bertambah, kemiskinan yang kian
menyebar, dan lain-lain.

Ironisnya, segala kritikan itu bukannya diterima oleh pemerintah sebagai masukan
untuk menjadikan bagian dari cermin diri untuk berintrospeksi seraya melakukan pembenahan,
malah ditanggapi dengan kritikan pula, ibarat pantun berbalas pantun. Timbul pertanyaan,
mengapa Presiden dan/atau pemerintah masih memandang kritik sebagai ancaman atas
kekuasaan mereka? Bukankah kritik merupakan bagian dari etika politik di mana rakyat
melaksanakan peran politiknya dalam memperjuangkan nasibnya?
Kritik dan Demokrasi

Kritik, kata Prof Dr RC Kwant (Menz en Kritiek –Manusia dan Kritik), adalah suatu nilai
dasar dalam hidup. Kritik adalah tempat kelahiran segala nilai yang kita nyatakan. Atau, kritik
adalah penilaian terhadap kenyataan yang kita hadapi dalam sorotan norma, seperti norma
moral, etika, dan demokrasi. Jadi, demokrasi itu tidak mungkin tanpa kritik. Tetapi, rakyat itu
tentu dipimpin oleh pimpinan. Bagaimana rakyat yang dipimpin bisa memimpin diri sendiri? Itu
bisa, kata Kwant, karena rakyat mengontrol orang-orang yang memimpin mereka. Kalau para
pemimpin menolak pengontrolan orang-orang yang mereka pimpin, habislah demokrasinya.
Kritik adalah bagian integral kontrol. Maka, kritik termasuk dalam hakikat demokrasi.

Persoalannya adalah bagaimana publik melancarkan dan menempatkan kritik, dan


para pemimpin menanggapi kritik tersebut dalam koridor demokrasi. Dalam hal ini, kembali
menyitir Kwant, demokrasi tidak berarti bahwa setiap orang membuat penilaian atas segala
sesuatu. Dalam demokrasi dengan sistem perwakilan, cukuplah rakyat mempunyai di segala
bidang orang-orang yang kompeten, yang bisa mengontrol persoalan-persoalan, dan bisa
membicarakanya dengan bebas. Jika persyaratan-persyaratan ini dapat dipenuhi, pemerintah
dapat dikontrol, dan sewaktu-waktu bisa dimintai pertanggungjawaban. Di situ, rakyat
melancarkan kritik melalui para wakil rakyat.

Namun, tatkala para wakil rakyat tidak melaksanakan fungsinya secara maksimal
menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat, tidak ada jalan lain selain rakyat dengan
caranya sendiri menyampaikan aspirasi secara langsung. Hanya saja, baik penyampaian
aspirasi atau kritik langsung maupun lewat perwakilan, harus disampaikan secara
proporsional, objektif, dan konstruktif. Tujuannya adalah menyampaikan pesan koreksi dan
solusi perbaikan. Bagaimana pemimpin menanggapi kritik yang mungkin terasa pedas? Kritik
bagaimanapun harus ditanggapi secara positif. Dalam salah satu teori sosial dikatakan bahwa
bersikap defensif terhadap suatu kritikan mengindikasikan tidak adanya niat baik untuk
melakukan perbaikan yang bertolak dari material yang menjadi sumber kritik. Atau, kritik yang
berbalas kritik akan melahirkan kritik baru yang kian mengeras, yang terjadi kemudian adalah
perdebatan.

Hak untuk Marah

Yang dikhawatirkan dari semua itu adalah lahirnya suatu pembelengguan demokrasi
oleh para penguasa. Demokrasi tidak lagi didasari pada keyakinan kolektif yang kuat bahwa
kritik adalah vitamin yang menyehatkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara,
melainkan sebagai ancaman kekuasaan. Ingat, salah satu yang sangat disesalkan dari praktik
pemerintahan Orde Baru adalah dahsyatnya represi kekuasaan yang mematikan kritik.
Malapetaka yang akhirnya meruntuhkan Orde Baru tidak semata disebabkan krisis ekonomi,
krisis moral, atau lainnya, tetapi sesungguhnya bermula dari kritik dan kontrol masyarakat
yang dilumpuhkan kekuasaan.

Kini era monopoli kebenaran dan hegemoni wacana telah berakhir bersamaan dengan
tersungkurnya Orde Baru. Kebenaran bukan lagi milik tunggal penyelenggara negara karena
masyarakat kini—menyitir Syamsuddin Haris (2006)—memiliki aktivis LSM, akademisi,
pejuang HAM, dan pekerja pers sebagai mata hatinya. Era laporan ABS (asal bapa senang),
alergi, dan antikritik, bersembunyi di balik klaim pencapaian semu, serta kepatuhan tanpa
batas rakyat kepada pemerintah, telah berlalu.

Artinya, semangat antikritik yang merupakan identifikasi penguasa otoriter bukan


zamannya lagi. Ia adalah bagian integral prinsip “Daulat Tuanku” yang menjadi ciri sistem
monarki dan aristokrasi yang telah diganti dengan konsep demokratik, “daulat rakyat”. Dalam
“daulat rakyat”, yang dilandasi demokrasi, di mana tujuan demokrasi adalah menciptakan
peluang bagi kesejahteraan rakyat seluruhnya, sebagai wujud etika politik, maka para
penyelenggara negara sebenarnya tidak berhak untuk marah terhadap kritik yang ditujukan
kepada mereka. Sebaliknya, hak moral untuk marah justru dimiliki rakyat yang tidak puas
terhadap kinerja para pemimpin yang telah dipilihnya. Apalagi, konsep good governance yang
diusung Yudhoyono-Kalla, menuntut adanya partisipasi publik di dalamnya sehingga relasi
pemerintah rakyat tidak didasari pada kepatuhan prinsip “Daulat Tuanku” melainkan “daulat
rakyat”.

Hanya saja, kita tetap berharap bahwa dalam hal mengeritik pemerintah dengan
seluruh kebijakannya harus proporsional yang memuat dimensi kearifan, pendidikan serta
pencerahan. Para pengkritik harus menempatkan diri sebagai motivator yang kreatif bagi
pembentukan visi, orientasi dan pilihan kebijakan yang tepat. Inilah tanggung jawab moral dan
etis para pengkritik.

Politik, dan Etika Solidaritas

Republik kekerasan. Begitu mungkin sebutan yang cocok bagi republik tercinta ini.
Sejarahnya disesaki siklus penundukan, kekerasan, darah, dan korban. Pelbagai peristiwa
kekerasan datang silih berganti. Pembantaian kader PKI tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok,
penyerbuan markas PDI, tragedi Mei 1998, konflik Ambon, peristiwa Semanggi, dan
sebagainya. Semuanya berlalu tanpa jejak yang berarti. Tersapu politik yang sudah demikian
terstruktural oleh penundukan dan kekerasan. Politik yang berseberangan dengan hidup,
kebebasan, dan kebaikan. Sesuatu yang hanya ada satu level di atas tribalisme kuno.
Padahal, sejarah sebenarnya mengajarkan bagaimana berpolitik yang santun. Di masa Yunani
Kuno, misalnya. Dalam polis (negara-kota) Atena, politik dijalankan tanpa kekerasan. Politik
kekerasan dicibir sebagai politik tribal kaum barbar yang mengedepankan otot ketimbang otak.
Para politisi Atena bekerja dengan persuasi, bukan koersi. Kerja yang diwadahi sebuah ranah
publik. Ranah tempat segala urusan publik dibicarakan secara terbuka, bebas, dan rasional.

Politik sebagai proses deliberasi publik sendiri adalah persimpangan dalam sejarah
politik. Momen bersejarah saat publik untuk pertama kali dilibatkan dalam proses politik yang
rasional dan sehat. Proses ketika kebijakan politik tidak lagi diputuskan secara privat. Bukan
seperti keputusan seorang ayah menyekolahkan anaknya di sekolah ternama. Dengan kata
lain, politik bukan keputusan sepihak, ia membutuhkan legitimasi publik. Sebuah politik yang
santun, meminjam istilah Dr Haryatmoko.

Ujian tengah semester bagi politik yang santun adalah bangkitnya neotribalisme dalam
berbagai formatnya. Politik yang kembali menyempit dalam ruang-ruang privat tak berjendela.
Keputusan diambil sepihak dengan membeku-matikan keterlibatan publik. Ranah publik
diratakan dan prinsip-prinsip, seperti kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, dicampakkan
jauh-jauh dari politik. Ini yang terjadi semasa rezim Orde Baru. Rezim neotribalisme yang
bekerja begitu halus membungkam deliberasi publik. Kita masih bisa membaca beberapa
semiopolitika neotribalisme Orde Baru. Pertama, politik diatur oleh doktrin tunggal yang
mengurusi segalanya mulai dari urusan privat sampai publik. Kedua, akuntabilitas tubuh-tubuh
politik menjadi kebal dari skrutinisasi publik. Ketiga, mekanisme penundukan menyebar di
semua lini kehidupan: ekonomi, sosial, budaya, dan religi. Ketiganya berakar dari sebuah
kebenaran sederhana: absennya deliberasi publik oleh proses penundukan halus yang
menyerang kesadaran sosial secara simbolik.

Serangan simbolik paling halus adalah lewat pranata hukum. Serangan ini berpangku
pada konsepsi umum positivisme hukum yang meleburkan moral dan hukum. Filsafat yang
beranggapan bahwa hukum sendiri adalah sebuah legitimasi moral yang matang. Dengan kata
lain, segalanya pasti beres secara moral asal konstitusional. Bertolak dari lapisan kesadaran
yang mengental secara sosial ini, pelbagai produk perundang-undangan yang melegitimasi
kekerasan dan penundukan dirumuskan. Dari yang paling nyata (UU Antiterorisme) sampai
paling halus (UU Sisdiknas). Semuanya adalah kerja diam-diam yang sedikit demi sedikit
menggerus hak-hak dasar warga negara.

Politik yang santun mensyaratkan seni berpolitik yang santun pula. Sayang, seni
berpolitik republik ini berbicara lain. Seni berpolitik saya tipologikan menjadi dua. Pertama,
seni berpolitik utilitaris. Seni berpolitik ini memandang segala sesuatu dari kacamata
efektivitas. Ia memilah-milah mana isu yang strategis dan mana yang tidak. Apakah satu isu
bisa memuluskan jalan ke singgasana kekuasaan atau tidak. Semuanya adalah soal polling,
tak lebih! Dan, tampaknya pembelaan korban, rekonsiliasi, dan rehabilitasi hak-hak dasar
bukan komoditas yang layak jual di pasar politik. Tak heran mengapa pelbagai rekomendasi
humanitarian dari kelompok-kelompok sipil selalu saja mentah di tengah jalan. Kelompok-
kelompok politik lebih berfokus pada isu strategis yang kondusif bagi aksentuasi kepentingan
masing-masing.

Kedua adalah seni berpolitik futuris. Seni berpolitik yang selalu ingin meratakan masa
lalu. Ia berpijak pada janji-janji keesokan: pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, tinggal
landas, dan sebagainya. Semuanya berkisar seputar harapan-harapan, bukan kelukaan.
Politik futuris selalu mengatakan, "Marilah kita lupakan masa lalu untuk bersama- sama
membangun bangsa ini ke depan." Masa lalu adalah sumber konflik yang harus dikubur
dalam-dalam. Semuanya cukup diselesaikan lewat kompromi elite. Rekonsiliasi menjadi
sekadar seremonial yang kehilangan jejak pada ingatan sosial masyarakat.

Etika politik yang mendasari politik utilitaris dan futuris adalah etika yang berporos
pada sektarianisme yang kuat. Etika yang membuat politik menjadi sekadar ajang perjuangan
kepentingan kelompok yang menghamba pada instrumentalisasi nalar. Yang ada di pikiran tiap
kelompok adalah bagaimana mengamankan kepentingannya sendiri dengan segala cara.
Kebaikan dikacaukan dengan kesuksesan. Kekuasaan selalu dilihat sebagai konspirasi untuk
menghabisi kelompok dengan kepentingan berbeda

Dua seni berpolitik itu saya tengarai masih bercokol kuat di republik ini. Dunia politik
yang masih keruh oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan. Dunia yang kehilangan panduan
etika sosial yang ketat, kecuali etika utilitaris, di mana tujuan mengamini sarana. Atmosfer
politik menjadi keruh oleh kecemasan, kecurigaan, dan kehendak untuk berkuasa. Sungguh
sebuah iklim yang amat tidak kondusif bagi tumbuhnya demokrasi yang matang dan sehat.
Demokrasi yang beralaskan sebuah etika sosial dan kesantunan politik. Sistem yang benar-
benar menjamin lestarinya hak-hak dasar manusia dari terkaman kekuasaan.
Pertanyaan berikut: etika sosial macam apa yang harus dibangun? Milan Kundera,
novelis Perancis kelahiran Ceko, mengatakan sesuatu tentang persahabatan. Persahabatan
baginya adalah sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi: sebuah relasi
yang nonsektarian. Persahabatan adalah sebuah etika yang beralaskan saling pengakuan
satu sama lain sebagai subyek moral yang setara. Etika yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip
metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.

Bila persahabatan ditarik secara politis, maka hasilnya adalah apa yang disebut
Hannah Arendt sebagai etika solidaritas. Sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak
sekadar dijadikan sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua.
Namun, solidaritas di sini harus dibedakan dengan nilai- nilai, seperti kasih, perhatian, simpati,
dan sebagainya. Semua itu masih dalam lingkup privat. Dalam lingkup publik, nilai-nilai itu
harus mengalami transformasi politik lewat ranah publik.

Cinta dalam ranah privat bisa amat sektarian. Seorang ayah bisa demikian mencintai
anaknya hingga melakukan apa pun demi kesuksesan anaknya. Seorang radikalis bisa
demikian mengasihi kelompoknya hingga rela mengorbankan nyawanya lewat aksi bom bunuh
diri. Etika solidaritas jauh dari kedua contoh itu. Etika solidaritas dalam politik mendorong cinta
pada sebuah dimensi baru. Dimensi publik. Mencintai adalah melihat yang lain bukan sebagai
musuh atau obyek ideologis, tetapi sebagai subyek politik yang setara. Mencintai juga berarti
memberi kesempatan bagi semua perspektif untuk masuk dalam sebuah diskursus publik
(ngambang).

Etika solidaritas adalah sarana sekaligus hasil sebuah ranah publik yang sehat. Disebut
sarana karena melaluinya ranah publik menjadi sungguh-sungguh publik, bukan sekadar ajang
perjuangan kepentingan jangka pendek. Dalam hal ini, ranah publik berfungsi
mendesektarianisasi nilai-nilai privat. Di lain pihak, ranah publik yang sehat menghasilkan
etika solidaritas yang kuat. Saat segala urusan dibicarakan secara terbuka dalam semangat
kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan, lambat laun sebuah bangunan etika
sosial yang kokoh akan berdiri.
Persoalannya, bagaimana menstrukturkan etika solidaritas dalam tubuh politik bangsa ini.
Tubuh yang diwarisi rezim sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan: koyak oleh politik
kekerasan dan penundukan. Politik yang acuh terhadap hak-hak dasar manusia. Itu semua
membuat perubahan mendasar dalam struktur politik bangsa ini bukan hal sepele. Paling tidak
ada dua hal yang menjadi kunci perubahan. Pertama, struktur itu sendiri dan kedua, karakter
politisi. Pertama bersifat sosial, sedang kedua individual. Keduanya berbeda, namun saling
bertautan.

Menurut Giddens, struktur adalah kebiasaan yang berulang dan membuat pola. Hukum adalah
salah satu sarana sekaligus hasil sebuah struktur. Dalam kontens sarana, bila ditengok produk
perundang-undangan kita, masih banyak yang belum bisa lepas dari struktur penundukan.
Banyak undang- undang yang bisa dijadikan justifikasi untuk perampasan hak- hak dasar
manusia. Selain itu, fairness dalam politik masih belum tertampung sempurna dalam undang-
undang. Undang- undang masih menjadi obyek sasaran manipulasi ideologis. Dengan kata
lain, undang-undang masih dijadikan sarana memantapkan dominasi ideologis satu kelompok
atas yang lain. Ini tentu amat tidak kondusif bagi moralitas yang berporos pada solidaritas.

Perubahan menuntut orang berkarakter kuat. Sebuah struktur, sekuat apa pun ia, akan
berubah saat banyak orang berani mengambil jarak dari kesadaran dominan. Masalahnya,
struktur bisa begitu dominan sehingga orang-orang berkarakter kuat pun bisa larut di
dalamnya. Banyak kisah bagaimana cendekiawan yang semula terkenal vokal, kini menjadi
the most loyal spokeperson of authority. Padahal, seperti ditegaskan Edward Said, fungsi
pokok cendekiawan adalah berbicara kebenaran di hadapan kekuasaan. Ini membuat kita
bertanya-tanya seputar maraknya cendekiawan terjun ke politik. Apakah mereka akan
membuat perubahan atau lenyap dalam pusaran habitus yang sudah mengendap lama.

Pendidikan menjadi instrumen strategis guna membangun karakter politik nonsektarian.


Sayang, ia pun menjadi sasaran strategis kelompok sektarian untuk menancapkan kukunya.
Pendidikan yang seharusnya menghasilkan insan yang memiliki daya pertimbangan otonom,
menjadi ajang indoktrinasi ideologis yang tertutup bagi nilai-nilai solidaritas. Ini membuat
perbincangan mengenai pendidikan kewarganegaraan kembali relevan. Bukan semata-mata
pendidikan teknis mengenai tata cara penyelenggaraan negara. Namun, pendidikan yang
menanamkan moral politik yang berpijak pada solidaritas, kebebasan, dan keadilan.
Pendidikan yang akan menghasilkan insan-insan yang tidak saja melek politik, namun mampu
menjalankannya secara etis dan rasional. Kader-kader bangsa yang tahu bagaimana berpolitik
secara santun.

Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus

BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di
padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan
kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang
seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?

Urgensi etika politik

Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui
civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika
politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa
kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi
tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau
peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan
mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation
(terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir
politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan
kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan
perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan
terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus
konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kekhasan etika politik

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam
rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul
Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan
individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini
menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual
perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur
mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua,
upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga
tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud
kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik
tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan.
Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan
warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan
warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik
yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebasan atau disebut democratic liberties:
kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat,
dan sebagainya.

Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi
terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai
pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik,
yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan
dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan
antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan
perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.
Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi,
dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan
nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima
pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni
karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan
manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau
penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.

Etika politik vs Machiavellisme

Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat
ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara.
Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima
pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan
golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang
mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates
sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai
seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral.
Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para
pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila
diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan
pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi,
pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis
itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan
real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli,
adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari
individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai
kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai
tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang
dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu.
Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi
dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik
terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-
kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Institusi sosial dan keadilan prosedural

Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam
struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi
sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan
oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu
mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian
institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan
titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun
institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga
kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya.
Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-
institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia.
Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi
membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan
prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan
mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi
prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk
lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran
yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin
mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus
dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya.

Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di
Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja
sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil
bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk
berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai
prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin
penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan
kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga
keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem
hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski
hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian
pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur
hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus
mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?

Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan
bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban
biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap
mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang
berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum
mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.

DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN
Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Sumber: http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm

Matinya Etika Politik

Kita boleh bangga karena freedom house (2006) memasukkan negara kita sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Kita boleh bangga karena pemilu yang
kita selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan damai.

Kita boleh bangga karena dunia harus mengubur kekhawatirannya akan chaos pada Pilpres
langsung 2004 yang lalu. Sembari puja-puji atas demokrasi terus mengalir dari berbagai
kalangan, lembaga-lembaga prosedural demokrasi terus kita sempurnakan. Lembaga legislatif
yang awalnya unikameral mekar menjadi bikameral.

Sistem yang sentralistik luluh seiring otonomi daerah. Bahkan beberapa waktu lalu,Mahkamah
Konstitusi ”meresuti” tampilnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah. Namun
semua langkah di atas belum sepenuhnya menjadi pijakan bersama dalam membangun
kehidupan berwarga negara yang civilized.

Fenomena politik yang menyeruak belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung
mengotori demokrasi.Demokrasi pada titik ini tercederai oleh distingsi antara perilaku para
politisi dengan nilai-nilai yang dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Guncangan Politik

Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa setiap perubahan akan merangsang terjadinya
guncangan (disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara nilai baru dengan nilai
lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat
ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar kerangka nalarnya.

Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di tengah perubahan yang bergulir
begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan (a weakening
of social bonds and common values). Perilaku menyimpang dan pengebirian etika politik di
kalangan politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan tersebut. Mereka tidak siap untuk
menjalani perubahan yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka masih terjebak
dengan nilai (kesadaran) masa lalunya.

Konsekuensinya terjadi ledakan-ledakan anomalis yang memicu seseorang melampaui atau


mengancam etika politik. Hal ini terlihat dari beberapa guncangan politik yang terjadi
belakangan ini. Salah satunya adalah tuduhan yang dilontarkan mantan Wakil Ketua DPR RI
Zaenal Maarif terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagi kaum machiavellian
langkah yang dilakukan Zaenal merupakan hal yang lumrah.

Segala cara menjadi halal untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Atau dalam bahasa
Fukuyama agar guncangan dalam dirinya bisa ditekan sedemikian rupa dengan melemparkan
beragam isu tanpa peduli validitas dan eksesnya. Konsekuensinya muncul korban-korban
yang sejatinya tak perlu terjadi.

Dan ini berimplikasi lebih jauh karena sedikit banyak mengganggu kelancaran roda kerja
pemerintahan. Seorang SBY harus menyisakan pikiran dan perasaannya untuk merespon
fitnah yang dilontarkan mantan wakil ketua DPR RI. Pada titik ini politisasi isu yang dilontarkan
Zaenal sulit dibantah. Apalagi data-data yang dimiliki Zaenal diserahkan ke lembaga-lembaga
politik (DPR, MPR, & DPD), setelah sebelumnya dilempar ke ranah publik seiring pemecatan
dirinya sebagai wakil ketua DPR RI.

Dan bila isu ini dibiarkan, ia akan menjadi bola liar yang siap dimainkan oleh ragam
kepentingan menyongsong pemilu 2009.Wajar apabila presiden secara tegas membantah
sekaligus melaporkan isu murahan ini ke pihak berwajib agar diungkap fakta kebenarannya.
Karena itu pula, isu ini harus dibaca dalam konteks (etika) politik.

Etika dan Logika Politik

Etika politik merupakan kristalisasi dari nalar (logika) politik warga bangsa itu sendiri. Ia
merupakan muara sintesis dari logika-logika yang berkembang pada ranah publik demi
terbangunnya kohesi sosial. Pelanggaran terhadap etika politik dengan sendirinya
menandakan matinya nalar kebangsaan dan dapat mengancam integrasi sosial. Di tengah
eforia kebebasan, kepentingan sempit sangat mungkin dirayakan.

Atas nama kebebasan setiap kepentingan mendapat tempat aktualisasi tanpa peduli hak asasi
orang lain. Aturan main diabaikan untuk mencapai puncak kekuasaan yang mereka pahami
sebagai realitas yang inheren dalam politik. Karenanya, standar etika perlu ditegakkan melalui
barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris dan praksis. Dalam konteks itu,
Paul Ricoeur (1990) mengukur etika politik secara teleologis.

Menurutnya ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan
bersama dan untuk orang lain secara baik (to be a constituent in a ”‘good life’ with and for
others); memperluas ruang lingkup kebebasan; dan membangun institusiinstitusi yang adil
(just institutions). Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan
terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit.

Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka
kebaikan bersama. Bukan dalam rangka mendapatkan ”dunia runtuh”. Eksistensi
kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada
dalam koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh legislatif harus mengacu
pada kepentingan bersama (rakyat), bukan pada prestise lembaga apalagi vested interest.

Aspek kebersamaan ini berdiri sejajar dengan kebebasan. Kebersamaan mengandaikan


adanya ruang kebebasan yang luas, sehingga pluralitas warga bangsa tetap terawat. Semua
ini akan terjadi apabila ditopang oleh eksistensi institusi, termasuk lembaga hukum, yang adil.
Dan inilah yang hendak ditempuh Presiden SBY dalam merespon fitnah yang dilontarkan
Zaenal Maarif.

Semua warga apapun jabatan dan sukunya memiliki kesempatan yang sama untuk
mempertahankan martabat dirinya. Sejalan dengan itu, institusi hukum sebagai penentu atas
beragam kasus yang menyesatkan atau menyandera kebebasan dipertaruhkan keadilannya.

Etika politik pada akhirnya ditentukan oleh sejauhmana masing-masing warga negara
mengarahkan sikap dan perilakunya demi terciptanya kohesi sosial melalui cara-cara yang
bermartabat. Dan cara tersebut hanya bisa ditempuh melalui komunikasi dan persuasi, bukan
melalui manipulasi apalagi fitnah yang keji. (*)
MIFTAHUL A’LA

Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Matinya etika politik : http://uin-suka.info

Senin, 26-05-2008

BBM dan Etika Politik Tanpa Kesadaran

:: Mohamad Zainudin ::

Citizen reporter Mohamad Zainudin menuliskan ulasan tentang keputusan pemerintah


menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Ia berpendapat keputusan ini semakin
menegaskan miskinnya kesadaran etika politik pemerintah, yang sempat melontarkan janji
tidak akan menaikkan BBM setelah kenaikan harga yang dilakukan tahun 2005 silam. (p !)

Keputusan akhir yang diambil oleh pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada Jumat
(23/5) banyak mendatangkan keluhan dari berbagai pihak. Dalam konteks ini pemerintah
menggunakan UU APBN-P 2008, pasal 14 ayat (2), yang berbunyi, pemerintah dapat
mengambil langkah-langkah kebijakan yang diperlukan di bidang subsidi BBM dan/atau
langkah-langkah lain untuk mengamankan APBN 2008.

Namun, keputusan akhir terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak yang dimulai
semenjak Sabtu dini hari, dipandang sebagai kebijakan yang bersifat sepihak, dan semakin
memperuncing asumsi miskinnya kesadaran dalam etika politik yang digunakan oleh
pemerintah. Ragam demontrasi menolak kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh beberapa
kalangan, baik, mahasiswa, rakyat kecil maupun politisi, ternyata tidak mampu membuka kran
kesadaran pemerintah untuk mempertimbangkan ulang keputusan menaikkan harga bahan
bakar minyak.

Miskinnya kesadaran dalam etika politik yang dilakukan pemerintah selain banyak membebani
rakyat, di sisi lain, langkah yang diambil oleh pemerintah jelas-jelas tidak mengindahkan
kaidah-kaidah demokrasi. Pemerintah hanya berjalan dengan kebijakannya sendiri, padahal
dalam etika politik yang berpijak pada rambu-rambu demokrasi, keputusan yang menyangkut
kesejahteraan publik seharusnya dilaksanakan dengan jalan musyawarah mufakat.

Rakyat selaku pemberi kepercayaan (the beneficiary), seharusnya mempunyai porsi tertinggi
dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut kesejahteraan mereka dan bangsanya.
Namun pada kenyataan aksi demontrasi yang menyuarakan aspirasi dan keluhan rakyat,
dalam konteks kenaikan haraga BBM, hanya menjadi suara sumbang yang tidak pernah
didengarkan.

Etika politik

Dalam etika politik yang bernaung di bawah rambu-rambu demokrasi pemerintah hanya
berperan sebagai the trustee, yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan, yaitu
rakyat, kedudukan rakyat berada satu tingkat di atas pemerintah. Terkait dengan kenaikan
harga bahan bakar minyak pemerintah telah bertindak terlalu jauh dan melompati rambu-
rambu demokrasi yang melatari dinamika perpolitikan bangsa Indonesia.

Dalam UUD 45 dan ditegaskan dalam tubuh pancasila, sila keempat yang berbunyi;
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Adalah cermin pentingnya keputusan kolektif dalam sistem politik bangsa yang menganut
paham demokrasi. Pergolakan antara pemerintah dan rakyat merupakan satu hal yang biasa
dalam mewarnai dinamika perpolitikan yang bernaung dibawah paham demokrasi. Namun
rakyat selaku pemberi kepercayaan (the beneficiary), seharusnya menempati posisi tertinggi.
Karena pada dasarnya bangsa ini adalah milik rakyat, pemerintah hanya berperan sebagai
pengelola.
Sikap tak acuh pemerintah menanggapi aspirasi rakyat, dalam bentuk aksi demontrasi
merupakan indikasi semakin tergerusnya kesadaran pemerintah dengan status
keberadaannya dan pijakan politik yang dianut oleh bangsanya. Idealnya, kebijakan yang
diambil oleh pemerintah hendaknya seirama dengan kepentingan rakyat. Kebijakan kolektif
adalah sumber panutan yang harus menjadi basis pijakan dalam pengambilan kebijakan
menyangkut kesejahteraan rakyat dan bangsa.

Selama ini yang tercover dalam langkah-langkah kebijakan yang diambil pemerintah,
cendrung meletetakkan rakyat sebagai instrumental kebijakannya dan sama-sekali tidak
memiliki wewenang untuk menyuarakan aspirasinya. Kecerobohan pemerintah, dengan
mengedepankan target yang ingin dicapainya jelas-jelas bertabrakan dengan kepentingan
yang diprioritaskan oleh rakyat. Pasalnya, gejolak pertentangan kebijakan antara yang ingin
dicapai oleh permerintah dan rakyat, dalam sistem bangsa demokrasi memang kerapkali
mewarnai.

Adanya sistem demokrasi sebenarnya diharapkan mampu mewadahi kacamuk perbedaan


baik antara pemerintah dan rakyat, maupun di kelas masyarakat yang netobene berlatar sosio-
kultural berbeda. Dalam hal ini pemerintah sepatutnya mampu menampung aspirasi rakyat,
dan menyuarakannya dalam musyawarah nasional, terkait dengan kesejahteraan rakyat dan
bangsa kedepan. Pemotongan subsidi BBM dipredeksikan akan merembet pada naikknya
harga barang kebutuhan pokok, pada akhirnya akan lebih menyiksa kehidupan rakyat kecil.

Penting, fenomena tersebut dipertimbangkan terlebih awal oleh pemerintah sebelum


mengambil keputusan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak. Di satu sisi, pemerintah
dengan menaikkan harga minyak tanah lebih rendah dari harga bensin dan solar, dengan
klasifikasi, minyak tanah naik Rp500 perliter, solar Rp1200, perliter, dan bensin, Rp1.500,
perliter. Dengan harga semula, minyak tanah Rp2000, menjadi Rp 2.500 perliter, solar
Rp4.300 menjadi Rp5.500, perliter dan bensin Rp4.500 menjadi Rp6.000 perliter. Kebijakan
tersebut merupakan langkah awal yang diambil oleh pemerintah guna menunjukkan
keberpihakannya pada rakyat kecil.

Namun, akankah rakyat kecil akan membeli minyak tanah dengan harga yang telah ditentukan
tersebut, mengingat semakin sulitnya mereka harus membeli kebutuhan minyak tanah? Dalam
konteks ini pembacaan yang lakukan oleh pemerintah bisa dikategorikan gagal total, karena
tidak menutut kemungkinan i para penjual minyak tanah akan mempolitisir harga tersebut. Dan
pemerintah, tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para penjual minyak tanah jika kecurangan
itu harus terjadi dikemudian hari.

Dalam konteks ini, para wakil rakyat yang duduk di DPR harus dengan cermat melakukan
pembacaan terhadap kesejahteraan ditingkat rakyat kecil dengan naikknya harga bahan bakar
minyak tanah. Apabila terjadi pertentangan antara prioritas yang ingin dicapai oleh pemerintah
dengan keinginan rakyat, maka sudah sepatutnya keinginan rakyat untuk lebih dahulu dinomer
satukan .

Selama ini yang tercakup dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah, terkait dengan
kenaikan harga bahan bakar minyak hanya bersifat sepihak dan secara tidak langsung telah
menciptakan keberjarakan yang semakin terjal antara pemerintah dan rakyat. Implikasinya,
kepercayaan masyarakat pun semakin memudar. Padahal etika politik bukanlah suatu sistem
politik yang cukup berbelit-belit dan jelimet, etika politik dapat diartikan sebagai sejumlah nilai
luhur yang seharusnya diterapkan dalam setiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

Hans Kung menyebutkan; etika politik sebagai kewajiban hati nurani yang tidak difokuskan
pada apa yang baik atau benar secara abstrak, tetapi pada apa yang baik dan benar dalam
situasi tertentu. Permasalahannya, keputusan akhir yang diambil oleh pemerintah untuk
menaikkan harga bahan bakar minyak merupakan indikasi matinya kesadaran etika politik
pemerintah selama ini. (p!)

*Penulis adalah Pemerhati masalah sosial dan pembangunan pada The Indonesia View,
Yogyakarta dapat dihubungi melalui email jejen_ktl@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai