Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan orang yang homogen
dan mudah dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan pada mereka
akan selalu diterima. Fenomena tersebut melahirkan teori ilmu komunikasi yang
dikenal dengan teori peluru (Bullet Theory) atau biasanya disebut dengan teori
jarum suntik (Hypodermic Needle Theory). Teori ini menganggap bahwa media
massa memiliki kemampuan penuh dalam mempengaruhi seseorang.
Teori peluru ini merupakan konsep awal sebagai efek komunikasi massa
oleh para teoritis komunikasi pada tahun 1970-an. Teori ini ditampilkan pada
tahun 1950 an setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio CBS di
Amerika berjudul The Invasion From Mars. Wilbur Schramm pada tahun 1950
an itu mengatakan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru
komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif dan tidak berdaya.
Teori ini juga berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Teori ini
mengasumsikan bahwa komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar
dan juga lebih segalanya dari audience. Tetapi pada tahun 1970-an Scrhamm
meminta pada khalayak peminatnya agar teori peluru komunikasi itu tidak ada,
sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif.
Teori ini memiliki banyak istilah lain. Biasa kita sebut Hypodermic needle
(teori jarum suntik), Bullet Theory (teori peluru) transmition belt theory (teori
sabuk transmisi). Dari beberapa istilah lain dari teori ini dapat kita tarik satu
makna , yakni penyampaian pesannya hanya satu arah dan juga mempunyai efek
yang sangat kuat terhadap komunikan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat ditarik dari pembahasan di atas yaitu :
1. Bagaimana sejarah dari teori Bullet ?
2. Definisi dari teori Bullet ?
3. Bagaimana pengaruh teori Bullet ?
4. Bagaimana keterkaitan teori Bullet ?
5. Bagaimana ruang lingkup teori Bullet ?
6. Bagaimana manfaat dan fungsi dari teori bullet ?

7. Apa kelebihan dan kekurangan dari teori Bullet ?


C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, adapun tujuan yang ingin dicapai
yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Untuk mengetahui sejarah dari teori Bullet


Untuk mengetahui Definisi dari teori Bullet
Untuk mengetahui pengaruh teori Bullet
Untuk mengetahui keterkaitan teori Bullet
Untuk mengetahui ruang lingkup teori Bullet
Untuk mengetahui manfaat dan fungsi dari teori bullet
Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari teori Bullet

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Teori Bullet
Teori Peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa oleh para
pakar komunikasi tahun 1970-an yang dinamakan Hypodermic Needle Theory
(Teori Jarum Hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa
penyiaran kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika berjudul The
2

Invansion from Mars (Effendy.1993:264-265). Istilah model hypodermic neadle


timbul pada periode ketika komunikasi massa digunakan secara meluas, baik di
Eropa maupun di Amerika Serikat, yaitu sekitar 1930-an dan mencapai puncaknya
menjelang Perang Dunia II.
Pada periode ini kehadiran media massa baik media cetak maupun media
elektronik mendatangkan perubahan-perubahan besar di berbagai masyarakat
yang terjangkau oleh allpowerfull media massa. Penggunaan media massa secara
luas untuk keperluan komunikasi melahirkan gejala-gejala mass society. Individuindividu tampak seperti distandarisasikan,

diotomatisasikan

dan kurang

keterikatannya di dalam hubungannya antarpribadi (interpersonal relations).


Terpaan media massa (mass media exposure) tampak di dalam
kecenderungan adanya homogenitas cara-cara berpakaian, pola-pola pembicaraan,
nilai-nilai baru yang timbul sebagai akibat terpaan media massa, serta timbulnya
produksi masa yang cenderung menunjukan suatu kebudayaan masa. Pengaruh
media sebagai hypodermic injection (jarum suntik) didukung oleh munculnya
kekuatan propaganda Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Media massa memanipulasi kekuatan besar. Bukti-bukti mengenai
manipulasi kekuatan besar dari media massa ditunjukkan oleh peristiwa bersejarah
sebagai berikut :
1. Peranan surat-surat kabar Amerika yang berhasil menciptakan pendapat
umum positif ketika perang dengan Spanyol pada 1898. Surat-surat kabar itu
mampu membuat penduduk Amerika membedakan siapa kawan dan siapa
lawan.
2. Berhasilnya propaganda Goebbels dalam periode Perang Dunia II.
3. Pengaruh Madison Avenue atas perilaku konsumen dan dalam pemungutan
suara.
B. Definisi Teori Peluru
Teori peluru merupakan teori pertama tentang pengaruh atau efek
komunikasi massa terhadap khalayaknya. Teori peluru ini pertama kali
dikemukakan oleh Wilbur Schramm. Teori peluru ini diperkenalkan pada tahun
1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleideskop stasiun radio CBS di Amerika
yang berjudul The Invasion From Mars. Isi teori ini mengatakan bahwa rakyat
3

benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Ia menyebutkan pula


bahwa apabila pesan tepat sasaran, ia akan mendapatkan efek yang diinginkan.
Menurut Wilbur Schramm, pada tahun 1950-an, teori peluru adalah sebuah
proses di mana seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi
yang begitu ajaib kepada khalayak yang bersifat pasif tidak berdaya. Akan tetapi
dalam karya tulisnya yang diterbitkan pada awal tahun 1970-an, Schramm
meminta kepada para peminatnya agar teori peluru komunikasi itu dianggap tidak
ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif.
Teori peluru adalah Sebuah teori media yang memiliki dampak yang kuat
terhadap audiencenya sehingga tak jarang menimbulkan sebuah budaya baru dan
penyaampaiannya secara langsung dari komunikator yakni media kepada
komunikan ( audience ).
Pernyataan Schramm tentang pencabutan teorinya itu didukung oleh Paul
Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan bahwa jika khalayak
diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjerembab. Kadang-kadang
peluru itu tidak menembus. Adakalanya pula efek yang timbul berlainan dengan
tujuan si penembak, yaitu media massa. Seringkali pula khalayak yang dijadikan
sasaran senang untuk ditembak.
Sementara itu, Raymond Bauer menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak
pasif. Mereka bandel (stubborn). Secara aktif mereka mencari yang diinginkan
dari media massa. Jika menemukannya, lalu mereka langsung me-lakukan
penafsiran sesuai dengan kecenderungan dan kebutuhannya.
Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan para pakar
komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori peluru tadi. Kini timbul apa
yang dinamakan limitted effect model atau model efek terbatas, antara lain
penelitian Hovland yang dilakukan terhadap tentara dengan menayangkan
film.Hovland mengatakan bahwa pesan komunikasi efektif dalam menyebarkan
informasi, tetapi tidak dalam mengubah perilaku.
Selanjutnya penelitian Cooper dan Jahoda pun menunjukkan bahwa persepsi
(sudut pandang) yang selektif dapat mengurangi efektivitas sebuah pesan serta
penelitian Lazarsfeld dan kawan-kawan terhadap kegiatan pemilihan umum

menampakkan bahwa hanya sedikit saja orang-orang yang dijadikan sasaran


kampanye pemilihan umum yang terpengaruh oleh komunikasi massa.
Dari berbagai pemaparan di atas, kita sekarang tahu bahwa teori komunikasi ini terlalu disederhanakan. Sebuah pesan komunikasi massa tidak memiliki
efek yang sama pada masing-masing orang. Dampaknya pada seseorang
tergantung pada beberapa hal, termasuk karakteristik kepribadian seseorang dan
beragam aspek situasi serta konteks. Namun demikian, teori peluru merupakan
sebuah teori komunikasi massa yang dapat dimengerti dan ia tampaknya lahir dari
efektivitas nyata propaganda setelah Perang Dunia I. Di antaranya karena rakyat
begitu naif dan mempercayai kebohongan. Teori ini mungkin tidak lagi akan
bekerja baik sekarang, tapi pada waktu itu teori ini masih akurat.
Sampai saat ini, teori peluru mungkin belum mati. Ia muncul dalam
bentuk yang sedikit direvisi pada tulisan seorang filsuf Perancis Jacques Ellul
(1973). Ellul berpendapat bahwa propaganda jauh lebih efektif dibandingkan
analisa-analisa yang dibuat orang Amerika. Dia secara khusus menolak bukti dari
eksperimen-eksperimen, dan mengatakan bahwa propaganda adalah bagian dari
sebuah lingkungan total dan tidak dapat diduplikasikan dalam laboratorium. Ellul
berpendapat bahwa propaganda bersifat sangat meresap dalam kehidupan orang
Amerika sehingga sebagian besar dari kita tidak menyadarinya, tetapi ia mampu
mengontrol nilai-nilai kita. Tentunya, inti dari nilai-nilai ini adalah gaya hidup
orang Amerika.
Di Indonesia, contoh penerapan propaganda ini bisa dilihat pada iklan-iklan
produk kecantikan yang ditayangkan di TV. Sang pemasang iklan banyak
menyajikan keunggulan-keunggulan yang terdapat dalam produknya untuk
menarik perhatian para penonton. Walaupun pada kenyataannya, dari pesan keunggulan yang disampaikan tidak memberikan efek secara langsung dan hanya
berdampak pada sebagian orang dengan jenis kulit yang cocok. Dari sinilah, iklan
meluncurkan peluru atau propaganda berupa pesan keunggulan produknya dan
diterima para penonton yang mungkin sebagian dari mereka terkena pengaruhnya
dengan cara membeli produk kecantikan tersebut.

C. Pengaruh teori Peluru


Audience bisa dikelabui sedemikian rupa dari apa yang disiarkan oleh para
pengelola media. Karena teori ini mengansumsikan media massa mempunyai
pemikiran bahwa audience bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa
dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki oleh media. Seperti yang
dikatakan oleh Jason dan Anne Hill (1997), media massa dalam teori peluru
mempunyai efek langsung ditembakkan ke dalam ketidaksadaran audience.
Cerita singkat The invasion from mars Pada malam tanggal 30 Oktober
1938, ribuan orang Amerika panik karena siaran radio yang menggambarkan
serangan mahluk Mars yang mengancam seluruh peradaban manusia. Barangkali
tidak pernah terjadi sebelumnya, begitu banyak orang dari berbagai lapisan dan
berbagai tempat di Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang
tergoncangkan oleh apa yang terjadi pada waktu itu. Begitulah Hadley Cantril
memulai tulisannya tentang The Invasion of Mars.
Sebuah pemancar radio menyiarkan sandiwara Orson-Welles. Sandiwara ini
begitu hidup sehingga orang menduga bahwa yang terjadi adalah laporan
pandangan mata. Dalam cerita itu dihadirkan tokoh-tokoh fiktif seperti para
profesor dari beberapa observatorium dan perguruan tinggi yang terkenal, dan
Jenderal Montgommery Smith, panglima angkatan bersenjata. Pendengar
menganggapnya peristiwa sebenarnya. "Sebelum siaran itu berakhir", begitu
dilaporkan Centril, "diseluruh Amerika Serikat orang berdoa, menangis, melarikan
diri secara panik untuk menghindarkan kematian karena mahluk Mars.
Ada

yang

lari

menyelamatkan

kekasihnya,

ada

yang

menelpon

menyampaikan ucapan perpisahan atau peringatan, ada yang segera memberitahu


tetangga, mencari informasi dari surat kabar atau pemancar radio, memanggil
ambulance dan mobil polisi. Sekurang-kurangnnya satu juta manusia ketakutan
atau tergoncangkan mendengar siaran itu.
D. Keterkaitan teori
Peritiwa The invasion from mars itu menarik perhatian beberapa orang
peneliti sosial yang menurutnya suatu peristiwa langka telah terjadi. Peristiwa ini
6

juga menarik karena menggambarkan keperkasaan media massa dalam


mempengaruhi khalayaknya. Sekarang orang memandang media massa dengan
perasaan takut. Sementara itu, pada dasawarsa yang sama, jutaan pemilik radio
juga dipukau dan digerakkan oleh propagandis agama Father Coughlin ( Teknikteknik propaganda Coughlin dianalisa oleh Institute for Propaganda Analysis ).
Di Jerman, orang melihat bagaimana sebuah bangsa beradab diseret pada
kegilaan massa yang mengerikan. Jerman Nazi menggunakan media massa secara
maksimal. Media massa dikontrol dengan ketat oleh Kementerian Propaganda.
Menulis atau berbicara yang bertentangan dengan penguasa Nazi dapat membawa
orang pada kondisi-kondisi yang rawan. Oposisi dibungkam, hanya informasi
yang dirancang oleh penguasa yang boleh disebarkan. Radio diperbanyak untuk
menambah efektivitas mesin propaganda. Disamping Hitler, Mussolini di italia
juga memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya, di
Rusia juga Lenin berhasil merebut kekuasaan dengan menggunakan media massa
pula.
Menurut Noelle - Neumann, penelitian efek media massa selama empat
puluh tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa tidak perlu
diperhatikan, Efeknya tidak begitu berarti, ini diperkokoh oleh psikolog sosial
William McGuire yang menulis bahwa dampak media massa hasil pengukuran
dalam hubungannya dengan daya persuasif tampaknya kecil saja. Sejumlah besar
penelitian telah dilaksanakan untuk menguji efektivitas media massa, hasilnya
sangat memalukan bagi pendukung media massa karena ternyata sedikit sekali
adanya bukti perubahan sikap, apalagi perubahan perilaku nyata. Agak
mengherankan, memang. Pada satu sisi, kita melihat kejadian-kejadian yang
menunjukkan pengaruh media massa. Pada sisi lain, peneliti sosial menunjukkan
tidak ada pengaruh yang cukup berarti.
Penelitian efek komunikasi mengungkapkan pasang surut kekuatan media
massa. Dari media massa yang perkasa, kepada media massa yang berpengaruh
terbatas, dan kembali lagi pada media massa yang perkasa. Hingga tahun 1940,
pada

pasca

Perang

Dunia

I,

kekuatan

terhadap

propaganda

telah

mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat desrtasinya

tentang teknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for


Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan
oleh pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan
psikologi instink sedang populer di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan
media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975)
sebagai "instinctive S-R theory". Menurut teori ini, media menyajikan
stimuliperkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini
membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang hempir tidak terkontrol
oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respons yang sama pada stimili
yang datang dari media massa. Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak
berdaya ditembaki oleh stimulasi media massa. Teori ini disebut juga teori peluru
(bullet theory) atau model jarum hipodermis (Rakhmat, 1984), yang
menganalogikan pesan komunikasi seperti obat yang disuntikkan dengan jarum ke
bawah kulit pasian. Elisabeth Noelle - Neumann (1973) menyebut teori ini " The
concept of powerful mass media ".
Pada tahun 1960-an, Carl I. Hovland melakukan beberapa penelitian
eksperimantal untuk menguji efek film terhadap tentara. Ia dan kawan-kawannya
menemukan bahwa film hanya efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi
tidak dalam mengubah sikap. Cooper dan Jahooda meneliti pengaruh film " Mr.
Bigott" yang ditujukan untuk menghilangkan rasial. Mereka menemukan bahwa
persepsi selektif mengurangi efektivitas pesan. Serangan terbesar pada model
peluru adalah penelitian Paul Lazarsfeld dan kawan-kawan dari Columbia
University pada pemilu 1940. Mereka ingin mengetahui pengaruh media massa
dalam kampanye pemilu pada perilaku pemilih. Daerah sampel yang dipilih
adalah Erie County, di New York. Karena itu, penelitian mereka lazim dikenal
dengan sebutan Erie County Study.
Media massa hampir tidak berpengaruh sama sekali. Alih-alih sebagai
"Agent of conversion" ( Media untuk mengubah perilaku ), media massa lebih
berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Pengaruh media massa juga
disaring oleh pemuka pendapat. Pengaruh interpersonal ternyata lebih dominan
daripada media massa. Khalyak juga bukan lagi tubuh pasif yang menerima apa

saja yang disuntikkan ke dalamnya. Khalayak menyaring informasi melalui proses


yang disebut terpaan seletif (selective exposure) dan persepsi selektif (selective
perception)
Pada saat yang sama, Leon Festinger dari kubu Psikologi kognitif datang
dengan " theory of cognitive dissonance" (teoti disonansi kognitif). Teori ini
menyatakan bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan
ketidakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh
keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan
yang diyakininya. Berbagai penelitian 1940 dan 1950-an makin membuktikan
keterbatasan pengaruh media massa. Ahli sosiologi menyimpulkan penelitian pada
periode itu dengan ucapan yang sering dikutip karena ketepatan dan kelucuannya.
Pada tahun 1960, Joseph Klapper menerbitkan buku The Effects of Mass
Communication. Dari rangkuman hasil-hasil penelitian, Klapper antara lain
menyimpulkan bahwa efek komunikasi massa terjadi lewat serangkaian faktorfaktor perantara. Faktor-faktor perantara itu termasuk proses selektif ( persepsi
selektif, terpaan selektif, ingatan selektif, proses kelompok, norma kelompok, dan
kepemimpinen opini ).
McQuail merangkumkan semua penemuan penelitian pada periode ini
sebagai berikut :
1. Ada kesepakatan bahwa bila efek terjadi, efek itu sering kali berbentuk
peneguhan dari sikap dan pendapat yang ada.
2. Sudah jelas bahwa efek berbeda-beda tergantung pada prestise atau
penilaian terhadap sumber komunikasi.
3. Makin sempurna monopoli komunikasi massa, makin besar kemungkinan
perubahan pendapat dapat ditimbulkan pada arah yang dikehendaki.
4. Sejauh man suatu persoalan dianggap penting oleh khalayak akan
mempengaruhi kemungkinan pengaruh media massa ( komunikasi massa
efektif dalam menimbulkan pergeseran yang berkenaan dengan persoalan
yang tidak dikenal, tidak begitu dirasakan, atau tidak begitu penting."
5. Pemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh pendapat dan
kepentingan yang ada dan oleh norma-norma kelompok.

6. Sudah jelas juga bahwa struktur hubungan interpersonal pada khalayak


mengantarai arus isi komunikasi, membatasi, dan menetukan efek yang
terjadi.
Setelah para peneliti menyadari betapa sukarnya melihat efek madia massa
pada orang, para peneliti sekarang memperhatikan apa yang dilakukan orang
terhadap media. Fokus penelitian sekarang bergeser dari komunikator ke
komunikate, dari sumber ke penerima. Khalayak dianggap aktif menggunakan
media untuk memenuhi kebutuihannya. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan
pendekatan " uses and gratification " ( panggunaan dan pemuasan ).
Pendekatan ini pertama kali dinyatakan oleh Elihu Katz ( 1959 ) sebagai
reaksi terhadap Bernard Berelson yang mengatakan bahwa penelitian komunikasi
mengenai efek media massa sudah mati. Yang mulai hidup adalah penelitian
tentang usaha untuk menjawab pertanyaan : " what do people with the media ? ".
Karena penggunaan media adalah salah satu cara untuk memperoleh pemenuhan
kebutuhan, maka efek media sekarang didefinisikan sebagai situasi ketika
pemuasan kebutuhan tercapai. Model uses and gratification boleh disebut sebagai
model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper.
Model lain yang termasuk model efek moderat adalah pendekatan agenda
setting yang dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan Donald L. Shaw.
Model agenda setting tampaknya mempengaruhi kembali penelitian efek, yang
diabaikan oleh model uses and gratification. Perbedaanya yang utama dari model
jarum hipodermis adalah fokus penelitian. Bila model yang disebut terakhir
meletakkan perhatian pada efek media massa terhadap sikap dan pendapat, agenda
setting memusatkan perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan.
Dengan kata lain, fokus perhatian bergeser dari efek efektif ke efek kognitif.
Menurut teori ini, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang
untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang
dipikirkan orang. Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak
tentang apa yang dianggap penting. Bila media massa sering memuat nama
seseorang, maka orang itu akan cenderung dianggap tokoh yang penting.

10

Bila surat kabar memuat secara besar-besaran pernikahan seorang ratu, maka
pernikahan itu akan menjadi bahan pembicaraan khalak pula. Begitu pula bila
televisi sering menampilkan adegan kekerasan, orang rajin menontonnya akan
menganggap dunia ini penuh dengan tindakan-tindakan kejahatan. Pendeknya,
media massa memilih informasi yang dikehendaki berdasarkan informasi yang
diterima, dan khalayak membentuk persepsinya tentang berbagai peristiwa.
Mungkin ucapan Bernard Cohen ( ahli ilmu politik ), berhasil menyimpulkan
model agenda setting dengan dua kalimat sebagai berikut : " It may not be
successful much of the time in telling people what to think but it is stunningly
successful in telling its readers what to think about." ( Cohen, 1963:13 ). Model
agenda setting masih tetap dikembangkan sampai sekarang. Bersamaan dengan
itu, perlahan-lahan para peneliti kelihatan mau kembali kepada efek komunikasi
yang perkasa.
Pada awal 1970-an, kampanye media massa terbukti mempunyai efek yang
penting terhadap sikap dan perilaku. Mendelsonn ( 1973 ) menunjukkan
bagaimana kampanye CBS perihal keselamatan pengemudi telah mendorong 35
ribu pemirsa mendaftarkan diri pada kursus latihan mengemudi. Maccoby
mengkampanyekan kesehatan untuk mengurangi penderita penyakit jantung.
Di Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann dapat dianggap sebagai sarjana yang
menekankan pentingnya kembali kepada konsep efek perkasa dari media massa.
Menurut Noelle-Neumann, penelitian terdahulu tidak memperhatikan tiga faktor
penting dalam media massa. Faktor itu bekerja sama dalam membatasi persepsi
yang selektif. Faktor itu adalah ubiquity, kumulasi pesan, dan keseragaman
wartawan.
Ubiquity artinya serba ada. Media massa mampu mendominasi lingkungan
informasi dan berada dimana-mana. Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit
orang menghindari pesan media massa. Sementara itu, pesan-pesan media massa
bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong bergabung menjadi
satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu. Perulangan pesan yang berkali-kali
dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini diperkuat dengan

11

keseragaman para wartawan ( consonance of journalists ). Siaran berita cenderung


sama, sehingga mereka membentuk persepsinya berdasarakan.
Secara singkat, kita telah melacak perkembangan penelitian komunikasi dari
periode Perang Dunia I sampai sekarang. Kira-kira berlangsungnya dalam kurun
waktu kurang lebih setengah abad. Setengah abad memang tidak berarti apa-apa
dalam sejarah peradaban manusia. Namun beberapa puluh tahun terakhir ini,
dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan komunikasi yang jauh lebih cepat dari
pada apa yang terjadi selama puluhan ribu tahun sebelumnya. Mungkin orang
memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad technetronic
( teknologi elektronis ) yang akan datang. Tetapi, manusia bukanlah robot yang
pasif yang dikontrol lingkungan.Setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk
mengalami lingkungan secara fenomenologis.
E. Ruang lingkup teori peluru ( Bullet Theory )
Media Massa
Media massa dalam sejarahnya pernah memiliki kemampuan yang luar biasa
dalam mempengaruhi seseorang, mulai dari proses kognitif hingga menuntun
perilaku. Tapi hal ini terjadi pada jaman perang, dimana penguasa menjadikan
media massa sebagai alat propaganda untuk menakuti musuh dan menciptakan
loyalitas rakyat untuk mendukung kebijakan penguasa. Model komunikasi massa
yang berlaku pada saat itu adalah model linear, yaitu komunikator
menyebarluaskan pesan melalui media massa, kepada khalayak.
Sebenarnya, model komunikasi massa seperti ini masih ada hingga saat ini.
Hanya berbeda pada konsep karakteristik khalayak. Pada waktu itu, khalayak
dianggap hanya sekumpulan orang yang homogen dan tidak berdaya. Sehingga,
pesan-pesan yang disampaikan pada mereka akan selalu diterima bulat-bulat, apa
adanya. Fenomena ini kemudian melahirkan teori yang dalam ilmu komunikasi
dikenal dengan teori jarum suntik. Inilah teori yang menganggap media massa
memiliki kemampuan powerful dalam mempengaruhi perilaku seseorang.
Ketidakberdayaan khalayak memang disengaja. Kolaborasi penguasa
dengan media massa mendesain pesan sedemikian rupa dikenal dengan teori

12

agenda setting sebelum disampaikan pada masyarakat. Hanya informasi yang


menguntungkan pemerintah saja yang bisa disiarkan lewat media. Informasi yang
bertentangan dengan kepentingan penguasa, walaupun benar, akan dibuang.
Masyarakat juga tidak mendapatkan alternatif sumber informasi, karena pada
waktu itu media massa yang hidup hanya media yang bisa berkolaborasi dengan
pemerintah atau yang diciptakan oleh pemerintah (dan segala konsekuensi
biayanya ditanggung pemerintah).
Seiring dengan berakhirnya perang, pandangan atau teori jarum suntik mulai
ditinggalkan. Paradigma media massa seperti ini hanya bertahan di beberapa
negara otoriter. Di Amerika Serikat dan negara-negara penganut liberalisme dan
kapitalisme, teori jarum suntik sudah sangat lama ditinggalkan karena dalam
kenyataannya, khalayak ternyata tidak homogen dan terdiri atas individu-individu
yang bebas. Oleh karena itu, model hubungan media massa dengan khalayak yang
berkembang kemudian adalah model display attention (pameran perhatian). Di
Indonesia, trend per-kembangan media massa sedang dalam masa transisi ke arah
ini.
Model pameran perhatian, sebenarnya merupakan implikasi perubahan
paradigma media massa dari fungsi pelayanan menjadi industri dalam arti
sepenuhnya. Media massa saat ini sudah berubah menjadi entitas bisnis yang
dimiliki oleh satu atau beberapa investor dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Media mendapatkan keuntungan dari para pemasang iklan melalui pesan-pesan komersial yang disiarkannya. Para pemasang
iklan bersedia membayar mahal karena iklan-iklan mereka terbukti efektif
meningkatkan penjualan.
Pada sisi lain masyarakat membutuhkan informasi dari media massa,
termasuk juga informasi komersial. Terjadilah lingkaran simbiosis mutualis-me.
Pada fase ini, media massa bukan lagi barang langka. Dalam satu negara, bisa
terdapat puluhan bahkan ratusan media massa. Dan ini berarti, masyarakat sebagai
khalayak mendapatkan banyak sekali pilihan dan sumber informasi. Dalam
keadaan seperti ini, media massa tidak lagi powerful dalam mempengaruhi
seseorang. Media massa hanya menyampaikan informasi yang kira-kira (menurut

13

hasil penelitian mereka) dibutuhkan oleh khalayak, sekadar memamerkan. Sebut


saja seperti etalase informasi. Khalayaklah yang berkuasa dan akan memilih
informasi dari media massa sesuai dengan kebutuhannya.
Khalayak bisa menghukum media jika informasi yang disampaikan tidak
sesuai dengan kebutuhan khalayak. Caranya dengan beralih ke media yang lain.
Inilah fase, dimana media massa dan khalayak berada pada level yang sama.
Walaupun demikian, dalam interkasi media dan khalayak saat ini, model linear
sebenarnya tetap berlangsung, sehingga media massa tetap bisa berpengaruh
terhadap kognitif hingga perilaku seseorang. Tapi untuk mengkaji pengaruh pesan
pada khalayak, diperlukan lebih banyak variabel, antara lain jenis informasi yang
diikuti dari media, frekuensi dan intensitas mengikuti informasi tersebut, dan juga
variabel-variabel internal kahalayak sendiri seperti, tingkat pendidikan dan
wawasan, jenis kelamin, tingkat usia, dan kelompok sosial lainnya.
F. Manfaat dan fungsi
1. Teori Teori Peluru ( BulleTheory )
Berdasarkan teori ini, media massa seperti peluru yang di tembakkan
ke tengah masyarakat. Media massa di pandang sebagai jarum suntik untuk
mengalirkan obat ke dalam tubuh manusia. Media berperan secara otomatis
untuk memasukan pesan pesan ke pribadi pribadi dan masyarakat umum.
2. Pendekatan Rangsangan - tanggapan ( Stimulus - Respon )
Berdasarkan teori ini, media massa berperan untuk mendapatkan dan
melihat rangsangan ( respons ) yang menghasilkan reaksi dari masyarakat.
Artinya, media massa dapat berperan sebagai pemberi informasi kepada
masyarakat, sehingga media ikut menambah wawasan di tengah tengah
masyarakat.
G. Kelebihan dan kekurangan teori peluru ( bullet theory )
Pada dasarnya setiap theory memmpunyai kekuatan dan juga kelemahan.
Dan tentunya beberapa teori tersebut hanya bisa berkembang di masanya dan juga
mengalami penyempurnaan seperti teori ini yang juga terus mengalami
perkembangan.

14

1. Kelebihan teori peluru :


a. media memiliki peranan yang kuat dan dapat mempengaruhi aveksi,
kognisi dan behaviour dari audiencenya.
b. Pemerintah dalam hal ini adalah penguasa yang dapat memanfaatkan
media untuk kepentingan birokrasi ( negara otoriter )
c. Audience dapat lebih mudah di pengaruhi
d. Pesannya lebih mudah dipahami
e. Sedikit kontrol karena masyarakat masih dalam kondisi homogen.
2. Kekurangan teori peluru :
a. Keberadaan masyarakat yang tak lagi homogen dapat mengikis teori
ini tingkat pendidikan masyarakat yang semakin meningkat
b. Meningkatnya jumlah media massa sehingga masyarakat bisa
menentukan pilihan yang menarik bagi dirinya sendiri.
c. Adanya peran kelompok yang juga menjadi dasar audience untuk
menerima atau menolak pesan dari media tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu teori komunikasi massa dalam media adalah Bullet Theory atau
biasa yang disebut dengan teori peluru, artinya media massa sangat mempunyai
kekuatan penuh dalam menyampaikan informasi. Apapun pesan yang disiarkan
oleh media bisa dengan sendirinya dapat mempengaruhi khalayaknya. Teori ini
menyatakan bahwa efek-efek merupakan reaksi spesifik terhadap khalayak. Jika
seseorang menerapkan dan memprediksikan hubungan yang dekat antara pesan
media dan reaksi khalayak, maka media tersebut dapat menembakkan teori ini
tepat pada sasarannya.
Untuk mengkaji pengaruh pesan pada khalayak, diperlukan lebih banyak
fariabel, antara lain jenis informasi yang diikuti dari media, frekuensi dan
15

intensitas mengikuti informasi tersebut, dan juga variabel-variabel internal


khalayak sendiri seperti, tingkat pendidikan dan wawasan, jenis kelamin, tingkat
usia, dan kelompok sosial lainnya.
B. Saran
Komunikasi massa mempelajari hal yang terpenting dalam segala aspek,
untuk itu diperlukan upaya untuk menganalisa setiap pesan yang datang dari
media massa. Proses komunikasi massa dengan berbentuk peluru membutuhkan waktu, ruang, dan tempat yang luas kepada audience. Dalam konteks inilah
kita harus menegaskan kembali persepsi kita bahwa komunikasi itu bukan sesuatu
yang mudah. Karena itu, berbagai upaya terus menerus kita harus lakukan untuk
meningkatkan pengetahuan komunikasi kita dan kete-rampilan berkomunikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Bland Michael, dkk. 2001. Hubungan Media Yang Efektif. Jakarta : ERLANGGA.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filisafat Komunikasi. Cet. Ke-3. Citra
Aditya Bakti: Bandung. 2003.
J.Severin dan Tankard. 2008. Teori Komunikasi. Jakarta : Kencana: Media
Pressindo.
Mulyana Deddy. 2005. Konteks Konteks Komunikasi. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Notoatmodjo, Soekidjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet.
ke-2, Mei. Rineka Cipta: Jakarta. 2003.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : PT. Rajawali Pers.

16

Sumartono, Terperangkap dalam Iklan (Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi).


Alfabeta: Bandung. 2002.

17

Anda mungkin juga menyukai