BAB I
PENDAHULUAN
Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan orang yang homogen dan
mudah dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan pada mereka akan selalu
diterima. Fenomena tersebut melahirkan teori ilmu komunikasi yang dikenal dengan teori
peluru (Bullet Theory). Teori ini menganggap media massa memiliki kemampuan penuh
dalam mempengaruhi seseorang.
Teori peluru ini merupakan konsep awal sebagai effek komunikasi massa yang oleh
para teoritis komunikasipada tahun 1970-an. Teori ini ditampilkan pada tahun 1950 an setelah
peristiwa penyiaran kaleidoskop sta-siun radio CBS di Amerika berjudul The Invasion From
Mars. Wilbur Schramm pada tahun 1950 an itu mengatakan bahwa seorang komunikator
dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif tidak
berdaya. Tetapi pada tahun 1970-an Scrhamm meminta pada khalayak peminatnya agar teori
peluru komunikasi itu tidak ada, sebab khalayak yang men-jadi sasaran media massa itu
ternyata tidak pasif.
B. Esensi teori
Teori peluru (bullet theory) teori ini memandang bahwa komunikasi massa
memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi komunikan, efek yang ditimbulkan
rentan terhadap komunikasi massa. Menurut Jacques Ellul Sebuah teori komunikasi massa
yang lahir dari efektifitas propaganda, dimana propaganda jauh dianggap lebih efektif
dibandingkan analisa analisa sementara. Menurut Joseph Klapper teori peluru ialah
Komunikasi massa yang memiliki dampak atau efek umum yang mempengaruhi penguatan
sikap suatu komunitas masyarakat.
Aplikasi teori
Teori n telah diaplikasikan h banyak perusahaan sebagai salah satu cara ampuh
mempertahankan produk mrk pasaran, n tu bidang politik, teori n, digunakan
untuk mempertahankan keyakinan anggota suatu partai untuk tetap setia pada partai n
mrk anut n tk terbujuk nn seranganpartai lain. Begitu juga k m
kehidupan sehari-hari k kita ingin berusaha mempengaruhi orang lain nn pendapat
n kita yakini kita cenderung menggunakn teori n wuun m kegiatan n tk
kita sadari.
Rumusan Masalah
1. Studi kasus
BAB II
PEMBAHASAN
A. Studi kasus
Pada umumnya khalayak dianggap hanya sekumpulan orang yang homogen dan
mudah dipengaruhi. Sehingga, pesan-pesan yang disampaikan pa-da mereka akan selalu
diterima. Fenomena tersebut melahirkan teori ilmu komu-nikasi yang dikenal dengan teori
peluru (Hypodermic Needle Theory). Teori ini menganggap media massa memiliki
kemampuan penuh dalam mempengaruhi seseorang.
Media massa sangat perkasa dengan efek yang langsung pada masyarakat. Khalayak
dianggap pasif terhadap pesan media yang disampaikan. bila komunikator dalam hal ini
media massa menembakan peluru yakni pesan kepada khalayak, dengan mudah khalayak
menerima pesan yang disampaikan media. Teori ini makin powerfull ketika siaran radio
Orson Welles (1938) menyiarkan tentang invansi makhluk dari planet mars menyebabkan
ribuan orang di Amerika Serikat panik.
Teori ini berkembang di sekitar tahun 1930 hingga 1940an. Teori ini mengasumsikan
bahwa komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya
dari audience. dari teori ini dapat kita tarik satu makna , yakni penyampaian pesannya hanya
satu arah dan juga mempunyai efek yang sangat kuat terhadap komunikan. Dari beberapa
sumber teori ini bermakna:
1. Memprediksikan dampak pesan pesan komunikasi massa yang kuat dan kurang lebih
universal pada semua audience.[1]
2. Disini dapat dimaknai bahwa peran media massa di waktunya (sekitar tahun 1930an)
sangat kuat sehingga audience benar mengikuti apa yang ada dalam media massa.
3. Selain itu teori ini juga di maknai dalam teori peluru karena apa yang di sampaikan oleh
media langsung sampai terhadap audience.[2]
Sebuah teori media yang memiliki dampak yang kuat terhadap audiencenya sehingga
tak jarang menimbulkan sebuah budaya baru dan pe-nyaampaiannya secara langsung dari
komunikator yakni media kepada komuni-kan (audience). Kekuatan media yang begitu
dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif dan tak berdaya.
Contoh:
Tentang iklan kampanye calon presiden Susilo Bambang Yudoyono. Dengan iklan-
iklan di media yang menarik sehingga audience mudah dipe-ngaruhi apa lagi ditambah janji-
janji manis yang terdapat di iklan tersebut sehingga audience semakin terpengaruhi untuk
memilihnya. Yang pada akhirnya dia terpilih kembali menjadi presiden.Pemberitaan media
televisi tentang kasus Bibit-Candra yang mempengaruhi audience sehingga menimbulkan
efek yang sangat besar. Yang pada akhirnya menimbulkan demonstrasi dan gerakan
mendukung Bibit-Candra.
B. Teori Peluru
Teori peluru merupakan teori pertama tentang pengaruh atau efek komunikasi massa
terhadap khalayaknya. Teori peluru ini pertama kali dikemukakan oleh Wilbur Schramm.
Teori peluru ini diperkenalkan pada tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleideskop
stasiun radio CBS di Amerika yang berjudul The Invasion From Mars. Isi teori ini
mengatakan bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Ia
menyebutkan pula bahwa apabila pesan tepat sasaran, ia akan mendapatkan efek yang
diinginkan.
Menurut Wilbur Schramm, pada tahun 1950-an, teori peluru adalah sebuah proses di
mana seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada
khalayak yang bersifat pasif tidak berdaya. Akan tetapi dalam karya tulisnya yang diterbitkan
pada awal tahun 1970-an, Schramm meminta kepada para peminatnya agar teori peluru
komunikasi itu dianggap tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu
ternyata tidak pasif.
Pernyataan Schramm tentang pencabutan teorinya itu didukung oleh Paul Lazarsfeld
dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi,
mereka tidak jatuh terjerembab. Kadang-kadang peluru itu tidak menembus. Adakalanya pula
efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak, yaitu media massa. Seringkali pula
khalayak yang dijadikan sasaran senang untuk ditembak.
Sementara itu, Raymond Bauer menyatakan bahwa khalayak sasaran tidak pasif.
Mereka bandel (stubborn). Secara aktif mereka mencari yang diinginkan dari media massa.
Jika menemukannya, lalu mereka langsung me-lakukan penafsiran sesuai dengan
kecenderungan dan kebutuhannya.
Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan para pakar komunikasi yang
ternyata tidak mendukung teori peluru tadi. Kini timbul apa yang dinamakan limitted effect
model atau model efek terbatas, antara lain penelitian Hovland yang dilakukan terhadap
tentara dengan menayangkan film.Hovland mengatakan bahwa pesan komunikasi efektif
dalam menyebarkan informasi, tetapi tidak dalam mengubah perilaku.
Selanjutnya penelitian Cooper dan Jahoda pun menunjukkan bahwa persepsi (sudut
pandang) yang selektif dapat mengurangi efektivitas sebuah pesan serta penelitian Lazarsfeld
dan kawan-kawan terhadap kegiatan pemilihan umum menampakkan bahwa hanya sedikit
saja orang-orang yang dijadikan sasaran kampanye pemilihan umum yang terpengaruh oleh
komunikasi massa.
Dari berbagai pemaparan di atas, kita sekarang tahu bahwa teori komuni-kasi ini
terlalu disederhanakan. Sebuah pesan komunikasi massa tidak memiliki efek yang sama pada
masing-masing orang. Dampaknya pada seseorang tergantung pada beberapa hal, termasuk
karakteristik kepribadian seseorang dan beragam aspek situasi dan konteks. Namun demikian,
teori peluru merupakan sebuah teori komunikasi massa yang dapat dimengerti: ia
tampaknya lahir dari efektivitas nyata propaganda setelah Perang Dunia I. Di antaranya
karena rakyat begitu naif dan mempercayai kebohongan. Teori ini mungkin tidak lagi akan
bekerja baik sekarang, tapi pada waktu itu teori ini masih akurat.
Sampai saat ini, teori peluru mungkin belum mati. Ia muncul dalam bentuk yang
sedikit direvisi pada tulisan seorang filsuf Perancis Jacques Ellul (1973). Ellul berpendapat
bahwa propaganda jauh lebih efektif dibandingkan analisa-analisa yang dibuat orang
Amerika. Dia secara khusus menolak bukti dari eksperimen-eksperimen, dan mengatakan
bahwa propaganda adalah bagian dari sebuah lingkungan total dan tidak dapat diduplikasikan
dalam laboratorium. Ellul berpendapat bahwa propaganda bersifat sangat meresap dalam
kehidupan orang Amerika sehingga sebagian besar dari kita tidak menyadarinya, tetapi ia
mampu mengontrol nilai-nilai kita. Tentunya, inti dari nilai-nilai ini adalah gaya hidup orang
Amerika.
Di Indonesia, contoh penerapan propaganda ini bisa dilihat pada iklan-iklan produk
kecantikan yang ditayangkan di TV. Sang pemasang iklan banyak menyajikan keunggulan-
keunggulan yang terdapat dalam produknya untuk menarik perhatian para penonton.
Walaupun pada kenyataannya, dari pesan ke-unggulan yang disampaikan tidak memberikan
efek secara langsung dan hanya berdampak pada sebagian orang dengan jenis kulit yang
cocok. Dari sinilah, iklan meluncurkan peluru atau propaganda berupa pesan keunggulan
produknya dan diterima para penonton yang mungkin sebagian dari mereka terkena
pengaruhnya dengan cara membeli produk kecantikan tersebut.
Audience bisa dikelabui sedemikian rupa dari apa yang disiarkan oleh para pengelola
media. Karena teori ini mengansumsikan media massa mempunyai pemikiran bahwa
audience bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa dibentuk dengan cara apapun
yang dikehendaki oleh media. Seperti yang dikatakan oleh Jason dan Anne Hill (1997), media
massa dalam teori peluru mempunyai efek langsung ditembakkan ke dalam ketidaksadaran
audience.
Pada malam tanggal 30 Oktober 1938, ribuan orang Amerika panik karena siaran
radio yang menggambarkan serangan mahluk Mars yang mengancam seluruh peradaban
manusia. Barangkali tidak pernah terjadi sebelumnya, begitu banyak orang dari berbagai
lapisan dan berbagai tempat di Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang
tergoncangkan oleh apa yang terjadi pada waktu itu. Begitulah Hadley Cantril memulai
tulisannya tentang The Invasion of Mars.[3]
Ada yang lari menyelamatkan kekasihnya, ada yang menelpon menyampaikan ucapan
perpisahan atau peringatan, ada yang segera memberitahu tetangga, mencari informasi dari
surat kabar atau pemancar radio, memanggil ambulance dan mobil polisi. Sekurang-
kurangnnya satu juta manusia ketakutan mendengar siaran itu. Sekurang-kurangnya satu juta
manusia ketakutan atau tergoncangkan.
Keterkaitan teori
Peritiwa The invasion from mars itu menarik perhatian beberapa orang peneliti
sosial yang menurutnya suatu peristiwa langka telah terjadi. Peristiwa ini juga menarik
karena menggambarkan keperkasaan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya.
Sekarang orang memandang media massa dengan perasaan ngeri. Sementara itu, pada
dasawarsa yang sama, jutaan pemilik radio juga dipukau dan digerakkan oleh propagandis
agama Father Coughlin ( Teknik-teknik propaganda Coughlin dianalisa oleh Institute for
Propaganda Analysis ).
Di Jerman, orang melihat bagaimana sebuah bangsa beradab diseret pada kegilaan
massa yang mengerikan. Jerman Nazi menggunakan media massa secara maksimal. Media
massa dikontrol dengan ketat oleh Kementerian Propaganda. Menulis atau berbicara yang
bertentangan dengan penguasa Nazi dapat membawa orang pada kamp-kamp konsentrasi.
Oposisi dibungkam. Hanya informasi yang dirancang oleh penguasa yang boleh disebarkan.
Radio diperbanyak untuk menambah efektivitas mesin propaganda. Disamping Hitler,
Mussolini di italia juga memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya,
di Rusia juga Lenin berhasil merebut kekuasaan dengan menggunakan media massa pula.
Tetapi benarkah media massa perkasa ? Menurut Noelle - Neumann, penelitian efek
media massa selama empat puluh tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa
tidak perlu diperhatikan, Efeknya tidak begitu berarti, ini diperkokoh oleh psikolog sosial
William McGuire yang menulis bahwa dampak media massa hasil pengukuran dalam
hubungannya dengan daya persuasif tampaknya kecil saja. Sejumlah besar penelitian telah
dilaksanakan untuk menguji efektivitas media massa, hasilnya sangat memalukan bagi
pendukung media massa karena ternyata sedikit sekali adanya bukti perubahan sikap, apalagi
perubahan perilaku nyata. Agak mengherankan, memang. Pada satu sisi, kita melihat
kejadian-kejadian yang menunjukkan pengaruh media massa. Pada sisi lain, peneliti sosial
menunjukkan tidak ada pengaruh yang cukup berarti. Manakah yang betul ? Perkasakah
media massa atau tidak ?
Penelitian efek komunikasi mengungkapkan pasang surut kekuatan media massa. Dari
media massa yang perkasa, kepada media massa yang berpengaruh terbatas, dan kembali lagi
pada media massa yang perkasa. Hingga tahun 1940, pada pasca Perang Dunia I, kekuatan
terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat
desrtasinya tentang teknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for
Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta
radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi instink sedang
populer di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan
apa yang disebut Melvin DeFleur ( 1975 ) sebagai "instinctive S-R theory". Menurut teori ini,
media menyajikan stimuliperkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini
membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang hempir tidak terkontrol oleh individu.
Setiap anggota massa memberikan respons yang sama pada stimili yang datang dari media
massa.[4] Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh
stimulimedia massa. Teori ini disebut juga teori peluru ( bullet theory ) atau modedl jarum
hipodermis ( Rakhmat, 1984 ), yang menganalogikan pesam komunikasi seperti obat yang
disuntikkan dengan jarum ke bawah kulit pasian. Elisabeth Noelle - Neumann ( 1973 )
menyebut teori ini " The concept of powerful mass media ".
Apa yang ditemukan Paul Lazarsfeld ? Mengejutkan. Media massa hampir tidak
berpengaruh sama sekali. Alih-alih sebagai " Agent of conversion " ( Media untuk mengubah
perilaku ), media massa lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Pengaruh
media massa juga disaring oleh pemuka pendapat. Pengaruh interpersonal ternyata lebih
dominan daripada media massa. Khalyak juga bukan lagi tubuh passif yang menerima apa
saja yang disuntikkan ke dalamnya. Khalayak menyaring informasi melalui proses yang
disebut terpaan seletif (selective exposure) dan persepsi selektif (selective perception).
Pada saat yang sama, Leon Festinger dari kubu Psikologi kognitif datang dengan "
theory of cognitive dissonance" (teoti disonansi kognitif). Teori ini menyatakan bahwa
individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih
informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang
bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya. Berbagai penelitian 1940 dan 1950-an
makin membuktikan keterbatasan pengaruh media massa. Ahli sosiologi menyimpulkan
penelitian pada periode itu dengan ucapan yang sering dikutip karena ketepatan dan
kelucuannya. Pada tahun 1960, Joseph Klapper menerbitkan buku The Effects of Mass
Communication. Dari rangkuman hasil-hasil penelitian, Klapper antara lain menyimpulkan
bahwa efek komunikasi massa terjadi lewat serangkaian faktor-faktor perantara. Faktor-faktor
perantara itu termasuk proses selektif ( persepsi selektif, terpaan selektif, ingatan selektif,
proses kelompok, norma kelompok, dan kepemimpinen opini ).
McQuail merangkumkan semua penemuan penelitian pada periode ini sebagai berikut :
1. Ada kesepakatan bahwa bila efek terjadi, efek itu sering kali berbentuk peneguhan dari
sikap dan pendapat yang ada.
2. Sudah jelas bahwa efek berbeda-beda tergantung pada prestise atau penilaian terhadap
sumber komunikasi.
4. Sejauh man suatu persoalan dianggap penting oleh khalayak akan mempengaruhi
kemungkinan pengaruh media massa ( komunikasi massa efektif dalam menimbulkan
pergeseran yang berkenaan dengan persoalan yang tidak dikenal, tidak begitu dirasakan, atau
tidak begitu penting."
5. Pemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh pendapat dan kepentingan
yang ada dan oleh norma-norma kelompok.
6. Sudah jelas juga bahwa struktur hubungan interpersonal pada khalayak mengantarai
arus isi komunikasi, membatasi, dan menetukan efek yang terjadi.[5]
Setelah para peneliti menyadari betapa sukarnya melihat efek madia massa pada
orang, para peneliti sekarang memperhatikan apa yang dilakukan orang terhadap media.
Fokus penelitian sekarang bergeser dari komunikator ke komunikate, dari sumber ke
penerima. Khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuihannya.
Pendekatan ini kemudian dikenal dengan pendekatan " uses and gratification " ( panggunaan
dan pemuasan ).
Pendekatan ini pertama kali dinyatakan oleh Elihu Katz ( 1959 ) sebagai reaksi
terhadap Bernard Berelson yang mengatakan bahwa penelitian komunikasi mengenai efek
media massa sudah mati. Yang mulai hidup adalah penelitian tentang usaha untuk menjawab
pertanyaan : " what do people with the media ? ". Karena penggunaan media adalah salah
satu cara untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan, maka efek media sekarang didefinisikan
sebagai situasi ketika pemuasan kebutuhan tercapai. Model uses and gratification boleh
disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari
Klapper.
Model lain yang termasuk model efek moderat adalah pendekatan agenda setting yang
dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan Donald L. Shaw. Model agenda setting
tampaknya mempengaruhi kembali penelitian efek, yang diabaikan oleh model uses and
gratification. Perbedaanya yang utama dari model jarum hipodermis adalah fokus penelitian.
Bila model yang disebut terakhir meletakkan perhatian pada efek media massa terhadap sikap
dan pendapat, agenda setting memusatkan perhatian pada efek media massa terhadap
pengetahuan. Dengan kata lain, fokus perhatian bergeser dari efek efektif ke efek kognitif.
Menurut teori ini, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk
mengubah sikap, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang.
Ini berarti media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting.
Bila media massa sering memuat nama seseorang, maka orang itu akan cenderung dianggap
tokoh yang penting.
Bila surat kabar memuat secara besar-besaran pernikahan seorang ratu, maka
pernikahan itu akan menjadi bahan pembicaraan khalak pula. Begitu pula bila televisi sering
menampilkan adegan kekerasan, orang rajin menontonnya akan menganggap dunia ini penuh
dengan tindakan-tindakan kejahatan. Pendeknya, media massa memilih informasi yang
dikehendaki berdasarkan informasi yang diterima, dan khalayak membentuk persepsinya
tentang berbagai peristiwa. Mungkin ucapan Bernard Cohen ( ahli ilmu politik ), berhasil
menyimpulkan model agenda setting dengan dua kalimat sebagai berikut : " It may not be
successful much of the time in telling people what to think but it is stunningly successful in
telling its readers what to think about." ( Cohen, 1963:13 ). Model agenda setting masih tetap
dikembangkan sampai sekarang. Bersamaan dengan itu, perlahan-lahan para peneliti
kelihatan mau kembali kepada efek komunikasi yang perkasa.
Pada awal 1970-an, kampanye media massa terbukti mempunyai efek yang penting
terhadap sikap dan perilaku. Mendelsonn ( 1973 ) menunjukkan bagaimana kampanye CBS
perihal keselamatan pengemudi telah mendorong 35 ribu pemirsa mendaftarkan diri pada
kursus latihan mengemudi. Maccoby mengkampanyekan kesehatan untuk mengurangi
penderita penyakit jantung.
Ubiquity artinya serba ada. Media massa mampu mendominasi lingkungan informasi
dan berada dimana-mana. Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari
pesan media massa. Sementara itu, pesan-pesan media massa bersifat kumulatif. Berbagai
pesan yang sepotong-sepotong bergabung menjadi satu kesatuan setelah lewat waktu tertentu.
Perulangan pesan yang berkali-kali dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini
diperkuat dengan keseragaman para wartawan ( consonance of journalists ). Siaran berita
cenderung sama, sehingga mereka membentuk persepsinya berdasarakan.
Secara singkat, kita telah melacak perkembangan penelitian komunikasi dari periode
Perang Dunia I sampai sekarang. Kira-kira berlangsungnya dalam kurun waktu kurang lebih
setengah abad. Setengah abad memang tidak berarti apa-apa dalam sejarah peradaban
manusia. Namun beberapa puluh tahun terakhir ini, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan
komunikasi yang jauh lebih cepat dari pada apa yang terjadi selama puluhan ribu tahun
sebelumnya. Mungkin orang memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad
technetronic ( teknologi elektronis ) yang akan datang. Tetapi, manusia bukanlah robot yang
pasif yang dikontrol lingkungan.Setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk mengalami
lingkungan secara fenomenologis.
1. Media Massa
Media massa dalam sejarahnya pernah memiliki kemampuan yang luar biasa dalam
mempengaruhi seseorang, mulai dari proses kognitif hingga menuntun perilaku. Tapi hal ini
terjadi pada jaman perang, dimana penguasa menjadikan media massa sebagai alat
propaganda untuk menakuti musuh dan menciptakan loyalitas rakyat untuk mendukung
kebijakan penguasa. Model komunikasi massa yang berlaku pada saat itu adalah model
linear, yaitu komunikator menyebarluaskan pesan melalui media massa, kepada khalayak.
Sebenarnya, model komunikasi massa seperti ini masih ada hingga saat ini. Hanya
berbeda pada konsep karakteristik khalayak. Pada waktu itu, khalayak dianggap hanya
sekumpulan orang yang homogen dan tidak berdaya. Sehingga, pesan-pesan yang
disampaikan pada mereka akan selalu diterima bulat-bulat, apa adanya. Fenomena ini
kemudian melahirkan teori yang dalam ilmu komunikasi dikenal dengan teori jarum suntik.
Inilah teori yang menganggap media massa memiliki kemampuan powerful dalam
mempengaruhi perilaku seseorang.
Seiring dengan berakhirnya perang, pandangan atau teori jarum suntik mulai
ditinggalkan. Paradigma media massa seperti ini hanya bertahan di beberapa negara otoriter.
Di Amerika Serikat dan negara-negara penganut liberalisme dan kapitalisme, teori jarum
suntik sudah sangat lama ditinggalkan karena dalam kenyataannya, khalayak ternyata tidak
homogen dan terdiri atas individu-individu yang bebas. Oleh karena itu, model hubungan
media massa dengan khalayak yang berkembang kemudian adalah model display attention
(pameran perhatian). Di Indonesia, trend per-kembangan media massa sedang dalam masa
transisi ke arah ini.
Pada sisi lain masyarakat membutuhkan informasi dari media massa, termasuk juga
informasi komersial. Terjadilah lingkaran simbiosis mutualis-me. Pada fase ini, media massa
bukan lagi barang langka. Dalam satu negara, bisa terdapat puluhan bahkan ratusan media
massa. Dan ini berarti, masyarakat sebagai khalayak mendapatkan banyak sekali pilihan dan
sumber informasi. Dalam keadaan seperti ini, media massa tidak lagi powerful dalam
mempengaruhi seseorang. Media massa hanya menyampaikan infor-masi yang kira-kira
(menurut hasil penelitian mereka) dibutuhkan oleh khalayak, sekadar memamerkan. Sebut
saja seperti etalase informasi. Khalayaklah yang berkuasa dan akan memilih informasi dari
media massa sesuai dengan kebutuhannya.
Khalayak bisa menghukum media jika informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan
kebutuhan khalayak. Caranya dengan beralih ke media yang lain. Inilah fase, dimana media
massa dan khalayak berada pada level yang sama. Walaupun demikian, dalam interkasi media
dan khalayak saat ini, model linear sebenarnya tetap berlangsung, sehingga media massa
tetap bisa berpengaruh terhadap kognitif hingga perilaku seseorang. Tapi untuk mengkaji
pengaruh pesan pada khalayak, diperlukan lebih banyak fariabel, antara lain jenis informasi
yang diikuti dari media, frekuensi dan intensitas mengikuti informasi tersebut, dan juga
variabel-variabel internal kahalayak sendiri seperti, tingkat pendidikan dan wawasan, jenis
kelamin, tingkat usia, dan kelompok sosial lainnya.
Berdasarkan teori ini, media massa seperti peluru yang di tembakkan ke tengah
masyarakat. Media massa di pandang sebagai jarum suntik untuk mengalirkan obat ke dalam
tubuh manusia. Media berperan secara otomatis untuk memasukan pesan pesan ke pribadi
pribadi dan masyarakat umum.
Berdasarkan teori ini, media massa berperan untuk mendapatkan dan melihat rangsangan
( respons ) yang menghasilkan reaksi dari masyarakat. Artinya, media massa dapat berperan
sebagai pemberi informasi kepada masyarakat, sehingga media ikut menambah wawasan di
tengah tengah masyarakat.
Pada dasarnya setiap theory memmpunyai kekuatan dan juga kelemahan. Dan
tentunya beberapa teori tersebut hanya bisa berkembang di masanya dan juga mengalami
penyempurnaan seperti teori ini yang juga terus mengalami perkembangan.
a. media memiliki peranan yang kuat dan dapat mempengaruhi aveksi, kognisi dan
behaviour dari audiencenya.
b. Pemerintah dalam hal ini adalah penguasa yang dapat memanfaatkan media untuk
kepentingan birokrasi ( negara otoriter )
a. keberadaan masyarakat yang tak lagi homogen dapat mengikis teori ini
tingkat pendidikan masyarakat yang semakin meningkat
b. Meningkatnya jumlah media massa sehingga masyarakat bisa menentukan pilihan yang
menarik bagi dirinya sendiri.
c. Adanya peran kelompok yang juga menjadi dasar audience untuk menerima atau
menolak pesan dari media tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu teori komunikasi massa dalam media adalah Bullet Theory atau biasa yang
disebut dengan teori peluru, artinya media massa sangat mempunyai kekuatan penuh dalam
menyampaikan informasi. Apapun pesan yang disiarkan oleh media bisa dengan sendirinya
dapat mempengaruhi khalayaknya. Teori ini menyatakan bahwa efek-efek merupakan reaksi
spesifik terhadap khalayak. Jika seseorang menerapkan dan memprediksikan hubungan yang
dekat antara pesan media dan reaksi khalayak, maka media tersebut dapat menembakkan
teori ini tepat pada sasarannya.
Untuk mengkaji pengaruh pesan pada khalayak, diperlukan lebih banyak fariabel,
antara lain jenis informasi yang diikuti dari media, frekuensi dan intensitas mengikuti
informasi tersebut, dan juga variabel-variabel internal khalayak sendiri seperti, tingkat
pendidikan dan wawasan, jenis kelamin, tingkat usia, dan kelompok sosial lainnya.
B. Saran
Komunikasi massa mempelajari hal yang terpenting dalam segala aspek, untuk itu
diperlukan upaya untuk menganalisa setiap pesan yang datang dari media massa. Proses
komunikasi massa dengan berbentuk peluru membutuh-kan waktu, ruang, dan tempat yang
luas kepada audience. Dalam konteks inilah kita harus menegaskan kembali persepsi kita
bahwa komunikasi itu bukan sesuatu yang mudah. Karena itu, berbagai upaya terus menerus
kita harus lakukan untuk meningkatkan pengetahuan komunikasi kita dan kete-rampilan
berkomunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filisafat Komunikasi. Cet. Ke-3. Citra Aditya
Bakti: Bandung. 2003.
Notoatmodjo, Soekidjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei.
Rineka Cipta: Jakarta. 2003.
Sumartono, Terperangkap dalam Iklan (Meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi). Alfabeta:
Bandung. 2002.
Mulyana Deddy. 2005. Konteks Konteks Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Bland Michael, dkk. 2001. Hubungan Media Yang Efektif. Jakarta : ERLANGGA.