Anda di halaman 1dari 20

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS

PADJADJARAN

Teori Agenda Setting


Tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi

2016
Dosen Pengampu: M. Jamiluddin Nur
Dr. Antara Venus, (210120160024)
MA, Comm

[Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Hegarmanah, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat 45363
Latar Belakang

Pertama-tama, perlu kiranya penulis jelaskan bahwa latar belakang dari pembuatan
tulisan ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata kuliah teori komunikasi. Selain itu, latar
belakang tulisan ini adalah karena penulis bermaksud untuk memberikan pemahaman kepada
pembaca tentang teori agenda setting media. Tulisan ini berasal dari berbagai sumber yang
membahas tentang teori agenda setting. Adapun fokus dari tulisan ini adalah untuk membahas
beberapa hal terkait agenda setting seperti Apakah yang dimaksud dengan agenda setting media?
Apa saja asumsi dasar teori agenda setting? Bagaimanakah sejarah dan perkembangan pemikiran
dan asumsi teori agenda setting media? Siapakah yang menentukan agenda setting media?
Bagaimanakah jenis pengaruh dalam agenda setting media? Bagaimanakah agenda setting
bekerja?. Makalah ini juga membahas hal-hal yang relevan dengan teori agenda setting.

Pembahasan

1. Perkembangan Pemikiran, Pengertian Agenda Setting dan Asumsi Agenda Setting

Dalam dunia riset komunikasi, ada begitu banyak teori dan hipotesis yang berkembang.
Masing-masing teori memiliki asumsi masing-masing. Perkembangan akan teori ini pun
berangkat dari beragam perspektif dan juga tradisi. Dalam buku Littlejohn saja, setidaknya ada
tujuh tradisi teori yang ada dalam ilmu komunikasi yakni tradisi semiotic, sibernetika,
sosiopsikologis, fenomonologis, sosiokultural, kritik dan retorika. Teori agenda setting sendiri
masuk dalam tradisi sosiopsikologis. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Little John dalam
bukunya Theoriesof Human Communication yang mengatakan bahwa “ Beberapa tema berbeda
dalam tradisi sosiopsikologis yakni mengenai bagaimana perilaku individu dapat diprediksi,
bagaimana individu mempertimbangkan dan mengakomodasi situasi-situasi komunikasi yang
berbeda, bagaimana pelaku komunikasi mengadaptasi perilaku mereka, bagaimana informasi
diasimilasi, diatur, serta digunakan dalam menyusun rencana-rencana dan strategi pesan,
dengan logika apa manusia membuat keputusan tentang bentuk pesan yang hendak digunakan,
bagaimana makna direpresentasikan dalam pikiran, bagaimana manusia menghubungkan
penyebab-penyebab perilaku, bagaimana informasi diintegrasi kan untuk membentuk sikap dan
kepercayaan, bagaimana sikap berubah, bagaimana ekspektasi dibentuk dalam interaksi dengan
orang lain, apa yang terjadi ketika ekspektasi tidak tercapai” (Little John, 2014).
Perkembangan teori dan asumsi dari sebuah teori kemudian berkembang sedemikian
rupa, tidak terkecuali terkait teori dalam media massa. Diantara berbagai asumsi tentang efek
komunikasi massa, salah satu yang masih bertahan dan berkembang pada tahun-tahun
belakangan ini menyatakan bahwa media massa, dengan memperhatikan beberapa isu tertentu
dan mengabaikan yang lainnya, akan memengaruhi opini publik. Orang cenderung mengetahui
tentang hal-hal yang disajikan oleh media massa dan menerima susunan prioritas yang ditetapkan
media massa terhadap berbagai isu tersebut. Asumsi ini berhasil lolos dari keraguan para peneliti
komunikasi massa karena asumsi ini menyangkut pemahaman (learning), bukan perubahan sikap
atau perubahan opini (Ardianto,dkk, 2009: 76).

Pengertian mengenai dapat ditemukan dari beragam literature seperti yang menyebutkan
definisi agenda setting merupakan teori yang berasumsi bahwa jika media melakukan penekanan
terhadap isu tertentu maka akan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat (Bungin, 2006).
Sementara itu, Rahkmat (2011) mengatakan teori agenda setting dimulai dengan asumsi bahwa
media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya.

Perkembangan hipotesis penentuan agenda terjadi ketika para peneliti menjadi tidak puas
dengan posisi teoritis yang dominan dalam riset komunikasi massa selama tahun 1950-an dan
1960-an yakni model dampak terbatas. Josep Klapper (1960) menyatakan model ini dengan baik
dalam bukunya The Effects of Mass Communication ketika dia dia menulis “media massa
biasanya tidak berfungsi sebagai penyebab yang perlu dan memadai dari dampak audiensi,
melainkan berfungsi si antara dan melalui hubungan dari foktor-faktor dan pengaruh-pengaruh
penengah”.

Bagi sebagian orang, gagasan bahwa media massa biasanya tidak berpengaruh apapun
justru tidak tampak sangat beralasan. Para peneliti juga mulai mempertimbangkan bahwa
kemungkinan mereka mencari dampak di tempat yang salah. Selama bertahun-tahun, pendekatan
yang digunakan dalam riset komunikasi adalah mencari perubahan kecil dalam bidang ini. Tetapi
mungkin peneliti melihat sasaran yang salah. Mungkin media massa berdampak pada persepsi
orang-pandangan mereka terhadap dunia-daripada pada sikap mereka.

Perubahan pemikiran yang dialami para peneliti komunikasi ini mungkin juga dikuatkan
oleh perubahan yang ada pada saat yang sama berlangsung dalam bidang psikologi. Tahun 1950-
an menandakan munculnya psikologi kognitif sebagai saingan dari pendekatan yang dominan,
behaviorisme. Behaviorisme menekankan pentingnya penguatan, penghargaan dan hukuman,
serta pengondisian dalam membentuk tingkah laku, dan juga berusaha untuk menggunakan
konsep-konsep tersebut bahkan untuk menjelaskan pikiran dan bahasa. Psikologi kognitif
sebaliknya, melihat manusia sebagai pencari pengetahuan yang aktif dan bertindak di dunia
berdasarkan pengetahuan ini (Neisser,1967).

Dalam pandangan ini orang dilihat sebagai pemecah masalah daripada sebagai objek
pengkondisian atau manipulasi. Psikologi kognitif berkenaan dengan “gambaran” dunia yang
dibangun orang di kepalanya dan bagaimana orang mulai membangun dunia itu. Hipotesis
penentuan agenda dengan menyelidiki keutamaan atau kepentingan yang diberikan orang pada
isu-isu tertentu dan bagaimana keutamaan ini dicapai, sangat sesuai dengan psikologi kognitif.

Asumsi agenda setting menawarkan kemungkinan-kemungkinan efek terhadap opini,


karena pada dasarnya, yang ditawarkan adalah suatu fungsi belajar dari media massa. Agenda
setting model menghidupkan kemabali model jarum hipodermik, tetapi focus penelitian telah
bergeser dari efek pada sikap dan pendapat kepada efek kesadaran dan efek pengetahuan
(Ardianto,dkk 2009).

Hubungan yang kuat antara berita yang disampaikan media dengan isu-isu yang dinilai
penting oleh public merupakan salah satu jenis efek media massa yang dinamakan dengan
agenda setting. Istiilah “agenda setting” diciptakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw
(1972-1993), dua peneliti dari Universitas Nort Carolina, untuk menjelaskan gejala atau
fenomena kegiatan kampanye pemilihan umum yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua
sarjana tersebut. penelitian ini menjadi tonggak awal perkembangan teori agenda setting
(Morissan, 2013)

Menurut E.M.,Grifin (2003, dalam Morissan, 2013) menyatakan, bahwa McCombs dan
Donald Shaw meminjam istilah “agenda setting” dari sarjana ilmu politik Bernard Cohen (1963)
melalui laporan penelitiannya mengenai fungsi khusus media massa. Sementara itu, asumsi dasar
teori ini menurut Cohen (1963, dalam Ardianto, dkk, 2009) adalah The press is significantly
more than a surveyor of information and opinion. It my not be successful much of the time in
telling people what to think, but it is stunningly successful in telling reader what to think about.
To tell what to think about artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap
penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan test case tentang isu apa
yang lebih penting. Asumsi agenda setting ini memiliki kelebihan karena mudah untuk diuji.
Dasar pemikirannya adalah, di antara berbagai topic yang dimuat oleh media massa, topic yang
lebih banyak perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya, akan
dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya pada topic
yang kurang mendapat perhatian media massa.oleh karena itu, agenda setting model menekankan
adalanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan
perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan tersebut. Dengan kata lain, apa yang dianggap
penting oleh media, akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media,
akan luput juga dari perhatian masyarakat.

Pernyataan lebih langsung ditulis oleh Nort Long dalam artikelnya (1958: 260) “dalam
beberapa hal, surat kabar adalah penggerak utama dalam menentukan agenda daerah. Surat kabar
memiliki andil besar dalam menentukan apa yang akan dibahas oleh sebagian besar orang, apa
pendapat sebagian besar orang tentang fakta yang ada, dan apa yang dianggap sebagian besar
orang sebagai cara untuk menangani masalah”. Kurt Lang dan Gladys Engel Lang 1959 juga
menyatakan “media massa memaksakan perhatian pada isu-isu tertentu. Media massa
membangun citra public tentang figure-figur politik. Media massa seara konstan menghadirkan
objek-objek yang menunjukkan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan
dirahasiakan individu-individu dalam masyarakat ( Severin dan Tankard, 2007)

2. Media, Realitas dan Audien

Para sarjana komunikasi telah lama menyadari bahwa media massa memiliki kemampuan
untk menyusun isu- isu bagi masyarakat. Salah seorang komentator dan penulis awal yang
merumuskan gagasan ini adalah Walter Lippman, seorang jurnalis terkenal di AS. Lippman
mengambil pandangan bahwa masyarakat tidak merespon kejadian sebenarnya dalam
lingkungan, “tetapi pada gambaran dalam kepala kita” , yang ia sebut sebagai lingkungan palsu;
karena lingkungan sebenarnya terlalu besar, terlalu kompleks dan terlalu menuntut adanya
kontak langsung. Kita tidak dilengkapi untuk berhadapan dengan begitu banyak detail, begitu
banyak keragaman, begitu banyak permutasi dan kombinasi. Bersama-sama kita harus bertindak
dalam lingkungan, kita harus menyusunya kembali dalam sebuah model yang lebih sederhana
sebelum kita berhadapan dengan hal tersebut (Littlejohn dan Foss, 2014).

Dalam tulisannya Lippman menjelaskan bahwa media bertindak sebagai A mediator


between the world outside and the picture in our head (perantara antara dunia luar dan gambaran
di kepala kita). Gagasan Lippman ini kemudian dikembangkan oleh Donald Shaw dan Maxwell
McCombs dengan pernyataan sebagai berikut:

“bukti-bukti sudah menumpuk bahwa para editor media cetak dan para pengelola media
penyiaran memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial kita ketika mereka
melakukan pekerjaan untuk memilih dan membuat berita. Dampak dari media massa yaitu
kemampuannya untuk memengaruhi perubahan kognitif individu, untuk membentuk pemikiran
mereka dinamakan dengan fungsi agenda setting komunikasi massa. Disinilah letak efek paling
penting komunikasi massa yaitu kemampuannya secara mental untuk menata dan
mengorganissikan dunia kita untuk kita” (Morissan, 2013)

Lebih jauh lagi, hubungan agenda media, realitas dan audien dapat dilihat dari hasil
Penelitian G. Ray Funkhouser (1973, dalam Saverin dan Tankard, 2007). Funkhouser tertarik
dengan hubnungan liputan berita dengan persepsi public tentang pentingnya isu-isu. Tetapi,
Funkhouser juga menghasilkan aspek lain-keutamaan sesungguhnya dari isu-isu spesifik dalam
realitas. Penelitian ini menggunakan jajak pendapat Gallup, di mana orang diberi pertanyaan
tentang masalah penting yang dihadapi Amerika. Dia memperoleh tingkat isi media dengan
menghitung jumlah artikel tiap eksemplar yang terbit dalam tiga majalah mingguan. Tingkat
pentingnya sebuah isu dalam realitas didasarkan pada statistic yang diambil dari Statistical
Abstrak of the United States dan sumber-sumber lain.

Funkhouser kemudian melihat hubungan antara opini public dengan isi media dan
hubungan antara isi media dengan realitas. Hubungan pertama adalah hubungan tingkat
pentingnya isu-isu public dan isi media. Hasilnya menunjukkan persesuaian yang kuat antara
tingkat pentingnya sebuah isu menurut public dengan jumlah liputan yang diberikan untuk isi
media. Isu-isu yang diberikan peringkat tinggi oleh public juga merupakan isu yang banyak
diberitakan oleh media.
Bagian kedua penelitiannya, Funkhouser melihat hubungan antara liputan media dengan
realitas. Pola yang ditemukan oleh sang peneliti seakan liputan media tidak sesuai dengan
realitas isu-isu. Misalnya liputan tentang perang Vietnam, kerusuhan mahasiswa yang mencapai
puncaknya saat itu dalam realitas. Liputan narkoba dan inflasi agak sesuai dengan realitas, tetapi
liputan hubungan ras, kemiskinan, polusi menghasilkan sedikit hubungan dengan realitas.

Penelitian ini menunjukkan bahwa media berita tidak memberikan gambaran yang sangat
akurat mengenai apa yang sedang terjadi pada Negara selama tahun 1960-an. Funkhouser
menyimpulkan media berita diyakini oleh banyak orang termasuk pembuat keputusan sebagai
sumber informasi, tetapi data di sini menunjukkan bahwa media berita tidak selalu demikian.

3. Efek Agenda Setting dan Riset Eksperimental

Sementara itu, agenda setting sendiri terjadi karena media massa sebagai penjaga gawang
informasi (gatekeeper) harus selektif dalam menyampaikan berita. Media harus melakukan
pilihan mengenai apa yang harus dilaporkan dan bagimana melaporkannya. Apa yang diketahui
public mengenai suatu keadaan pada waktu tertentu sebagian besar ditentukan oleh proses
penyaringan dan pemilihan berita yang dilakukan media massa. Dalam hal ini, agenda setting
dapat dibagi ke dua tingkatan. Pertama adalah upaya membangun isu umum yang dinilai penting
dan level kedua adalah menentukan bagian-bagian atau aspek dari dari isu umum tersebut yang
dinilai penting. Kedua level tersebut sama pentingnya. Level kedua penting karena
memberitahukan kita mengenai bagaimana cara membingkai isu atau membingkai framing
terhadap isu, yang akan menjadi agenda media dan juga agenda public. Misal, media menyatakan
bahwa pemilu yang demokratis merupakan hal yang penting , ini level pertama, tetapi media
masa juga menyatakan bahwa tingkat kemiskinan menyebabkan masyarakat mudah terjebak
praktik politik uang. dalam hal ini, media membingkai su mengenai bagaimana mencapai pemilu
yang demokratis, ini termasuk level dua (Morissan, 2013).

Di lain kesempatan, (Arianto, dkk, 2009) menyebut bahwa efek dari agenda setting
model terdiri atas efek langsung dan efek lanjutan. Efek langusung berkaitan dengan isu :apakah
isu itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; dari semua isu, mana yang dianggap paling
penting menurut khalayak; sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang
peristiwa tertentu) atau tindakan seperti memilih kontestan pemilu atau aksi protes (Ardianto,
dkk, 2009).

Akan tetapi, penentuan agenda media mungkin tidak terjadi pada cakupan yang sama dan
dalam cara yang sama bagi semua individu. McCombs dan Weaver menyatakan bahwa individu-
individu mempunyai kebutuhan orientasi yang berbeda-beda dan bahwa hal ini biasa
menentukan apakah penentuan agenda terjadi atu tidak. Kebutuhan informasi seperti yang
mereka pahami didasarkan pada factor: relevansi informasi bagi individu dan tingkat
ketidakpastian berkenaan dengan subjek pesan. Semakin besar relevansi dan ketidakpastian
berkenaan dengan subjek , maka semakin besar keperluan akan informasi. Mereka membuat
hipotesis bahwa semakin tinggi kebutuhan akan orentasi, semakin mudah individu terpengaruh
oleh dampak agenda media massa (Saverin dan Tankard, 2007)

Selanjutnya, bukti eksperimental dari berbagai penelitian atas efek agenda setting ini
dengan baik dijelaskan dalam buku Saverin dan Tankard (2007) yakni Pertama, Penelitian dari
Shanto Iyengar dari Yale University dan dua orang koleganya yang melaksanakan eksperimen
untuk tujuan ini. Secara umum, pendekatan mereka adalah merekam dengan videotape tayangan
berita jaringan berita televisi dan mengubahnya dengan membuang beberapa berita dan
menggantinya dengan berita lain. Hal ini memungkinkan mereka untuk memanipulasi isi berita
dengan sedemikian rupa sehingga isu tertentu dijadikan tampak lebih penting dan isu-isu lain
dikurangi nilai pentingnya. Subjek-subjek dalam kondisi eksperimen yang bermacam-macam
kemudian dieksposs pada tayangan berita yang sudah diubah ini dan kemudian diberi pertanyaan
tentang peringkat pentingnya berbagai macam isu, termasuk isu-isu yang dimanupulasi dalam
tayangan berita.

Hasilnya, para peneliti berspekulasi bahwa para subjek telah begitu prihatin terhadap
inflasi sehingga sesungguhnya tidak mungkin meningkatkan penilaian pentingnya hal ini.
Selanjutnya, peneliti melakukan eksperimen lain yang memberikan bukti lebih lanjut untuk
penentuan agenda. Dalam sebagaian eksperimen ini, persepsi pemirsa mengenai apakah sebuah
masalah adalah masalah paling penting bagi Negara dipengaruhi secara signifikan oleh pajanan
kepada satu berita televisi saja.
Kedua, penelitian tentang priming dapat dilihat dari penelitian Iyengar, Peters dan Kinder
(1982) yang juga menemukan cara khusus bagaimana tayangan berita televisi mungkin memiliki
dampak pada pemilihan presiden. Dengan menentukan agenda untuk kampanye pemilihan,
media juga menentukan keriteria yang digunakan untuk mengevaluasi calon-calon presiden. Para
peneliti ini menyebut ini Priming yaitu proses dimana media berfikus pada sebagian isu dan tidak
pada isu lainnya dan dengan demikian mengubah standar orang untuk mengevaluasi para calon
pemilihan. Para peneliti menemukan suatu bukti priming dalam eksperimen mereka. Para subjek
dalam eksperimen, juga menilai presiden Carter pada kinerjanya dalam tiga bidang masalah
spesifik yakni pertahanan, inflasi dan polusi. Mereka juga menilai mengenai kinerja, kompetensi
dan integritas Carter. Seperti yang telah diramalkan dengan konsep priming, korelasi antara
penilaian keseluruhan dan penilaian dalam bidang masalah yang spesifik adalah lebih besar bagi
responden yang melihat liputan yang menekankan masalah itu. Dengan kata lain, responden
mengevaluasi Carter berdasarkan berita-berita yang sering ditampilkan.

Ketiga terkait isu yang menonjol Zucker (1978) menyatakan bahwa menonjolnya isu
mungkin menjadi factor yang penting dalam apakah terjadi penentuan agenda atau tidak. Zucker
menyatakan semakin kurang pengalaman langsung yang dimiliki public berkenaan dengan
bidang isu tertentu, semakin besar public harus bergantung pada media berita untuk informasi
tentang bidang isu itu. Isu yang dialami langsung oleh public seperti pengangguran, adalah isu
yang menonjol. Isu yang mungkin tidak dialami langsung oleh publik, misalnya polusi, adalah
isu tidak menonjol. Zucker, kemudian melakukan sebuah penelitian dengan membandingkan isu-
isu yang menonjol-biaya hidup, pengangguran dan kejahatan dengan tiga isu yang tidak
menonjol seperti polusi, penyalahgunaan obat, dan krisis energy. Jumlah liputan enam isu
diambil selama delapan tahun dari Television News Index, sebuah penerbitan bulanan. Tingkat
opini public pada pentingnya enam isu tersebut diambil dari jajak pendapat Gallup yang
mempertanyakan “apakah masalah paling penting yang dihadapi Negara saat ini?”. Penelitian ini
menghasilkan bahwa penentuan agenda dapat terjadi pada isu-isu yang tidak menonjol tetapi
tidak pada isu-isu yang menonjol.

Zucker mengatakan bahwa dengan penentuan agenda semestinya tampak bagi pengguna
dan bukan pengguna media berita. Apabila penentuan agenda sebagian besar terjadi pada isu-isu
yang tidak menonjol, maka cara orang mengetahui isu-isu tersebut hanya melalui media atau
dengan berbicara dengan orang lain yang telah terekspose pada media. Dengan kata lain,
penentuan agenda dan arus komunikasi dua langkah bisa berkombinasi dalam mempunyai
dampak.

Terakhir adalah terkait isu abstrak dan isu konkret yakni dalam riset Yagade dan Dozier
(1990) yang berusaha menentukan apakah dampak penentuan agenda lebih mudah terjadi pada
isu konkret daripada isu abstrak. Mereka berspekulasi bahw audieni mempunyai keuslitan untuk
membayangkan isu-isu abstrak seperti deficit anggaran, belanja Negara, dan bahwa hal ini
mungkin mengurangi kemungkinan terjadinya penentuan agenda.

Keabstrakan isu adalah sebuah konsep yang berbeda dengan menonjolnya isu. Peneliti
tersebut menggambarkan keabstrakan sebagai tingkat di mana sebuah isu sulit untuk
dibayangkan atau diwujudkan. Pertama mereka menguji empat isu untuk mengetahui seberapa
abstrak reponden menanggapi isu-isu tersebut. para responden ditanya seberapa mudah mereka
dapat membayangkan setiap isu. Apakah isu itu nyata bagi mereka, apakah isu itu mudah
dimengerti dan sebagainya. Terdapat dua isu yang menurut para peneliti adalah abstrak-defisit
anggaran belanja Negara dan perlombaan senjata nuklir-dan dua isu yang menurut para peneliti
adalah konkret-penyalah gunaan obat dan krisis energy- dan menyelidiki terjadinya dampak
penentuan agenda untuk masing-masing isu. Penelitian tersebut dilakukan denga jajak pendapat
dan analisis dari majalah Time.

Hasilnya, penelitian tersebut menemukan hubungan yang signifikan antara media dan
agenda public untuk issu konkret tetapi tidak untuk isu abstrak. Penelitian tersebut menyatakan
bahwa media mungkin tidak menentukan agenda public atau isu-isu abstrak. Hal ini mungkin
menjadi pertimbangan yang berharga dalam pertimbangan dampak media massa, kare isu-isu
public yang benar-benar penting mungkin juga agak abstrak.

4. Jenis Pengaruh Dalam Agenda Setting

Dalam Morissan (2013), dijelaskan bahwa Karen Siune dan Ole Borre (1975) melakukan
penelitian untuk mengetahui kompleksitas agenda setting dalam pemilu di Denmark. Dalam
penelitian ini, Siune dan Borre menemukan tiga jenis pengaruh agenda setting yaitu pengaruh
pertama disebut representasi yakni ukuran atau derajat dalam hal seberapa besar agenda media
atau apa yang dinilai penting oleh media dapat menggambarkan apa yang dianggap penting oleh
masyarakat (agenda public). Dalam tahap ini, kepentingan public akan memengaruhi apa yang
dinilai penting oleh media. Suatu korelasi atau kesamaan antara agenda public pada periode satu
dan agenda media pada periode dua menunjukkan terjadinya representasi di mana agenda public
memengaruhi agenda media.

Kedua presistensi. Pengaruh kedua adalah mempertahankan kesamaan agenda antara apa yang
menjadi isu media dan apa yang menjadi isu public. Dalam hal ini, media memberikan
pengaruhnya yang terbatas. Suatu korelasi antara agenda public pada periode satu dan tiga
menunjukkan presistensi atau stabilitas agenda public.

Persuasi. Pengaruh ketiga terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda public yang
disebut persuasi. Suatu korelasi antara agenda media pada period eke dua dan agenda public
pada periode tiga menunjukan persuasi, atau agenda media mempengaruhi agenda public. Ketiga
agenda tersebut tidak harus terjadi dalam waktu yang berbeda tetapi dapat juga terjadi dalam
waktu bersamaan.

Menurut Everett Rongers dan James Dearling (1988, dalam Morissan 2013), agenda setting
merupakan proses linear yang terdiri atas tiga tahap yaitu agenda media, agenda public, agenda
kebijakan. Bagian pertama adalah penetapan agenda media, yaitu penentuan prioritas isu oleh
media massa. Kedua, media agenda dalam cara tertentu akan memengaruhi atau berinteraksi
dengan apa yang dipikirkan public maka interaksi tersebut akan menghasilkan agenda public.
Ketiga, agenda public akan berinteraksi sedemikian rupa dengan apa yang dinilai penting oleh
pengambil kebijakan yaitu pemerintah dan interaksi tersebut akan menghasilkan kebijakan
public. Walaupun sejumlah studi menunjukkan bahwa media dapat memiliki kekuatan sangat
besar dalam mempengaruhi agenda public namun tidaklah jelas apakah agenda public juga
mempengaruhi agenda media. Dala hal ini, hubungan yang terjadi adalah non linear dan saling
memngaruhi. Lebih jauh, peristiwa-peristiwa besar seperti bencana alam memberikan efek pada
egenda media dan agenda public.

5. Penentu Agenda Media

Stephen Reese (1991, dalam Morissan, 2013), menyatakan agenda media merupakan hasil dari
tekanan yang berasal dari luar dan dari dalam media itu sendiri. Dengan kata lain agenda media
merupakan kombinasi dari sejumlah factor yang memberikan tekanan kepada media seperti
proses penentuan program internal, keputusan redaksi dan menejemen serta pengaruh dari luar
yang berbentuk individu tertentu sperti pejabat pemerintahan, pemasang iklan san sponsor.
Kekuatan media dalam membentuk agenda public sebagain tergantung pada hubungan media
dengan pusat kekuasaan. Jika media memiliki hubungan yang dekat dengan kelompok elite
masyarakat, maka kelompok tersebut akan memengaruhi agenda media dan pada gilirannya juga
akan memengaruhi agenda public. Para pendukung teori kritis percaya bahwa media dapat
menjadi atau bisa menjadi instrument ideology dominan di masyarakat. Dan bila hal itu terjadi,
maka ideology dominan itu akan mempengaruhi agenda public. Dalam hal ini ada empat tipe
hubungan kekuasaan antara media massa dengan sumber-sumber kekuasaan di luar media,
khususnya pemerintah penguasa yaitu high power source-high power media, high power source-
low power media, low power source-high power media, dan low power source –low power
media.

High power source-high power media adalah hubungan yang terdapat kedekatan antara
penguasa atau pejabat public dengan para pengelola media. Dalam hubungan ini terdapat
sekenario sebagai berikut: jika keduanya bekerjasama maka terjadi hubungan yang saling
menguntungkan di antara keduanya yang akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
agenda public. Sebaliknya, jika bertentangan maka keduanya akan bersaing untuk memengaruhi
agenda public.

High power source-low power media adalah ketika kekuasaan besar kemungkinan akan
melakukan kooptasi terhadap media yaitu menggunakan media untuk mencapai tujuannya. Hal
ini dapat terjadi misalnya ketika politisi atau pejabat membeli jam tayang media massa dengan
memasang iklan politik atau menjadi sponsor terhadap suatu program atau misalnya ketika
presiden memberikan kesmpatan kepada media tertentu untuk melakukan wawancara khusus.

Low power source-high power media adalah ketika media sendiri yang menentukan agendanya.
Media dapat memberitakan atau tidak memberitakan atau mengurangi intensitas pemberitaan,
terhadap peristiwa-peristiwa tertentu yang mungkin penting bagi masyarakat.

Terakhir, low power source-low power media terjadi ketika agenda public dan agenda media
ditentukan oleh peristiwa itu sendiri. Dalam hal ini, agenda tidak juga ditentukan oleh pejabat
public atau penguasa, pejabat public dan atau politisi.
Sementara itu, berbeda dengan yang dinyatakan Reese, Funkhouser (1973b, dalam Saverin dan
Tankard, 2007), memberikan sebuah daftar lima mekanisme sebagai tambahan untuk arus
peristiwa nyata yang bekerja memengaruhi besarnya perhatian media yang mungkin diterima
sebuah isu.

1. Adaptasi media terhadap arus peristiwa. Ketika pola yang sama terus ada, maka hal itu
dianggap sebagai kurang lebih sama dan tak lagi dianggap sebagai berita.
2. Pelaporan yang berlebihan tentang peristiwa penting yang tidak biasa. Beberapa kejadian
seperti tumpahan minyak Santa Barbara, penting tapi menerima liputan yang berlebihan
karena keunikan atau sifatnya yang menimbulkan sensasi.
3. Pelaporan selektif aspek-aspek yang patut diberitakan dari situasi yang tidak layak
diberitakan. Misalnya sebuah penelitian terkenal menunjukkan bahwa dengan menyeleksi
detail tertentu, liputan televisi tentang sebuah parade Jendral Douglas MacArthur, tanpak
lebih menarik dari kejadian sebenarnya (K. Lang dan G. E. Lang, 1972).
4. Pseudoeven atau pembuatn peristiwa yang patut dijadikan berita. Gerakan protes,
demonstrasi, protes public dengan menduduki tempat, dan trik publisitas adalah
contohnya yang biasa membantu memindahkan isu ke agenda pers.
5. Rangkuman kejadian, atau situasi yang melukiskan kejadian biasa dengan cara yang patut
dijadikan berita. Contohnya adalah penulisan laporan ahli bedah pada tahun 1964 yang
menunjukkan hubungan antara merokok dengan kanker paru-paru.

Selain itu, individu-individu tertentu, yang disebut orang-orang yang mengetahui terlebih dahulu,
juga bisa memainkan peran kunci dalam menentukan agenda media(Brosius dan Weimam, 1996
dalam Saverin dan Tankard). Ini adalah orang-orang yang mengetahui sebuah isu pada tahap-
tahap perkembangannya. Mereka mungkin adalah para professional media yang pekerjaannya
melakukan pengmatan dan yang terkait dengan jaringan kerja organisasi sosial.

Terkait dengan waktu yang diperlukan untuk menentukan agenda media, Winter dan Eyal (1980)
menemukan bahwa korelasi yang paling kuat antara agenda media dan agenda public selama
rentang waktu 4 sampai 6 minggu. Penelitian lain dari McCombs (1981) menunjukkan periode
waktu terjadinya penentuan agenda yakni satu sampai dua bulan dan empat sampai lima bulan.
Tetapi terdapat juga suatu bukti dampak penentuan agenda yang muncul dalam periode waktu
yang lebih singkat. Wanta dan Roy (1995) menemukan bahwa dampak penentuan agenda untuk
televisi local muncul setelah enam hari dan lenyap setelah 11 hari. Dampak penentuan agenda
untuk surat kabar local muncul setelah delapan hari namun berlangsung lebuh lama, dan lenyap
setelah 85 hari (Saverin dan Tankard)

6. Proses Pembentukan Agenda

Gladiys Engel Lang dan Kurt Lang (1983, dalam Saverin dan Tankard) merinci proses
pembentukan agenda ke dalam enam langkah.

1. Pers menyoroti beberapa kejadian atau aktifitas dan membuat kejadian tersebut menjadi
menonjol
2. Jenis isu yang berbeda membutuhkan jumlah dan jenis liputan berita yang berbeda untuk
mendapatkan perhatian. Watergate adalah isu ambang batas tinggi atau menonjol, dan
oleh karena itu, dia memerlukan liputan yang konverhensif untuk mendapatkan perhatian
public.
3. Peristiwa-peristiwa dan aktivitas dalam focus harus “dibingkai” atau diberi bidang makna
di mana di dalamnya peristiwa dan aktivitas tersebut dapat dipahami. Watergate semula
dibingkai sebagai isu partisan dalam kampanye pemilihan, dan hal ini membuatnya sulit
untuk dilihat dalam kerangka yang berbeda, yaitu sebagai sebuah gejala korupsi politik
yang tersebar luas.
4. Bahasa yang digunakan media dapat mepengaruhi persepsi akan pentingnya sebuah isu.
Referensi awal pendobrakan Watergate sebagai sebuah “kelakar”, yang terus ada selama
berbulan-bulan, cenderung merendahkannya. Refrensi berikutnya yang mengganti
refrensi sebelumnya dengan istilah skandal meningkatkan nilai penting isu tersebut.
5. Media menggabungkan kejadian yang telah menjadi focus perhatian dengan symbol-
simbol yang lokasinya dalam lanskap politik mudah diketahui. Orang memerlukan dasar
untuk berpihak kepada sebuah isu. Dalam kasus Watergate, mereka dibantu untuk
melakukan keberpihakan ketika isu ini dihubungkan dengan sumber-sumber skunder
seperti “keharusan menyampaikan fakta” dan “kepercayaan terhadap pemerintah”.
6. Pembentukan agenda dapat dipercepat ketika individu-individu yang terkenal dan dapat
dipercaya mulai berbicara tentang sebuah isu. Misalnya ketika hakim John Sirica berkata
bahwa ada kebenaran yang disembunyikan kepada public dalam kasus Watrgate,
ernyataan ini mempunyai dampak yang dramatis pada public dan juga pada orang-orang
ternama lainnya, termasuk beberapa orang dari partai Republik, yang kemudian lebih
bersedia membuka mulut.
7. Bagaimana Penentuan agenda Agenda Bekerja?

Meskipun terdapat banyak riset pada penentuan agenda, namun salah satu hal yang masih
belum kita mengerti dengan sangat baik adalah bagaimana penentuan agenda bekerja. Dengan
kata lain, kita belum mempunyai pemahaman yang sangat baik mengenai proses penentuan
agenda bekerja. Apa yang terjadi ketika isu dipindahkan dari media ke pikiran individu? Apakah
beberapa isyarat, ruang halaman depan, posisi dalam tayangan berita, penggunaan foto atau
visual lebih penting dalam menunjukkan keutamaan daripada yang lainnya. Atau, apakah factor-
faktor pentingnya adalah akumulasi isyarat dari waktu ke waktu, tidak peduli bentuk khususnya?
Bagaimana pikiran menyimpan informasi yang diakumulasikan untuk sebuah isu?? Apakah
terdapat semacam lembar skor mental dan pencatat? Sejauh mana penentuan agenda merupakan
proses sadar dalam pikiran manusia? Apakah penentuan agenda mencapai efektivitasnya dengan
menjadi proses tidak sadar? Apa peran komunikasi antarpribadi dalam penentuan agenda?
Apakah komunikasi antarpribadi meningkatkan penentuan agenda? Atau apakah komunikasi
antarpribadi berfungsi sebagai dukungan utama, seperti fungsi pengaruh kelompok, dan dengan
demikian membantu orang untuk melawan dampak-dampak media?

Sebuah penelitian yang dilaksanakan Wanta dan Miller (1995) mengenai pidato kenegaraan
Presiden Clinton tahun 1994 memberitahu kita sesuatu tentang pemrosesan informasi yang
berlangsung dalam individu ketika terjadi penentuan agenda media. Para peneliti ini membuat
hipotesis bahwa penentuan agenda lebih mungkin terjadi apabila para responden berasumsi
bahwa presiden melakukan pekerjaan yang baik sebagai presiden. Kedua hipotesis ini didukung.
Penemuan-penemuan yang menyatakan bahwa penentuan agenda tidak bersifat mekanis atau
otomatis, tetapi bahwa penentuan agenda melibatkan pemrosesan informasi oleh anggota audien
secara individu. Orang mengevaluasi informasi yang didapatkannya, dan evaluasi ini bisa
mengakibatkan dampak penentuan agenda bagi sebagian inividu tapi tidak untuk individu yang
lain. Sedikit banyak, proses persepsi selektif dan daya ingat mulai berperan dalam memengaruhi
penentuan agenda.
8. Mengenai Tingkat Kedua Penentuan Agenda

Sebuah agenda pada dasarnya adalah sebuah daftar hal-hal yang disusun berdasarkan urutan
kepentingannya, dengan yang paling penting berada di tempat paling atas. Dalam penentuan
agenda tingkat pertama hal-hal itu adalah isu. Model penentuan agenda tingkat kedua
membentuk ide bahwa sebuah agenda atau gagasan yang abstrak dan bahwa banyak hal lain
selain isu bisa dicantumkan dalam daftar.

McCombs dan Estrada (1997, dalam Saverin dan Tankard) menggambarkan tingkat kedua
penentuan agenda sebagai berikut

Apabila kita menganggap kata kunci metafora teoritis ini-agenda-dalam istilah benar-benar
abstrak, kemungkinan untuk meluas melampaui isu-isu menjadi jelas. Dalam mayoritas
penelitian sampai saat ini, unit analisis pada setiap agenda adalah sebuah objek, sebuah isu
public.

Di luar agenda objek-objek, juga ada dimensi lain untuk dipertimbangkan. Masing-masing objek
ini mempunyai banyak sekali atribut, karekteristik-karakteristik dan sifat-sifat yang mengisi dan
menghidupkan gambar dari masing-masing objek. Seperti halnya objek yang bervariasi dalam
keutamaannya, demikian pula atribut setiap objek.

Dengan demikian, tingkatan kedua penentuan agenda juga dapat digunakan untuk
menangani variable-variabel penyajian-variabel yang harus berhubungan dengan cara isu-isu
tersebut disajikan dalam media massa. Misalnya sebuah penelitian liputan kejahatan mungkin
mengkaji bermacam-macam atribut penyajian. Penelitian tersebut mungkin mengkaji
karakteristik fisik seperti lokasi berita dalam surat kabar dan juga karakteristik berita seperti
apakah pelaku kejahatan mengenal korban atau tidak (Ghanem dan Evatt,1995, dalam Saverin
dan Tankard, 2007). Ghanem dan Evatt menemukan bahwa variable seperti ini pada tingkat
atribut berhubungan dengan kepentingan public yang terkait dengan isu kejahatan tersebut
(tingkat pertama).

Tingkat kedua penentuan agenda juga dapat dianggap identik dengan fenomena yang disebut
perbingkaian media (media framing) oleh para peneliti lain. Ghanem mengidentifikasi empat
dimensi utama pembingkaian yang juga dapat dianggap dimensi dari tingkat atribut penentuan
agenda. Dimensi itu adalah topic artikel berita (apa yang dimasukkan dalam bingkai), penyajian
(ukuran dan penempatan), atribut kognitif (detail-detal yang dimasukkan ke dalam bingkai) dan
terakhir atribut efektif (suasana gambar).

9. Aplikasi Penentuan Agenda

Sebagian peneliti melangkah melampaui penelitian penentuan agenda oleh pers untuk
mempertimbangkan bagaimana gagasan-gagasan penentuan agenda mungkin diterapkan dalam
car-cara untuk membuat masyarakat bertindak dengan lebih baik. Gurevich dan Blumer (1990,
dalam Saverin dan Tankard, 2007) menyatakan bahwa demokrasi menuntut media massa terlibat
dalam “penentuan agenda yang bermakna, dengan mengidentifikasi isu-isu kunci sekarang ini,
termasuk kekuatan-kekuatan yang telah membentuk dan mungkin telah menjelaskan isu-isu itu.

Shaw dan Martin (1992, dalam Saverin dan Tankard) mengatakan bahwa media, melalui
penentuan agenda berfungsi untuk memberi kesepakatan yang cukup memadai pada isu-isu
public untuk memungkinkan sebuah dialog diantara kelompok-kelompok yang mempunyai
pandangannyang berbeda. Dalam hal ini, pembentukan agenda menjadi sebuah piranti
pembentuk konsesus yang memungkinkan demokrasi bekerja.

Kampanye politik tampak semakin dijalankan oleh tim sukses dan juru bicara-para
professional yang dibayar untuk menentukan agenda media. Disamping itu, liputan pers
mengenai kampanye pemilihan telah berfokus pada aspek-aspek “pacuan kuda” dengan
mengesampingkan permasalahan dan menekankan yang negative. Kekurangan ini dan
kekurangan lain dalam jurnalisme mengarah pada jurnalisme public atau jurnalisme umum,
sejenis jurnalisme yang menekankan pelayanan masyarakat yang lebih baik dengan
mengidentifikasi maslah-masalah dan isu-isu penting serta berfokus pada masalah-masalah dan
isu terebut (Shepard, 1994, dalam Saverin dan Tankard, 2007).

10. Model Agenda Setting


Ada banyak model agenda setting yang ditawarkan para ahli komunikasi. Akan tetapi, dalam
makalah ini yang akan ditampilkan adalah model agenda setting dalam buku Rachmat
Kriyantono yang berjudul Teknik Praktis Riset Komunikasi
Agenda Agenda Agenda

Media Publik Kebijakan

Sumber: Kriyantono, 2006.

Dari bagan tersebut dapat kita pahami bahwa, agenda media akan mempengaruhi agenda
public yang kemudian mempengaruhi agenda kebijakan. Sementara itu, model lain yang lebih
memfokuskan pada efek agenda media terhadap agenda public yang disertai efek lanjutan pada
diri individu, disampaikan oleh Rakhmat, 2001 dalam Kriyantono, 2006 yang dapat digambarkan
sebagai berikut.

Variable media Variable antara Variable efek Variable efek


massa lanjutan

-Panjang -sifat stimulus -pengenalan -persepsi

-Penonjolan -sifat khalayak -salience -aksi

-Cara penyajian -prioritas

11. Contoh Kasus dan Kritik Terhadap Teori


.
Contoh kasus yang baru-baru ini terjadi adalah ketika kasus Jessica Kumalawongso,
tersangka yang diberitakan meracuni Mirna Salihin. Kompas TV dan TV One, nampak
berusaha meyakinkan public bahwa isu tersebut merupakan isu penting. Bahkan lebih penting
dari isu korupsi, ekonomi dan isu lainnya. TV One bahkan menyiarkan secara langsung
sidang kasus tersebut, sementara untuk kasus lain yang lebih besar seperti korupsi, kasus
reklamasi dan lainnya tidak mendapat perhatian sebagaimana perhatian yang diberikan
kepada kasus Jessica. Hal ini menandakan adalanya agenda setting yang dilakukan oleh
media. Setidaknya secara sepintas ada beberapa hal yang dapat dilihat dari kausus tersebut.
Kasus Jesicca seolah lebih penting daripada kasus-kasus lain, di beberapa media ini tampak
jelas. Media menampilkan sedemikian rupa persidangan sehingga terlihat penting dan
menarik.Terlihat jelas hubungan low power source-high power media. Yakni ketika
mediaberusaha mengatur agenda publik. Penentu agenda setting bisa berupa faktor internal
(keredaksian media) bisa juga berupa faktor eksternal. Hasil riset Adstencity yang dirilis
Tirto.Id tentang siding ke 10 kasus Jessica ini pada gambar berikut bisa menjadi gambaran.

-Sebuah Kritik

Kelemahan teori agenda setting adalah seperti yang ditunjukkan oleh fungsi penyusunan agenda,
ada interaksi antara masyarakat dan media yang masing-masing saling memengaruhi. Akan
tetapi, pertanyaannya adalah apa itu “masyarakat”?. Kita dapat mengukur opini rata-rata dan
menyebutnya opini public, akan tetapi hal ini terlalu menyederhanakan prosesnya. Alih-alih
memikirkan mengenai masyarakat dalam istilah monolitik (Little John, 2014). Hal ini berarti
bahwa teori agenda setting ini mengabaikan bagimana sebenarnya proses pembentukan agenda
public itu sendiri jika benar ia juga mampu memengaruhi agenda media.
Referensi

-Burhan Bungin, 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group

-Elvirano Ardianto, dkk, 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Refika Offset

-Jalaluddin Rakhmat, 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda

-Morissan, 2013. Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa.Jakarta: Prenada Media Group.

-Rachmat Kryantono,2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group.

-Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. Theories of Human Communication (Edisi Sembilan),

2014. Jakarta: Salemba Humanika.

-Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr, 2007. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan

Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai