Anda di halaman 1dari 18

Kebijakan Sosial

(Drs. Massad Hatuwe, M.Si)

Pengertian Kebijakan Sosial

Untuk dapat melaksanakan pembangunan, pemerintah membuat

kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan sektor-sektor yang berhubungan erat

dengan segala upaya untuk memecahkan masalah-masalah di masyarakat.

Dunn (2004) mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian pilihan

yang kurang lebih berhubungan termasuk keputusan untuk berbuat atau tidak

berbuat yang dibuat oleh badan-badan atau kantor pemerintah.

Menurut Anderson (1979), kebijakan adalah serangkaian tindakan yang

mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku

atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Friedrich (dalam Winarno, 2004) mengemukakan bahwa kebijakan adalah

suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah

dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan

kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan

dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu

sasaran atau suatu maksud tertentu.

Dye (2002) mengemukakan pengertian kebijakan publik secara singkat,

yaitu apa pun yang dipilih untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah.

Sedangkan Wahab (2002) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan

serangkaian rencana kegiatan yang bertujuan untuk memberikan efek terhadap


kondisi sosial ekonomi, juga merupakan hasil-hasil keputusan yang diambil oleh

pelaku-pelaku khusus untuk tujuan public/sosial.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan

sebagai berikut :

1. Kebijakan publik bentuknya berupa penetapan tindakan-tindakan

pemerintah.

2. Kebijakan publik itu tidak hanya cukup dinyatakan, namun juga

dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.

3. . Kebijakan publik yang baik memiliki landasan maksud dan tujuan

tertentu.

4. . Kebijakan publik harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan

seluruh anggota masyarakat.

Rakasatya (2003) mengemukakan kebijakan adalah suatu taktik dan

strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan, yang memuat tiga elemen,

yaitu :

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik / strategi dari berbagai langkah mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Penyediaan dari berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata

dari taktik / strategi.

Sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian

kesimpulan atau rekomendasi, sedangkan sebagai suatu proses kebijakan

dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat

mengetahui apa yang diharapkan darinya, yaitu program dan mekanisme dalam
mencapai produksinya, dan sebagai suatu kerangka kerja bahwa kebijakan

merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu

dan metode implementasinya.

Berkaitan dengan kebijakan sebagai bentuk dari taktik atau strategi

tertentu, Mustopadidjaja (1992) mengemukakan bahwa kebijakan publik

merupakan suatu bentuk intervensi atau tindakan tertentu pemerintah yang

dirancang untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan. Kebijakan publik pada

dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi suatu

permasalahan tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai

tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan.

Implementasi Kebijakan Sosial

Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari

seluruh proses kebijakan.

Winarno (2004) menyatakan bahwa implementasi kebijakan

merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu

program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak

atau tujuan yang diinginkan.

Lester dan Stewart (2000) menyatakan bahwa implementasi

kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat

administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik


yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih

dampak atau tujuan yang diinginkan.

Sementara itu, Meter dan Horn (1975) merumuskan proses

implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan, baik oleh

individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok

pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan

yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Grindle (dalam Wahab, 2002) berpendapat bahwa proses

implementasi adalah proses kebijakan yang hanya dapat dimulai apabila

tujuan-tujuan dan sasaran yang semula telah terperinci, program-program

aksi telah dirancang dan sejumlah dana atau biaya telah dialokasikan untuk

mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran tersebut. Isi kebijakan itu sendiri

terdiri atas :

1. Kepentingan yang dipengaruhi,

2. Tipe manfaat,

3. Derajat perubahan yang diharapkan,

4. Letak pengambilan keputusan,

5. Pelaksanaan program,

6. Sumber daya yang dilibatkan.

Menurut Islamy (2003), beberapa kebijakan bersifat self-executing,

artinya dengan dirumuskannya kebijakan itu sekaligus (dengan sendirinya)

kebijakan tersebut terimplementasikan. Contoh misalnya kebijakan suatu

negara yang mengakui secara formal kemerdekaan negara baru,


penggantian atau perubahan lambang negara, lagu negara, bendera negara

dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat mengenai implementasi kebijakan tersebut,

dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan adalah suatu tindakan

pemerintah yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan dari kebijakan

yang telah ditetapkan agar mempunyai dampak dari tujuan yang

diinginkan. Untuk itu, dalam implementasi kebijakan fokus dan

orientasinya adalah bagaimana agar dampak atau tujuan tersebut dapat

tercapai dengan baik dan lancar.

Secara sederhana, tujuan implementasi kebijakan adalah

menetapkan tujuan-tujuan kebijaksanaan pemerintah dapat terealisasikan.

Mazmanian dan Sabatier (dalam Wahab, 2002) menyatakan bahwa

memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan

berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi

kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan-kegiatan yang timbul

setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup

baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk

menimbulkan akibat / dampak nyata pada masarakat atau kejadian-

kejadian.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka implementasi

kebijakan sebenarnya tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku

birokrasi yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan

menimbulkan kepatuhan dari target groups, namun lebih jauh dari itu juga
berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang

berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat, yang pada akhirnya

terdapat dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Lineberry (dalam Wahab, 2002) mengemukakan bahwa proses

implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut :

1. Menetapkan tanggungjawab implementasi kepada personel atau agen

yang ada.

2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana, pedoman

pelaksana (standart operating procedure / SOP).

3. Koordinasi sumber daya agen dan biaya atau pengeluaran pada

kelompok sasaran, tanggungjawab divisi dalam agen antar agen-agen

yang terkait.

4. Pengalokasian sumber daya guna kesempurnaan dampak / mencapai

tujuan.

Dengan demikian, proses kebijakan baru akan dimulai apabila

tujuan-tujuan telah ditetapkan, program pelaksaan sudah dibuat dan dana

telah dialokasikan untuk mencapai tujuan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Anderson (1979)

mengungkapkan empat aspek penting dalam implementasi kebijakan

sebagai berikut :

1. Siapa yang dilibatkan dalam implementasi.

2. Hakekat proses administrasi.

3. Kepatuhan atas suatu kebijakan.


4. Efek atau dampak dari isi implementasi.

Keempat aspek tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak

terputus, dan setiap kebijakan yang telah ditetapkan diimplementasikan

selalu didahului oleh penentuan unit pelaksana yang oleh Anderson

disebut sebagai administrative unit, yaitu birokrasi publik mulai level atas

sampai dengan level birokrasi yang paling rendah. Sebagai konsekuensi

logis dengan ditetapkannya unit-unit organisasi / birokrasi sampai pada

level bawah, maka secara otomatis unit pelaksana tersebut akan

mengimplementasikan kebijakan yang ditetapkan. Disamping itu

implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses

melaksanakan suatu keputusan kebijakan (biasanya dalam bentuk undang-

undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif

atau dekrit).

Ruang Lingkup Kebijakan Sosial

Caiden (dalam Thoha, 2005) merumuskan bahwa ruang lingkup

studi kebijakan publik adalah meliputi :

1. Adanya partisipasi masyarakat (public participation).

Kebijakan publik adalah suatu bidang yang seharusnya semua pihak

ikut memikirkan dan semua orang percaya bahwa mereka mempunyai

sesuatu yang berharga yang patut disumbangkan sebagai kewajiban

warga negara.

2. Adanya kerangka kerja kebijakan (policy framework).


Kerangka kerja disini dimaksudkan untuk memberikan batas kajian

yang dilakukan oleh kebijakan publik. Batas ini hendaknya mampu

mendorong untuk mengkonstruksi semua faktor-faktor yang potensial

dalam proses pembuatan kebijakan.

3. Adanya strategi-strategi kebijakan (policy strategies).

Kebijakan yang terbaik adalah kebijakan yang berlandaskan strategi

yang tepat, yang pemecahannya bergayutan dengan wilayah

persoalannya, dan yang sama sekali tidak menghilangkan struktur

kekuasaan dan istrumen-instrumen inovatif yang ada untuk

pelaksanaan kebijakan publik.

4. Adanya kejelasan tentang kepentingan masyarakat (public interest).

Kepentingan masyarakat itu hendaknya dirumuskan dengan

memasukkan baik kepentingan-kepentingan pribadi dan kepentingan

masyarakat umum, dan juga hendaknya memberikan keseimbangan

pada kepentingan pribadi yang terorganisasikan sebelum hal tersebut

diputuskan sebagai kebijakan pemerintah.

5. Adanya pelembagaan lebih lanjut dari kemampuan kebijakan publik.

Untuk dapat mengatasi persoalan-persoalan kontemporer yang timbul

dan halangan-halangan institusional untuk mendapatkan kebijakan

yang lebih baik diperlukan adanya suatu lembaga riset mengenai

kebijakan yang bersifat independen.

6. Adanya isi kebijakan dan evaluasinya.


Isi kebijakan publik banyak mengamati tentang pelaku-pelaku

kebijakan, hubungan-hubungan diantara mereka, strategi-strategi

kebijakan dan hasil-hasil yang dapat mempengaruhi sistem sosial dan

tujuan-tujuan yang bakal dicapai.

Model Kebijakan Sosial

Terdapat beberapa model yang dapat dipergunakan untuk

menjelaskan seluk beluk proses pembuatan kebijakan, sebagaimana

dikemukakan oleh Thoha (2005) :

1. Model Elit (kebijakan sebagai preferensi elit).

Model teori ini berkembang dari teori politik elit-massa yang

melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setiap masyarakat pasti

terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elit dan yang

tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori model ini menyarankan

bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya

dibuat apatis atau miskin akan informasi. Elit secara pasti lebih banyak

dan sering membentuk opini masyarakat dalam persoalan-persoalan

kebijakan, dibanding dengan massa membentuk opini elit.

2. Model Kelompok (kebijakan sebagai keseimbangan kelompok).

Model pengambilan kebijakan teori kelompok mengandalkan

kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Keseimbangan ini

ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok yang

berkepentingan (group interest).


3. Model Kelembagaan (kebijakan sebagai hasil dari lembaga).

Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna

bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah.

Pendek kata suatu kebijakan tidaklah menjadi kebijakan publik sampai

kebijakan itu sendiri diambil, dilaksanakan dan dipaksakan oleh

beberapa lembaga pemerintah.

4. Model Proses (kebijakan sebagai suatu aktivitas politik).

Di dalam model ini, salah satu tujuan utama yang diinginkan adalah

untuk menemukan sebuah pola aktivitas atau proses yang mudah

diidentifikasikan. Untuk itu kebijakan publik merupakan juga proses

politik yang menyertakan rangkaian kegiatan berikut :

a. Identifikasi persoalan-persoalan.

Tuntutan-tuntutan untuk kegiatan pemerintah.

b. Menata agenda formulasi kebijakan.

Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa yang

hendak dikemukakan.

c. Perumusan proposal kebijakan.

Mengembangkan proposal kebijakan untuk menangani masalah

tersebut.

d. Legitimasi kebijakan.

Memilih satu buah proposal, pembentukan dukungan politik untuk

usulan tersebut, dan mengesahkan sebagai undang-undang hukum.

e. Implementasi kebijakan.
Mengorganisasikan birokrasi, menyediakan pelayanan dan

pembayaran, dan mengumpulkan pajak.

f. Evaluasi kebijakan.

Penganalisisan tentang program-program, evaluasi hasil-hasil dan

pengaruhnya, dan menyarankan perubahan-perubahan dari

penyesuaian-penyesuaian.

Dengan demikian, kebijakan publik dilihat dari proses ini sebagai

sebuah rangkaian kegiatan-kegiatan politik, mulai dari identifikasi,

menata agenda formulasi kebijakan, perumusan, pengesahan,

pelaksanaan dan evaluasi kebijakan.

5. Model Rasionalisme (kebijakan sebagai pencapaian tujuan yang

efisien).

Model teori ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik

sebagai maximum social gain berarti pemerintah sebagai pembuat

kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat

optimum bagi masyarakat.

Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan berikut :

a. Mengetahui preferansi publik dan kecenderungannya.

b. Menemukan pilihan-pilihan.

c. Menilai konsekuensi masing-masing pilihan.

d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan.

e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

6. Model Inkremental (kebijakan sebagai kelanjutan masa lalu).


Model inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap model

rasional. Model ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi

ataupun kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Model ini dapat

dikatakan sebagai model pragmatis / praktis. Model ini berusaha

menjelaskan proses pengambilan keputusan yang lebih bersifat

konservatif.

7. Model Sistem (kebijakan sebagai hasil dari suatu sistem).

Model sistem berusaha menggambarkan kebijakan publik sebagai

suatu hasil (output) dari suatu sistem politik. Pada konsep sistem

terkandung di dalamnya serangkaian institusi dalam masyarakat dan

aktivitasnya yang mudah diidentifikasikan. Model ini merupakan

model yang paling sederhana, namun cukup komprehensif, meskipun

tidak memadai lagi untuk dipergunakan sebagai landasan pengambilan

keputusan atau formulasi kebijakan publik.

Model pada hakekatnya merupakan bentuk abstraksi dari suatu

kenyataan. Dengan model dapat dilakukan analisis yang menjelaskan

secara sederhana pemikiran-pemikiran tentang kebijakan publik. Selain itu

model dapat pula dipergunakan untuk mengidentifikasikan aspek-aspek

yang penting dari masalah-masalah kebijakan.

Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna

(perfect implementation), dapat digunakan model top-down approach,

sebagaimana dikemukakan oleh Hogwood dan Gunn (dalam Wahab, 2002)

mengenai persyaratannya :
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana

tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

Beberapa kendala atau hambatan (constraints) pada saat implementasi

kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab

hambatan-hambatan itu memang berada di luar jangkauan wewenang

kebijakan dan badan pelaksana.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup

memadai.

Kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu

bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Alasan yang

biasa dikemukakan adalah terlalu banyak berharap dalam waktu yang

terlalu pendek untuk mengubah sikap dan perilaku, kadangkala politisi

hanya peduli dengan pencapaian tujuan saja dan kurang peduli pada

sarana-sarana yang memadai untuk mencapai tujuan serta dana yang

mesti habis dalam tempo yang sangat singkat untuk suatu program

tertentu.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan yang kedua di

atas, dalam artian bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat

kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan dan di

lain pihak pada tahapan proses implementasinya perpaduan diantara

sumber-sumber tersebut harus benar-benar tersedia.


4. Apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan

kausal yang handal.

Jadi prinsipnya adalah apakah kebijakan tersebut dapat menyelesaikan

masalah yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai.

Dalam metodologi dapat disederhanakan menjadi apakah jika X

dilakukan akan terjadi Y.

5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi.

Asumsinya bahwa semakin sedikit hubungan sebab akibat, maka

semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut

dapat dicapai.

6. Apakah hubungan saling ketergantungan kecil.

Asumsinya adalah jika hubungan saling ketergantungan tinggi, justru

implementasi kebijakan tidak akan berjalan secara efektif, apalagi jika

hubungannya adalah hubungan ketergantungan.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh

mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan

dicapai. Dan yang penting, keadaan ini harus dapat dipertahankan

selama proses implementasi.

8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar.

Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektivitas

implementasi kebijakan.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.


Komunikasi adalah perekat organisasi, dan koordinasi adalah asal

muasal dari kerjasama tim serta terbentuknya sinergi.

10. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan

mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Kekuasaan atau power adalah syarat bagi keefektifan implementasi

kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari kekuasaan, maka kebijakan

akan tetap berupa kebijakan tanpa impact bagi target kebijakan.

Faktor-faktor Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Sosial

Dalam proses implementasi kebijakan akan selalu ada

kemungkinan untuk menerima resiko kegagalan. Hogwood dan Gunn

(dalam Wahab, 2002) membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy

failure) ke dalam dua kategori, yaitu non implementation (tidak

terimplementasikan) dan unsuccessful implementation (implementasi yang

tidak berhasil). Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu

kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena

pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja

sama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati,

atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau

kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya,

sehingga betapa pun gigihnya usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada

tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif

sukar untuk dipenuhi.


Sementara itu, implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi

manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan

rencana, namun kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan,

kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak / hasil akhir

yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal

itu disebabkan oleh faktor-faktor berikut : pelaksanannya jelek (bad

execution), kebijakannya sendiri memang jelek (bad policy) atau kebijakan

itu memang bernasib jelek (bad luck).

Meter dan Horn (dalam Winarno, 2004) mengemukakan beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi bagi implementasi kebijakan, antara lain

sebagai berikut :

1. Masalah kapasitas.

Implementasi yang berhasil juga merupakan fungsi dan kemampuan

organisasi pelaksana untuk melakukan apa yang diharapkan untuk

dikerjakan. Kemampuan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan

mungkin dihambat oleh faktor-faktor seperti staf yang kurang terlatih

dan terlalu banyak pekerjaan, informasi yang tidak memadai dan

sumber-sumber keuangan atau hambatan-hambatan waktu yang tidak

memungkinkan.

2. Konflik-konflik kecenderungan.

Konflik-konflik kecenderungan terjadi karena pejabat-pejabat bawahan

(para pelaksana) menolak tujuan-tujuan dari pejabat-pejabat atasan

mereka. Tujuan-tujuan dan saran-saran mungkin ditolak dengan


beberapa alasan, seperti melanggar nilai-nilai pribadi para pelaksana

atau kesetiaan-kesetiaan ekstra organisasi : tujuan-tujuan dan sasaran-

sasaran itu melanggar arti kepentingan diri para pelaksana atau

mengubah sifat-sifat organisasi dan prosedur-prosedurnya yang ingin

dipertahankan oleh para pelaksana.

Selain resiko kegagalan tersebut, dalam implementasi kebijakan

tentunya akan selalu berharap dapat menemui keberhasilan dan

kesuksesan. Mengenai kondisi kesuksesan implementasi kebijakan,

Ramesh (1995) menyatakan bahwa implementasi kebijakan dapat

dipengaruhi oleh :

1. Pangkal tolak permasalahan ; jika pangkal tolak permasalahannya

jelas, maka implementasi kebijakan publik akan berjalan lancar.

Artinya dengan mengenali apakah pangkal tolak itu berdomain social,

politik, ekonomi ataupun budaya, akan lebih memudahkan

implementer kebijakan dalam melaksanakan kebijakan publik tersebut.

2. Tingkat keakutan masalah yang dihadapi pemerintah ; semakin akut

permasalahan yang dihadapi, sebuah kebijakan publik akan

membutuhkan waktu penyelesaian dalam implementasi kebaijakan

yang semakin lama dan pengorbanan sumber dayanya, baik material

maupun immaterialnya, tentu akan semakin banyak.

3. Ukuran kelompok yang ditargetkan ; semakin kecil targeted groups

yang dituju dari sebuah kebijakan publik, tentunya akan semakin


mudah dikelola ketimbang kelompok target yang besar dan

mempunyai ruang ligkup yang luas.

4. Dampak perilaku yang diharapkan ; jika yang diinginkan semata-mata

kuantitatif (ekonomis), maka akan lebih mudah menanganinya

ketimbang bila dampak yang diinginkan merupakan perilaku seperti

tingkat ketaqwaan seseorang, pengamalan dan penghayatan tentang

nasionalisme, pembangunan watak bangsa dan seterusnya. Selain

berdimensi kualitatif, dampak perilaku semacam ini membutuhkan

waktu yang tidak pendek.

Anda mungkin juga menyukai